Selasa, 08 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 027

Siao-liong-li memainkan selendang suteranya, begitu cepat dan hidup seperti naga sakti, pula bola emas yang terikat pada ujung selendang itu tiada hentinya mengeluarkan suara “ting-ting” yang nyaring, suara ini lebih mengacaukan perasaan lawan.

Sesudah lama masih belum dapat mengalahkan orang, meski Hek Tay-thong sendiri juga belum tentu bisa kalah, tapi bila teringat dirinya sudah terkenal sebagai jago terkemuka di kalangan Bu-lim, jika harus bergebrak dua-tiga ratus jurus dengan gadis jelita ini, sungguh pun akhirnya menang toh pasti kehilangan pamor juga. Oleh karena itu ia menjadi gopoh, begitu Kiam-hoatnya berubah, ia malah menyerang terlebih lambat.

Aneh bahwa tiap gerak serangannya jauh lebih lambat, tetapi sebaliknya daya tekanan pedangnya justru bertambah beberapa kali lipat lebih kuat. Kalau tadi pedangnya selalu harus menghindari gubetan selendang sutera orang, tetapi sekarang sesudah daya tekanannya bertambah, dia malah berbalik mengincar untuk menebas bola emas di ujung selendang itu.

Setelah beberapa jurus lagi, tiba-tiba terdengar suara “cring” yang keras, bola emas Siao-liong-li saling bentur dengan pedang. Tetapi Hek Tay-thong lebih ulet dan lebih kuat, maka pedangnya membikin bola emas Siao-liong-li mendal ke atas lantas terpental balik mengarah muka Siao-liong-li sendiri.

Sudah tentu kesempatan baik ini tidak dilewatkan oleh Hek Tay-thong. Berbareng ia kirim serangan yang lain, dengan diiringi sorak sorai gembira para imam yang menonton, ujung pedangnya menerobos di antara kain selendang lawan terus mengarah pergelangan tangan Siao-liong-li.

Dengan serangan ini Hek Tay-thong merasa yakin sedikitnya lawan akan membuang kain selendangnya kalau pergelangan tangannya tidak mau tertusuk pedang. Siapa duga Siao-liong-li justru tidak menghindari serangan itu, hanya tangannya membalik lalu dengan sekali tangkap dia malah pegang senjata orang, menyusul ini lantas terdengar suara “pletak”, ternyata pedang Hek Tay-thong telah patah menjadi dua.

Sungguh hebat sekali kejadian ini hingga semua imam menjerit kaget, dengan cepat pula Hek Tay-thong melompat mundur ke belakang sambil masih terus memegangi sepotong pedangnya. Ia berdiri terkesima. Kiranya sarung tangan yang dipakai Siao-liong-li itu terbuat dari benang emas putih yang paling halus namun amat ulet, walau pun tipis dan lemas, akan tetapi tidak mempan oleh senjata-senjata biasa, sekali pun golok pusaka atau pedang tajam, sukar untuk menembusnya.

Sudah tentu hal ini tidak diketahui Hek Tay-thong. Dia menjadi bingung karena mendadak orang berani menangkap senjatanya, kemudian dengan tenaga tekukan yang tepat sudah mematahkan pedangnya. Dalam keadaan kecundang sedemikian ini, dengan wajah pucat Hek Tay-thong sampai tidak dapat berpikir bahwa pada sarung tangan itulah terletak khasiat segala ketangkasan Siao-liong-li, dia malah mengira gadis ini betul-betul sudah dapat berlatih semacam ilmu kebal dan tak mempan segala macam senjata.

“Bagus, bagus, baik Pinto mengaku kalah!” demikian katanya kemudian dengan suara ter-putus-putus. “Nah, nona, bolehlah kau membawa pergi anak ini.”

“Ha, setelah kau mencelakai Sun-popoh, lalu bicara seenaknya, sekali ngaku kalah lantas anggap beres begini saja?” Siao-liong-li mengejek.

“Ha-ha-ha, memang betul katamu, aku ini betuI-betul sudah pikun!” kata Hek Tay-thong sambil mendongak.

Kemudian ia angkat pedangnya yang sudah patah itu terus menggorok ke lehernya sendiri dengan maksud membunuh diri. Akan tetapi sebelum pedang menempel lehernya, tiba-tiba terdengar suara “creng” yang sangat nyaring, tangannya tergetar keras, dari luar pagar tembok mendadak menyambar sebuah mata uang hingga pedangnya terbentur jatuh.

Dengan tenaga Hek Tay-thong yang sangat kuat, bukanlah soal gampang orang hendak memukul jatuh senjatanya dengan sesuatu benda. Dalam terkejutnya itu, segera pula Hek Tay-thong tahu siapa yang telah datang. Ia mengenal tenaga sambitan mata uang itu.

“Khu-suheng, aku yang tak becus ini telah mencemarkan nama baik golongan kita, maka terserah padamu saja!” serunya kemudian sambil memandang ke arah datangnya mata uang tadi.

“Hek-sute, kalah-menang adalah soal biasa. Kalau sekali mengalami kekalahan lalu mesti menggorok leher sendiri, maka suheng-mu ini biar pun punya delapan belas kepala tentu semuanya sudah habis tergorok,” demikian terdengar orang menjawab dari luar kelenteng dengan tertawa.

Ketika suara itu berhenti segera pula orangnya sudah muncul, dengan pedang terhunus Khu Ju-ki sudah melompat masuk melintasi pagar tembok itu. Watak Khu Ju-ki paling suka blak-blakan, maka begitu datang segera pedangnya menusuk ke lengan kiri Siao-liong-li sambil berseru:

“Tiang-jun-cu Khu Ju-ki minta petunjuk pada tetangga terhormat kita.”

“Ha, kau imam tua ini terhitung suka terus terang juga,” sahut Siao-liong-li.

Berbareng itu, tangan kirinya menjulur, kembali ia dapat menangkap pula pedang Khu Ju-ki yang menusuk itu.

“Awas, Suheng!” teriak Hek Tay-thong kuatir karena pengalamannya tadi.

Akan tetapi sudah terlambat. Ketika Siao-liong-li gunakan tenaga menekan, Khu Ju-ki pun salurkan tenaga ke batang pedangnya, karena itu terjadilah tenaga lawan tenaga, keras lawan keras, maka terdengarlah suara “krak”, kembali pedang patah menjadi dua, tetapi tangan Siao-Iiong-li tidak urung tergetar hingga pegal linu, dada pun terasa rada sakit.

Cukup dengan sekali gebrakan ini saja Siao-liong-li sudah tahu bahwa kepandaian Khu Ju-ki masih jauh di atas Hek Tay-thong, sedang ilmu kepandaian sendiri ‘Giok-li-cin-keng’ masih belum sempurna, terang tidak ada harapan buat menang. Maka tanpa pikir lagi ia buang pedang patah yang direbutnya itu, lalu dengan cepat ia kempit mayat Sun-popoh dan tangan lain pondong Yo Ko. Begitu kedua kakinya menutul, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, dengan enteng sekali seperti daun saja ia melayang keluar dari pagar tembok.

Mendadak nampak Ginkang (ilmu entengi tubuh) orang yang hebat luar biasa ini, Khu Ju-ki dan Hek Tay-thong hanya saling pandang saja dengan terperanjat. Khu Ju-ki dan Hek Tay-thong sudah saling gebrak dengan Siao-liong-li tadi, mereka bisa ukur ilmu silat Siao-liong-li yang meski tinggi, tapi belum pasti bisa menangkan mereka, namun ilmu entengi tubuh yang barusan dilihatnya itu sungguh belum pernah mereka saksikan selama ini.

“Sudahlah, sudahlah!” kata Hek Tay-thong sambil menghela napas penuh menyesal.



“Hek-sute, percuma saja kau berlatih diri dalam agama selama sekian tahun, tapi sedikit kecundang saja kau lantas putus asa,” ujar Khu Ju-ki. “Harus kau ketahui bahwa saudara-saudara kita yang dikirim ke Soasay sekali ini, sama juga sudah mengalami kekalahan habis-habisan.”

“Hah, kenapa? Lalu ada yang terluka tidak?” tanya Hek Tay-thong kaget oleh berita sang Suheng.

“Cerita ini terlalu panjang, marilah kita menemui Ma-suheng dahulu,” sahut Khu Ju-ki.

Kiranya, sesudah melukai beberapa orang di daerah Oh-ciu, Kanglam, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu mengerti terlalu banyak onar yang dia lakukan, maka ia telah menyingkir jauh ke daerah Soasay buat menghindari percekcokan. Akan tetapi angkara murkanya ternyata tak menjadi padam, di sana kembali ia mencelakai beberapa orang gagah dari Bu-lim.

Keruan akhirnya membuat marah kalangan umum hingga pemimpin Bu-lim setempat menyebarkan undangan mengajak kawan segolongan untuk mengeroyok Li Bok-chiu. Di antara yang diundang itu terdapat pula Coan-cin-kau.

Tatkala itu Ma Giok telah berunding dengan Khu Ju-ki. Mereka berpendapat meski Li Bok-chiu banyak melakukan kejahatan, tapi mengingat hubungan kakek gurunya dan gurunya sendiri, Tiong-yang Cinjin yang sangat erat, sedapat mungkin percecokan itu dibikin akur saja dan memberi jalan hidup baru kepada Li Bok-chiu untuk hari depan.

Oleh karena itu Lau Ju-hian dan Sun Put-ji lantas dikirim dahulu ke utara. Tapi siapa tahu Li Bok-chiu ternyata tidak mau mengenal kebaikan orang bahkan terus saling gebrak, dan akhirnya Lau Ju-hian dan Sun Put-ji berdua terkalahkan di bawah tangannya.

Belakangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, dua jago utama Coan-cin-pay ini menyusul memberi bantuan. Tetapi Li Bok-chiu ternyata sangat licin. Dia insaf seorang diri sukar berlawanan dengan jago-jago begitu banyak, maka dia menggunakan kata-kata pancingan kepada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it dan akhirnya menetapkan peraturan satu lawan satu pada hari yang telah ditentukan.

Hari pertama yang turun bertanding adalah Sun Put-ji. Tapi secara diam-diam Li Bok-chiu telah menggunakan tipu keji, ia telah melukai tokoh wanita Coan-cin-kau itu dengan jarum berbisa yang sangat jahat. Setelah itu ia sendiri malah mengunjungi rumah orang untuk memberikan obat penawar racunnya, maka dalam keadaan demikian tidak bisa tidak Khu Ju-ki harus menerimanya.

Dan dengan begitu pula imam-imam Coan-cin-kau boleh dikatakan telah menerima budi orang, menurut peraturan Kangouw mereka lalu tidak boleh bermusuhan lagi dengan Li Bok-chiu, tentu saja mereka hanya saling pandang dan tertawa getir belaka terus pulang ke Cong-lam-san.

Syukur Khu Ju-ki buru-buru pulang lebih dahulu dan tidak mengiringi Ong Ju-it pesiar ke Thay-heng-san, karenanya pada saat yang sangat tepat sudah berhasil menolong jiwa Hek Tay-thong.

Kembali bercerita mengenai Siao-Iiong-li, sesudah memondong Yo Ko dan tangan lainnya merangkul mayat Sun-popoh, kembalilah mereka ke Hoat-su-jin-bong atau kuburan kuno. Sesudah Yo Ko diturunkan, mayat Sun-popoh lalu direbahkan pada dipan yang biasanya digunakan untuk tidur, sedang Siao-liong-li sendiri dengan bertopang dagu duduk di kursi sambil ter-menung-menung. Sebaliknya Yo Ko masih menggemblok di atas jenazah Sun-popoh dan masih menangis terguguk-guguk.

“Orang sudah mati, untuk apa kau tangisi?” kata Siao-liong-li tiba-tiba sesudah agak lama Yo Ko tersedu-sedan, “Hari ini kau menangisi dia, kelak kalau kau sendiri mati, entah siapa yang akan menangisi kau?”

Yo Ko tercengang oleh kata-kata Siao-liong-Ii yang terlalu menusuk perasaan ini. Tapi bila dipikir lebih jauh, terasa ada betulnya juga. Karenanya dia menjadi makin berduka, tanpa tertahan lagi dia menangis ter-gerung-gerung.

Hati Siao-liong-li sama sekali tidak tergerak oleh tangisan anak itu. Dengan sikap dingin saja ia menyaksikan Yo Ko menangis, mukanya sedikit pun tidak memberi sesuatu tanda perasaan.

“Marilah kita kuburkan mayatnya, ikutlah padaku!” katanya kemudian sesudah agak lama. Kemudian ia angkat mayat Sun-popoh dan menuju sebelah barat.

Lekas Yo Ko mengusap air matanya dengan baju, cepat ia ikut di belakang orang. Di dalam kuburan itu tiada sinar terang sedikit pun, maka terpaksa Yo Ko harus pentang matanya selebar mungkin, dengan begitu barulah lapat-lapat dia dapat melihat bayangan baju Siao-liong-li yang putih.

Sesudah berjalan me-Iingkar-lingkar, belok sana dan tikung sini, akhirnya Siao-liong-li membuka sebuah pintu batu yang kelihatannya amat berat, kemudian mereka pun masuk ke dalam sebuah kamar batu yang sangat luas. Di sini Siao-liong-li mengeluarkan ketikan api dan menyalakan pelita minyak di atas meja batu.

Setelah kini ada sinar terang, segera Yo Ko memandang keadaan kamar besar ini, tetapi mau tidak mau ia rada bergidik oleh suasana yang seram. Ia melihat ruangan yang begini besar ternyata kosong belaka tiada isi Iain kecuali beberapa buah peti mati dari batu yang tergeletak berjajar di tengah ruangan. Waktu Yo Ko memperhatikan, ia melihat dua peti mati di antaranya tertutup rapat, sedang tiga peti lainnya tutupnya hanya dirapatkan separoh saja, dipandang dari jauh dalam peti kelihatan gelap, tidak diketahui di dalamnya ada mayat atau tidak.

“Cosu-popoh (kakek guru) tidur di dalam sini,” kata Siao-liong-li sambil menuding peti mati yang pertama, lalu ia tuding peti mati kedua dan sambung lagi: “Dan Suhu tidur di sini.”

Waktu Yo Ko lihat jari si nona menuding peti mati yang ketiga, hatinya langsung menjadi ber-debar-debar. Ia tidak tahu Siao-liong-li bakal bilang siapa yang tidur di situ, tetapi ia melihat tutup peti itu belum dirapatkan, kalau di dalamnya sudah ada isinya, bukankah itu sangat menakutkan?

“Dan Sun-popoh tidur di sini,” demikian ia dengar Siao-liong-li menyambung lagi.

Karena kata-kata inilah baru Yo Ko tahu bahwa peti mati itu memang kosong, maka ia merasa lega. Tapi bila ia lihat di samping sana masih ada dua peti mati lagi yang kosong, tanpa terasa ia menjadi heran dan ingin mengetahui.

“Dan kedua peti yang itu, Liong-kokoh?” tanyanya kemudian.

“Yang satu buat Suci (kakak seperguruan perempuan) Li Bok-chiu dan yang lain buat aku sendiri,” sahut Siao-liong-li.

Karena jawaban ini, seketika Yo Ko terkesima. “Apakah Li Bok-chiu Kokoh akan kembali ke sini?” tanyanya.

“Kalau guruku sudah mengatur begini, akhirnya dia pasti akan kembali,” kata Siao-liong-li. “Tapi sekarang ternyata masih kurang satu peti lagi, sebab guruku tidak pernah menduga kau akan datang ke sini.”

Keruan Yo Ko kaget oleh kata-kata ini. “Tidak, aku tidak perlu!” sahutnya cepat.

“Aku sudah berjanji kepada Sun-popoh untuk menjaga kau seumur hidup. Kalau aku tidak meninggalkan tempat ini, dengan sendirinya kau pun tetap disini,” ujar Siao-liong-li.

Mendengar si nona berbicara soal mati-hidup orang seperti soal biasa saja, akhirnya Yo Ko juga tidak takut lagi.

“Seumpama kau tidak perbolehkan aku keluar, tapi kalau kau sudah mati, bukankah aku dapat keluar sendiri?” sahutnya kemudian.

“Kalau aku sudah bilang akan menjaga kau seumur hidup, sudah tentu aku tak akan mati lebih dulu dari pada kau,” kata Siao-liong-li.

Keruan Yo Ko heran, “Mana bisa?” ia debat. “Bukankah umurmu lebih tua dari padaku?”

“Ya, tapi sebelum aku mati pasti aku bunuh kau lebih dulu,” kata Siao-liong-li.

Tetapi meski usia Yo Ko masih kecil, nyata ia tidak kurang akal. “Itu kan belum tentu bisa, aku punya kaki, memangnya aku tak bisa lari?” demikian ia berpikir.

Begitulah si Yo Ko ini, belum dia angkat guru pada Siao-liong-li, tetapi diam-diam ia sudah adu kepintaran dengan orang. Sementara itu Siao-liong-li sudah mendekati peti mati yang ketiga, ia dorong tutup peti ke belakang, ia angkat jenazah Sun-popoh dan hendak dimasukkan ke dalam peti.

Tiba-tiba Yo Ko ingat pesan Sun-popoh pada saat yang terakhir bahwa: “Baju kapas yang kupakai ini hendaklah kau simpan baik2, di...” Tetapi sebelum habis dikatakan orang tua itu sudah keburu putus napasnya.

Kalau orang tua itu minta dirinya menyimpan baik-baik baju kapas itu, mengingat perkenalan mereka yang baik, apa bila disimpan sebagai tanda mata untuk hari kelak, sesungguhnya pantas juga.

“Kokoh, baju kapas Popoh itu ditinggalkan untukku saja,” serunya segera sambil kakinya menyerobot maju.

Sebenarnya Siao-liong-li tidak suka pada sifat insaniah yang menjemukan. Ia lihat watak Yo Ko yang suka bergirang, marah, menangis dan tertawa segala, meski belum ada satu hari berkenalan dengan Sun-popoh, tapi bocah ini sudah merasa begitu berat ditinggalkan orang tua itu, segera Siao-liong-li merasa muak. Karena itu, atas permintaannya tadi, dia mengerutkan kening, namun tidak urung ia copot baju kapas itu dari badan Sun-popoh lantas dilemparkan kepada Yo Ko.

Sesudah Yo Ko menerima baju kapas itu, karena terharunya kembali dia mewek-mewek hendak menangis lagi. Tetapi Siao-liong-li telah melototinya, lalu ia masukkan mayat Sun-popoh ke dalam peti, ia tarik penutup petinya, maka terdengarlah suara yang keras, tutup peti mati itu telah menutup dengan rapat sekali. Karena merasa sebal kalau Yo Ko menangis lagi, maka tanpa pandang sedikit pun pada bocah ini segera Siao-liong-li mengajak:

“Mari keluar!”

Berbareng itu ia kebaskan lengan bajunya, maka empat pelita minyak di dalam kamar itu sekaligus tersirap, keadaan seketika menjadi gelap guIita, Oleh karena kuatir jika dirinya akan dikurung di kamar peti mati itu, lekas-lekas Yo Ko membawa baju kapas Sun-popoh terus ikut keluar.

Tinggal di dalam kuburan kuno yang bagaikan istana di bawah tanah itu, hakikatnya tidak diketahui dan tidak dapat membedakan siang atau malam. Tetapi sesudah sibuk setengah harian, kedua orang sudah merasa letih, maka Siao-liong-li suruh Yo Ko tidur di kamar Sun-popoh saja.

Sejak kecil Yo Ko luntang-luntung di kalangan Kangouw seorang diri, sering dia harus menginap di kelenteng bobrok dalam hutan yang amat sunyi, maka nyalinya sebenarnya sudah terlatih sangat berani. Tetapi aneh, sejak melihat peti mati batu tadi dan sekarang diharuskan tidur sendirian, entah mengapa ia menjadi merasa takut tak terhingga. Oleh karena itu, meski Siao-liong-li sudah mengulangi kata-katanya menyuruh dia pergi tidur, dia masih tetap menjublek saja.

“Kau dengar tidak perkataanku? Apa kau tuli?” bentak Siao-liong-li menjadi gemas.

“Aku takut,” sahut Yo Ko.

“Takut apa?” tanya Siao-liong-li.

“Entah, tapi aku tak berani tidur sendirian,” kata Yo Ko.

Melihat wajah anak ini memang takut, dan di dalam hati Siao-liong-li berpikir bahwa umur anak ini masih kecil, maka tidaklah perlu harus menaati peraturan pemisahan antara laki-laki dan wanita, Karenanya dengan menghela napas kemudian ia berkata:

“Baiklah, kau tidur sekamar dengan aku.”

Lalu ia bawa Yo Ko ke kamar tidurnya sendiri. Siao-liong-li sudah biasa hidup dalam kegelapan, selamanya dia tidak perlu menyalakan pelita atau lilin, tetapi sekarang spesial ia menyulut satu lilin untuk Yo Ko.

Waktu melihat wajah Siao-liong-li yang begitu cantik ayu tak ada bandingannya, pula baju yang ia pakai putih bersih seperti salju tanpa debu sedikit pun, semula Yo Ko menyangka kamar si gadis ini tentunya teratur dengan indah sekali. Tak terduga, begitu ia memasuki kamar orang, seketika ia merasa amat kecewa. Kiranya kamar Siao-liong-li kosong melompong tanpa sesuatu pajangan, serupa saja keadaannya dengan kamar peti mati tadi.

Di dalam kamar hanya terdapat satu lonjor batu hijau yang digunakan sebagai ranjang, di atas ranjang ini tergelar selembar tikar dan terdapat pula selapis kain sutera putih yang rupanya dipakai sebagai selimut. Kecuali itu tiada sesuatu benda lain yang dilihatnya.

“Entah aku harus tidur di mana? Mungkin dia akan suruh aku tidur di lantai,” demikian Yo Ko membatin.

“Kau tidur saja di ranjangku,” tiba-tiba ia dengar Siao-liong-li berkata padanya.

“Itu tidak baik, biar aku tidur di lantai saja,” sahut Yo Ko.

Tak terduga, tiba-tiba Siao-liong-li menarik muka atas jawabannya itu. “Kurang ajar, berani kau mernbangkang?” damperatnya.. “Aku adalah gurumu, apa yang aku katakan kau harus menurut, tahu? Kau berani berkelahi melawan gurumu dari Coan-cin-kau, hal itu masa bodoh. Tetapi ini lain, kalau kau berani membangkang perintahku segera juga kucabut nyawamu!”

“Tidak perlu kau demikian galak, akan kuturut saja semua perkataanmu,” demikian Yo Ko menyahut.

“Berani kau adu mulut?” bentak Siao-liong-li.

Namun Yo Ko memang anak bandel. Ia lihat wajah Siao-liong-li sangat cantik dan usianya masih muda, sedikit pun tidak mirip seorang ‘Suhu’, karenanya ia melelet-lelet lidah atas bentakan tadi, habis ini ia diam saja.

Sudah tentu kelakuannya ini dapat dilihat Siao-liong-li. “Kenapa kau melelet lidah? Kau tak terima bukan?” damperatnya lagi.

Sekali ini Yo Ko tak berani menjawab, ia copot sepatunya terus naik ke atas ranjang buat tidur. Tetapi baru saja ia merebah, mendadak terasa olehnya hawa sedingin es yang merasuk tulang, saking kagetnya sampai ia meloncat turun dengan kaki telanjang. Nampak kelakuan Yo Ko yang lucu ini, sungguh pun Siao-liong-li tidak pernah mengunjuk sesuatu tanda perasaannya, tidak urung hampir saja ia mengeluarkan suara tertawa geli.

“Ada apa?” ia coba tegur dengan menahan gelinya.

Namun Yo Ko memang terlalu cerdik, sekilas saja dia sudah melihat ada tanda-tanda tertawa pada wajah Siao-liong-li. Oleh karenanya dia tidak menjadi takut oleh teguran itu, bahkan dia tertawa sendiri.

“Di atas ranjang ini ada yang aneh, agaknya engkau sengaja mempermainkan aku,” demikian jawabnya.

“Siapa mempermainkan kau. Memang beginilah ranjang ini, lekas kau naik lagi dan tidur,” kata Siao-liong-li dengan sungguh-sungguh. Habis ini ia sengaja ambil kemoceng (bulu ayam) dari belakang pintu, dengan alat ini dia lantas mengancam:

“lni kalau kau berani merosot turun lagi, rasakan nanti, sepuluh kali sabetanku!”

Sekali lompat, dengan entengnya Siao-liong-li telah merebahkan diri di atas tali kecil yang dianggapnya seperti ranjang empuk. Sudah tentu tak terbilang kagum Yo Ko saat melihat kepandaian yang luar biasa ini.


MENGANGKAT GURU KE TIGA

Melihat si gadis berlaku sungguh-sungguh, terpaksa Yo Ko segera naik ke atas ranjang batu dan tidur lagi. Kali ini Siao-liong-Ii sengaja menyingkirkan baju kapas tinggalan Sun-popoh, ia pindahkan ke tempat yang tak dapat dijamah tangan Yo Ko. Sebaliknya karena pengalaman tadi, sekali ini Yo Ko tidak kaget lagi, dia rebah di atas ranjang batu yang dingin itu.

Namun ranjang itu sama saja seperti balok es yang maha dingin, semakin tidur rasanya semakin dingin, sampai akhirnya saking tak tahan lagi seluruh tubuh Yo Ko jadi gemetar, ia menggigil kedinginan hingga kedua baris giginya gemerutuk. Tidak lama kemudian hawa dingin ranjang batu itu semakin men-jadi serasa meresap ke dalam tulang sungsum, sungguh ia tak tahan lebih lama lagi.

Ketika Yo Ko melirik Siao-liong-li, dia lihat wajah nona itu mengunjuk senyum tetapi bukan senyum, terhadap penderitaannya itu se-akan merasa senang dan bersyukur. Diam-diam Yo Ko mendongkol, tetapi dia masih berusaha melawan rasa dingin yang menembus keluar dari ranjang batu itu dengan sepenuh tenaganya.

Sementara ia melihat Siao-liong-li telah keluarkan seutas tali. Salah satu ujung tali dia ikat pada sebuah paku yang menancap di dinding sebelah timur, lalu tali ini ditarik dan ujung lainnya diikat kencang pada paku yang berada di dinding sebelah barat.
Tali yang dipasang ini kira-kira setinggi manusia. Dengan sekali lompatan enteng Siao-liong-li sudah rebah di atas tali itu yang dianggapnya sebagai ranjang saja. Bahkan berbareng lompatannya tadi, sekali ayun tangannya, dengan angin pukulannya ia sirapkan api lilin. Sungguh tidak terbilang kagumnya Yo Ko oleh kepandaian orang yang luar biasa itu.

“Kokoh, maukah besok kau ajarkan kepandaian seperti itu kepadaku?” dalam kegelapan ia coba tanya si nona.

“Hm, terhitung apa kepandaian macam ini?” jengek Siao-liong-li. “Asal kau belajar dengan baik, masih banyak lagi kepandaian yang jauh lebih lihay yang akan kuajarkan padamu.”

Meski tabiat Yo Ko nakal, namun perasaannya sangat terguncang demi mendengar Siao-liong-li dengan sungguh-sungguh akan mengajarkan kepandaian padanya. Tanpa terasa ia menjadi tunduk dengan sepenuh hati, seluruh perasaan mengkalnya tadi segera dia lemparkan ke-awang-awang, dalam rasa terima kasihnya itu, saking terharunya ia mengucurkan air mata.

“Kokoh, kau begini baik terhadapku, tapi tadi aku malah benci padamu,” demikian katanya dengan suara berat.

“ltu tak perlu dibuat heran,” sahut Siao-liong-Ii, “Aku telah mengusir kau, sudah tentu kau benci padaku.”

“Tapi soalnya bukan itu,” kata Yo Ko, “Semula aku mengira kau sama saja seperti guruku yang lalu, hanya mengajarkan segala kepandaian yang tak berguna.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar