Rabu, 26 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 020

“Ya, tidak salah,” kata Khu Ju-ki. “Katanya sesudah Suhu mereka mengajarkan ilmu silat beberapa tahun kepada Li Bok-chiu, kemudian dapat dilihatnya bahwa jiwa perempuan itu ternyata tidak baik, maka dengan alasan sudah tamat belajar, Li Bok-chiu disuruh turun gunung.

Waktu gurunya masih hidup, meski Li Bok-chiu sudah banyak melakukan kejahatan, namun masih rada jeri, tapi setelah gurunya mati, dia pakai kedok hendak melayat buat menyerbu ke dalam kuburan. Dia berniat mengusir sang Sumoay dan mengangkangi semua benda mestika yang tersimpan di dalamnya.

Tak tahunya, di dalam kuburan itu banyak terpasang alat-alat rahasia jebakan yang aneh dan bagus. Meski Li Bok-chiu cukup lihay, namun sesudah banting tulang akhirnya dia bisa menembus dua lapis pintu kuburan, di depan pintu lapisan ketiga dia melihat ada sepucuk surat tinggalan Suhu padanya.

Kiranya guru sebelumnya sudah menduga akan kedatangannya, Maka dalam surat wasiat itu tertulis bahwa pada tahun ini, bulan dan hari itu adalah genap ulang tahun ke-20 Sumoay-nya, pada saat itu Sumoay-nya akan turun gunung untuk mencari ayah-bunda kandungnya, maka bila bersua di kalangan Kangouw, hendaklah dia mengingat hubungan seperguruan dan suka memberi bantuan dan perlindungan.

Dalam surat wasiat itu dipesan pula agar dia suka perbaiki kelakuannya yang jahat, kalau tidak, akhirnya akan menelan akibat perbuatannya sendiri.

Tak terduga, bukannya Li Bok-chiu insaf, bahkan ia sangat marah oleh isi surat sang guru. Segera ia menyerbu masuk ke pintu lapisan ke tiga, tapi di sini ia terjebak oleh jarum berbisa yang memang sebelumnya sudah dipasang gurunya. Kalau bukan Siao-liong-li memberi obat dan menyembuhkan lukanya mungkin seketika itu juga jiwanya sudah melayang.

Karena itu ia baru kenal lihaynya kuburan itu, terpaksa ia keluar kembali kemudian turun gunung. Tetapi kalau hanya begitu saja, mana dia terima? Belakangan kembali beberapa kali menyerbu kuburan, tetapi selalu menderita kecelakaan, bahkan terakhir kalinya malah bergebrak dengan Sumoay-nya. Tatkala itu usia Siao-liong-li baru 16 atau 17 tahun, akan tetapi ilmu silatnya ternyata sudah jauh di atas kakak seperguruannya. Kalau bukan sengaja dia bermurah hati, mungkin bukan masalah sulit untuk melayangkan jiwa Li Bok-chiu”

“Peristiwa itu mungkin disebabkan berita yang tersebar di kalangan Kangouw itu kurang benar,” Kwe Ceng memotong cerita orang.

“Kenapa kau tahu?” tanya Ju-ki.

“Tecu sendiri sudah pernah mengetahui kepandaian Li Bok-chiu,” sahut Kwe Ceng. “llmu silat perempuan ini sesungguhnya ada bagian unggulnya tersendiri. Kalau umur Siao-liong-li belum ada 20 tahun, betapa bagus lagi ilmu silatnya kukira susah juga buat menangkan dia.”

“Cerita itu Ong-sute dengar dari salah seorang kawannya dari Kay-pang, soal Siao-liang-li mengalahkan Li Bok-chiu, apa itu benar atau tidak, karena waktu itu tiada orang ketiga yang melihatnya, tentu tiada seorang pun yang tahu dengan pasti, cuma di kalangan Kangouw tersiar cerita itu,” ujar Khu Ju-ki.

“Karena itulah hati Li Bok-chiu makin dendam, ia tahu Suhu-nya pilih kasih dan menurunkan ilmu silat yang lebih lihay pada sang Sumoay. Maka ia sengaja menyiarkan kabar bahwa tahun, bulan dan hari itu, Siao-liong-li dari kuburan ‘Hoat-su-jin-bong’ akan mengadakan sayembara memilih jodoh.

Bahkan dia tambahi bahwa siapa saja yang bisa menangkan Siao-liong-li, bukan saja Siao-liong-li akan menyerahkan dirinya, bahkan semua harta mestika dalam kuburan, kitab-kitab ilmu silat dan macam-macam lagi akan dihadiahkan seluruhnya.

Para penyatron itu sesungguhnya tidak mengetahui siapa dan macam apakah Siao-liong-li, tetapi Li Bok-chiu sengaja bikin propaganda, katanya dia punya sumoay jauh lebih cantik dari padanya. Seperti kau sendiri sudah lihat, kecantikan Jik-lian-sian-cu itu jarang ada bandingannya di kalangan Bu-lim, sekali pun puteri bangsawan atau gadis hartawan tak bisa menandinginya.”

Mendengar orang memuji kecantikan Li Bok-chiu, di dalam hati diam-diam Kwe Ceng berkata: “Begitu saja mengapa harus heran? Aku punya Yong-ji saja sudah beratus kali lebih ayu dari padanya.”

Padahal ini hanya pendapat pribadi Kwe Ceng yang tentu saja memuji isterinya sendiri. Memang, apa bila bicara mengenai kecantikan, keluwesan Oey Yong jauh lebih unggul, tetapi kalau soal gaya, Li Bok-chiu lebih menarik.

“Dan justru memang tidak sedikit manusia serong di kalangan Kangouw yang terpikat kecantikan Li Bok-chiu, cuma, kesatu karena usianya sudah tidak muda lagi, dan kedua, tangannya yang gapah dan tak kenal ampun. Karena itu tidak sembarang orang berani ‘menaksir’ padanya,” demikian sambung Khu Ju-ki.

“Dan kini mendengar bahwa Li Bok-chiu memiliki Sumoay yang maha cantik, malah secara terang-terangan mengadakan sayembara mencari jodoh, keruan saja, siapa pun pingin mencoba peruntungan?”

Sampai disini, mengertilah Kwe Ceng akan duduk perkara sebenarnya. “O, jadi para pendatang ini hendak meminang?” katanya kemudian, “Pantas saja para To-heng di sini mencaci maki padaku sebagai maling cabul segala.”

Ju-ki ketawa terhahak oleh penuturan Kwe Ceng ini. “Begitulah, maka sesudah aku dan Ong-sute mendapat berita itu, kami pikir meski Siao-liong-li dengan kami hanya sekedar kenal saja, akan tetapi hubungan tetangga dekat, pula pergaulan orang tua kedua belah pihak pun lain dari pada yang lain. Laginya para siluman dan maling cabul itu jika betul-betul berani mengeluruk kesini, berarti sama sekali tidak pandang sebelah mata kepada Coan-cin-kau, apakah kami bisa biarkan begitu saja orang malang-melintang di atas gunung Cong-lam-san kita? Oleh sebab itu lantas kami undang semua jago Coan-cin-kau dari berbagai angkatan, sepuluh hari sebelumnya kami sudah berkumpul di Tiong-yang-kiong.

Selain kami giat berlatih Pak-tau-tin-hoat, kami mengirim surat pula kepada Siao-liong-li di dalam kuburan untuk memperingatkan dia agar berjaga-jaga. Siapa duga surat kami tetap seperti batu tenggelam di samudera raya saja, Siao-liong-li sama sekali tidak menggubris kemauan baik kami.”

“Jangan-jangan dia sudah tiada,” ujar Kwe Ceng.

“Tidak, setiap hari kami memandangnya dari jauh di atas gunung, masih tetap kami lihat ada asap dapur yang mengepul keluar dari kuburan,” sahut Khu Ju-ki. “Kau boleh lihat itu, di sebelah sana itu!” sembari berkata ia tunjukkan dengan jarinya ke arah barat.



Waktu Kwe Ceng memandang, ia lihat sebelah barat gunung lebat dan rindang, tanah seluas belasan li yang tampak hanya hutan belaka, ia pun tidak tahu di mana letak ‘Hoat-su-jin-bong’ yang dimaksud.

“Dan setelah kami berunding, kami mengambil keputusan akan mewakili Siao-liong-li menghadapi musuh,” kata Khu Ju-ki lagi. “Lima hari sebelumnya kami kirim orang pergi mencari berita. Para penyelidik sudah kembali semua dan benar saja diperoleh kabar bahwa tak sedikit kawanan penjahat yang bernyali besar hendak naik Cong-lam-san untuk ikut sayembara dan melamar Siao-liong-li.

Tapi ada pula beberapa di antaranya yang keder kepada Tiong-yang-kiong yang letaknya berdekatan. Mereka ini mundur teratur, tapi selebihnya karena mendapat dukungan dua orang pentolan besar, mereka ambil kepastian naik ke sini.

Mereka telah berjanji berkumpul di kuil di bawah gunung itu dan memakai tanda tepukan tangan pada pilar batu. Dan karena tanpa sengaja kau menepuk pilar batu, lagi pula kau unjuk kepandaianmu yang cukup mengejutkan, pantas kalau para cucu muridku menjadi geger dan salah sangka padamu.

Dan tentang kedua pentolan iblis itu, kalau dibicarakan memang cukup besar juga nama mereka, cuma selama ini mereka tidak menginjakkan kaki ke daerah Tionggoan. Kau pun telah belasan tahun menetap di Tho-hoa-to, maka kau tidak mengenal mereka. Putera bangsawan tadi adalah Pangeran dari Mongol, katanya masih anak-cucu keturunan lurus Jengis Khan. Selamanya dia tinggal di tanah barat, entah mendapat ajaran dari pendekar mana, meski pun umurnya masih muda namun sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi dan mengejutkan.

Orang menyebutnya Pangeran Hotu. Kau pernah tinggal lama di tanah gurun itu, lagi pula pergaulanmu dengan para bangsawan Mongol amat dekat, apa kau ingat akan asal-usul orang ini?”

“Pangeran Hotu, pangeran Hotu?” demikian Kwe Ceng komat-kamit mengulangi beberapa kali nama itu.

Ia pun mengenangkan kembali wajah putera bangsawan yang cakap itu, tapi sama sekali dia tidak ingat anak keturunan siapakah dia ini. Ia hanya merasa sikap putera bangsawan ini memang agung, di antara mata-alisnya mengunjuk sikap yang angker berwibawa. Ia cukup kenal dengan Jengis Khan dan keempat puteranya, rupa keempat putera Jengis Khan itu sama sekali tiada yang sama dengan Pangeran Hotu ini.

“Ya, mungkin dia hanya sengaja menaikkan harga diri saja dan membual”, kata Khu Ju-ki pula, “Tapi permulaan tahun ini, begitu ia datang di daerah Tionggoan, sekaligus ia telah melukai Ho-lam-sam-hiong (tiga jagoan dari Holam), belakangan di Kamsiok seorang diri dia bunuh pula Langciu-chit-pa (tujuh buaya darat dari Langciu), karena itu namanya seketika terpandang tinggi dan berkumandang, tetapi kami sama sekali tidak menduga bahwa dia justru bisa ikut dalam urusan Siao-liong-li ini.

“Sedang tokoh yang satunya lagi adalah paderi Tibet, ia adalah Ciangkau (penjabat ketua agama) dari sekte Bitcong di Tibet, namanya Darba. Ia memang sudah lama terkenal dan kalau dihitung tingkatannya masih sama dengan aku. Dia adalah seorang Hwesio, dengan sendirinya tujuan kedatangannya bukan buat melamar Siao-liong-li, maka maksudnya kalau bukan hendak memamerkan kepandaian dan menggemilangkan namanya, tentu dia mengincar harta mestika yang tersimpan di dalam kuburan milik mendiang guruku, bukan mustahil tujuannya meliputi kedua-duanya tadi.

Sedangkan para penyatron yang lain, karena tampilnya kedua orang tadi, mereka tidak ada pikiran buat melamar, mereka pikir asal bisa ikut menyerbu ke atas gunung dan membongkar kuburan kuno, sedikit banyak tentu mereka bisa membagi rejeki, karena ituIah hari ini yang naik ke Cong-lam-san ternyata berjumlah ratusan orang banyaknya. Sebenarnya Pak-tau-tin yang kami pasang itu masih mampu menahan seluruh penyatron kelas rendahan itu di bawah gunung. Sekali pun tak bisa menangkap hidup-hidup, tapi sedikitnya mereka tidak akan mampu mendekati Tiong-yang-kiong.

Tapi rupanya Coan-cin-kau kita memang harus mengalami mala petaka ini hingga terjadi salah paham atas dirimu, ya, apa yang perlu dikatakan lagi?”

Kwe Ceng menjadi amat menyesal. Ia ingin mengucapkan beberapa kata yang bersifat mohon maaf, tetapi dengan tertawa Khu Ju-ki mencegahnya.

“Tak perlu kau menyesal. Benda yang musnah itu hanya barang di luar tubuh, jiwa raga sendiri saja tidak perlu dibuat sayang, mengapa harus urus lagi benda di luar tubuh?” katanya pula, “Kau sudah latih Iwekang selama belasan tahun, apakah sedikit pengertian ini saja kau belum paham?”

Kwe Ceng tersenyum, ia mengiakan kata-kata orang.


PASUKAN TAWON PUTIH

“Begitulah, selagi kau dikerubuti Pak-tau-tin dengan segenap kekuatannya, pada lain pihak kedua pentolan iblis itu berkesempatan membawa begundalnya menyerbu hingga ke depan Tiong-yang-kiong. Begitu datang mereka lantas mengobarkan api. Ketika Hek-sute mendahului maju melabrak pangeran Hotu, rupanya dia terlampau pandang enteng pihak musuh, pula ilmu silat Hotu memang berlainan dari pada orang biasa dan sangat aneh, karena sedikit lengah, Hek-sute kena sekali pukulannya di dada.

Dengan sendirinya kami lekas-lekas pasang barisan bintang untuk melindunginya. Akan tetapi karena kekurangan tenaga Hek-sute, sedangkan anak murid yang menggantikan tempatnya masih selisih terlalu jauh kepandaiannya, maka daya tekanan barisan kita sulit dikerahkan seluruhnya. Coba, kalau kau tidak datang tepat pada waktunya, mungkin hari ini Coan-cin-kau sudah dihancurkan orang.

Sekarang kalau diingat lagi, bila kau tidak ke sini, sungguh pun para penyatron tingkat rendahan pun tidak mampu naik ke atas, tetapi untuk menahan Pangeran Hotu dan Darba berdua jelas juga tidak bisa. Kedua orang ini kalau bahu-membahu menempur Pak-tau-tin kita, walau pun kami belum pasti dikalahkan, tapi sukar juga memperoleh kemenangan.”

Bercerita sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara bunyi “hauuuuh hauuuh hauuuuuh” di jurusan barat, mendadak ada orang membunyikan tanduk. Suara tiupan tanduk itu begitu seram, sayup-sayup seperti mengandung maksud bunuh membunuh dan seperti sebuah tantangan yang ditujukan kepada seseorang.

“Binatang, binatang!” mendadak Khu Ju-ki memaki dengan marah, Sambil memandang ke rimba di sebelah barat gunung, ia berkata pula pada Kwe Ceng: “Ceng-ji, bangsat itu telah membuat perjanjian sepuluh tahun dengan kau, lalu dia mengira dalam sepuluh tahun ini dapat berbuat sewenang-wenang sesukanya, dengan begitu supaya kau tidak bebas ikut campur urusannya, tetapi di bumi ini mana ada persoalan yang begini mudah. Mari kita ke sana!”

“Apakah itu ulah pangeran Hotu?” tanya Kwe Ceng.

“Siapa lagi kalau bukan dia,” sahut Ju-ki. “Dia justru sedang menantang Siao-liong-li!”

Sembari berkata dia pun bertindak cepat turun gunung, Tanpa ayal lagi segera Kwe Ceng menyusul di belakangnya. Sesudah beberapa li mereka tempuh, terdengarlah oleh mereka suara bunyi tanduk tadi disebul semakin keras, di antara suara “hu-hu” itu bahkan masih terseling pula suara “ting-ting-ting” yang terdengar nyaring dari bunyi keleningan. Suara keleningan ini menunjukkan tanda bahwa itu paderi Tibet Darba pun sudah ikut turun tangan.

Khu Ju-ki menjadi marah oleh kelakuan kedua orang itu. “Hm, dua jago terkemuka sama-sama menghina seorang gadis cilik, sungguh tidak tahu malu,” demikian damperatnya pula.

Sambil berkata kakinya pun tidak pernah kendor, ia berlari semakin cepat, maka sekejap kemudian mereka sudah sampai pada pinggang gunung, Dari sini setelah membelok satu tebing lagi, maka tampaklah oleh Kwe Ceng di depan sana tumbuh sebuah hutan, di luar hutan itu berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam potongannya, ada yang tinggi, besar, pendek atau gemuk, tapi jelas kelihatan mereka bukan lain adalah kawanan penyatron yang menyerbu Tiong-yang-kiong tadi.

Karena itu Khu Ju-ki dan Kwe Ceng tidak lantas unjukkan diri, mereka bersembunyi dulu di belakang dinding batu untuk melihat gelagat.

Sementara tampak Pangeran Hotu bersama Darba berdiri sejajar, yang satu meniup tanduk sedangkan yang lain menabuh keleningan, suaranya teratur dan sahut menyahut, maksudnya memancing keluar Siao-liong-li yang mereka inginkan. Meski sudah lama mereka ribut sendiri di dalam hutan itu, tetapi masih tetap sunyi tiada suara yang membalas.

Karena itu Hotu meletakkan alat tiupnya, lantas dengan suara lantang dia berteriak: Aku Pangeran Hotu dari Mongol, dengan hormat aku menghaturkan selamat berulang tahun kepada Siao-liong-li!”

Baru habis ia berkata, tiba-tiba dari dalam hutan bergema tiga kali suara “creng-creng-creng”, mungkin itulah jawaban Siao-liong-li, yaitu dengan menabuh Khim (semacam alat musik kecapi).

Pangeran Hotu menjadi senang karena dirinya digubris, maka dia lantas buka suara lagi:

“Menurut kabar, nona Liong telah sesumbar hendak mengadakan sayembara pada hari ini untuk memilih jodoh, karena itu aku yang bodoh sengaja datang meminta petunjuk, harap nona Liong tidak segan-segan memberi tuntunan!”

Di luar dugaan, mendadak suara Khim tadi berbunyi keras dan nadanya tinggi sekali, agaknya tanda marah. Meski para penyatron itu tidak paham tentang seni suara, namun mendengar suara Khim yang bunyinya lain itu, mereka pun tahu bahwa itu adalah tanda sedang mengusir tetamu.

Akan tetapi Hotu ternyata belum mau sudah, dengan ketawa dia pentang mulut lagi: “Keluargaku cukup mampu, wajahku pun tidak jelek, lamaranku ini rasanya sama sekali tidak merendahkan dirimu. Nona Liong sendiri adalah gadis pendekar di jaman ini, kiranya engkau pun tidak perlu kikuk.”

Dan baru saja ia selesai bicara, mendadak suara Khim berubah menjadi santer dan cepat, lapat-lapat seperti mengandung arti mendamperat. Begitu hebatnya suara tabuhan Khim itu sehingga bagi yang mendengarkan terasa sangat tidak enak sekali. Beberapa orang di antara kawanan penyatron itu sampai menutup kuping tak berani mendengarkan lagi.

Karena itu Hotu pandang sekejap pada Darba. Paderi Tibet itu meng-angguk-angguk, maka Hotu lantas berseru lagi:

“Apa bila nona sudah tidak mau unjuk diri, terpaksa aku mengundang secara kekerasan.”

Habis berkata, sekali ia memberi tanda kepada para begundalnya, segera ia mendahului masuk ke hutan lebat itu dengan langkah lebar, tindakannya ini segera diikuti kawan-kawannya secara beramai-ramai. Dalam hati mereka berpikir: “Sampai Coan-cin-kau yang terhitung golongan paling lihay di kalangan Bu-lim saja tak sanggup menahan kami, apa lagi hanya seorang Siao-liong-li, apa yang bisa dia perbuat?”

Karena kuatir didahului kawan yang lain, mereka jadi saling berebut di depan supaya bisa lebih cepat mendapat bagian rejeki harta mestika di dalam kuburan kuno itu. Melihat musuh telah bertindak, lekas Khu Ju-ki melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berseru:

“Hai, tempat ini adalah tempat keramat mendiang guruku Tiong-yang Cinjin, lekas kalian mundur kembali!”

Mendengar suara teriakan ini, semua orang rada terkesiap juga, akan tetapi langkah mereka tetap tidak pernah berhenti, mereka masih terus menyerbu ke dalam hutan.

“Ceng-ji, hayo turun tangan saja!” ajak Khu Ju-ki pada Kwe Ceng, dia menjadi marah akan perbuatan kawanan bandit itu.

Tetapi baru saja mereka akan menyusul masuk ke dalam hutan yang lebat itu, mendadak terdengar suara teriakan dan jeritan para penyatron itu, tahu-tahu mereka berlari kembali seperti kesetanan. Keruan Khu Ju-ki dan Kwe Ceng ter-heran-heran.

Sementara itu terlihat beberapa puluh orang telah berlari keluar seperti terbang cepatnya, mati-matian menyusul Hotu dan Darba yang juga sedang berlari keluar dengan langkah lebar. Keadaan mereka yang amat menyedihkan itu, dibanding sewaktu mereka digempur mundur dari Tiong-yang-kiong oleh Kwe Ceng tadi entah berapa kali lipat lebih hebat.

Khu Ju-ki dan Kwe Ceng menjadi bingung, mereka heran dengan ilmu kepandaian apakah Siao-liong-Ii mampu mengusir kawanan penyatron ini? Tetapi pikiran mereka itu hanya timbul sekilas saja, sebab tiba-tiba terdengar suara “ngaung-ngaung-ngaung” yang riuh ramai. Suara mendengung ini tadinya masih jauh, tapi sebentar saja sudah mendekat. Di bawah cahaya rembulan yang remang tertampak segumpal benda abu-abu, entah binatang apa dengan cepat terbang keluar dari dalam hutan dan mengudak di atas kepala para penyerbu. Kwe Ceng menjadi heran oleh kejadian ini.

“Apakah itu?” tanyanya.

Akan tetapi Khu Ju-ki sendiri tidak tahu, dia geleng kepala tidak menjawab, dengan mata tidak berkedip ia terus pandang ke depan. Ia lihat di antara petualang-petualang itu ada beberapa yang lambat larinya, kepala mereka segera disambar gerombolan binatang tadi, sesudah itu beberapa petualang ini seketika jatuh terguling, mereka menjerit-jerit sambil mendekap kepala, tampaknya rasa sakitnya sukar ditahan.

“He, tawon, kenapa warna putih?” seru Kwe Ceng terkejut sesudah kemudian mengenali binatang terbang itu.

Selagi ia berkata, gerombolan tawon putih itu kembali membikin terguling beberapa orang lagi dengan antupannya. Dalam sekejap saja di rimba raya itu terdapat belasan orang yang bergelimpangan sambil men-jerit-jerit kesakitan dengan suara yang mengerikan.

“Aneh, diantup tawon, seumpama memang sakit, seharusnya tidak sampai begitu jahat. Apakah mungkin antupan tawon putih ini luar biasa lihaynya?” demikian Kwe Ceng ber-tanya dalam hati.

Dalam pada itu dia melihat bayangan abu-abu tadi masih menyambar kian kemari, seperti sesosok asap tebal saja yang menyembur dengan cepat, gerombolan tawon putih itu tiba-tiba menyambar dari depan Khu Ju-ki. Melihat datangnya gerombolan tawon putih ini demikian ganas dan hebat, agaknya sukar ditahan, maka Kwe Ceng berpikir hendak menyingkir. Namun tidak demikian dengan Khu Ju-ki. Tiba-tiba imam Coan-cin-kau ini mengumpulkan napasnya, sekali pentang mulut dia terus meniup dengan sekuatnya.

Gerombolan tawon itu sesungguhnya sangat cepat terbangnya. Ketika mendadak terasa tiupan angin yang keras memapak dari depan, keruan daya serbuan mereka tertahan, dan pada saat Khu Ju-ki untuk kedua kalinya menyebul lagi, kembali angin santer menyarnbar pula.


Kwe Ceng dapat mengikuti cara itu dengan baik, maka ia pun cepat-cepat meniru dengan menyebulkan hawanya secara keras dan ia gabungkan kekuatan angin tiupannya dengan tiupan Khu Ju-ki. Keruan saja kekuatan angin ini menjadi sangat kuat, rombongan tawon putih jadi tak tahan hingga beberapa ratus tawon yang paling depan terpaksa menggeser arah dan menyambar lewat di samping kedua orang ini terus mengudak Hotu dan Darba Iagi.

Belasan petualang yang bergelimpangan di tanah semakin ngeri jeritan mereka, saking menderitanya sampai mereka me-ratap dan me-rintih, berteriak bapak dan memanggil ibu, malahan ada yang minta ampun,

“Kami berbuat salah, mohon dewi Siao-liong-li suka ampuni jiwa kami!” demikian mereka memohon.

Kwe Ceng menjadi heran oleh kelakuan para petualang ini, “Orang2 ini tergolong manusia-manusia yang tidak kenal takut di kalangan Kangouw, sekali pun sebelah lengan atau sebelah kaki mereka ditebas kutung belum tentu mereka merintih kesakitan dan meminta ampun, mengapa antup tawon sekecil ini saja ternyata begini lihay?” demikian ia pikir.

Sementara itu dia dengar suara tabuhan Khim berkumandang lagi dari dalam rimba raya itu, menyusul mana dari pucuk pohon yang rindang itu tampak mengepul keluar asap putih tipis, segera Khu Ju-ki dan Kwe Ceng mencium bau wangi bunga yang sedap sekali.

Selang tidak lama kemudian, suara “ngung-ngung-ngung” tadi dari jauh kembali mendekat lagi. Demi mencium bau wangi itu, rombongan tawon putih ini sudah terbang kembali ke dalam rimba. Kiranya Siao-liong-li sudah sengaja membakar dupa untuk menarik kembali pasukan tawonnya.

Meski sudah dua puluh tahun Khu Ju-ki menjadi tetangga Siao-liong-li, namun selamanya tidak pernah mengetahui bahwa gadis jelita ini ternyata memiliki kepandaian begini tinggi. Dia menjadi kagum dan tertarik.

“Kalau sebelumnya tahu tetangga cantik kita ini begini besar kesaktiannya, Coan-cin-kau kita tentunya tidak perlu banyak urusan lagi,” demikian ia berkata.

Ucapan ini sebenarnya dia tujukan kepada Kwe Ceng, suaranya tidak keras. Tetapi aneh, Siao-liong-li yang berada dalam rimba itu seperti mengetahui maksudnya, tiba-tiba suara Khim tadi telah berubah menjadi lunak dan merdu yang mengandung maksud pernyataan terima kasih.

“Ha-ha-ha, hendaklah nona jangan pakai adat istiadat lagi,” kata Khu Ju-ki dengan suara lantang sambil bergelak tawa. ”Khu Ju-ki bersama anak murid Kwe Ceng, dengan hormat mengucapkan selamat atas ulang tahun nona.”

Atas ucapan ini, tiba-tiba suara Khim berbunyi “creng-creng” dua kali lagi, lantas berhenti, suara lenyap, keadaan pun kembali sunyi. Sementara itu, mendengar jeritan dan teriakan orang-orang yang bergelimpangan di tanah, hati Kwe Ceng menjadi kasihan.

“Totiang, cara bagaimana kita bisa menolong orang-orang ini?” ia coba tanya Khu Ju-ki.

“ltu tidak perlu,” sahut Ju-ki. “Liong-kohnio (nona Liong) tentu bisa membereskannya sendiri. Mari kita pergi saja.”

Begitulah, maka mereka lantas kembali, di sepanjang jalan Kwe Ceng menceritakan pula secara ringkas tentang diri Yo Ko. Mendengar kisah derita bocah yang mengharukan itu, Khu Ju-ki menghela napas panjang.

“Memangnya patriot seperti pamanmu Yo Tiat-sim itu, mana boleh terputus keturunan?” demikian katanya kemudian, “Tetapi kau tak usah kuatir, pasti aku akan lakukan sepenuh tenagaku untuk mendidik anak itu dengan baik.”

Tentu saja Kwe Ceng sangat girang oleh kesanggupan itu, di tengah jalan juga ia lantas menjura menghaturkan terima kasihnya.

“Tadi kau cerita bahwa ada orang yang menyelundup ke Tho-hoa-to untuk membuat peta rahasia, juga terdapat anak murid Kay-pang yang tersangkut di dalamnya, sebetulnya ada urusan apakah?” kemudian Khu Ju-ki bertanya lagi.

“Totiang mungkin masih ingat di Kay-pang itu terdapat seorang murid murtad yang disebut Peng-tianglo?” kata Kwe Ceng.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar