Kamis, 03 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 024

Kembali pada Yo Ko tadi, setelah dia tergelinding masuk ke dalam hutan dalam keadaan pingsan, entah berapa lama sudah lewat, ketika tiba-tiba terasa tubuhnya kesakitan seperti ditusuk sesuatu. Saking sakitnya ia membuka mata, maka tampaklah tawon putih yang tidak terhitung banyaknya sedang beterbangan mengitari tubuhnya, kupingnya se-akan pekak oleh suara “ngung-ngung” yang berisik dari kawanan tawon itu. Betapa pun Yo Ko memang masih kecil. Sesudah menderita sehari penuh dengan segala siksaan, akhirnya ia tidak sanggup bertahan lagi, kembali ia jatuh pingsan lagi.

Lewat lama sekali, mendadak mulutnya terasa dicekoki semacam cairan yang dingin segar dan harum pula, per-lahan-lahan mengalir masuk tenggorokannya. Dalam keadaan masih setengah sadar ia merasa cairan itu enak sekali, maka per-lahan ia coba membuka mata.

Tetapi dia menjadi begitu kaget ketika terlihat di depannya berdiri seorang nenek berwajah jelek keriput seperti kulit ayam yang penuh borok. Saking kagetnya hampir saja Yo Ko jatuh semaput lagi.

Sementara itu manusia bermuka jelek itu sudah pentang mulut Yo Ko lalu mencekokinya dengan cairan manis tadi. Cairan manis ini adalah madu tawon yang diperoleh dari rombongan tawon putih, yang khasiatnya sangat mujarab menyembuhkan segala macam racun. Maka kalau buat menyembuhkan antupan tawon itu sendiri, sudah tentu lebih mujarab lagi.

Karena itulah Yo Ko merasakan tubuhnya menjadi segar bugar dan ia pun tahu manusia jelek itu tidak bermaksud jahat, maka ia tersenyum sebagai tanda berterima kasih.

Manusia jelek itu pun balas bersenyum, lapi karena senyumannya ini, mulutnya bergerak, otot daging di mukanya ikut terkerut, mukanya yang sudah jelek seketika bertambah lebih jelek sehingga sukar dilukiskan. Kembali Yo Ko terkejut, tetapi aneh, ia merasa dibalik muka orang yang jelek tersembunyi perasaan yang welas-asih. Kalau dibandingkan sikap dingin para imam di Cong-lam-san itu, ia merasa sikap nenek jelek ini membuat dirinya lebih hangat.

“Popoh, jangan kau biarkan Suhu datang menangkap aku,” demikian kemudian ia berkata.

Mendengar bocah ini menyebut dirinya sebagai Popoh atau nenek, wanita tua bermuka jelek itu tampak sangat senang.

“Siapakah Suhu-mu, nak?” tanyanya kemudian.

Mendengar suara pertanyaan yang penuh simpatik ini, Yo Ko menjadi terharu. Perasaan halusnya memang gampang terguncang, sekarang mendengar kata-kata lemah lembut, seketika ia tak sanggup menjawab, malahan ia menangis tersedu-sedu.

Dengan perlahan wanita tua itu pegang tangan Yo Ko. Ia tidak menghiburnya, melainkan membiarkan Yo Ko menangis sepuasnya, wajahnya tetap tersenyum sambil memandang bocah ini dengan kepala miring, di antara sinar matanya penuh mengandung rasa kasih sayang.

“Sudah baikkah kau?” tanya nenek ini kemudian dengan suara halus sesudah Yo Ko puas menangis.

Watak Yo Ko memang suka pada kehalusan dan tidak doyan kekerasan. Kalau orang lain menghantam dia, menghina dia, sekali-kali tidak nanti dia mencucurkan air mata barang setetes pun di hadapan orang. Tapi kini didengarnya suara si wanita tua yang lemah lembut dan penuh simpatik, hatinya semakin terharu kembali ia menangis lagi.

“Sudahlah, anak baik, jangan menangis, jangan menangis! Sebentar lagi tubuhmu takkan sakit lagi,” sambil menghibur, wanita tua jelek itu lantas keluarkan sapu tangannya mengusap air mata Yo Ko. Tetapi semakin dia menghibur, tangis Yo Ko malah semakin keras dan bertambah sedih, oleh karenanya berbalik si nenek merasa kelabakan, bingung tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lebih lanjut.

“Sun-popoh, kenapa kau bikin anak orang menangis begitu rupa?” tiba-tiba terdengar suara orang bertanya, suara halus merdu di luar kerai.

Ketika Yo Ko mengangkat kepalanya memandang, dia melihat sebuah tangan halus putih bersih sedang menyingkap kerai, menyusul masuklah seorang gadis jelita.

Gadis ini mengenakan baju putih mulus terbuat dari sutera halus dengan gaya yang amat menarik. Usianya belum ada dua puluhan tahun, kecuali rambutnya yang kelihatan hitam, selebihnya serba putih pada seluruh badannya. Wajahnya ayu luar biasa, tetapi pada kulit dagingnya tak nampak warna darah sedikit pun, lapat-lapat membawa semacam perbawa yang aneh seperti dewi kayangan saja yang tidak mengenyam daharan keduniawian.
Mendengar orang mengatakan dia menangis, dengan muka merah segera Yo Ko berhenti menangis. Ia menunduk malu, tetapi segera ia melirik lagi pada gadis jelita itu. Ia melihat orang sedang memandang juga padanya, maka cepat ia menunduk kembali.

“Aku sudah kewalahan, engkau saja yang menghiburnya,” demikian terdengar Sun-popoh berkata dengan ketawa.

Gadis jelita itu lalu mendekati pembaringan. Ia lihat luka di jidatnya bekas diantup tawon putih, ia ulur tangannya buat meraba dengan maksud ingin mengetahui apakah Yo Ko demam atau tidak. Begitu tangannya menempel di jidat Yo Ko, tanpa terasa anak ini jadi menggigil, ternyata tangan gadis itu dingin bagai es.

“Tidak apa-apa, tadi kau sudah minum madu tawon, sebentar lagi tentu kau akan sembuh kembali,” demikian kata gadis itu. “Kau bernama siapa, nak?”

Yo Ko tidak lantas menjawab, ia pandang orang dengan mendongak. Pada saat sinar matanya bentrok dengan sinar mata si gadis, dalam hatinya tiba-tiba timbul semacam perasaan aneh yang sukar diucapkan, ia merasa gadis ini luar biasa cantiknya, luar biasa ayunya, tetapi di balik kecantikan itu si gadis tidak mengunjuk perasaan sedikit pun.

Yo Ko menjadi bingung, ia tidak tahu orang sedang marah atau lagi senang, sedang sedih atau girang, maka tanpa terasa ia merasa heran. Ia membatin, gadis ini sebenarnya manusiakah? Setankah atau sebangsa malaikat dewata? Saat ia mendengar suara orang yang nyaring halus itu seperti tidak mengandung perasaan sedikit pun, seketika Yo Ko tak dapat menjawab pertanyaan orang.

“lni adalah Liong-cici, dia adalah tuan rumah di sini, apa yang dia tanyakan hendaklah kau jawab!” demikian terdengar Sun-popoh berkata padanya dengan tertawa.

Kiranya gadis jelita berbaju putih mulus ini memang bukan lain dari pada Siao-liong-li yang menjadi tuan rumah ‘kuburan orang hidup’ (artinya orang hidup tinggal dalam kuburan se-akan sudah mati). Sun-popoh ini adalah pelayan yang dulu mendampingi gurunya Siao-liong-li, tapi semenjak sang guru wafat, dalam kuburan hanya tinggal mereka berdua saja yang hidup berdampingan.



Hari itu mereka mendengar suara mengaungnya tawon putih, mereka pun tahu tentu ada orang melanggar tapal batas tanah kuburan di hutan itu, maka Sun-popoh langsung keluar untuk memeriksanya. Di sana dia dapatkan Yo Ko sudah jatuh pingsan, maka dialah yang telah menolong jiwanya.

Menurut peraturan kuburan kuno itu, sebenarnya orang luar siapa pun tidak diperbolehkan masuk barang setengah langkah pun. Apa lagi laki-laki, hal ini lebih-lebih merupakan pantangan besar. Akan tetapi karena usia Yo Ko masih kecil, lagi pula seluruh badannya terlihat babak-belur bekas luka, meski wajah Sun-popoh amat jelek dan kelihatan bengis, namun hatinya sebenarnya sangat welas-asih, maka dia turun tangan menolong Yo Ko dengan melanggar kebiasaannya.

Demikianlah, sesudah mendapat penjelasan dari Sun-popoh dengan cepat Yo Ko lantas melompat bangun, dia turun dari pembaringan dan berlutut menjura pada Sun-popoh dan Siao-liong-li.

“Tecu Yo Ko dengan ini memberi hormat pada Sun-popoh dan Liong-kokoh,” demikian ia memperkenalkan diri sambil panggil orang sebagai nenek dan bibi.

Keruan Sun-popoh kegirangan dan tertawa lebar, lekas ia membangunkan si bocah,

“hh, kiranya kau bernama Yo Ko. Sudahlah, jangan pakai adat-istiadat segala,” demikian ia berkata.

Hal ini memang pantas, karena sudah beberapa puluh tahun Sun-popoh tinggal di dalam kuburan, selama itu pula tidak pernah bergaul dengan orang luar, kini demi nampak wajah Yo Ko cakap, cekatan dan pintar pula, dalam hati dia menjadi luar biasa menyukainya. Sebaliknya Siao-liong-li ternyata tetap bersikap dingin saja, dia hanya mengangguk sekali, habis ini dia mengambil tempat duduk pada sebuah kursi di tepi ranjang.

“Cara bagaimanakah kau bisa sampai di sini? Dan kenapa terluka? Orang jahat siapakah yang telah menghajar kau sedemikian rupa?” demikian Sun-popoh bertanya lagi. Di mulut ia bertanya, tapi sebelum orang menjawab ia sudah sibuk mengambil makanan dan suruh Yo Ko makan.

Sesudah makan sedikit kue, Yo Ko menceritakan nasib dan asal usul dirinya, dia menceritakan seluruhnya dari awal sampai akhir. Memang Yo Ko pandai bicara, maka ceritanya menjadi sangat menarik, ditambah lagi ia baru saja dihajar orang, dengan sendirinya lagu kata-kata-nya menjadi semakin bernapsu.

Sun-popoh berulang-ulang menghela napas karena terharu oleh nasib bocah ini, malahan kadang ia menimbrung dengan beberapa kata pendapatnya, tapi semua kata yang dia lontarkan ternyata selalu bernada membela Yo Ko, sebentar ia cela Oey Yong yang suka pilih kasih mengeloni puterinya sendiri, sebentar lagi dia memaki Thio Ci-keng yang berpikiran sempit dan tak berbudi dan tega menghajar anak kecil.

Hanya Siao-liong-li masih tetap tidak unjuk sesuatu pendapatnya, ia masih duduk dengan tenang saja, cuma di waktu Yo Ko bercerita pernah bertemu dengan Li Bok-chiu, ia saling pandang beberapa kali dengan Sun-popoh.

“O, anakku yang harus dikasihani!” demikian berulang-ulang Sun-popoh menyebut sambil merangkul Yo Ko sesudah bocah ini selesai menutur.

Sebaliknya Siao-liong-li per-lahan berdiri dan tidak pedulikan keadaan kedua orang yang saling rangkul itu.

“Sudahlah, lukanya sudah tidak berbahaya lagi. Sun-popoh, sekarang kau boleh antar dia pergi!” tiba-tiba ia berkata.

Tentu saja Sun-popoh kaget, begitu pula Yo Ko tercengang. “Tidak, aku tidak mau kembali ke sana, mati pun aku tidak mau kembali kesana!” teriak Yo Ko.

“Kohnio (nona), jika anak ini kembali lagi ke Tiong-yang-kiong pasti akan dihajar lagi oleh gurunya,” kata Sun-popoh membujuk Siao-liong-li.

“Tidak, kau antar dia kembali ke sana, katakan kepada gurunya agar jangan bikin susah anak ini,” sahut Siao-liong-li.

“Ai, ini adalah urusan dalam orang lain, mana bisa kita ikut campur,” ujar Sun-popoh.

“Kau boleh antarkan sebotol Giok-hong-cio (madu tawon putih) dan bicara padanya, tidak mungkin imam tua itu tidak menurut,” kata Siao-liong-li lagi.

Kata-kata Siao-liong-li ini diucapkan dengan suara halus, tapi sebagai majikannya, dengan sendirinya mengandung semacam perbawa yang sukar dibantah. Karena itu Sun-popoh menghela napas, ia cukup kenal tabiat Siao-liong-li yang kukuh, percuma saja meski banyak bicara. Ia tatap Yo Ko pula dengan penuh rasa kasih sayang.

TERBENTUR PERATURAN HOAT-SU-JIN-BONG

Di luar dugaan, se-konyong-konyong Yo Ko melompat maju memberi hormat kepada mereka berdua.

“Terima kasih pada Popoh dan Kokoh yang sudah menyembuhkan lukaku, sekarang aku mohon diri saja,” demikian ia berkata.

“Ke mana kau hendak pergi?” dengan cepat Sun-popoh tanya.

Yo Ko menjadi tertegun oleh pertanyaan ini, karena sebelumnya memang dia tidak tahu akan menuju kemana,

“Dunia masih cukup luas, kemana saja aku bisa pergi,” jawabnya kemudian.

Ia berkata dengan suara ketus, akan tetapi di antara matanya jelas kelihatan mengunjuk perasaan sedih.

“Adik cilik, bukannya aku tidak mau terima kau menginap di sini, tapi sesungguhnya di sini ada peraturan keras yang melarang orang luar datang kemari, jadi hendaklah kau jangan menyesal,” demikian Siao-liong-li berkata padanya.

“Kokoh jangan bilang begitu, kelak kita berjumpa lagi,” sahut Yo Ko dengan lantang.

Walau pun dia berkata menirukan lagak orang tua, tetapi karena suaranya masih kekanak-kanakan maka kedengarannya amat lucu. Sun-popoh merasa geli juga sekaligus kasihan, ia lihat mata anak itu basah tetapi sedapat mungkin bertahan jangan sampai butiran air mata menetes.

“Sudahlah, Kohnio, kini sudah jauh malam, kenapa tidak biarkan dia berangkat besok pagi saja,” segera ia membujuk Siao-liong-li lagi.

Tetapi percuma saja, apa yang telah diputuskan Siao-liong-li, siapa pun tak mungkin bisa membatalkan maksudnya, maka ia gelengkan kepala.

“Popoh, apa kau sudah lupa dengan peraturan yang ditetapkan Suhu dahulu?” demikian ia peringatkan Sun-popoh.

Karena itu Sun-popoh menjadi tak berdaya. Ia lalu berdiri, dengan suara rendah ia berkata pada Yo Ko:

“Mari, nak, akan kuberi sesuatu mainan padamu.”

Di luar dugaan, tiba-tiba Yo Ko menyusut air matanya, dengan kepala menunduk supaya tangisnya tidak terlihat orang, ia lantas berlari keluar.

“Tidak, aku tak mau, aku pun tidak perlu kau antar,” serunya.

Akan tetapi, baru saja dia berlari sampai ambang pintu, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang yang berkumandang dari luar, suara itu sangat keras dan berkata:

“Anak murid Coan-cin-kau, In Ci-peng, atas perintah Suhu mohon bertemu Liong-kohnio.”

“Di luar ada orang mencari kau, jangan kau keluar dulu,” lekas Sun-popoh menahan Yo Ko.

Seketika muka Yo Ko menjadi pucat, dia terkejut tercampur marah, saking terguncang perasaannya hingga tubuhnya gemetar.

“Sun-popoh, pergilah kau bicara pada mereka,” kata Siao-liong-li.

“Baiklah,” sahut Sun-popoh sesudah berpikir sejenak, dia berpaling dan berkata kepada Yo Ko: “Kau tinggal dulu di sini, biar aku bicara dengan mereka.”

Siapa tahu adat Yo Ko justru tidak kenal apa artinya takut, lebih-lebih ia tidak mau tunduk pada kekerasan, maka dengan suara lantang ia menjawab:

“Popoh, tidak usah urus diriku lagi. Berani berbuat berani bertanggung jawab, biar aku sendiri yang menghadapi mereka. Aku telah terlanjur membunuh orang, biar aku ganti dengan jiwaku agar dibunuh mereka.”

Habis berkata dengan langkah lebar ia lantas berjalan keluar. Akan tetapi kuburan kuno yang sebenarnya lebih tepat dikatakan istana di bawah tanah itu luar biasa besar dan luasnya. Dahulu ketika Ong Tiong-yang berlatih silat dan bertapa juga dilakukan di sini, kemudian ketika ditempati oleh bekas kekasihnya bahkan keadaan di dalam kuburan telah banyak ditambah dan diperindah sehingga keadaan jalan-jalan di dalamnya luar biasa ruwet perubahannya, apa bila bukan orang yang sudah kenal benar jalan di dalamnya, pasti akan kesasar untuk selamanya tidak dapat keluar Iagi.

Karena itulah dengan cepat Sun-popoh menyusul. Dia pegang tangan Yo Ko dan digandeng. Setelah menyusur hutan rindang hanya sekejap saja mereka sudah sampai di tanah lapang di depan hutan sana. Di bawah cahaya bulan yang terang, tampaklah di sana sudah berdiri enam atau tujuh orang imam berjajar, kecuali itu ada pula empat imam pekerja yang menggotong Thio Ci-keng serta Ceng-kong yang terluka parah.

Dengan munculnya Yo Ko, seketika para imam itu menjadi berbisik, mereka saling bicara dengan suara perlahan sambil melangkah maju beberapa tindak secara serentak. Sementara itu, tanpa menunggu orang membuka suara, segera Yo Ko melepaskan gandengan Sun-popoh terus berlari maju ke depan.

“lni aku berada disini, hendak disembelih atau mau dikorek boleh terserah sesukamu!” Dia memapaki para imam itu dengan suara keras.

Tentu saja sikap Yo Ko ini sama sekali di luar dugaan imam-imam Coan-cin-kau, sama sekali tidak disangka bahwa bocah sekecil ini memiliki watak yang begitu keras dan berani mati. Tetapi di antara imam-imam itu segera ada satu yang maju, dengan sekali tarik, tahu-tahu Yo Ko kena diseret.

“Hm, aku toh tidak bakal lari, apa yang kau kuatirkan?” dengan kepala batu Yo Ko masih menjengek.

Tentu saja imam itu tidak mau menerima ejekan itu. Ia adalah murid Thio Ci-keng, ia telah menyaksikan keadaan gurunya yang diantup tawon dan belum diketahui bakal mati atau hidup, dan semua itu adalah gara-gara Yo Ko, dengan sendirinya dia sangat benci pada bocah ini. Dan kini mendengar orang malah mengejek, dengan gemas ia angkat kepalan terus memukul. Ia hantam batok kepala Yo Ko.

Sebenarnya Sun-popoh bermaksud bicara secara baik-baik dengan para imam itu, tetapi mendadak secara paksa Yo Ko diseret kesana. Melihat ini saja ia merasa tidak tega, apa lagi tiba-tiba ia menyaksikan Yo Ko dihajar pula, tentu saja api amarahnya lantas membakar. Tanpa ayal lagi dia lantas menyerobot maju, begitu sekali saja lengan bajunya mengebut, tangan imam yang memegang Yo Ko itu sudah kena disabet.

Karena serangan ini, seketika imam itu merasakan tangannya sakit pedas bagaikan kena dipukul oleh ruyung baja saja, mau-tidak-mau dia harus melepaskan Yo Ko, dan selagi dia hendak bertanya, tahu-tahu Sun-popoh menyambar tubuh Yo Ko terus diangkat, tanpa bicara wanita tua ini putar tubuh lantas berjalan pergi. Sudah tentu imam yang lain tidak membiarkan orang pergi begitu saja, segera tiga imam yang lain mengudak maju.

“Lepaskan bocah itu!” teriak mereka.

“Kalian mau apa?” sahut Sun-popoh menoleh dengan tertawa dingin.

In Ci-peng terhitung paling tahu adat di antara para imam itu, ia mengerti manusia yang tinggal di dalam kuburan kuno itu rapat sekali hubungannya dengan perguruannya, maka ia tidak berani berlaku gegabah, lekas ia membentak mencegah kawan-kawannya:

“Lekas mundur, jangan kurang ajar kepada orang tua,” demikian katanya. Sesudah ini dia sendiri maju memberi hormat kepada Sun-popoh, ia perkenalkan diri: “Tecu In Ci-peng memberi hormat kepada Cianpwe.”

“Lalu kalian mau apa?” tanya Sun-popoh pula.

“Anak ini adalah murid Coan-cin-kau kami, mohon cianpwe suka menyerahkan dia,” sahut Ci-peng.

“Hm, serahkan dia? Enak saja kau membuka mulut,” damperat Sun-popoh dengan suara bengis, “Di depanku saja kalian berani menghajar dia begini kejam, apa lagi nanti kalau sudah berada di rumah, entah bagaimana kalian akan menyiksa dia. Kini kau ingin aku melepaskan dia, maka aku bilang tidak bisa! Sekali tidak, seribu kali tetap tidak!”

“Tapi anak ini terlalu nakal dan berani pada guru. cianpwe tentu tahu dalam Bu-lim orang paling menghormat kepada orang tua, maka kalau kami menghukum padanya, agaknya pantas juga,” kata Ci-peng dengan menahan marah.

“Hm, berani kepada guru apa segala, itu hanya ocehan sepihak belaka,” kata Sun-popoh lagi dengan marah, kemudian dia tuding Ceng-kong yang rebah di tempat usungan itu dan menyambung lagi: “Bocah ini bertanding dengan imam sebesar itu, memangnya seperti itu peraturan Coan-cin-kau kalian? Sesungguhnya bocah ini tidak mau maju, tetapi kalian memaksa dia turun kalangan, dan kalau sudah saling gebrak, dengan sendirinya ada yang menang dan ada yang kalah. Apa bila imam gemuk itu sendiri yang tidak becus lalu kena dihantam, kenapa harus salahkan orang lain?”

Wajah Sun-popoh memang sudah jelek karena marah, kulit mukanya menjadi merah padam, keruan rupanya semakin menakutkan. Sementara itu ber-turut-turut sudah datang lagi belasan imam yang lain, mereka pada berdiri di belakang In Ci-peng dan sedang bisik-bisik membicarakan wanita tua bermuka jelek yang tak mereka kenal ini.

“Tentang siapa yang benar dan salah di dalam pertandingan itu, tentu akan kami laporkan kepada Ciangkau Cosu kami untuk diambil keputusan,” demikian sahut Ci-peng lagi. “Maka harapIah Locianpwe kembalikan anak itu.”

Waktu itu Yo Ko masih merangkul dalam pondongan Sun-popoh, ia bisik-bisik pada orang tua itu buat menghasut:

“Popoh jangan mau percaya, tipu musIihat imam ini banyak sekali, jangan kau kena diakali.”

Mendengar Yo Ko berlaku begitu aleman dan ber-ulang memanggil Popoh atau nenek kepadanya, Sun-popoh menjadi girang sekali, dalam hati ia telah ambil keputusan yang pasti, ialah tidak akan menyerahkan Yo Ko kepada In Ci-peng. Oleh karenanya, dengan suara keras ia lantas berteriak pula:

“Kau inginkan anak ini, lalu apa yang hendak kalian perbuat atas dirinya?”

“Tecu mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan ayah anak ini, pasti tidak bakal membikin susah anak kawan yang telah meninggal, harap Locianpwe jangan kuatir,” sahut Ci-peng.

“Hm, dengan apa aku harus percaya padamu?” jengek Sun-popoh. “Aku tak biasa banyak bicara dengan orang luar, maaf saja aku tak bisa tinggal lebih lama di sini.” Habis berkata dia lalu angkat kaki hendak kembali ke dalam hutan.

Tatkala itu Thio Ci-keng sedang digotong orang, lukanya yang diantup tawon terasa jarem dan gatal luar biasa, tapi pikirannya cukup terang dalam segala hal. Ia mendengar Ci-peng adu mulut dengan Sun-popoh sekian lamanya, ia menjadi marah. Pada waktu Sun-popoh hendak melangkah pergi, tiba-tiba ia melompat bangun dari usungan terus menghadang di depan Sun-popoh.

“Dia adalah muridku, apa aku hendak menghajar dia atau hendak memaki dia, semuanya terserah padaku. Kau tidak perbolehkan guru menghajar murid, apakah di dunia persilatan terdapat peraturan semacam ini?” demikian ia membentak.

Melihat kepala orang bengkak satu kali lipat dari pada biasanya, pula dari lagu suaranya, maka tahulah Sun-popoh pasti imam ini adalah guru Yo Ko. Atas teguran itu, seketika ia menjadi tak bisa menjawab. Oleh karena sudah tak ada alasan, terpaksa ia menjawab secara membandel:

“Ya, justru aku tidak perkenankan kau menghajar dia, kau mau apa?”

“Anak ini pernah apa dengan kau? Berdasarkan apa kau ikut campur tangan?” bentak Ci-keng pula dengan murka.

Kembali Sun-popoh tertegun oleh pertanyaan ini. Namun dia semakin bandel lagi, maka tanpa pikir dia menjawab dengan suara keras:

“Dia sudah bukan anak murid Coan-cin-kau, tahu? Anak ini sudah mengangkat nona Siao-liong-li sebagai guru, maka baik atau jelek akan dirinya, di bumi ini hanya Siao-liong-li seorang saja yang boleh mengurusnya, Nah, kalau kalian tahu gelagat, lekas enyah dan jangan coba ikut campur urusan ini.”

Kata-kata ini ternyata sangat mengejutkan para imam itu sehingga seketika mereka menjadi gempar. Kiranya menurut peraturan Bu-lim atau dunia persilatan, sebelum mendapat perkenan dari guru asalnya, siapa saja dilarang mengangkat guru lagi kepada orang lain. Jika hal itu dilakukan maka itu berarti penghianatan yang maha besar dan pasti tidak bisa diampuni oleh sesama orang-orang dunia persilatan. Oleh karena itu, biar pun ketemu guru yang kepandaiannya berlipat ganda lebih tinggi dari guru yang pertama juga tak boleh sesukanya memanjat ke atas lebih tinggi.

Kini Sun-popoh didebat oleh Thio Ci-keng sehingga tidak bisa menjawab, pula ia memang tidak pernah berhubungan dengan tokoh-tokoh kalangan persilatan, dengan sendirinya ia tidak kenal semua aturan itu. Tadi ia hanya buka mulut sekenanya, tak tahunya kata-katanya itu justru melanggar pantangan besar persilatan. Keruan saja para imam Coan-cin-kau menjadi marah. Ci-keng sendiri waktu itu lagi kesakitan hebat dan luar biasa rasa gatalnya, ia sudah tak tahan lagi, ia merasa adu jiwa saja malah lebih enak. Oleh karena itu dengan kertak gigi menahan sakit segera ia bertanya:

“Yo Ko, apa hal itu memang betul?”

Yo Ko masih kecil usianya, dengan sendirinya ia tidak kenal segala peraturan Kangouw. Dia lihat Sun-popoh terus membela dirinya dan ribut mulut dengan gurunya, tentu saja apa yang dikatakan orang tua ini segera ia perkuat.

“Ya, memang betul, kau mau apa? Kau imam busuk sudah memukul aku sedemikian rupa, untuk apa aku mengaku kau sebagai Suhu lagi? Memang aku sudah mengangkat Sun-popoh sebagai guru, juga sudah menyembah Liong-kokoh sebagai Suhu,” demikian dengan suara keras ia menjawab.

Bukan buatan marah Ci-keng hingga dadanya hampir-hampir meledak. Tanpa pikir lagi se-konyong-konyong ia melompat maju, berbareng kedua tangannya mencengkeram ke tubuh Yo Ko.

Sudah tentu Sun-popoh tak tinggal diam. “lmam liar, apa kau cari mampus?” damperatnya segera, sebelah tangannya berbareng menangkis.

Thio Ci-keng adalah jago kelas satu di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan ke tiga. Jika soal ilmu silat ia masih di atas In Ci-peng, biar pun tubuhnya luka parah, akan tetapi pukulannya tadi ternyata sangat hebat. Begitulah, maka tangan kedua belah pihak saling bentur, seketika mereka merasa kesemutan sehingga keduanya tergetar mundur beberapa tindak.

“Hm, imam liar, boleh juga kau,” jengek Sun-popoh sesudah kenal kepandaian orang.

Di lain pihak, sekali menyerang tidak kena, serangan kedua lantas menyusul, kembali Ci-keng hendak menjamberet lagi.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar