Senin, 31 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 021

“Aha, ternyata dia itu,” sahut Ju-ki. “Sungguh tidak kecil nyali orang ini, apa mungkin dia berani cari gara-gara ke pulaumu Tho-hoa-to?”

“Sesudah aku tukar pikiran dengan Yong-ji, dia bilang kalau hanya Peng-tianglo seorang diri saja, tak mungkin dia berani main gila, tentu di belakangnya masih ada orang lain lagi yang menjadi tulang punggungnya,” ujar Kwe Ceng.

“Tetapi dengan ilmu kepandaian Yong-ji sekarang ini, ditambah keadaan pulau yang diatur sedemikian itu, jika ada orang berani coba main gila ke sana, maka sesungguhnya orang itu sudah bosan hidup, urusan ini kau justru boleh tak usah kuatir,” kata Khu Ju-ki.

Kwe Ceng mengangguk setuju. Demikianlah sambil ber-cakap-cakap kemudian mereka tiba kembali di depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh. Pada waktu itu hari sudah terang, para imam sedang sibuk bekerja membersihkan reruntuhan puing, ada pula yang sedang tebang kayu untuk membangun tempat meneduh darurat. Kemudian Khu Ju-ki mengumpulkan semua Tosu, dia memperkenalkan Kwe Ceng kepada mereka.

“Ini adalah murid Ong-sute, Thio Ci-keng,” demikian Khu Ju-ki memperkenalkan kepada Kwe Ceng imam berjenggot panjang yang pernah memimpin Pak-tau-tin di bawah gunung buat merintangi dirinya itu. “Tentang kepandaian, di antara murid angkatan ketiga dia terhitung yang paling tinggi, maka boleh suruh dia saja yang memberi pelajaran pada Ko-ji.”

Kwe Ceng sudah pernah bergebrak dengan Thio Ci-keng, dia tahu ilmu silatnya memang betul hebat, maka dalam hati dia amat girang, segera dia perintahkan Yo Ko menjalankan penghormatan mengangkat guru pada Thio Ci-keng. Habis itu Kwe Ceng tinggal beberapa hari lagi di Cong-lam-san, ia pun pesan wanti-wanti pada Yo Ko agar belajar dengan giat, kemudian dia mohon diri untuk kembali ke Tho-hoa-to.

Bila teringat oleh Khu Ju-ki pada waktu memberi pelajaran silat kepada Yo Khong (ayah Yo Ko) dahuIu, dia membiarkan Yo Khong tinggal di istana kerajaan Kim dengan segala kemewahan dan kejayaan hidupnya hingga membuat suatu kesalahan yang maha besar, maka ia pikir sekali ini kepada Yo Ko harus dilakukan pengawasan yang keras dan diberikan pelajaran se-baik-baik-nya agar anak ini tidak sampai terjerumus menuju jalan yang sama dengan mendiang ayahnya.

Karena itu, dia lantas panggil menghadap Yo Ko, dengan kata-kata pedas dan suara bengis dia memberi petuah harus turut ajaran guru, tidak boleh malas dan teledor sedikit pun. Untuk tinggal di Cong-lam-san saja sebenarnya Yo Ko sudah merasa tak betah, apa lagi kini kena didamperat habis-habisan, sudah tentu sukar dijelaskan perasaannya. Dengan menahan melelehnya air mata dia mengiakan saja, akan tetapi begitu Khu Ju-ki pergi, tak tertahan lagi ia lantas menangis sedih.

“Kenapa? Apa Co-su-ya salah mengatai kau?” tiba-tiba saja dari belakang seseorang menegur.

Yo Ko kaget, lekas ia usap air matanya dan menoleh. Orang yang berdiri di belakangnya ternyata Suhunya sendiri, Thio Ci-keng. Maka lekas tangannya dia luruskan dan menjawab dengan hormat:

“Bukan!”

“Kalau begitu, kenapa kau menangis?” tanya Thio Ci-keng.

“Tecu terkenang Kwe-pepek, maka hati menjadi sedih,” sahut Yo Ko.

Tadi terang-terangan Thio Ci-keng mendengar paman gurunya, Khu Ju-ki, dengan suara bengis memberi pesan pada Yo Ko, tetapi sekarang anak ini justru pakai alasan terkenang pada Kwe Ceng, tentu saja di dalam hati dia semakin kurang senang, pikirnya: “Anak sekecil ini tabiatnya sudah demikian licin, kalau tidak diberi hukuman yang berat, nanti kalau sudah besar mana bisa dibina lagi?”

Oleh karena itu, dengan menarik muka ia lantas membentak: “Hm, terhadap Suhu sendiri, kau berani berdusta?”

Karena Yo Ko telah menyaksikan sendiri para imam Coan-cin-kau ini kena dihajar hingga tunggang-langgang oleh Kwe Ceng, ia lihat pula Khu Ju-ki dan lain-lain kena dilabrak hingga kerepotan oleh Hotu dan Darba serta begundalnya, semua itu berkat bantuan Kwe Ceng baru mereka bisa terhindar dari bahaya, maka dalam hati dia sudah yakin bahwa ilmu silat para imam ini biasa saja dan tidak ada yang dapat dikagumi. Terhadap Khu Ju-ki saja dia tidak kagum, apa lagi terhadap Thio Ci-keng?

Memang hal ini merupakan kesalahan Kwe Ceng yang sudah berbuat teledor. Dia tidak menjelaskan dulu pada Yo Ko bahwa Coan-cin-kau adalah sumber asli ilmu silat, dahulu ilmu silat Ong Tiong-yang sudah diakui nomor satu di muka bumi ini, tiada satu jago pun dari golongan lain yang mampu melawannya. Sedangkan Kwe Ceng dapat mengalahkan para imam itu, soalnya karena imam-imam itu belum terlatih sampai di puncaknya, se-kaIi-kali bukan ilmu silat Cona-cin-kau yang tak berguna. Oleh karena kekurangan penjelasan dari Kwe Ceng inilah hingga mengakibatkan peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi di kemudian hari.

Begitulah, ketika Yo Ko melihat gurunya marah, dalam hati dia berpikir: “Aku mengangkat guru padamu sesungguhnya karena terpaksa, sekali pun kelak aku bisa belajar sepandai kau, apa gunanya kalau cuma sepandai itu saja? Untuk apa sekarang kau berlagak galak?”

Karena pikiran yang memandang hina orang ini, maka Yo Ko telah berpaling ke samping, ia tidak menjawab Thio Ci-keng tadi.

Tentu saja Ci-keng menjadi marah! “Aku tanya kau, mengapa kau tidak menjawab?” dia membentak pula dengan suara yang lebih keras.

“Suhu ingin aku menjawab apa, segera akan kujawab apa,” demikian sahut Yo Ko dengan bandel.

Mendengar kata-kata yang ketus ini, amarah Thio Ci-peng tidak bisa ditahan lagi, tangannya terus menampar.

“Plak!” seketika pipi Yo Ko merah bengap.

Yo Ko menjerit dan menangis, mendadak ia angkat kaki terus berlari pergi. Akan tetapi dengan cepat Ci-keng dapat menjambretnya.

“Hendak kemana kau?” tanyanya.

“Lepaskan aku! Aku tidak sudi belajar silat padamu lagi!” teriak Yo Ko.

Tentu saja Ci-keng bertambah panas hatinya. “Anak haram, kau bilang apa?” bentaknya.

Namun Yo Ko sudah pepet, ia menjadi nekat. “lmam busuk, imam anjing, kau boleh memukul mati aku saja!” demikian segera ia balas mencaci maki.



Pada jaman feodal dahulu, hubungan antara guru dan murid dipandang penting sekali. Di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, hubungan guru dan murid dipandang seperti ayah dan anak saja, sekali pun sang guru hendak menghukum mati muridnya, yang menjadi murid pun tidak berani membantah. Kini Yo Ko sebaliknya berani mencaci maki gurunya, sungguh ini suatu perbuatan murtad yang terkutuk yang selamanya jarang terlihat dan terdengar. Karena itu, dalam marahnya muka Ci-keng menjadi merah padam, dia angkat tangannya hendak menempeleng lagi.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong Yo Ko melompat maju terus merangkul lengannya yang terangkat itu, bahkan bocah ini pentang mulutnya menggigit sini sana hingga akhirnya jari Thio Ci-keng kena digigit dengan kencang.

Kiranya semenjak Yo Ko mendapat ajaran rahasia ilmu silat dari Auyang Hong, meski dia berlatih tidak teratur, tapi soal Iwekang sedikit banyak dia sudah punya landasan. Dalam keadaan marah itu Thio Ci-keng menganggap Yo Ko hanya satu anak kecil, maka sedikit pun dia tidak berjaga-jaga sehingga kena dirangkul dan dicokot, dia ternyata tak sanggup melepaskan gigitan Yo Ko meski dia sudah kipat-kipatkan lengannya.

Justru jari tangan adalah anggota badan orang yang paling lemah, sakitnya paling susah ditahan. Dalam kesakitannya Ci-keng segera mengangkat sebelah tangan yang Iain terus menggebuk pundak Yo Ko dengan keras.

“Kau cari mampus? Hayo, lepas!” ia membentak lagi.

Akan tetapi Yo Ko dilahirkan dengan watak yang keras dan tidak kenal apa artinya takut, apa lagi kini dia dalam keadaan murka dan nekad, sekali pun di bawah ancaman senjata belum tentu dia mau melepaskan begitu saja. Namun karena pundaknya digebuk hingga terasa kesakitan, gigitannya semakin tambah kuat, maka terdengarlah suara “kletak”, tulang jari kena digigit patah.

Dalam keadaan demikian Thio Ci-keng tidak bisa berpikir panjang, ia ayun tinjunya terus mengetok dengan gemas ke atas batok kepala Yo Ko, dipentangnya jari telunjuk tangan kanannya, barulah bisa ditarik keluar dari mulut kecil yang masih terkatup kencang itu.

Maka tampaklah tangannya berlumuran darah, tulang jarinya patah, meski dia bisa gunakan obat luka untuk menyambung tulang jari, tetapi sejak itu jarinya tidak bertenaga lagi, dengan sendirinya ilmu silatnya lantas banyak terhalang. Dalam sengitnya, tak tahan lagi Ci-keng segera tambahi pula beberapa kali tendangan ke tubuh Yo Ko yang sudah menggeletak di tanah.

Ci-keng lalu merobek sedikit kain baju untuk membalut luka jarinya, waktu dia memeriksa sekelilingnya, untung tiada orang lain. Ia pikir kalau kejadian ini sampai dilihat orang luar dan disiarkan ke kalangan Kangouw, pasti dia akan kehilangan muka. Lalu dia ambil satu ember air dingin dan disiram ke muka Yo Ko. Tetapi setelah sadar, kembali Yo Ko menyeruduk maju lagi sambil menghantam kalang-kabut bagai banteng ketaton.

“Binatang, apa kau betul-betul tak ingin hidup lagi?” bentak Thio Ci-keng sambil menjamberet dada Yo Ko.

Akan tetapi Yo Ko tetap tidak mau menyerah. “Kau bangsat, imam anjing, imam busuk, kau sendiri yang binatang!” balasnya memaki.

Karena tidak tahan marahnya oleh caci-maki balasan ini, kembali Thio Ci-keng mengayun tangannya memberikan sekali tamparan lagi. Sekarang dia sudah ber-jaga-jaga, kalau Yo Ko berani balas menghantam tentu takkan bisa mendekatinya, maka dalam sekejap saja Yo Ko telah ditendang beberapa kali hingga jungkir-balik dan jatuh-bangun.

Dalam keadaan demikian, apa bila Thio Ci-keng mau melukai Yo Ko, sebenarnya dengan gampang saja bisa dia lakukan, namun apa pun juga anak ini adalah muridnya sendiri, jika dia menggunakan pukulan berat, kemudian kalau ditanya para paman guru dan Suhu-nya, cara bagaimana harus menjawabnya?

Sebaliknya Yo Ko masih saja menggeluti orang dengan ngawur dan nekat meski tubuhnya beberapa kali kena digenjot Ci-keng, rasanya juga tidak kepalang sakitnya, tetapi sedikit pun dia pantang mundur.

Akhirnya Thio Ci-keng menjadi kewalahan sendiri. Meski ia masih pukul dan tendang Yo Ko yang terus menyeruduk secara membabi-buta, tetapi dalam hati tidak kepalang menyesalnya. Ia lihat bocah ini meski pun tubuhnya sudah babak-belur, tetapi makin lama malah semakin berani sampai akhirnya, karena tiada jalan lain, ia tutuk Hiat-to di bahu Yo Ko sehingga membuatnya tidak berkutik lagi. Tubuh Yo Ko menggeletak di tanah, namun di antara sinar matanya jelas kelihatan penuh mengandung rasa murka.

“Kau murid murtad, sekarang kau menyerah tidak?” kata Thio Ci-keng.

Akan tetapi Yo Ko hanya menjawab dengan mata melotot, sedikit pun dia tidak unjuk rasa takluk. Ci-keng duduk di atas sepotong batu, napasnya empas-empis. Jika dia bertanding dengan jagoan tinggi, meski berlangsung satu jam atau tiga perempat jam, sekali-kali tidak akan memburu, kini kaki-tangannya tidak capek, tetapi dalam hati luar biasa marahnya hingga dia tak bisa berdiri.

Demikianlah guru dan murid ini saling mendelik berhadapan. Seketika Ci-keng menjadi kehabisan akal, ia tidak tahu cara bagaimana supaya mendapatkan jalan yang baik untuk membereskan perkara anak binal ini. Selagi ia merasa kesal, tiba-tiba terdengar suara genta ditabuh keras. Ia kenal itu adalah tanda panggilan Ciangkau mereka, Ma Giok, yang sedang mengumpulkan semua anak murid Coan-cin-kau. Keruan Ci-keng terkejut.

“Jika kau tidak bandel lagi, aku bebaskan kau,” katanya pada Yo Ko. Habis ini dia lantas menotok pula buat lancarkan jalan darah orang.

Siapa tahu, begitu Yo Ko melompat bangun, segera ia hendak menyeruduk maju lagi.

“Aku sudah tidak pukul kau, mau apa lagi?” dengan marah Ci-keng membentak.

“Selanjutnya kau pukul aku tidak?” tanya Yo Ko.

Sementara suara genta tadi terdengar ditabuh makin riuh, Ci-keng tidak berani ayal, maka terpaksa ia menjawab:

“Jika kau berlaku baik, kenapa aku harus pukul kau?”

”Baiklah kalau begitu, Suhu,” kata Yo Ko. “Kau tidak pukul aku, aku lantas panggil kau Suhu, tetapi sekali kau pukul aku, selamanya tidak akan aku mau mengaku kau sebagai guru Iagi.”

Ci-keng tersenyum getir oleh kepala batu si bocah ini. “Ciangkau memanggil semua anak murid, mari lekas kau ikut ke sana,” katanya kemudian.

Tetapi demi melihat baju Yo Ko sudah robek dan kumal, mukanya pun babak belur, Ci-keng kuatir kalau ditanya orang, maka dia bersihkan tubuh Yo Ko, habis ini ia tarik tangan bocah ini terus berlari ke depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu.

Sementara itu para imam Coan-cin-kau telah mendirikan belasan buah rumah atap alang-alang di tempat bekas Tiong-yang-kiong. Ketika Ci-keng dan Yo Ko sampai di sana, para imam yang lain sudah berbaris berdiri di sana dengan teratur, sedang Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga kelihatan duduk menghadap keluar. Kemudian Ma Giok menepuk tangan sekali, seketika keadaan menjadi sunyi senyap, para imam tak berani berisik lagi.

“Kita telah menerima berita dari Tiang-seng Cinjin dan Jing-ceng Sanjin yang dikirim dari Soasay, katanya urusan di sana amat sulit diselesaikan, maka Tiang-jun Cinjin dan Giok-yang Cinjin (Khu Ju-ki dan Ong Ju-it) berdua hari ini juga akan berangkat membantu ke sana, untuk itu perlu membawa serta sepuluh anak murid,” demikianlah dengan suara lantang Ma Giok berpidato.

Karena pengumuman ini, para imam banyak yang saling pandang, ada yang terkejut dan heran, ada pula yang murka.


PERTANDINGAN ANTAR MURID

Kemudian dengan suara keras Khu Ju-ki lantas menyebutkan nama sepuluh anak murid Coan-cin-kau, ia pesan:

“Lekas menyiapkan apa yang perlu, supaya besok pagi bisa ikut berangkat. Yang lain bolehlah bubar sekarang!”

Sesudah itu maka suara berisik segera terdengar lagi, para imam itu membicarakan tentang urusan penting yang ternyata ada hubungannya dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu.

Tengah mereka saling berunding, Khu Ju-ki sendiri sudah mendekati Thio Ci-keng lantas berkata padanya:

“Sebenarnya aku hendak bawa serta kau, tetapi karena kuatir pelajaran Ko-ji terhalang, maka sekali ini tidak perlu kau ikut pergi!”

Habis ini sekilas tampak olehnya muka Yo Ko babak-belur dan matang-biru, tentu saja dia kaget sekali.

“He, kenapa kau? Dengan siapa kau berkelahi?” tanyanya cepat.

Keruan Thio Ci-keng kerupekan, ia gugup sekali, kuatir kalau-kalau Yo Ko menceritakan apa yang terjadi dengan terus terang, tentu paman gurunya ini akan mendamperat habis-habisan, maka lekas ia mengedipi mata memberi tanda pada Yo Ko agar jangan bilang.

Akan tetapi Yo Ko sudah mengambil keputusannya sendiri. Pada waktu melihat Ci-keng kerupekan, ia pura-pura tidak tahu, dia sengaja bicara dengan tidak jelas dan tidak menjawab pertanyaan orang. Dengan sendirinya Khu Ju-ki menjadi marah.

“Siapakah yang berani pukul kau sedemikian rupa? Hayo katakan, sebenarnya siapa yang salah? Lekas bilang!” bentak Ju-ki lagi.

Mendengar suara Khu Ju-ki yang makin bengis ini, dalam hati Ci-keng semakin ketakutan pula.

“Bukan berkelahi, tetapi Tecu sendiri jatuh kesandung dan tergelincir ke jurang,” sahut Yo Ko kemudian.

Sudah tentu Khu Ju-ki tidak gampang percaya. “Kau bohong, tanpa sebab kenapa bisa jatuh kesandung?” desaknya lagi.

“Tadi Co-su-ya mengajar Tecu agar belajar giat...”

“Ya, kenapa?” sela Khu Ju-ki.

“Dan sesudah Co-su-ya pergi, Tecu pikir memang benar apa yang Co-su-ya ajarkan itu,” demikian Yo Ko menyambung, “maka selanjutnya Tecu pasti akan giat belajar agar lekas maju, dengan begitu tidak mengecewakan harapan Co-su-ya.”

Dengar obrolan Yo Ko ini, lambat laun air muka Khu Ju-ki berubah tenang kembali, ia pun bersuara sekali lagi tanda membenarkan.

“Tetapi siapa duga mendadak datang seekor anjing gila,” demikian sambung Yo Ko lagi, “tiba-tiba anjing gila itu menubruk ke arah Tecu sambil mencakar dan menggigit serabutan, Tecu lalu balas menendang dan menghantam untuk mengusir anjing gila itu, tetapi makin lama anjing gila itu semakin ganas. Karena Tecu takut kena digigit, maka terpaksa angkat langkah seribu, dan karena kurang hati-hati, Tecu tergelincir ke jurang. Syukur Suhu keburu datang sehingga aku dapat ditolongnya.”

Atas keterangan ini Khu Ju-ki masih setengah percaya dan separoh sangsi, dia mencoba memandang Thio Ci-keng, maksudnya bertanya apa yang dituturkan Yo Ko itu betul atau tidak? Dalam hati tidak kepalang marahnya Thio Ci-keng, ia sedang membatin: “Bagus, kau anak busuk berani mencaci maki aku sebagai anjing gila?”

Akan tetapi karena keadaan terdesak ia tak berani menyangkal pembohongan Yo Ko tadi, maka terpaksa ia mengangguk dan menjawab:

“Ya, memang Tecu yang menolongnya.”

Karena kepastian ini barulah Khu Ju-ki mau percaya. “Sesudah aku berangkat, kau harus ajarkan ilmu dasar dari aliran kita kepadanya dengan sesungguh hati, tiap sepuluh hari Ma-supek akan mengadakan pemeriksaan ulang untuk memberi petunjuk pada bagian-bagian yang penting,” demikian ia memberi pesan pula sebelum melangkah pergi.

Dalam hati Ci-keng sebenarnya seribu kali tidak rela, tapi kata-kata sang paman gurunya ini, mana ia berani membantah, terpaksa ia mengangguk mengiakan. Sebaliknya Yo Ko merasa sangat senang karena berhasil memaksa gurunya menyerah dengan mengaku diri sendiri sebagai anjing gila, maka apa yang dikatakan Khu Ju-ki tadi boleh dikatakan tiada yang dia dengar.

Begitu Khu Ju-ki bertindak pergi beberapa puluh langkah, Thio Ci-keng tak bisa menahan api amarahnya yang membara, maka tanpa pikir segera tangannya diangkat terus hendak menghantam batok kepala Yo Ko.

“Khu-suco!” cepat Yo Ko memanggil Khu Ju-ki sebelum tangan orang sempat mampir di kepalanya.

Mendengar teriakan ini, Khu Ju-ki menoleh dengan bingung. “Apa apa?” tanyanya.

Dalam pada itu tangan Ci-keng masih terangkat ke atas, karena menolehnya sang paman guru, tak berani ia menabok terus, keruan lagaknya menjadi kikuk dan serba salah, maka dia pun terpaksa pura-pura meng-garuk rambut di pelipisnya. Sedang Yo Ko lantas berlari kepada Khu Ju-ki, katanya.

“Co-su-ya, nanti kalau kau pergi, karena tidak ada yang melindungi aku, banyak Supek dan susiok di sini akan menggebuki aku.”

Tentu saja pengaduan ini bikin Khu Ju-ki menarik muka. “Ngaco belo, mana bisa terjadi begitu?!” bentaknya.

Meski di luar dia bersikap bengis, akan tetapi dalam hati sebenarnya Khu Ju-ki orangnya welas-asih. Tiba-tiba ia jadi teringat Yo Ko memang sudah piatu dan harus dikasihani, maka segera ia pesan lagi dengan suara keras:

“Ci-keng, kau harus menjaga bocah ini dengan baik, jika terjadi apa-apa atas dirinya, sekembaliku hanya kau yang kumintai pertanggungan jawab.”

Terpaksa kembali Ci-keng menyanggupi lagi. Begitulah, petang harinya sehabis bersantap malam, dengan perasaan masih kebat-kebit karena kuatir dihajar gurunya lagi, Yo Ko datang ke ruangan tempat sang Suhu. Sesudah berhadapan dengan Ci-keng, ia memanggil dengan tangan lurus ke bawah:

“Suhu!”

Tatkala itu adalah waktunya mengajarkan ilmu silat. Thio Ci-keng sedang duduk semadi di pembaringannya, semenjak tadi ia sudah ber-pikir: “Anak ini begini nakal, kalau kini tidak dikendalikan dengan baik, kelak kalau ilmu silatnya sudah tinggi, siapa lagi yang sanggup mempengaruhi dia? Akan tetapi Khu-supek dan Suhu justru perintahkan aku mengajarkan ilmu silat padanya, jika aku tidak mengajarkan, hal ini tak boleh jadi pula.”

Begitulah lama ia berpikir dan masih belum mengambil suatu keputusan. Ketika melihat datangnya Yo Ko yang seperti takut-takut, namun sinar matanya mengerling terang, wajahnya seperti ketawa tetapi tidak ketawa, keruan lagak Yo Ko ini semakin bikin marah.

“Ah, ada satu akal,” tiba-tiba tergerak pikirannya, “sementara ini sedikit pun dia belum paham akan ilmu kepandaian golongan sendiri, asal aku melulu mengajarkan dia istilah-istilahnya tapi caranya berlatih sedikit pun tidak kukatakan padanya, dengan demikian meski beratus kali dia ingat akan istilah ilmu Iwekang yang aku ajarkan juga tidak ada gunanya. Kalau Suhu dan para Supek menanyakan, aku boleh pakai alasan bahwa dia sendiri yang tidak mau giat belajar.”

Begitulah, setelah mengambil ketetapan ini, dengan tersenyum dan suara halus ia lantas memanggil:

“Ko-ji, maju sini!”

“Kau akan pukul aku tidak?” tanya Yo Ko ragu-ragu.

“Aku akan ajarkan ilmu padamu, untuk apa pukul kau?” sahut Ci-keng.

Melihat sikap orang yang berubah ramah tamah ini, sama sekali tidak Yo Ko duga. Maka dengan perlahan ia melangkah maju, hanya dalam hati ia tetap waspada dan ber-jaga-jaga akan segala kemungkinan, ia kuatir kalau orang pakai tipu muslihat. Sudah tentu kelakuan bocah ini dapat dilihat Thio Ci-keng, namun ia pura-pura tidak tahu.

“llmu kepandain Coan-cin-kau kita harus dilatih mulai dari dalam sampai keluar, sungguh berbeda sekali dengan ilmu Gwa-keh yang melatihnya justru dari luar ke dalam,” demikian kemudian ia berkata, “Dan kini aku akan mengajarkan intisari ilmu kita padamu, kau harus meng-ingat-ingatnya dengan baik.”

Habis ini dia lantas uraikan istilah kunci berlatih Iwekang dari Coan-cin-kau pada Yo Ko. Dasar kecerdasan Yo Ko memang melebihi orang biasa, meski pun hanya mendengarkan sekali saja namun dia sudah bisa ingat betul. Dia juga berpikir sendiri: “Suhu terang benci dan marah padaku, mana mungkin dia ajarkan aku ilmu kepandaian sejati? Jangan-jangan dia sengaja ajarkan aku dengan segala istilah-istilah palsu yang tak berguna?”

Oleh karena itulah, lewat tak lama, ia pura-pura lupa apa yang diajarkan kepadanya tadi, ia meminta petunjuk lagi pada Thio Ci-keng. Namun Ci-keng dapat mengulangi lagi sama seperti semula. Besoknya, ketika Yo Ko pura-pura tanya lagi, ia dengar Ci-keng menguraikan lagi tetap sama dengan yang kemarin, barulah dia mau percaya ajarannya bukanlah palsu, sebab kalau palsu atau bikinan belaka, be-runtun menyebut tiga kali pasti tiap kata atau istilahnya takkan sama.

Begitulah, berturut-turut sudah lewat sepuluh hari, selama itu Ci-keng hanya mengajarkan istilah kosong saja kepada Yo Ko, tetapi cara atau praktek belajarnya sama sekali tidak diajarkannya.

Pada hari ke sepuluh Ci-keng membawa Yo Ko pergi menemui Ma Giok dan melaporkan bahwa dia sudah mengajarkan bocah itu dengan dasar-dasar ilmu silatnya bahkan dia suruh Yo Ko membaca diluar kepala di hadapan Ciangkau Co-su-ya. Melihat Yo Ko betul-betul membaca diluar kepala dengan tepat, satu huruf saja tiada yang salah, keruan Ma Giok menjadi senang, berulang kali ia puji anak ini memang pintar. Ma Giok adalah seorang imam berilmu dan tidak suka berpikir ke arah yang jelek, dengan sendirinya dia tidak menyangka akan tipu muslihat Thio Ci-keng.

Demikianlah, sang tempo berlalu dengan cepat, sekejap mata saja beberapa bulan sudah berlalu. Selama ini boleh dikatakan Yo Ko sudah kenyang menghapal istilah-istilah Iwekang yang diajarkan Thio Ci-keng, akan tetapi prakteknya sedikit pun belum pernah diajarkan, maka soal ilmu silat hakekatnya dia masih sama saja seperti semula naik gunung.

Tetapi Yo Ko pintar luar biasa, mana bisa dia tidak tahu bahwa kepandainya terhalang? Hanya dalam belasan hari saja dia lantas tahu bahwa gurunya sengaja mempermainkan dirinya, tetapi kalau orang tidak mau memberi pelajaran, ia pun tidak berdaya, terpaksa ia harus menunggu kembalinya Khu Ju-ki untuk melaporkan padanya. Tetapi menunggu sampai sekian lama, belum juga Khu Ju-ki kembali. Meski usia Yo Ko masih kecil, tapi dia pintar membawa diri, kalau dalam hati rasa bencinya terhadap Suhu semakin hebat dan semakin menjadi-jadi, sebaliknya diluar dia justru tambah menghormat dan menurut.

Diam-diam Thio Ci-keng menjadi senang melihat tipu muslihatnya berhasil, katanya di dalam hati: “Hm, kau berani membangkang terhadap guru, lihat saja, akhirnya siapa yang rugi?”

Sementara itu tibalah waktunya akhir tahun. Menurut kebiasaan Coan-cin-kau yang turun temurun semenjak Ong Tiong-yang, tiap tahun, tiga hari sebelum tahun baru, para anak murid harus mengikuti pertandingan besar di mana mereka akan menunjukkan ilmu silat yang mereka latih, dengan tujuan untuk mengetahui sampai di mana kemajuan masing-masing. Dan karena temponya sudah dekat, maka para anak murid Coan-cin-kau itu tampak sibuk sekali berlatih diri siang dan malam.

Hari ini adalah sepuluh hari sebelum tibanya hari pertandingan, para anak murid Coan-cin-kau biasanya membagi diri dalam kelompok kecil untuk saling latih, ini disebut ‘repetisi’, Begitu pula hari ini Thio Ci-keng dan Cui Ci-hong serta kawan-kawannya yang menjadi murid Ong Ju-it telah berkumpul di suatu lapangan sebelah timur untuk berlatih.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar