Senin, 07 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 026

Tapi sayang ia tidak keburu mendapat tahu, sedang Hek Tay-thong yang waktu itu berada di Tiong-yang-kong, karena tabiatnya juga keras, maka terjadilah drama yang membawa ekor panjang ini.

Begitulah, sementara para imam yang digerakkan Thio Ci-kong mengerubut maju, lambat laun jaring-jaring Pak-tau-tin mereka mulai sempit, tampaknya dengan segera Sun-popoh akan tertawan hidup-hidup. Tak terduga, meski tujuh imam itu mendesak sampai jarak sekitar tiga langkah lagi, namun Sun-popoh masih bisa menjaga diri dengan rapat luar biasa, bagaimana pun mereka menyerang tetap tak mampu maju lebih dekat lagi.

Jika Pak-tau-tin ini langsung dipimpin Thio Ci-kong sendiri dan ikut bergerak, sebenarnya siasat mengepungnya masih bisa banyak berubah pula. Tapi karena pundak Ci-kong telah terluka, ia merasa kuatir anak panah itu berbisa, kalau dia bergerak, mungkin bekerjanya racun akan bertambah cepat. Maka ia hanya berdiri di samping sambil memberi petunjuk saja. Karena ia sendiri tidak ikut maju, dengan sendirinya daya tekanan barisan bintang mereka menjadi kurang kuat.

Begitulah, sesudah lama masih belum dapat mengalahkan orang, perlahan para imam itu menjadi kelabakan sendiri. Dalam pada itu mendadak terdengar Sun-popoh menggertak satu kali, lalu tiba-tiba ia lemparkan pedang di tangannya terus menyerobot maju selangkah, menerobos di bawah sinar pedang dan secepat kilat berhasil menjamberet dada seorang imam muda, berbareng imam itu ia angkat.

“lmam busuk, sekarang kalian mau beri jalan atau tidak?!” teriak Sun-popoh murka.

Karena kawannya tertawan secara tak terduga-duga, maka seketika imam yang lain jadi tertegun. Tapi pada saat itu juga dari belakang imam-imam Coan-cin-kau menyerobot keluar satu orang, lalu sekali menggerakkan tangannya, dengan Kim-na-jiu-hoat (ilmu cara mencekal dan menangkap) mendadak ia menyanggah lengan Sun-popoh.

Sebelum Sun-popoh dapat melihat jelas wajah orang yang datang tiba-tiba ini, sudah terasa olehnya pergelangan tangan menjadi pegal linu, tahu-tahu imam muda yang dia tawan kena direbut orang, menyusul lagi segera ada angin santer yang menyambar dari depan, nyata orang itu telah menambahkan sekali pukulan yang mengarah ke muka Sun-popoh.

“Cepat benar gerak pukulan orang ini,” diami-diam Sun-popoh membatin, oleh karenanya secepat kilat pula ia membalas dengan pukulan juga.

Kedua telapak tangan saling bentur sehingga terdengar suara nyaring, nyata Sun-popoh sendiri tergetar mundur satu tindak. Orang itu hanya tergetar mundur juga, akan tetapi hanya bergeser sedikit saja, kemudian pukulan kedua kalinya segera dikirim lagi tanpa berhenti.

Seperti tadi, kembali Sun-popoh mengangkat tangannya menangkis, dan karena saling beradunya tangan, kembali Sun-popoh tergetar mundur satu tindak, sebaliknya orang itu malah bisa melangkah maju sedikit, lalu disusul lagi dengan pukulan yang ketiga.

Demikianlah secara susul-menyusul dan satu lebih cepat dari yang lain, be-runtun orang itu menyerang tiga kali, dan Sun-popoh beruntun terdesak mundur tiga tindak, karenanya orang tua ini sempat memandang wajah penyerangnya ketika pukulan ke empat kalinya dilontarkan orang itu pula. Kini Sun-popoh telah membelakangi tembok, ia sudah kepepet dan tiada jalan mundur lagi.

Akan tetapi pukulan sekali ini tidak penuh dikeluarkan oleh orang itu. Begitu saling tempel dengan tangan Sun-popoh yang menangkisnya, segera dengan suara lantang ia bersuara:

“Popoh, hendaklah kau memberikan obat penawarnya dan tinggalkan anak ini saja!”

Waktu Sun-popoh menegasi, maka tampaklah olehnya orang ini rambut alisnya sudah putih semua, air mukanya kuning hangus, siapa lagi dia kalau bukan Hek Tay-thong yang siang harinya telah mengusir tawonnya dengan asap obor itu. Sun-popoh menyadari kepandaian dan keuletan imam tua ini masih berada di atas dirinya. Jika tenaga pukulan ke empat kalinya ini dilontarkan penuh, mungkin dirinya tidak kuat menahan lagi. Tetapi wataknya yang keras itu tidak mengijinkan dia menyerah mentah-mentah.

“Kau ingin aku tinggalkan bocah ini, kau bunuh nenekmu dulu,” demikian ia membentak.

Hek Tay-thong tahu orang tua ini punya hubungan baik dengan mendiang gurunya, maka dia tak ingin mencelakainya, tenaga pukulannya masih dia tahan dan tidak dilontarkan.

“Kita bertetangga selama puluhan tahun, untuk apa harus cekcok karena satu anak kecil saja?” ia berkata dengan halus.

Akan tetapi Sun-popoh ternyata tidak gampang diajak berunding. “Hmm,” demikian jawabnya dengan menjengek, “aku datang kesini dengan maksud baik mengantar obat, jika tidak percaya kau boleh tanya anak muridmu, apa aku bohong tidak?”

Karena keterangan ini, segera Hek Tay-thong hendak menoleh buat bertanya, tetapi diluar dugaan se-konyong-konyong Sun-popoh menggerakkan sebelah kaki-nya, tahu-tahu melayang menendang ke bagian selangkangannya. Tendangan ini ternyata sangat keji, pula datangnya tanpa suara dan tak ada tanda sama sekali, tubuhnya tidak bergerak, Kun-nya juga tidak bergoyang, tapi tahu-tahu kaki sudah melayang tiba. Disinilah letak kelihayan ‘Kun-lay-tui’ atau ilmu tendangan kaki dari balik Kun itu.

Karena itu, pada waktu Hek Tay-thong mengetahui dirinya diserang, sementara kaki Sun-popoh telah melayang sampai dekat perutnya, sekali pun dengan cepat ia bisa melompat mundur, namun pasti tidak keburu Iagi. Namun Hek Tay-thong bukan anak murid Tiong-yang Cinjin yang diakui ahli silat nomor satu di seluruh kolong langit kalau dengan begitu ia kena diserang, sudah banyak pula pertempuran besar dia hadapi, maka dalam keadaan sangat berbahaya itu, tanpa pikir lagi ia segera kumpulkan tenaga pada tangannya terus mendorong ke depan, karena itu Sun-popoh tak kuat menahan hingga kena didorong mundur.

Tatkala itu punggung Sun-popoh sudah mepet pagar tembok. Ketika mendadak didorong orang dengan kuat, dia menjadi tidak tahan. Terdengarlah suara “bluk” yang keras disusul dengan berhamburnya bata dan kapur pasir tembok yang gugur, tanpa ampun lagi Sun-popoh muntah darah segar, dia terkulai ke tanah untuk selanjutnya tak sadarkan diri lagi.

Tak kepalang kejut Yo Ko melihat orang tua yang disayanginya itu jatuh semaput, dengan cepat ia tengkurap menutupi badan Sun-popoh yang sudah menggeletak tak berkutik itu.

“Jika kalian hendak membunuh orang, bunuhlah aku saja, siapa pun tak boleh mencelakai Popoh!” demikian teriaknya.

Rupanya suara teriakan ini masih bisa didengar Sun-popoh, maka orang tua ini telah pentang sedikit matanya dan unjuk senyumnya,

“Ya, nak, biar kita berdua mati bersama di sini,” katanya dengan suara lemah.



Tiba-tiba Yo Ko pentangkan kedua tangannya melindungi Sun-popoh, dengan membelakangi Hek Thay-thong dan lain-lain, sedikit pun ia tidak hiraukan keselamatan dirinya lagi.

Dengan serangannya tadi, sebenarnya Hek Tay-thong telah menggunakan pukulan berat. Melihat lawannya terkulai, dalam hati ia amat menyesal, dengan sendirinya tidak akan ia susulkan serangan lain pula. Maka segera ia ingin mengetahui keadaan luka Sun-popoh dengan maksud akan memberi obat untuk menyembuhkan lukanya, tetapi keadaan si nenek tidak dapat dilihatnya karena dihalangi tubuh Yo Ko yang tengkurap.

“Yo Ko, menyingkir kau, biar aku periksa keadaan Popoh,” dengan suara lembut dia coba membujuk.

Tetapi mana Yo Ko mau menurut, bahkan dengan kedua tangannya ia justru merangkul Sun-popoh dengan kencang.

Hek Thay-thong mengulangi lagi bujukannya hingga beberapa kali, tapi Yo Ko masih tetap tidak menggubrisnya. Akhirnya ia menjadi gelisah, ia tak sabar lagi, segera punggung Yo Ko ditariknya.

“lmam busuk, tak boleh kau mencelakai Popoh,” segera Yo Ko ber-teriak-teriak.

Dalam keadaan ribut-ribut itu, sekonyong-konyong terdengar suara orang menyindir dari belakang mereka:

“Hm, menganiaya nenek dan anak kecil terhitung orang gagah macam apakah ini?”

Suara itu begitu ketus dan dingin sehingga hati Hek Tay-thong tergetar. Cepat dia menoleh, tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu pendopo besar. Seluruh badan gadis ini mengenakan pakaian berkabung yang putih mulus. Entah kenapa sinar matanya itu se-akan menyorotkan rasa dingin yang tak terhingga bagi orang yang menatapnya.

Hek Tay-thong kaget oleh munculnya orang secara mendadak ini. Ia tahu, apa bila genta tanda bahaya Tiong-yang-kiong mereka berbunyi maka dalam jarak sejauh belasan li yang terdapat penjagaan rapat luar biasa itu segera akan terdengar, akan tetapi datangnya gadis jelita ini sebelumnya ternyata tiada seorang pun yang memberi-tahu dengan tanda bahaya, entah cara bagaimana gadis jelita ini masuk secara diam-diam tanpa diketahui.

“Siapakah nona? Ada keperluan apakah?” segera ia bertanya.

Akan tetapi gadis itu tidak menjawab melainkan memelototinya sekali sambil mendekati Sun-popoh yang menggeletak tak berdaya. Sementara itu rupanya Yo Ko sudah tahu siapa gerangan yang datang. Anak ini telah mendongak dan dengan suara pilu ia berkata:

“Liong-kokoh, Sun-popoh telah dipukul mati oleh imam jahat ini!”

Kiranya gadis jelita berbaju putih ini memang betul Siao-liong-li adanya. Tadi waktu Sun-popoh membawa Yo Ko meninggalkan kuburan, lalu masuk ke kuil imam Coan-cin-kau dan bergebrak dengan mereka, semuanya ini selalu dikuntit Siao-liong-li dari belakang dan disaksikannya dengan jelas. Dia menduga tidak akan Hek Tay-thong turun tangan yang mematikan, maka selama itu ia tidak unjuk diri, namun siapa tahu keadaan se-konyong-konyong berubah hingga akhirnya Sun-popoh terluka parah. Ia bermaksud menolong, namun sudah tidak keburu.

Dan ketika dengan mati-matian Yo Ko berusaha melindungi Sun-popoh, peristiwa ini pun dapat dilihatnya, dalam hati dia pikir anak ini ternyata mempunyai jiwa jantan juga. Maka kini demi nampak anak ini berkata sambil matanya mengembeng air mata, Siao-liong-li lantas meng-angguk-angguk:

“Ya, setiap orang pasti akan mati, itu bukan soal apa-apa.”

Aneh sekali jawabannya ini, padahal semenjak kecil Sun-popoh yang membesarkannya, hubungan mereka boleh dikata laksana ibu dan anak, akan tetapi dasar watak Siao-liong-li memang dingin, ditambah lagi semenjak kecil ia sudah berlatih Iwekang, sudah dilatihnya hingga tanpa emosi sedikit pun, sama sekali dia tidak pernah mengunjuk rasa suka-duka atau pun senang dan marah.

Memang luka Sun-popoh yang amat berat itu terang sukar disembuhkan kembali, dengan sendirinya terasa pilu juga olehnya. Akan tetapi rasa duka-pilu ini boleh dikatakan hanya sekilas saja berkelebat di lubuk hatinya untuk kemudian lantas lenyap, air muka gadis ini masih tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.

Di lain pihak, demi mendengar Yo Ko memanggil gadis jelita ini sebagai ‘Liong-kokoh’ (bibi Liong), maka tahulah Hek Tay-thong bahwa gadis cantik ayu yang berada di hadapannya ini bukan lain adalah Siao-liong-li yang pernah mengusir Pangeran Hotu dari Mongol tanpa unjuk diri, keruan ia jadi lebih-lebih heran.

Hendaklah diketahui bahwa sejak Pangeran Hotu ngacir dari Cong-lam-san, peristiwa ini sekejap saja lantas tersiar luas di kalangan Kangouw, meski pun setapak saja Siao-liong-li belum pernah menginjakkan kakinya ke bawah gunung Cong-lam-san, namun namanya ternyata sudah tersohor di dunia persilatan dan disegani setiap orang.

Begitulah dengan perlahan Siao-liong-li berpaling kemudian memandang para imam Coan-cin-kau itu satu demi satu. Kecuali Hek Tay-thong yang Iwekang-nya terlatih lebih dalam sehingga hatinya lebih tenang dan tidak gampang terpengaruh, maka imam-imam yang lain semuanya melihat kedua mata bola gadis jelita ini se-akan sebening dan mengkilap seperti air, tapi memancarkan sinar dingin menusuk seperti es, karenanya tanpa tertahan mereka sama bergidik seperti orang kedinginan.

“Bagaimana keadaanmu, Popoh?” tiba-tiba Siao-liong-li tanya Sun-popoh sambil berjongkok untuk memeriksa lukanya.

“Nona,” sahut Sun-popoh dengan menghela napas lemah, “selama hidupku tiada pernah aku memohon sesuatu padamu, sekali pun memohon, kalau sudah kau tolak, tetap saja kau tolak.”

Siao-liong-li adalah gadis yang pintar luar biasa, maka demi mendengar lagu perkataan orang, ia lantas tahu kemana orang hendak berkata.

“Dan sekarang apa yang hendak kau mohonkan kepadaku?” tanyanya kemudian sambil mengerutkan kening.

Sun-popoh meng-angguk-angguk, ia menuding Yo Ko, tapi seketika tak sanggup mengucapkan sesuatu.

“Kau ingin aku menjaga dia?” tanya Siao-liong-li lagi.

“Ya,” jawab Sun-popoh dengan sisa tenaga yang masih ada padanya. “Kau harus menjaga dia seumur hidupnya, jangan kau biarkan dia dihina orang barang sedikit pun. Bagaimana, kau sanggup tidak?”

“Menjaga dia seumur hidup?” mengulangi Siao-liong-li dengan ragu-ragu.

“Ya,” kata Sun-popoh lagi dengan suara keras, “Nona, kalau aku si tua ini tidak mati, aku pun akan menjaga kau seumur hidup. Pada waktu kecilmu, makan, tidur, mandi, ngompol, semua ini apa bukan nenek sendiri yang mengerjakannya? Dan untuk semua ini, balasan apa yang pernah kau limpahkan padaku?”

Karena kata-kata Sun-popoh ini, Siao-liong-li menggigit-gigit bibir, agaknya pertentangan batinnya sedang bekerja hebat.

“Baiklah, aku menyanggupi permohonanmu,” katanya kemudian dengan tegas.

Maka puaslah Sun-popoh oleh jawaban ini, dari mukanya yang jelek itu tampak senyuman lembut, matanya kemudian menatap Yo Ko, rupanya seperti ada sesuatu yang hendak dia katakan pada bocah itu, tetapi napasnya sudah memburu hingga tak sanggup bersuara.

Yo Ko yang cerdik itu tahu maksud si orang tua, maka cepat ia tempelkan telinganya ke mulut orang.

“Popoh, adakah sesuatu yang hendak kau katakan padaku?” tanyanya dengan suara perlahan.

“Mepetlah sedikit Iagi,” pinta Sun-popoh.

Betul juga Yo Ko berjongkok lebih rendah sehingga kupingnya menempel dengan bibir orang.

“Baju kapas yang ku.... kupakai ini harus kau simpan baik-baik, di... di...” demikian kata Sun-popoh dengan suara lemah sekali hingga akhirnya napasnya tak sampai, maka berhenti-lah dia.

Tiba-tiba ia menyemburkan darah segar hingga seluruh muka Yo Ko dan bajunya basah kuyup oleh darah, habis ini Sun-popoh menutup matanya dan menghembuskan napasnya yang terakhir.

“Popoh, Popoh!” Yo Ko menjerit-jerit, ia menggelendot di atas badan orang tua yang telah tak bernyawa itu dan menangis ter-gerung-gerung.

Tangisan Yo Ko ini benar-benar mengharukan sekali dan timbul dari hatinya yang murni. Para imam yang mendengarkan itu mau tidak mau ikut tergerak juga perasaannya, lebih-lebih Hek Tay-thong, ia menjadi menyesal tidak kepalang.

“Popoh,” kata Hek Tay-thong sambil mendekati jenazah Sun-popoh dan memberi hormat, “tak disengaja aku telah menewaskan kau, hal ini sebenarnya bukan tujuanku. Dosa utang jiwa sudah menimpa pada diriku, mana berani aku mengelakkannya. Harap mangkatlah engkau dengan baik dan tenang!”

Mendengar kata orang yang se-akan sedang sembahyang ini, Siao-liong-li hanya berdiri saja tanpa buka suara. Sehabis Hek Tay-thong berkata, kemudian mereka berdua lantas saling berhadapan dan saling pandang.

“Bagaimana? Kau tidak lantas bunuh diri, apa perlu aku sendiri yang turun tangan?” kata Siao-liong-li tiba-tiba dengan mengkerutkan kening.

Hek Tay-thong terhitung imam yang beribadat tinggi, akan tetapi demi mendengar kata-kata Siao-liong-li tadi, tidak urung ia melengak juga.

“Ha, apa?” ia menegas.

“Apa?” kata Siao-liong-li mengejek “Hm, bunuh orang harus ganti jiwa, maka lekaslah kau bunuh diri supaya urusan menjadi selesai, dengan begitu aku lantas ampuni jiwa semua orang di kuilmu ini.”

Keruan kata-kata yang luar biasa ini seketika membikin suasana menjadi gempar, sebelum Hek Tay-thong buka suara, para imam yang lain sudah pada ribut. Sementara itu di pendopo depan sudah berkumpul imam Coan-cin-kau sebanyak tiga-empat puluh orang, seketika juga mereka pada balas mendamperat be-ramai-ramai atas ucapan Siao-liong-li yang tak pantas tadi.

“Eh, nona cilik, lekas kau pergi saja, kami tidak akan merintangi kau lagi!”

“Hm, perempuan sekecil ini, berani betul kau mengoceh seenaknya!”

Begitulah antara lain kata-kata yang terdengar diucapkan para imam itu. Mendengar kawannya mengeluarkan kata-kata kurang hormat, lekas Hek Tay-thong memberi tanda supaya diam.

Di lain pihak Siao-liong-li ternyata anggap sepi saja berisik imam-imam tadi. Dengan perlahan ia keluarkan segulung sutera putih yang halus tipis dari dalam bajunya. Semua orang menjadi heran lantas saling pandang. Mereka tidak tahu hendak digunakan apakah sutera putih ini.

Tetapi lantas tertampak Siao-liong-li menjereng kain suteranya. Ia masukkan potongan kain putih itu pada tangan kirinya, lalu tangan yang kanan dipakainya pula kain putih yang lain., Kiranya kain sutera putih itu adalah sepasang sarung tangan.

“Nah, imam tua, kalau kau tamak hidup dan takut mati, kalau kau tidak berani bunuh diri, maka bolehlah kau loloskan senjatamu sekarang!” dengan suara perlahan Siao-liong-li menantang.

Hek Tay-thong tersenyum sedih atas tantangan Siao-liong-li ini. “Sudahlah, aku telah salah mencelakai Sun-popoh, maka tak ingin bertengkar dengan kau lagi, bolehlah kau membawa Yo Ko pergi dari kuil ini,” katanya kemudian.

Menurut jalan pikiran Hek Tay-thong, biar pun Siao-liong-li dapat mengusir pangeran Hotu sehingga namanya terkenal di kolong langit, tapi betapa pun juga mengandalkan kekuatan tawon putih piaraannya. Dalam usia semuda ini, sungguh pun ilmu silatnya mendapatkan ajaran guru kosen juga tak akan letih kuat dari pada Sun-popoh. Oleh karena itu, kalau dia mengijinkan Siao-liong-Ii pergi sambil membawa Yo Ko, boleh dikatakan ia ingin urusan ini menjadi damai dan tidak terjadi percekcokan lagi, jadi sebenarnya ia sudah berlaku murah hati.

Tapi siapa tahu, kata-katanya tadi seperti tidak didengar oleh Siao-Iiong-Ii. Ketika tangan kiri si gadis bergerak, se-konyong-konyong seutas kain sutera putih melayang terus menyambar ke muka Hek Tay-thong.
Gerak serangan ini datangnya terlalu cepat dan tanpa suara, sebelumnya pun tidak ada tanda-tanda Siao-liong-li hendak melontarkan serangan, di bawah sorotan sinar api lilin, ujung selendang sutera itu tampak pula terikat dengan sebuah bola kecil berwarna emas.

Melihat tipu serangan orang yang demikian cepat, pula senjata yang dipakai ini aneh luar biasa, seketika itu Hek Tay-thong menjadi bingung, dia tidak tahu cara bagaimana harus menangkisnya. Tapi usianya sudah lanjut, dengan sendirinya segala sesuatu dia lakukan dengan sangat tenang, meski dia yakin kepandaian sendiri lebih tinggi beberapa kali lipat dari lawannya, namun tak berani juga ia sambut serangan tadi. Maka dengan mengegos saja ia berkelit ke kiri.

Di luar dugaan, selendang sutera Siao-liong-li yang membawa senjata di bagian ujung itu ternyata dapat memutar di tengah udara. Ketika Hek Tay-thong berkelit ke kiri, tahu-tahu selendang sutera ini pun ikut mengarah ke kiri, maka terdengarlah suara “ting-ting-ting” tiga kali, bola kecil yang terikat pada ujung selendang itu tiba-tiba berbunyi sendiri tiga kali terus menutul ke mukanya mengarah tiga tempat Hiat-to.

Cara menyerang tiga tempat sekaligus ini cepat dan jitu, sekali pun Hek Tay-thong sudah memiliki banyak pengalaman, belum pernah juga dilihatnya, apa lagi di antara serangan itu terseling pula bunyi “ting-ting” yang nyaring, meski tidak keras suaranya, namun aneh sekali hingga hati orang terguncang.

MELANGGAR PERATURAN

Dalam kagetnya oleh perubahan serangan ini, Hek Tay-thong cepat-cepat mendoyongkan tubuhnya ke belakang hingga melengkung, dia keluarkan gerakan ‘thi-pan-kio’ (jembatan papan besi) dan membiarkan bola di ujung selendang sutera itu menyambar lewat di atas hidungnya. Tetapi dia kuatir pula bola emas itu mendadak mengetok lagi ke bawah, maka pada waktu tubuhnya mendoyong ke belakang, mendadak dia menggeser tubuh ke samping.

Ilmu silat Hek Tay-thong sudah terlatih sampai tingkatan yang bisa dilakukan sekehendak hatinya, maka gerakan ke samping ketika tubuhnya mendoyong itu tidak sulit baginya. Karena gerakan ini rupanya tidak tersangka juga oleh Siao-liong-li, maka terdengarlah suara “ting” satu kali, bola emasnya ternyata benar telah mengetok tanah.

Dengan bola emasnya ini, biasanya Siao-liong-li dapat mengetok Hiat-to orang secara be-runtun dan susul-menyusul dengan jitu sekali. Sekarang melihat Hek Tay-thong sanggup meluputkan diri di waktu terancam bahaya, mau tidak mau dalam hati Siao-liong-li memuji ketangkasan imam Coan-cin-kau yang hebat ini.

Ketika Hek Tay-thong bisa berdiri tegak lagi, tampaklah mukanya berubah kecut. Di antara para imam yang menyaksikan gebrakan tadi, semuanya segera menjadi geger. Para imam itu jika bukan anak murid Hek Tay-thong tentulah murid-murid keponakannya, terhadap ilmu silatnya biasanya boleh dikata kagum tidak terhingga, namun demi melihat caranya menghindari serangan orang, meski belum sampai terluka, tetapi jelas mengelak dengan ter-gopoh-gopoh, terang sedang dalam keadaan terdesak hebat. Dengan kuatir segera ada empat imam lain mengayunkan pedang mereka untuk merintangi Siao-liong-li.

“Ya, sejak tadi seharusnya kalian gunakan senjatamu!” terdengar Siao-liong-li menyambut.

Kemudian, begitu kedua tangannya bergerak, tahu-tahu kedua ujung selendang suteranya seperti ular perak saja me-lingkar-lingkar ke depan dan terdengarlah bunyi suara “ting-ting” dua kali, bahkan menyusul berbunyi pula dua kali, tahu-tahu tempat ‘tay-yan-hiat’ di pergelangan tangan keempat imam itu kena ditotok semua oleh bola emas, senjata mereka pun berjatuhan ke tanah hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring.

Karena serangan serentak yang langsung mematahkan semua tusukan empat imam itu, keruan imam yang lain menjadi jeri dan ternganga, tidak ada lagi yang berani coba-coba ikut turun tangan.

Semula Hek Tay-thong menyangka Siao-liong-li tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, siapa tahu, hanya satu kali gebrakan saja dirinya sudah hampir kecundang. Tanpa terasa timbul juga rasa marahnya, segera dari tangan salah seorang anak muridnya ia ambil sebatang pedang, ia hendak tempur orang lagi dengan senjata.

“llmu kepandaian Nona ternyata betul-betul hebat, nyata Pinto (imam miskin, sebutan diri sendiri kaum Tosu) sudah berlaku kurang hormat dan salah duga, Baiklah, mari sekarang biar Pinto minta petunjuk beberapa gebrakan yang hebat,” demikian ia berkata.

Siao-liong-li tidak menjawab melainkan hanya meng-angguk-angguk, kemudian kembali terdengar “ting-ting” dua kali, selendang suteranya tiba-tiba menyambar dari kiri ke kanan. Kalau diurut menurut tingkatan, sebenarnya Hek Tay-thong masih lebih tinggi satu tingkat dari pada Siao-liong-li, maka waktu mulai bergebrak seharusnya Siao-liong-li menghormati kaum yang lebih tua dan mengalah dulu diserang tiga kali.

Akan tetapi kesemua ini ternyata tidak dihiraukan olehnya, begitu maju malah dia lantas menyerang lebih dulu dengan tipu yang mematikan, segala peraturan Bu-lim atau dunia persilatan dianggap sepi saja.

“Meski ilmu silat gadis ini mempunyai titik kelihayan tersendiri, tetapi dia tidak paham apa-apa tentang etika kangouw, terang ia kurang berpengalaman dalam pertempuran, meski kepandaiannya tinggi, tidak akan melebihi aku,” demikian Hek Tay-thong berpikir.

Karena itu segera pedangnya bergerak, dia keluarkan Kiam-hoat dari Coan-cin-pay yang tiada bandingannya itu, dia layani sambaran selendang sutera putih Siao-liong-li dengan sama cepat dan sama lihaynya.

Imam-imam yang lain menonton di samping dengan penuh perhatian. Di bawah sinar lilin yang ber-goyang, kelihatanlah satu gadis jelita berbaju putih sedang menempur seorang imam tua dengan jubah kelabu, yang satu cantik molek, yang lain tua ubanan, dan terlihat pertarungan mereka makin lama makin seru.

Kalau soal Kiam-hoat, karena Hek Tay-thong sudah melatih ilmu pedang selama puluhan tahun, sebenarnya di dalam Coan-cin-kau dia terhitung jago nomor tiga atau empat, tetapi kini sudah beberapa puluh jurus saling gebrak dengan Siao-liong-li, sedikit pun ternyata dia tidak bisa memperoleh keunggulan.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar