Selasa, 01 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 022

Karena Ong Ju-it sedang tidak berada di rumah, dengan sendirinya urusan diserahkan di bawah pimpinan murid yang tertua, ialah Thio Ci-keng. Di sebelah sana terlihat anak-anak murid angkatan ke empat sedang sibuk sendiri, ada yang berlatih ilmu pukulan, ada yang main senjata, ada yang mempertunjukkan Iwekang mereka, ada pula yang melepaskan Am-gi atau senjata rahasia, semuanya diunjukkan di hadapan Thio Ci-keng untuk diberi penilaian siapa di antaranya yang paling bagus.

Apa yang disebut anak murid angkatan ke empat adalah seangkatan dengan Yo Ko. Oleh karena Coan-cin-kau didirikan oleh Ong Tiong-yang, maka dia adalah cikal-bakalnya. Ada pun Ma Giok bertujuh yang disebut Coan-cin-chit-cu itu adalah muridnya Ong Tiong-yang, mereka disebut anak murid angkatan ke dua. Thio Ci-keng, In Ci-peng, Cui Ci-hong dan Yo Khong, mendiang ayah Yo Ko, mereka adalah murid Coan-cin-chit-cu, maka disebut angkatan ke tiga. Akhirnya tingkatannya Yo Ko inilah yang disebut angkatan ke empat.

Oleh karena Yo Ko paling terakhir masuk perguruan, maka dia menduduki tempat yang paling belakang. Apa bila dia menyaksikan para imam kecil yang umurnya sebaya dengan dirinya itu semua pandai pukulan dan paham silat, masing-masing mempunyai kemahirannya sendiri, dalam hati kecilnya bukan merasa kagum dan iri, sebaliknya dia justru merasa dendam dan sakit hati.

Di lain pihak Ci-keng dapat melihat wajah Yo Ko yang mengunjuk rasa penasaran, maka dia sengaja hendak membuat malu anak ini di hadapan orang banyak. Ia menanti setelah selesai pertandingan dua imam kecil, lalu dengan suara keras ia memanggil nama Yo Ko. Begitu mendengar dirinya disebut, Yo Ko menjadi tertegun. “Sedikit pun kau tidak ajarkan ilmu silat padaku, untuk apa kau panggil aku maju ke depan?” demikian ia pikir.

Akan tetapi Thio Ci-keng telah mengulangi teriakannya kembali: “Ko-ji, kau dengar tidak? Hayo lekas maju!”

Terpaksa Yo Ko tampil ke muka, ia membungkuk badan memberi hormat sambil berkata:

“Tecu Yo Ko menghadap Suhu disini!”

“Umurnya tak seberapa tua dari pada kau, bolehlah kau bertanding dengan dia,” demikian Ci-keng menunjuk salah satu imam kecil yang menang dalam pertandingan tadi.

“Tecu sama sekali tidak bisa silat, mana sanggup bertanding dengan Suheng?” sahut Yo Ko.

Thio Ci-keng menjadi marah. “Sudah setengah tahun aku mengajar padamu, kenapa kau bilang tidak bisa silat? Lalu apa yang kau lakukan selama setengah tahun ini?” demikian ia mendamperat.

Yo Ko tak bisa menjawab dan menunduk.

“Kau sendiri yang malas, tidak mau giat belajar, dengan sendirinya kau ketinggalan jauh,” demikian kata Ci-keng pula. “Sekarang aku ingin tanya kau apa yang sudah kuajarkan dan kau harus menjawab.”

Habis ini berulang kali ia menyebut empat istilah yang pernah dia ajarkan kepada Yo Ko, dengan sendirinya semua dijawab Yo Ko dengan tepat.

“Nah, bagus, sedikit pun tak salah, maka bolehlah kau pergunakan intisari keempat istilah itu untuk turun kalangan dan bergebrak dengan Suheng-mu,” dengan tersenyum Ci-keng berkata.

Kembali Yo Ko tercengang, “Tecu tidak bisa,” jawabnya lagi.

Dalam hati Thio Ci-keng menjadi girang melihat kelakuan Yo Ko yang serba susah itu, tapi pada wajahnya sebaliknya dia sengaja unjukkan rasa marah.

“Kau sudah apalkan istilah-istilah penting tadi tetapi kau tidak mau berlatih, sekarang kau pakai alasan segala, hayo, lekas turun kalangan!” bentaknya lagi.

Para imam mendengar sendiri Yo Ko mengapalkan istilah-istilah pelajaran di luar kepala tanpa sedikit pun yang salah, tapi kini tidak berani maju ke tengah kalangan, maka di antaranya sama menyangka anak ini merasa jeri. Di antara mereka ada yang berhati baik kemudian menganjurkan maju saja, sebaliknya banyak pula yang tidak suka kepadanya lantas pada bergirang, bahkan diam-diam mentertawai.

Mendengar banyak suara yang mendesak dan menganjurkannya, sebaliknya banyak pula yang bersuara menyindir, akhirnya api amarah membakar. Segera Yo Ko tekadkan hati, ia pikir biarlah aku adu jiwa saja hari ini. Karenanya segera dia melompat ke tengah kalangan, begitu berhadapan, tanpa bicara lagi dia ayunkan kedua tangannya, ke atas dan ke bawah, lantas menghantam kalang-kabut mengarah kepala imam kecil tadi.

Melihat datangnya Yo Ko ke tengah kalangan, pertama tidak menjalankan penghormatan seperti lazimnya, pula tidak menurut peraturan perguruan yang harus merendah diri minta petunjuk kepada pihak lawan, diam-diam imam kecil itu sudah merasa heran, apa lagi kini melihat Yo Ko menghantam dan menyerangnya dengan membabi-buta seperti orang gila, keruan ia terkejut, terpaksa dia main mundur terus-menerus.

Di lain pihak Yo Ko sudah tidak menghiraukan mati-hidup sendiri lagi, ia sudah nekat, tiba-tiba ia menerjang maju. Kembali imam kecil itu dipaksa harus mundur beberapa tindak, namun segera dia melihat bagian bawah Yo Ko tidak terjaga. Tanpa ayal lagi segera dia miringkan tubuh ke samping lantas ayunkan sebelah kakinya, dengan gerak tipu ‘hong-sau-lok-yap’ atau angin santer menyapu daun rontok dengan cepat ia menyerampang kaki Yo Ko.

Karena tidak menyangka, keruan Yo Ko tidak mampu berdiri tegak lagi, dia terpelanting jatuh hingga hidungnya mengeluarkan kecap, mukanya pun babak-belur. Melihat jatuhnya Yo Ko amat mengenaskan dan lucu, tidak sedikit imam yang menonton mentertawakannya. Akan tetapi Yo Ko betul-betul bandel. Begitu ia merangkak bangun, tanpa mengusap darah di hidungnya yang mengucur, dengan kepala menunduk segera ia seruduk lagi imam kecil tadi.

Nampak datangnya orang cukup hebat, lekas-lekas imam kecil itu mengegos. Tapi diluar dugaan, tipu serangan Yo Ko ini sama sekali tidak menurut aturan, tahu-tahu dia pentang kedua tangan terus merangkul, karenanya kaki kiri lawannya kena dipegangnya.

Akan tetapi imam cilik itu pun tidak lemah, segera dia angkat telapak tangan kanan terus menggenjot pundak Yo Ko. Tipu ini disebut ‘Thian-sin-he-hoan’ atau malaikat langit turun ke bumi, ini adalah tipu serangan yang tepat untuk menghalau musuh bila bagian bawah sendiri terserang.



Tetapi Yo Ko sama sekali tidak pernah belajar silat dalam praktek, baik di Tho-hoa-to mau pun di Cong-lam-san, maka tipu serangan yang dilontarkan pihak lawan sama sekali tidak dia kenal, keruan tidak ampun lantas terdengar suara “plak” yang keras, pundaknya kena dihantam mentah-mentah hingga terasa sakit.

Meski pun sudah berulang kali ia digebuk orang, namun Yo Ko bukannya mundur teratur, sebaliknya makin kalah menjadi makin kalap, maka kembali dia gunakan kepalanya untuk menyeruduk lagi. Sekali kena ditumbuk perutnya, segera imam cilik itu jatuh terjengkang, bahkan segera Yo Ko menunggang di atas tubuhnya. Kesempatan ini telah dipergunakan Yo Ko untuk ayunkan bogemnya dan menjotos kepala orang dengan gemas.

Tapi imam kecil itu tidak mandah dijotos, dalam kalahnya dia coba berusaha memperoleh kemenangan, mendadak ia pakai sikutnya untuk menyodok dada Yo Ko, dan selagi Yo Ko meringis kesakitan, cepat ia meronta melepaskan diri terus melompat bangun, berbareng pula ia baliki tangannya untuk mendorong. Karena Yo Ko tidak ber-jaga-jaga, maka kembali ia kena dibanting jatuh dengan berat.

“Syukur Yo-sute suka mengalah,” demikian imam cilik itu berkata sambil membungkuk.

Ini merupakan adat-istiadat Coan-cin-kau apa bila mengakhiri suatu pertandingan. Menurut biasa, jika salah satu di antara saudara seperguruan itu sudah menang atau kalah, segera kedua pihak harus berhenti semua.

Siapa tahu Yo Ko ternyata tidak kenal aturan. Seperti kerbau gila saja kembali ia menyeruduk dengan nekat, dan hanya dua-tiga kali gebrakan kembali dia mencium tanah. Namun semangat tempur Yo Ko yang tidak kenal menyerah ini harus dipuji. Makin dihajar, semakin berani pula, bahkan ia pun menggerakkan kaki tangannya semakin cepat untuk melawan.

“Yo Ko, sudah terang kau kalah, masih hendak bertanding apa lagi?!” demikian Ci-keng berteriak padanya.

Tetapi mana Yo Ko mau gubris. Dia masih terus menendang, menyepak, tangannya juga memukul dan menggebuk serabutan, sedikit pun dia pantang mundur. Semula para imam sama merasa geli juga oleh kelakuan bocah ini, di dalam hati mereka berpikir: “Dalam ilmu silat Coan-cin-kau mana ada cara main seruduk seperti ini?”

Tetapi kemudian sesudah menyaksikan Yo Ko makin kalap, mereka menjadi kuatir akan terjadi bencana, maka be-ramai-ramai mereka berseru:

“Sudahlah, sudahlah, sesama saudara seperguruan jangan jadi sungguhan!”

Namun Yo Ko masih tidak mau berhenti. Sesudah berlangsung lagi beberapa saat, akhirnya imam cilik itu menjadi keder sendiri, sekarang dia hanya main berkelit dan menghindar saja dan tak berani berdekatan dengan Yo Ko lagi.

Kata pribahasa: ‘seorang adu jiwa, seribu orang tidak bisa melawan’. Begitu juga dengan keadaan Yo Ko yang sedang mengamuk. Apa lagi selama setengah tahun ini dia sudah kenyang segala hinaan di atas Cong-lam-san, kini ia justru hendak melampiaskan semua sakit hatinya itu, sedang soal mati-hidup dirinya sendiri sudah tak terpikir olehnya.

Karena itulah, sungguh pun ilmu silat imam cilik itu jauh menang, namun dia tak memiliki semangat bertempur seperti Yo Ko, sehingga akhirnya ia menjadi pecah nyali. Kini ia tak berani melayani Yo Ko lagi melainkan terus berlari mengitari kalangan dan diuber oleh Yo Ko dari belakang.

“lmam busuk, imam maling, enak saja kau pukul orang, sesudah gebuki aku sekarang kau hendak lari?” demikian dari belakang Yo Ko terus mencaci-maki.

Tentu saja caci-makinya yang tidak pandang bulu ini menyinggung pula orang Iain, sebab sembilan dari sepuluh orang yang menonton di samping itu justru adalah Tosu atau imam. Kini Yo Ko mencaci-maki semaunya, maka mereka menjadi dongkol dan geli.

“Bocah ini betul-betul harus dihajar!” demikian mereka membatin.

Dalam pada itu Yo Ko masih terus mengudak imam kecil tadi. Mungkin saking gugupnya karena diuber terus, akhirnya imam cilik itu berteriak minta toIong.

“Suhu, Suhu!” demikian ia menggembor dengan ketakutan.

Thio Ci-keng lantas bersuara, ia membentak agar Yo Ko berhenti, Tak tahunya, sedikit pun Yo Ko tidak menggubrisnya, ia masih mengejar imam cilik itu dengan nekat. Selagi keadaan tambah runyam, tiba-tiba terdengar suara geraman dari kalangan penonton, mendadak satu imam besar gemuk melompat keluar. Meski badan imam ini gendut tetapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit, begitu dia melompat maju, dengan sekali jamberet segera belakang baju Yo Ko kena dia pegang terus diangkat, bahkan segera terdengar suara “plak-plak-pIak” tiga kali, kontan ia persen Yo Ko tiga kali tempelengan.

Pukulan itu ternyata sangat keras hingga seketika pipi Yo Ko merah bengkak, hampir saja Yo Ko jatuh semaput. Waktu ia mengawasi, kiranya orang ini adalah Ceng-kong yang memang dendam hati padanya.

Seperti yang diketahui, pada hari pertama Yo Ko naik gunung, pernah Ceng-kong hampir terbakar hidup-hidup karena diselomoti bocah ini, sebab itulah Ceng-kong sering dicemooh dan dibuat buah tertawaan saudara-saudara seperguruannya, katanya orang tua kalah dengan bocah cilik. Oleh sebab itu juga selalu Ceng-kong dendam atas kejadian itu. Sekarang ia menyaksikan Yo Ko membikin gara-gara lagi, tentu saja ia gunakan kesempatan itu untuk melampiaskan sakit hatinya.

Buat Yo Ko sendiri memang dia sudah tidak pikirkan lagi jiwa dirinya sendiri, kini demi mengenali Ceng-kong, ia lebih yakin dirinya pasti tidak bakal diampuni pula, cuma ia kena dicekal kuduknya, ingin meronta buat melepaskan diri pun tidak mampu lagi.

Dalam pada itu, sambil tertawa mengejek kembali Ceng-kong menambahi Yo Ko dengan tiga kali tamparan lagi.

“Kau tidak tunduk pada kata-kata Suhu, berarti kau adalah murid murtad perguruan kita, maka siapa saja boleh menghajar kau!” demikian Ceng-kong membentak, sesudah itu dia mengangkat tangannya dan akan menghajar Yo Ko lagi.

Di antara penonton di samping itu terdapat adik seperguruan Thio Ci-keng yang bernama Cui Ci-kong. Pribadi Ci-kong lebih jujur dan suka membela keadilan, Tadi dia melihat cara bertanding Yo Ko, semua gerak serangannya sedikit pun tiada miripnya dengan ilmu silat ajaran perguruan sendiri, pula ia cukup kenal jiwa sang Suheng Thio Ci-keng yang sempit, ia kuatir jangan-jangan dalam hal ini terdapat soal lain, maka kini demi nampak Ceng-kong menghajar Yo Ko dengan pukulan-pukulan yang kejam tanpa kenal ampun, ia pun menjadi kuatir kalau bocah ini terluka parah.

“Berhenti, Ceng-kong!” cepat ia membentak menghentikan tindakan murid keponakannya itu.

Sesungguhnya Ceng-kong belum puas dengan tempelengannya tadi, namun sang Susiok sudah membentak, maka mau tak mau ia harus melepaskan Yo Ko.

“Susiok tidak tahu bahwa bocah ini luar biasa lincahnya, kalau tidak diberi hajaran yang setimpal mana bisa tata-tertib perkumpulan kita dipertahankan lagi?” demikian Ceng-kong masih kurang terima.

Tetapi Cui Ci-hong tidak gubris padanya. Dia mendekati Yo Ko, dia lihat kedua belah pipi anak ini sudah bengkak semua dan matang-biru, hidung serta mulutnya berlepotan darah pula, wajahnya sangat harus dikasihani. Karena itu dengan suara halus ia menghibur dan bertanya:

“Yo Ko, Suhu mengajarkan kepandaian kepadamu, kenapa kau tidak melatihnya dengan giat, sebaliknya kau berkelahi dengan para Suheng secara ngawur?”

“Hm, Suhu apa? Hakikatnya sedikit pun dia tidak mengajarkan kepandaian padaku,” sahut Yo Ko dengan gemas.

“Dengan jelas tadi kudengar kau menghapalkan istilah-istilah pelajaran di luar kepala, sedikit pun kau tidak salah mengapalkan,” ujar Cui Ci-hong.

“Aku toh bukannya hendak menempuh ujian, untuk apa menghapalkan segala bacaan itu?” sahut Yo Ko.

Mendongkol tercampur geli Cui Ci-hong mendengar jawaban ini. Dia pura-pura marah, namun maksud sesungguhnya hendak menjajal apa betul Yo Ko sama sekali tidak mengerti ilmu silat perguruannya sendiri. Oleh karenanya segera ia tarik muka dan membentak:

“Bicara dengan orang tua, mengapa kurang ajar?” Habis berkata, se-konyong2 ia angkat sebelah tangannya mendorong ke pundak Yo Ko.

Cui Ci-hong ini terhitung salah satu jago angkatan ketiga dari Coan-cin-kau yang setingkat dengan In Ci-peng dan Thio Ci-keng. Meski kepandaiannya masih di bawah kedua orang tersebut, tapi sudah cukup pula untuk malang melintang di kalangan Kangouw. Maka bisa dimengerti tenaga dorongannya pada Yo Ko ini sudah dia keluarkan dengan tepat sekali, telah cukup untuk menjatuhkan lawannya.

Kalau orang yang didorong tidak paham ilmu silat, pasti terjengkang, tetapi kalau mengerti silat dari cabang lain, besar kemungkinan akan kumpul tenaga buat bertahan supaya tubuh tidak terdoyong ke belakang. Hanya orang yang belajar silat Coan-cin-kau saja yang bisa hindarkan dorongan ini dengan gaya mendoyong ke belakang.

Diluar dugaan, Ci-hong merasakan dorongannya percuma saja, sebab Yo Ko telah sedikit miringkan pundaknya, sehingga tenaga mendorongnya sebagian besar mengenai tempat kosong. Yo Ko hanya ter-huyung mundur beberapa langkah saja, akan tetapi tak sampai terjatuh.

Keruan Ci-hong terkejut dan curiga pula. Batinnya dalam hati: “Dengan tenaga mengelak tadi seharusnya dia memiliki latihan sekitar sepuluh tahun dari ilmu silat aliran perguruan sendiri. Benar-benar aneh, umurnya masih begini muda, pula baru setengah tahun masuk perguruan, mana bisa dia memiliki keuletan yang begini dalam? Dengan kemampuannya ini, tadi waktu bertanding seharusnya dia tidak perlu ngawur main seruduk sini dan terjang sana, apa mungkin di dalamnya terdapat sesuatu tipu muslihat?”

Nyata dia tidak tahu bahwa di dalamnya memang banyak sebab yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Dulu Ma Giok pernah mengajarkan Iwekang Coan-cin-kau kepada Kwe Ceng, dan Kwe Ceng sudah mengajarkan sedikit dasar kepandaian itu kepada Cin Lam-khim ibu Yo Ko.

Waktu Yo Ko berumur beberapa tahun, ibunya lantas mengajarkan cara-cara semadi melatih Iwekang yang dia peroleh dari Kwe Ceng. Oleh sebab itulah, dalam perkelahian Yo Ko tadi sama sekali dia tidak mengerti tipu serangan silat, sebaliknya soal Iwekang dia malah mempunyai dasar kekuatan sepuluh tahun lamanya. Cui Ci-hong tidak tahu hal ini, sudah tentu dia terheran-heran.


GADIS JELITA BERBAJU PUTIH

Di lain pihak, Yo Ko yang kena didorong tadi merasakan dadanya menjadi sesak, hampir tak bisa bernapas, ia sangka Ci-hong juga bermaksud menghajarnya. Dalam keadaan memang sudah mata gelap, sekali pun waktu itu Khu Ju-ki datang sendiri juga dia pantang mundur, apa lagi hanya seorang Cui Ci-hong. Oleh karena itu segera ia menyeruduk lagi ke arah perut orang.

Akan tetapi Cui Ci-hong tidak mau meladeni anak kecil ini. Dia tersenyum oleh kenekatan orang sambil mengegos buat hindarkan serudukan itu. Ia sengaja mau tahu kepandaian apa yang dimiliki Yo Ko, maka ia berkata pula:

“Ceng-kong, coba kau adu beberapa jurus dengan Yo-sute, tetapi enteng saja kalau turun tangan, jangan pukul terlalu keras!”

Tentu saja Ceng-kong sangat senang. Memang dia meng-harap ada perintah demikian ini, maka tanpa berkata lagi segera ia melompat ke depan Yo Ko. Tiba-tiba ia ulur tangan kiri pura-pura memukul, ketika Yo Ko berkelit ke kanan, mendadak tangan kanannya menggablok cepat dan keras. Keruan tanpa ampun lagi lantas terdengar suara “bluk”, dan dada Yo Ko tepat kena dihantam.

Pukulan itu cukup berat, kalau bukannya Yo Ko mempunyai kekuatan Iwekang belasan tahun lamanya, pasti dia akan muntah darah oleh genjotan itu. Walau pun demikian, tidak urung Yo Ko merasakan dadanya sakit tidak kepalang dan mukanya pucat seperti kertas. Nampak sekali pukulannya tidak membikin lawan ciliknya terguling, diam-diam Ceng-kong merasa heran juga, maka menyusul kepalan kanan diayunkan pula, sekali ini dia menjotos ke muka Yo Ko.

Dengan sendirinya Yo Ko segera mengangkat tangan hendak menangkis. Cuma sayang, maksudnya memang hendak menangkis, tapi sama sekali ia tidak paham gerak tipu silat buat menangkis, maka kembali dia dimakan mentah-mentah oleh Ceng-kong. Dengan sengaja ia kesampingkan jotosannya ini, tapi cepat ia menjojoh dengan kepalan kiri, maka terdengar suara “plak” dibarengi dengan suara jeritan tertahan Yo Ko, nyata hantaman dengan tepat kena di perutnya.

Saking sakitnya sampai Yo Ko menungging sambil memegang perutnya dan meringis. Di luar dugaan, begitu bocah ini menjengking ke bawah, tanpa sungkan-sungkan lagi Ceng-kong tambahi serangan lain pula, ia angkat telapak tangannya terus memotong ke kuduk orang. Dengan serangan yang mengarah tempat berbahaya ini, Ceng-kong menaksir Yo Ko pasti akan kelenger seketika, dengan begitu ia telah berhasil membalas sakit hati tempo hari.

Siapa tahu Yo Ko betul-betul anak perkasa, jiwa gagah berani Engkong-nya, Yo Tiat-sim, telah diwariskan semua kepadanya. Bocah ini sama sekali tak menyerah, hantaman tadi hanya membuat dia terhuyung sedikit saja namun tetap belum jatuh, hanya kepalanya dirasakan pusing dan berat, tenaga pun habis tanpa bisa membalas lagi.

Nampak keadaan bocah ini sudah payah, kini Ci-hong baru mau percaya bahwa Yo Ko memang betul-betul tidak paham ilmu silat, karenanya dengan cepat dia berteriak mencegah:

“Berhenti, Ceng-kong!”

“Nah, sekarang kau takluk padaku tidak?!” demikian bentak Ceng-kong pada Yo Ko.

Diluar dugaan, Yo Ko masih tetap berkepala batu. “lmam busuk, imam bangsat, siapa yang sudi takluk padamu? Ada kalanya kau pasti akan kubunuh!” teriak Yo Ko dengan penuh dendam.

Keruan tidak kepalang marahnya Ceng-kong karena caci-maki ini, secara susul menyusul dia kirim kedua kepalan pula dan tepat mengenai batang hidung Yo Ko. Memang kepala Yo Ko sudah puyeng dan berat oleh pukulan-pukulan tadi, kini pandangannya menjadi gelap hingga matanya ber-kunang-kunang, ia terhuyung hendak jatuh. Tapi entah dari mana, mendadak di seluruh badannya seakan-akan mengalir hawa panas yang timbul dari pusarnya, sementara dia melihat jotosan ketiga kali Ceng-kong sudah datang mengarah mukanya pula.

Dalam keadaan kepepet, secara otomatis ia segera berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara “kok” sekali, berbareng kedua telapak tangannya disodok ke depan hingga dengan tepat mengenai perut Ceng-kong.

Sungguh hebat sekali pukulan ini, tahu-tahu sesosok tubuh segede kerbau telah mencelat pergi sejauh beberapa tombak. Sambil mengeluarkan suara gedebuk disusul dengan debu pasir yang berhamburan, dengan tubuh kaku Ceng-kong lantas menggeletak telentang di atas tanah tanpa bisa berkutik lagi.

Tadi waktu para imam menyaksikan Ceng-kong menghajar Yo Ko yang jauh lebih kecil itu, mereka sama mengunjuk rasa tidak-adil. Orang yang lebih tinggi tingkatannya, kecuali Thio Ci-keng saja yang memang masih dendam pada Yo Ko, yang lain be-ramai-ramai sudah bersuara mencegah.

Tapi siapa tahu dalam keadaan mendadak itu tiba-tiba Ceng-kong bisa dipukul Yo Ko hingga mencelat begitu jauh untuk kemudian menggeletak dengan kaku tanpa bisa berkutik lagi. Semua orang ternganga heran, kemudian mereka be-ramai-ramai maju memeriksa keadaan Ceng-kong.

Namun bagi Yo Ko, sama sekali ia pun tidak mengira hantamannya itu dapat membawa hasil yang begitu hebat. Ha-mo-kang yang dia lontarkan tadi, pertama kalinya pernah dia binasakan seorang anak murid Kay-pang di Tho-hoa-to tempo hari, dan kini sekali pukul Ceng-kong kena dijatuhkan lagi hingga mencelat.

“Haya, celaka, mati, sudah mati orangnya!”

“Wah, napasnya sudah putus, tentu jerohannya remuk!”

“Celaka, lekas lapor Ciang-kau Cosu!”

Demikian Yo Ko mendengar suara teriakan kalang kabut para imam yang terkejut itu. Dia pikir sekali ini dirinya benar-benar telah membuat onar lagi, karena itu, dalam bingungnya tanpa pikir panjang lagi segera ia angkat langkah seribu. Ia lari pergi tanpa arah tujuan.

Di lain pihak para imam itu sedang ribut oleh keadaan Ceng-kong yang belum diketahui mati atau hidup, maka kaburnya Yo Ko ternyata tiada seorang pun yang memperhatikan. Setelah Thio Ci-keng periksa keadaan luka Ceng-kong yang parah, sembilan dari sepuluh bagian terang tiada harapan buat hidup lagi, ia menjadi kaget bercampur marah.

“Yo Ko, Yo Ko! Di mana kau? Ilmu siluman apa yang kau pelajari itu?” demikian segera ia ber-teriak-teriak.

Meski ilmu silat Ci-keng tidak tergolong lemah, tetapi selamanya dia tinggal di Tiong-yang-kiong, maka pengalamannya kurang luas. Ha-mo-kang yang digunakan Yo Ko itu ternyata tidak dikenalnya. Begitulah dia telah ber-teriak-teriak memanggil beberapa kali, tapi sama sekali tidak terdengar Yo Ko menjawab. Waktu para imam itu mencarinya, bayangan Yo Ko sudah tidak nampak lagi.

Alangkah murka Thio Ci-keng, segera ia memberi perintah mengejar ke segenap jurusan. Dia pikir Cong-lam-san yang luasnya beberapa puluh li itu seluruhnya di bawah pengaruh Tiong-yang-kiong, maka bocah sekecil itu mampu lari ke mana?

Bercerita tentang Yo Ko, ketika dengan gugup ia melarikan diri, sama sekali ia tidak pilih arah. Secara ngawur ia berlari secepat mungkin dan yang dipilih ialah hutan belukar yang lebat. Tidak lama ia berlari, dari belakang terdengar olehnya orang berteriak riuh ramai, semua penjuru ada orang sedang berteriak namanya:

“Yo Ko, Yo Ko! Hayo lekas keluar, ke mana kau hendak lari?”

Karena teriakan itu hati Yo Ko menjadi semakin gugup sehingga larinya pun semakin tidak genah. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan orang berkelebat di depannya, nyata ada satu Tosu sudah mergoki dia dan menyergap. Lekas Yo Ko putar tubuh berlari ke arah lain, akan tetapi celaka baginya, di sana sudah menghadang pula imam yang lain.

“Nah, ini dia! Disini orangnya, di sini!” demikian imam itu ber-teriak-teriak.

Dengan kalap Yo Ko menerjang dengan kepala menunduk, akan tetapi Tosu tadi sudah siap memapaki dia, dengan tangan terpentang segera imam itu pun menubruk maju. Namun kali ini Yo Ko sudah siap siaga. Se-konyong-konyong ia berjongkok, kembali ia keluarkan ilmu weduk katak buat menyerang orang, lalu dengan sekali sengkelit, tubuh imam itu dia lemparkan ke belakang.

Meski imam itu tidak sampai terluka parah, tetapi dia terbanting jatuh hampir kelengar dan seluruh badannya babak-belur. Imam-imam yang lainnya menjadi jeri demi melihat gerak serangan Yo Ko yang lihay dan ganas. Mereka tak berani sembarangan maju lagi, hanya berdiri di tempat yang agak jauh sambil ber-teriak-teriak memanggil kawan.

Beruntun Yo Ko berhasil menangkan dua imam dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak, rasa takutnya menjadi banyak berkurang, akan tetapi kakinya toh tidak pernah berhenti, ia masih terus berlari ke depan dengan cepat. Sesudah ber-Iari-lari, akhirnya para imam tadi sudah jauh ditinggalkan olehnya, maka diam-diam ia merasa girang. Di luar dugaan, sekonyong-konyong dari belakang satu pohon besar melompat keluar seorang imam setengah umur yang mukanya putih tampan dan segera menghadang di depannya.

Pada waktu Yo Ko mengawasi, ia kenal imam ini adalah In Ci-peng, murid Khu Ju-hi yang tertua, kedudukannya terhitung paling tinggi di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga. Oleh karenanya lekas ia membelok ke kiri hendak kabur lagi. Tidak tahunya gerak tubuh ln Ci-peng luar biasa cepatnya, sekali ia mengulur tangan, seketika baju dada Yo Ko kena dijamberetnya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar