Jumat, 04 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 025

Sekali ini Sun-popoh tak berani pandang enteng lawannya. Ia mengegos ke samping, kemudian sekonyong-konyong sebelah kakinya tanpa kelihatan bergerak dan tahu-tahu sudah melayang menendang. Dikatakan tidak kelihatan oleh karena itu adalah ‘kun-lay-tui’ atau kaki tersembunyi di dalam Kun (gaun panjang), yaitu kain yang dia pakai hingga menutupi seluruh kakinya.

Sebagai jago Coan-cin-kau angkatan ke tiga, tentu saja Ci-keng tidak gampang diserang. Ketika mendadak mendengar menyambarnya angin, segera ia bermaksud menghindarkan diri. Tapi tanpa tersangka, tiba-tiba lukanya yang diantup tawon itu luar biasa gatalnya, tanpa dapat menahan lagi dia menjerit sambil pegang kepalanya terus berjongkok, keruan tidak ampun lagi, justru pada waktu ia menjerit dan berjongkok, kaki Sun-popoh yang melayang itu dengan tepat mengenai iganya. Karena tendangan keras ini Ci-keng sampai mencelat ke udara, tapi meski pun demikian, selagi terapung di udara dia masih men-jerit-jerit saking gatalnya.

In Ci-peng menjadi kaget oleh kejadian itu, lekas ia melayang ke atas menangkap tubuh Ci-keng agar tidak terbanting, kemudian ia turunkan tubuh sang Suheng dengan perlahan. Sesudah itu ia lantas memberi tanda pada imam-imam lain buat mengepung maju, maka seketika itu terpasanglah barisan bintang ‘Pak-tau-tin’ yang maha lihay dari Coan-cin-kau.

Sun-popoh tidak kenal akan jaringan barisan lawan, maka sesudah menangkis beberapa kali rangsekan musuh, segera ia mengerti kelihayannya, ditambah lagi sebelah tangannya harus membopong Yo Ko, dia hanya dapat melayani musuh dengan sebelah tangan saja, maka hanya belasan gebrak saja dia sudah kewalahan sehingga berulang-ulang terancam bahaya. Oleh karena tiada jalan lain, terpaksa Sun-popoh letakkan Yo Ko ke bawah, lalu dengan kedua tangannya ia papaki lawan. Tapi tiba-tiba terdengar suitan dari barisan Pak-tau-tin lawan, menyusul ada dua imam menyerobot maju hendak menangkap Yo Ko.

Sun-popoh menjadi kaget, diam-diam ia mengeluh.Barisan bintang lawan ini sulit dipatahkan, dirinya terang tak ungkulan buat melawan. Karena itu, di samping kakinya dipergunakan menendang kedua imam yang hendak menawan Yo Ko, berbareng pula dari mulutnya mendadak mengeluarkan suara mendengung.

Suara “ngung-ngung” itu mula-mula hanya perlahan saja, karena itu para imam tidak menaruh perhatian, namun lama kelamaan suara mendengungnya menjadi keras, lambat laun para imam itu merasa tidak enak sekali oleh suara itu, semakin lama semakin susah menahan hingga akhirnya banyak yang mendekap kuping dengan tangan, sebab itu daya serangan mereka ikut terpengaruh dan menjadi kendur.

Di antara imam-imam itu hanya In Ci-peng seorang yang selalu berlaku waspada dalam menghadapi Sun-popoh. Ia cukup kenal kepandaian cianpwe yang tinggal dalam kuburan kuno itu, yang satu tingkatan dengan kakek gurunya, Tiong-yang Cosu, dengan sendirinya orang keturunannya pasti bukan kaum lemah. Maka semenjak mendengar suara “ngung-ngung” yang tercetus dari mulut Sun popoh, Ci-keng menyangka orang sedang menggunakan ilmu gaib sebangsa hipnotis, maka ia telah pusatkan seluruh semangatnya dan menanti segala kemungkinan.

Tanpa terduga, meski sudah lama suara “ngung-ngung” itu terdengar, walau pun semakin keras juga, tetapi perasaan mau pun semangatnya sama sekali tak menjadi goyah. Tentu saja dia merasa heran. Selagi dia merasa aneh, mendadak dia ingat pula akan sesuatu, tanpa tertahan luar biasa terkejutnya. Karena itu segera ia hendak perintahkan kawannya lekas mundur, akan tetapi sudah terlambat. Dari jauh terdengar berkumandang suara “ngung-ngung” yang riuh dan keras dari pada suara mendengung yang keluar dari mulut Sun-popoh.

“Celaka, lekas kita lari!” seru Ci-peng cepat.

Tentu saja imam yang lain menjadi heran, mereka tertegun oleh teriakan Ci-peng, dalam hati mereka tidak habis mengerti, sebab sudah terang mereka berada di atas angin, mengapa tiba-tiba Ci-peng ber-teriak dan takut pada wanita tua yang jelek ini?

Sementara itu, se-konyong-konyong segumpal bayangan kelabu berkelebat, serombongan tawon putih menyambar keluar dari hutan terus menubruk ke atas kepala para imam. Karena telah menyaksikan penderitaan Ci-keng yang disengat tawon, para imam itu takut bukan buatan demi nampak kawanan tawon putih yang datang menyambar itu. Serentak mereka memutar tubuh lari terbirit-birit. Dengan cepat kawanan tawon putih itu pun mengejar.

Melihat larinya musuh dan tahu bahwa para imam itu tidak bakal sanggup melepaskan diri dari antupan tawonnya, Sun-popoh bergelak ketawa senang. Tanpa terduga, mendadak tampil ke depan satu imam tua di antara para imam yang lari kesetanan itu. Tangan imam tua itu membawa dua obor yang coraknya amat aneh, tiba-tiba obor itu diayun ke depan, seketika obor itu menyala lebih hebat dan dari ujung api obor yang membakar itu mengepulkan asap yang sangat tebal.

Oleh karena asap tebal ini seketika barisan tawon putih itu menjadi kacau. Dengan cepat pula mereka terbang kembali. Sun-popoh terkejut sekali oleh perubahan hebat dan cepat ini. Waktu ia mengamat-amati imam tua itu, ia lihat rambut orang sudah putih, begitu pula alisnya, raut mukanya lonjong, melihat rupanya tentulah jago tinggi dari Coan-cin-kau.

“Hai, siapakah kau imam tua ini? Mengapa kau berani menghalau tawonku?” segera Sun-popoh membentak.

“Aku bernama Hek Tay-thong, terimalah hormatku, Popoh!” imam tua itu menyahut sambil tertawa.

Walau pun Sun-popoh selamanya tidak pernah bergaul di kalangan Bu-lim, akan tetapi karena letak Tiong-yang-kiong hanya berdampingan saja dengan tempat kediamannya, maka ia pun kenal nama Hek Tay-thong yang termasuk satu di antara tujuh murid utama Ong Tiong-yang, cikal bakal Coan-cin-kau.

Karenanya ia menjadi kaget demi mendengar nama orang. Ia pikir imam semacam In Ci-peng saja ilmu silatnya tidak lemah, maka sudah tentu imam tua ini lebih susah dilawan. Sementara itu hidungnya mencium pula bau sumpek dari asap tebal yang terhembus dari obor hingga terasa ingin muntah, pula kawanan tawon sudah tidak bisa diandalkan lagi sebagai bantuan. Melihat gelagat jelek, diam-diam ia mencari jalan buat mundur teratur.

“Eh, Khu Ju-ki, Ong Ju-it, kalian ikut datang juga? Hayolah maju sekalian, aku Sun-popoh tidak merasa gentar!” demikian tiba-tiba ia berkata dengan tertawa sambil menuding ke belakang Hek Tay-thong.

Tentu saja Hek Tay-thong tertegun, “He, kenapa kedua Suheng Khu dan Ong telah datang juga?” demikian ia membatin.

Di luar dugaan, ketika ia menoleh, mana ada bayangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it? Waktu ia berpaling kembali, orang yang berhadapan dengannya tadi sudah menghilang, yang terdengar hanya suara bergelak ketawa panjang yang berkumandang dari tengah hutan, nyata Sun-popoh dan Yo Ko sudah pergi jauh dengan jalan mengakali dirinya.

“Kita harus kejar atau tidak? Hek-susiok,” tanya In Ci-peng.

Hek Tay-thong menggelengkan kepala, “Tidak usah,” sahutnya kemudian, “Cosuya sudah menentukan peraturan keras yang melarang kita masuk ke hutan itu, mari kita kembali untuk berunding.”

Sementara itu dengan menggandeng Yo Ko, Sun-popoh sudah berada kembali di dalam kuburan kuno. Setelah mengalami peristiwa tadi, hubungan keduanya bertambah erat. Dalam hatinya Yo Ko masih kuatir kalau Siao-liong-li tetap tidak mau menerima dia untuk tinggal bersama.



“Jangan kuatir, pasti akan kumintakan agar ia suka menerima kau,” ujar Sun-popoh untuk membesarkan hati anak itu.

Yo Ko lantas disuruh menunggu dan mengaso dahulu di kamar depan, ia sendiri lalu pergi bicara dengan Siao-liong-li. Akan tetapi lama sekali ditunggu masih belum nampak Sun-popoh kembali, keruan Yo Ko menjadi tambah kuatir dan tak sabar.

“Terang bibi Siao-liong-li tidak mau terima aku disini, sekali pun Sun-popoh bisa memaksa padanya agar suka menerima, tetapi hidupku di sini selanjutnya jadi tidak menarik lagi,” demikian Yo Ko pikir. Dan sesudah ia pikir lagi berulang-ulang, akhirnya ia ambil keputusan dan diam-diam berjalan keluar sendiri.

Namun baru saja ia melangkah keluar kamar, tiba-tiba Sun-popoh telah kembali dengan ter-gesa-gesa.

“Kau hendak ke mana?” tanya orang tua itu.

“Popoh,” jawab Yo Ko dengan suara lesu, “biarlah aku pergi saja, kelak kalau aku sudah besar, nanti aku datang lagi menyambangi engkau.”

“Tidak, jangan kau pergi sendiri,” kata Sun-popoh cepat, “biar aku mengantarmu ke tempat lain, agar orang tak bisa menghina kau lagi.”

Mendengar kata-kata ini, tahulah Yo Ko bahwa Siao-liong-li ternyata benar-benar tidak mau menerima dirinya tinggal di situ. Karenanya hatinya menjadi sedih.

“Sudahlah, tidak perlu lagi,” sahutnya kemudian dengan kepala menunduk. “Memang aku adalah anak nakal, kemana saja pasti tidak ada orang yang mau terima diriku. Sudahlah, jangan Popoh repotkan diri lagi.”

Sun-popoh ini berwatak keras lurus. Tadi ia telah berdebat setengah harian dengan Siao-liong-li urusan penerimaan Yo Ko. Karena Siao-liong-li tetap berkeras tak mau menerima, hati orang tua ini menjadi amat mendongkol, dan sekarang melihat lagi Yo Ko yang harus dikasihani, seketika darah panasnya menjadi bergolak.

“Tidak, nak, orang lain tidak suka padamu, tetapi Popoh justru menyukai kau,” demikian katanya penuh rasa sayang, “Marilah kau ikut, tidak peduli ke mana saja, selalu Popoh akan berada di sampingmu.”

Tentu saja Yo Ko sangat girang, cepat-cepat ia gandeng tangan orang tua itu, lalu mereka berdua keluar lagi dari pintu kuburan. Dalam marahnya Sun-popoh ternyata tidak membekal barang-barang lain mau pun pakaian lagi, dan ketika dia merogoh sakunya, tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah botol kecil. Dia menjadi teringat botol ini berisi madu tawon yang tadinya dimaksudkan akan diberikan kepada Thio Ci-keng.

Terpikir pula olehnya bahwa meski pun imam itu jahat, tetapi dosanya masih belum perlu harus sampai mati, apa bila madu tawon ini tidak diminum, tentu luka antupan tawon yang dideritanya itu sukar sembuh kembali. Karena pikiran ini, dengan tangan kiri memondong Yo Ko, lalu berangkatlah dia menuju ke Tiong-yang-kiong.

Tatkala itu sebagian Tiong-yang-kiong sudah diperbaiki. Walau pun hanya sebagian kecil saja yang pulih dan jauh sekali kalau dibandingkan dengan kemegahan yang dulu, namun sedikitnya sudah ada rumah genting dan kamar papan.

Sementara itu demi mengetahui dirinya dibawa Sun-popoh ke Tiong-yang-kiong, Yo Ko menjadi kaget.

“He, Popoh, untuk apa lagi kau ke sana?” tanyanya cepat dengan suara perlahan.

“Mengantar obat untuk gurumu,” sahut Sun-popoh.

Sementara itu Tiong-yang-kiong yang dituju sudah berada di hadapan mereka. Sesudah dekat, segera Sun-popoh melompat ke atas pagar tembok, dari sini ia hendak melompat turun ke pelataran bagian dalam. Tetapi sebelum ia melompat turun, mendadak suasana gelap dan sunyi itu digemparkan oleh bunyi genta yang keras dan ramai sekali, menyusul dari jauh mau pun dekat hanya terdengar suara suitan belaka.

Dengan kejadian mendadak ini, insaflah Sun-popoh kalau dirinya telah terjebak dalam kepungan musuh. Sungguh pun ilmu silatnya tinggi dan nyalinya besar, namun tak urung ia merasa jeri juga.

Harus diketahui bahwa Coan-cin-kau adalah sebuah aliran persilatan terbesar di kalangan Bu-lim. Penjagaan yang dilakukan di tempat mereka ini biasanya amat keras, terlebih lagi beberapa hari belakangan ini selalu ada orang datang mencari setori, maka sudah tentu penjagaan semakin diperkuat dan di mana pun terdapat orang.

Kini ada orang melompati pagar tembok, seketika genta dibunyikan sebagai tanda bahaya. Dengan tanda ini bukan saja semua anak murid Coan-cin-kau yang berada di dalam istana langsung keluar memapak musuh dalam berbagai kelompok, bahkan tidak sedikit pula para imam yang menyebar jauh keluar, pertama untuk mengepung musuh yang berani menyerbu tempat mereka, kedua untuk merintangi bala bantuan musuh yang datang belakangan.

Demikianlah, demi nampak suasana yang berobah menjadi hebat ini, mau tidak mau Sun-popoh merasa kebat-kebit juga.

“Hai, Thio Ci-keng, lekaslah kau keluar, aku ingin bicara dengan kau,” demikian dia lantas berteriak.

Akan tetapi Ci-keng sendiri tidak muncul, sebaliknya dari pendopo tengah sana mendadak keluar satu imam setengah umur.

“Malam buta cianpwe berani masuk ke kuil kami, sebenarnya apakah maksud tujuan?” segera imam itu menegur.

“lni buat Thio Ci-keng, obat penawar racun sengatan tawon,” sahut Sun-popoh, Berbareng ini ia lemparkan botol madu tawon pada orang.

Imam itu ulur tangannya menyambut botol kecil yang dilemparkan, namun ia setengah percaya setengah sangsi. “Buat apa ia berlaku begini baik hati, tadi sudah melukai orang, sekarang berbalik mengantarkan obat?” demikian ia berpikir.

“Obat apakah ini?” kemudian ia bertanya dengan suara keras.

“Tak perlu tanya, asal kau minumkan dia seluruh isinya, tentu kau akan lihat khasiatnya,” sahut Sun-popoh.

“Tetapi dari mana aku bisa tahu kau bermaksud baik atau bertujuan jahat, dan bagaimana pula aku tahu bahwa ini betul-betul obat penawan racun atau malah racun, Thio-suheng sudah kau aniaya begitu rupa, kenapa sekarang kau berbalik berbaik hati hendak menolongnya?” kata imam itu dengan suara bernada curiga.

Dasar watak Sun-popoh memang tulus, mendengar orang mencurigai maksud baiknya, bahkan kata-katanya tidak enak didengar, keruan api amarahnya tidak bisa ditahan lagi, Tiba-tiba ia letakkan Yo Ko ke bawah, kemudian dengan sekali lompat ia mendekati orang, begitu tangannya meraih secepat kilat botol madu tawon tadi telah direbutnya kembali.

“Buka mulutmu!” tiba-tiba ia berkata pada Yo Ko sambil mencopot tutup botol.

Yo Ko menjadi bingung oleh perintah orang yang mendadak ini, tetapi ia menurut juga dan mengangakan mulutnya. Waktu Sun-popoh membalik botol madu tawon itu, maka tertuanglah seluruh isi botol itu ke tenggorokan Yo Ko.

“Nah, enak bukan, mendingan dari pada dicurigai orang sebagai racun,” demikian katanya mencemooh imam itu. “Ko-ji, mari kita pergi!”

Lalu dengan menarik tangan Yo Ko segera ia mendekati pinggir pagar tembok.

SENJATA SELENDANG SUTRA

Rupanya imam tadi dari merasa malu berubah menjadi marah, diam-diam ia pun menyesalkan dirinya yang seharusnya jangan banyak curiga. Kini tampaknya obat yang diantar orang ternyata memang betul-betul obat pemunah, kalau Thio Ci-keng tidak tertolong oleh obat yang jitu, mungkin sukar untuk bertahan sampai besok.

Oleh karena kekuatirannya itu, segera ia melompat ke atas dan mencegat di depan orang sambil pentangkan kedua tangannya,

“Locianpwe, kenapa kau harus marah-marah padaku, aku tadi hanya berkata main-main saja, tapi kau anggap sungguhan,” demikian ia coba membujuk. “Jika memang betul obat penawar, maka mohonlah engkau suka berikan sekarang.”

Akan tetapi Sun-popoh sudah terlanjur menjadi sengit, ia benci pada lidah orang yang tak bertulang, putar balik tidak menentu, maka ia menjawab dengan tertawa dingin.

“Sayang obat tadi hanya ada sebotol saja, ingin lebih banyak sudah tak ada lagi. Hitung-hitung nyawa Thio Ci-keng melayang di tanganmu sendiri,” demikian kata Sun-popoh, berbareng dia membalikkan sebelah tangannya terus menambahi orang dengan sekali tempelengan sambil membentak: “Kau tidak menghormati kaum Cianpwe, kau inilah yang harus dihajar adat!”

Gerakan pukulan ini begitu aneh dan cepat pula, ternyata imam itu tidak mampu berkelit, maka terdengarlah suara “plak” yang keras, dengan tepat sebelah pipinya kena ditampar.

Melihat kawan mereka dihantam, dua imam lain yang menjaga di samping pintu menjadi marah.

“Seumpama betul kau termasuk kaum Cianpwe, mana boleh kau berlaku tidak se-mena-mena di Tiong-yang-kiong!” bentak mereka berbareng, sesudah itu, yang satu memukul dengan tangan kiri dan yang lain dengan tangan kanan, bersama mereka menyerang dari samping.

Sun-popoh sudah pernah kenal lihaynya Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau, maka ia tak berani terlibat dalam pertempuran dengan mereka. Apa lagi kini dirinya sudah masuk ke ‘sarang harimau’, tentu saja ia lebih perlu pakai perhitungan. Maka dengan sekali loncat segera ia melompat ke atas tembok yang lebih tinggi. Tampaknya di atas tembok sana tiada seorang pun. Tapi siapa duga, baru saja ia hendak menancapkan kaki di atas sana, mendadak dari sebelah luar seorang lain meloncat naik memapakinya.

“Turunlah!” bentak orang itu sambil kedua telapak tangannya mendorong dari depan.

Waktu itu Sun-popoh sedang terapung di udara, maka terpaksa dengan tangan kanan ia balas dorongan, karenanya satu tangan saling bentur dengan dua tangan, masing-masing sama tergetar mundur dan turun ke bawah pada kedua sisi tembok. Nampak penyatron terjatuh kembali, segera ada enam atau tujuh imam mengerubut maju. Dengan teriakan ramai mereka mendesak Sun-popoh sampai di pojok dinding.

Para imam ini adalah jago pilihan murid Coan-cin-kau angkatan ke tiga. Agaknya mereka memang sengaja dipilih untuk menjaga pendopo besar kuil mereka, maka dalam sekejap saja, secara bergantian bagaikan ombak saja secara bergelombang mereka merangsak maju beberapa kali.

Sun-popoh terpepet di pojok tembok. Ia bermaksud menarik Yo Ko lalu menerjang keluar, akan tetapi barisan yang telah dipasang kuat oleh para imam itu tetap menahan dia pada tempatnya. Sudah beberapa kali Sun-popoh berusaha menerjang lagi, namun selalu dapat didesak mundur kembali.

Sebenarnya kalau Sun-popoh seorang diri saja, maka kepandaian para imam ini se-kali-kali tidak akan bisa merintanginya, cuma sekarang ia juga harus membagi perhatiannya untuk melindungi Yo Ko, maka ilmu kepandaiannya menjadi tak bisa dikeluarkan seluruhnya.

Sesudah belasan jurus lagi, Thio Ci-kong, adik seperguruan Thio Ci-keng yang ditugaskan mengepalai penjagaan pendopo depan, ketika mengetahui lawan sudah tak berdaya lagi, segera ia memberi perintah menyalakan api lilin. Sejenak kemudian tampaklah belasan lilin raksasa sudah menyala terang di seluruh ruang pendopo itu, muka Sun-popoh yang tersorot api lilin itu tampak pucat seram, mukanya yang memang jelek kini kelihatannya lebih menakutkan lagi.

“Jaga rapat dan berhenti dulu menyerang,” tiba-tiba Thio Ci-kong berseru.

Karena itu, ketujuh imam yang mengerubuti Sun-popoh tadi segera melompat mundur ke belakang, tetapi mereka masih bersiap dan menjaga di tempat masing-masing dengan kuat.

Sesudah kepungan musuh menjadi kendur, Sun-popoh menarik napas lega. “Hm, nama Coan-cin-kau yang amat disegani di seluruh jagat nyata bukan omong kosong belaka,” demikian dia masih mengejek “Coba, belasan orang muda kuat secara bersama-sama mengerubuti seorang nenek yang loyo serta seorang anak kecil, hm, hm, sungguh lihay, sungguh hebat!”

Muka Thio Ci-kong menjadi merah oleh ejekan orang. “Kami tidak pandang apa kau orang tua atau dia anak kecil,” demikian ia coba menjawab, “kami hanya ingin menangkap penyatron yang berani terobos di Tiong-yang-kiong kami, baik kau nenek-nenek atau pun laki-laki sejati, kalau sudah berani masuk ke sini dengan tubuh tegak, maka sedikitnya harus keluar dengan tubuh membungkuk.”

“Hm, apa artinya tubuh membungkuk?” sahut Sun-popoh dengan tertawa dingin, “Apa kau maksudkan nenekmu yang tua ini harus merangkak keluar dari sini, ya bukan?”

Tadi Ci-kong sempat merasakan tempelengan orang tua ini yang sampai sekarang masih terasa sakit, sudah tentu dia tidak mau selesai dengan begitu saja.

“Jika kau ingin pergi bebas, itu pun tidak sukar, asal kau mau menuruti tiga syarat kami,” demikian katanya kemudian, “Pertama, kau telah melepaskan tawon hingga mencelakai Thio-suheng, maka obat penawarnya tadi harus kau tinggalkan. Kedua, bocah ini adalah murid Coan-cin-kau, jika tidak mendapat ijin Cosuya, mana boleh dia melepaskan diri dari ikatan perguruan secara gampang, maka dia harus kau tinggalkan juga di sini. Dan ketiga, kau telah berani menerobos masuk Tiong-yang-kiong, maka kau harus menjura di depan pemujaan Tiong-yang Cosu untuk minta maaf.”

“Ha-ha-haa,” tiba-tiba Sun-popoh menjawab dengan gelak-ketawanya, “Memang sudah sejak dulu aku katakan kepada Siao-liong-li kami bahwa para imam Coan-cin-kau tidak ada satu pun yang berguna, nah, buktinya apa sekarang, kapan perkataan nenekmu pernah salah? Baiklah, segera aku berlutut dan menjura minta maaf padamu.”

Sambil berkata, betul juga ia lantas membungkuk hendak berlutut. Tindakan orang tua ini justru sama sekali tak diduga Thio Ci-kong sebelumnya, karena itu ia menjadi tertegun, sementara ia melihat Sun-popoh betul-betul telah bertekuk lutut dan pada saat itu juga sekonyong-konyong berkelebatlah sinar mengkilap, tahu-tahu sebuah Am-gi atau senjata rahasia menyambar ke arahnya.

“Hayaaa!” teriak Ci-kong saking kaget.

Lekas juga ia hendak berkelit, akan tetapi menyambarnya Am-gi itu ternyata secepat kilat, tanpa ampun lagi tepat menancap di pundak kirinya. Kiranya itu adalah sebuah anak panah kecil yang dipasang pada punggung di dalam baju, asal orangnya menundukkan kepala, maka anak panah itu lantas menjeplak kemudian menyambar keluar dengan cepat hingga sukar untuk menghindarinya.

Untung Sun-popoh tiada maksud hendak mengarah jiwanya, maka orang tua itu sengaja bikin menceng tempat yang dia incar, ia tidak arahkan tenggorokan melainkan menancap di pundak lawan.

Melihat Ci-kong kena senjata, para imam yang lain menjadi kaget tercampur marah, segera mereka membentak lalu serentak menghunus senjata. Semua imam Coan-cin-kau biasanya memakai senjata pedang, oleh karena itu sesaat di seluruh pelataran hanya tertampak sinar pedang belaka yang kemilauan.

Tapi Sun-popoh hanya berdiri dengan tenang saja sambil bersenyum dingin. Dalam hati ia insaf juga bahwa urusan hari ini tentu akan runyam, tapi dasar wataknya memang keras, seperti jahe saja, makin tua semakin pedas, maka tak akan ia sudi menyerah pada orang.

“Kau takut tidak, nak?” tiba-tiba ia berpaling menanya Yo Ko.

Melihat pedang para imam yang begitu banyak, diam-diam Yo Ko sedang berpikir: “Jika Kwe-pepek yang berada di sini, meski imam-imam busuk ini lebih banyak lagi, tidak akan aku takut Tapi kini hanya mengandalkan kepandaian Sun-popoh saja, terang kami berdua tak akan bisa meloloskan diri.”

Maka waktu ditanya Sun-popoh, dengan suara keras ia lantas menjawab: “Popoh, biarkan mereka membunuh diriku saja. Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan engkau, lekas engkau pergi saja dari sini.”

Mendengar kata-kata anak yang kepala batu ini, pula selalu memikirkan keselamatan dirinya, keruan Sun-popoh semakin sayang dan kasihan pada Yo Ko.

“Tidak, biarlah Popoh ikut bersama kau mati di sini, supaya para imam busuk ini puas,” demikian jawabnya dengan suara lantang.

Habis ini, mendadak ia membentak sekali: “Kena!”

Se-konyong-konyong dia ulur tangannya, pergelangan tangan dua imam segera kena dicekalnya. Pada saat ia menekuk dan memuntir tangan orang, tahu-tahu kedua pedang imam itu sudah berpindah tangan, telah kena direbut Sun-popoh.

“Kau berani tidak melabrak imam-imam busuk ini, nak?” tanya Sun-popoh sambil memberikan sebatang pedang rampasannya itu kepada Yo Ko.

“Sudah tentu aku tidak takut,” sahut Yo Ko. “Cuma sayang di sini tak ada orang luar yang menyaksikan kejadian ini.”

“Orang luar apa?” tanya Sun-popoh tak mengerti.

“Bukankah nama Coan-cin-kau tidak ada bandingannya di seluruh jagat ini?” kata Yo Ko. “Bukankah sangat sayang kalau tiada orang luar yang menyiarkan cara mereka menghina dan mengeroyok seorang nenek dan satu anak kecil seperti sekarang ini?”

Nyata meski usia Yo Ko masih sangat muda, tetapi ia sangat cerdik. Tadi ia mendengar Sun-popoh adu mulut dengan Thio Ci-kong, segera ia paham di mana letaknya titik berat perdebatan mereka, maka dengan sengaja ia mengolok-olok nama baik Coan-cin-kau.

Suaranya memang nyaring dan melengking sebagaimana suara anak-anak, maka kata-kata-nya tadi semuanya dapat didengar para imam yang berada dipendopo itu hingga ada sebagian besar merasa malu diri oleh sindiran itu. Mereka pikir apa bila harus mengeroyok seorang nenek dan seorang anak, sesungguhnya hal ini memang tidak patut.

“Biar aku pergi melaporkan kepada Ciangkau Cosu (guru besar pejabat ketua) dan minta petunjuknya,” segera terdengar ada di antara mereka yang berbisik-bisik.

Akan tetapi Thio Ci-kong ternyata berpikir lain. Ia sudah terluka oleh Am-gi di pundaknya, ketika anak panah hendak dia cabut, barulah dapat diketahui bahwa ujung anak panah itu ternyata berujung pancing yang membalik, kalau sudah nancap, semakin hendak dicabut semakin terasa sakit. Karenanya dia menjadi kuatir kalau anak panah itu berbisa. Dia pikir kalau tidak menawan wanita tua ini dulu dan menggeledah obat pemunahnya, mungkin jiwanya bisa melayang.

“Tidak, tangkap dia dulu, kemudian baru lapor Ciangkau Cosu dan minta keputusannya,” begitulah dengan cepat ia mencegah, Lalu dengan suara keras ia membentak lagi: “Hayo, para Sute, maju bersama dan tawan dia!”

Akibat pikiran Thio Ci-kong yang sesat inilah, kelak telah menimbulkan banyak peristiwa-peristiwa. Tatkala itu Ma Giok sendiri sedang bertapa di sebuah gubuk yang didirikan di atas bukit di belakang Tiong-yang-kiong yang jauhnya belasan li, sebab itu semua urusan keagamaan sudah diserahkan pada In Ci-peng. Apa bila Ma Giok sendiri tahu Sun-popoh menerjang masuk istana mereka itu, tentu ia selesaikan urusan itu dengan kata halus dan mencegah anak muridnya berbuat kurang hormat pada orang tua.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar