Selasa, 25 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 019

“Cerita ini terlalu panjang, Ceng-ji,” sahut Khu Ju-ki dengan menghela napas, “lni, biar aku tunjukkan sesuatu benda dulu padamu.”

Habis ini ia lantas berjalan menuju ke belakang gunung.

“Ko-ji, kau tinggal di sini, jangan sembarang pergi,” pesan Kwe Ceng pada Yo Ko, lalu ia ikut di belakang Kho Ju-ki.

Agak lama mereka menanjak, akhirnya mereka sampai di atas satu puncak yang tinggi. Khu Ju-ki membawa Kwe Ceng menuju belakang satu batu pegunungan yang besar.

“Di sini juga terukir tulisan-tulisan,” katanya.

Pada saat itu hari telah magrib, di belakang batu besar ini terlebih gelap lagi. Ketika Kwe Ceng meraba batu yang diunjuk, betul juga ia rasakan di atas batu itu terukir tulisan. Dia meraba lagi tiap2 huruf, akhirnya tahulah dia, kiranya itu adalah sebaris syair.

Oleh karena dia meraba huruf2 itu menuruti goresan yang terukir di atas batu, mendadak Kwe Ceng terkejut, terasa olehnya bahwa goresan tulisan itu persis cocok dengan jari tangannya, seperti orang itu menulis di batu ini dengan jari tangan saja.

“Ditulis dengan tangan?” tanpa tertahan ia berseru.

“Ya, kejadian ini kalau diceritakan memang terlalu mengejutkan orang, tapi memang betul ditulis dengan jari tangan!” kata Khu Ju-ki.

“Mana bisa? Apa di dunia ini terdapat dewa?” kata Kwe Ceng ragu-ragu.

“Orang yang menulis ini bukan saja ilmu silatnya amat tinggi tiada bandingannya, bahkan banyak tipu akalnya, meski bukan dewa, namun terhitung seorang luar biasa yang sukar diketemukan,” sahut Khu Ju-ki.

Tentu saja Kwe Ceng menjadi sangat kagum. “Siapakah dia? Dapatkah lotiang memperkenalkannya kepada Tecu?” tanyanya cepat.

“Aku sendiri belum pernah melihat orangnya,” sahut Ju-ki. “Duduklah kau, biar kuceritakan sebab musababnya sehingga terjadi peristiwa seperti hari ini.”

Kwe Ceng menurut, ia duduk di atas batu itu.

“Apakah kau paham arti bunyi syair ini?” Khu Ju-ki bertanya.

Waktu itu usia Kwe Ceng sudah menginjak setengah umur, tetapi lagu suara pertanyaan Khu Ju-ki masih tetap seperti belasan tahun yang silam sewaktu Kwe Ceng masih muda. Akan tetapi Kwe Ceng sedikit pun tidak pikirkan hal ini, ia tetap menjawab dengan sangat menghormat.

“Yang bagian depan Tecu masih paham, tapi bagian belakang yang menguraikan urusan pribadi Tiong-yang Cosu, itulah Tecu tidak begitu mengerti,” demikian sahutnya.

“Tahukah kau orang macam apakah Tiong-yang Cosu itu?” tanya Khu Ju-ki lagi.

Kwe Ceng jadi tercengang mendengar orang mendadak bertanya tentang diri Ong Tiong-yang, cikal-bakal dari Coan-cin-kau itu.

“Tiong-yang Cosu adalah ‘Khay-san-pi-co’ (cikal-bakal) Coan-cin-kau. Dahulu ketika Hoa-san-lun-kiam, ilmu silatnya diakui nomor satu di jagad ini,” sahutnya kemudian.

“Itu memang tidak salah, tetapi waktu mudanya?” tanya Ju-ki pula.

“ltulah aku tidak tahu,” sahut Kwe Ceng sambil menggoyang kepala.

“Nah, tahukah kau bahwa asalnya Tiong-yang Cosu bukan imam?” kata Khu Ju-ki. “Pada waktu mudanya dia sangat benci terhadap tentara Kim yang menjajah tanah air kita dan membunuhi rakyat kita. Pernah dia kerahkan pasukan suka rela untuk melawan pasukan Kim hingga terjadi suatu pergerakan yang menggemparkan. Belakangan karena pasukan Kim terlalu kuat, beberapa kali ia mengalami kekalahan hingga banyak panglimanya tewas dan prajuritnya hancur, saking menyesalnya kemudian dia menjadi To-su (imam). Saat itu ia menyebut dirinya sebagai ‘Hoat-su-jin’ (orang mati yang masih hidup), selama beberapa tahun secara terus-menerus dia menetap di dalam satu kuburan kuno di atas gunung ini, selangkah pun tak pernah ia keluar dari pintu kuburan itu, maksud kiasannya ialah, meski orangnya masih hidup namun tiada bedanya seperti orang yang sudah mati, ia tidak sudi hidup berdampingan di tanah air sendiri dengan musuh bangsa Kim.”

“O, kiranya begitu,” ujar Kwe Ceng.

“Kejadian itu berlangsung sampai beberapa tahun,” Ju-ki melanjutkan pula, “tidak sedikit sobat-handai mendiang guruku itu telah datang mencari padanya, banyak yang minta dia keluar dari kuburan untuk membuat gerakan yang lebih hebat lagi, Akan tetapi mendiang guruku rupanya sudah putus asa dan patah hati, ia pun merasa tiada muka buat bertemu dengan bekas kawan-kawannya di kalangan Kangouw, maka ia tetap tak mau keluar dari kuburan.

Keadaan demikian itu berlangsung sampai delapan tahun, kemudian dia kedatangan seorang lawan yang dianggapnya paling kuat. Musuh ini sudah mencaci-makinya dengan segala kata yang mencemoohkan dan menghina di luar kuburan, berturut-turut musuh itu memancing selama tujuh hari tujuh malam. Agaknya Sian-su (mendiang guruku) menjadi tidak tahan, ia keluar dari kuburan buat bergebrak dengan musuh tadi.

Tanpa terduga, begitu dia keluar, segera orang itu menyambut padanya dengan bergelak ketawa:

“Ha-ha-ha, akhirnya kau keluar juga, maka tak perlu lagi kau kembali ke dalam!”

Karena itu Sian-su sadar bahwa dirinya telah kena tertipu, tetapi maksud tujuan orang itu adalah baik, yaitu sayang terhadap kepandaian Siau-su yang begitu bagus namun harus terpendam lenyap di dalam kubur. Oleh karenanya dia sengaja memakai kata-kata yang pedas untuk memancingnya keluar dari kuburan.

Setelah mengalami kejadian itu, kedua orang itu dari lawan berubah menjadi kawan dan dengan bahu-membahu pergi mengembara di dunia Kangouw lagi.

“Siapakah gerangan cianpwe (orang angkatan tua) itu?” tanya Kwe Ceng dengan kagum. “Apa dia satu di antara Tong-sia, Se-tok, Lam-te atau Pak-kay?”



“Bukan,” jawab Khu Ju-ki. “Kalau soal ilmu silat, orang ini masih berada di atas keempat tokoh besar itu, cuma karena ia adalah wanita, biasanya tidak suka unjuk diri di kalangan umum, maka orang luar jarang yang tahu akan dia, namanya pun tidak tersohor.”

“Ah, kiranya dia seorang wanita, itulah lebih hebat lagi,” ujar Kwe Ceng rada kaget.

“Ya, sebenarnya cianpwe ini menaruh hati terhadap Sian-su. Ia sudah menyerahkan diri untuk mengikat perjodohan dengan Sian-su,” tutur Ju-ki lagi “Tetapi Sian-su mengatakan bahwa musuh belum dihancurkan, mana boleh berumah tangga, Oleh karena itu terhadap asmara yang dilontarkan Cianpwe itu ia hanya berlagak bodoh dan pura-pura tidak tahu saja.

Tidak tahunya cianpwe itu juga berambekan besar dan tinggi hati. Ia menyangka Sian-su telah pandang rendah padanya, ia menjadi gusar sekali. Kedua orang yang tadinya lawan dan sudah berubah menjadi kawan itu, oleh karena cinta berbalik menjadi sakit hati lagi, mereka kemudian berjanji untuk bertanding di atas Cong lam-san ini untuk menentukan siapa yang lebih unggul.”

“ltu sebenarnya tidak perlu,” kata Kwe Ceng.

“Memang!” ujar Khu Ju-ki. “Sian-su pun tahu akan maksud baik orang, maka sepanjang jalan ia selalu mengalah. Tetapi siapa tahu cianpwe itu ternyata berwatak aneh, ia bilang: ‘Semakin kau mengalah, semakin nyata kau pandang rendah padaku’. Karena tiada jalan lain, terpaksa Sian-su bergebrak dengan dia. Mereka lalu bertempur hingga beberapa ribu jurus, selama itu Sian-su tidak keluarkan tipu serangan yang mematikan.

Tak tahunya cianpwe itu malah menjadi marah, katanya: ‘Baik, memang kau tidak berniat bertarung dengan aku, kau anggap aku ini orang macam apa?’. Tetapi kata Sian-su: ‘Dari pada bertanding secara kasar, tidakkah lebih baik jika bertanding secara halus?’. Jawab orang itu: ‘Begitu pun boleh, kalau aku kalah, selamanya tidak akan kutemui kau lagi, dengan demikian biar kau merasa tenang dan senang’.

Tetapi Sian-su balas bertanya: ‘Dan jika kau yang menang, lalu apa yang kau inginkan?’. Karena pertanyaan guruku itu, cianpwe wanita itu menjadi merah mukanya, dia menjadi gelagapan tidak dapat menjawab. Akhirnya dengan kertak gigi dia menjawab: ‘Kalau aku menang, kau punya kuburan Hoat-su-jin-bong ini harus diserahkan untuk aku tinggal’.

Syarat ini membuat Sian-su menjadi serba susah. Harus diketahui sekali tinggal dia telah delapan tahun mendiami kuburan kuno itu, tak sedikit tinggalan karya jerih-payahnya, kini jika begitu saja direbut orang, inilah yang sangat dia sayangkan. Tapi Sian-su membatin, kepandaiannya masih sedikit lebih tinggi dari pada orang, ia pikir terpaksa harus kalahkan dia supaya kelak tidak banyak rewel dan digoda tiada habisnya, maka ia lantas bertanya cara bagaimana akan bertanding.

Hari ini kita sudah letih, biarlah besok malam kita tentukan siapa yang menang atau kalah’, demikian sahut Cianpwe itu….”

“Besok malamnya, kembali kedua orang bersua lagi di sini. Kata orang itu: ‘Sebelum kita bertanding, kita harus sama2 bersumpah dahulu’. Jawab guruku: ‘Bersumpah apa lagi?

Begini’, kata cianpwe itu, ‘jika kau bisa mengalahkan aku, segera juga aku bunuh diri di sini, dengan begitu pasti tidak akan bertemu dengan kau lagi, sebaliknya kalau aku yang menang, kau harus sucikan diri, terserah kau mau menjadi Hwesio atau menjadi Tosu. Tapi tidak peduli jadi Hwesio atau Tosu, kau harus mendirikan kuil di atas gunung ini dan mengawani aku selama sepuluh tahun’.

Dalam hati mendiang guruku mengerti bahwa dengan syarat itu, dirinya disuruh menjadi Hwesio atau Tosu, itu berarti selama hidupnya diharuskan tidak beristeri

Tetapi buat apa aku harus menangkan kau hingga memaksa kau bunuh diri? Dan kalau aku harus mengawani kau sepuluh tahun di atas gunung ini, hal ini pun sulit’, demikianlah pikir guruku. Oleh karenanya ia menjadi ragu tidak bisa menjawab”


KISAH DIBALIK KUBURAN KUNO

“Kemudian cianpwe itu lantas berkata pula: ‘Pertandingan secara halus yang kita lakukan ini sangat mudah. Begini, kau gunakan jari tanganmu untuk mengukir beberapa tulisan di atas batu ini, demikian pula aku pun mengukir beberapa huruf, lalu kita lihat tulisan siapa yang lebih baik, itulah dia yang menang’. Mendengar cara pertandingan ini, Sian-su menjadi tercengang, katanya: ‘Menulis di atas batu dengan jari tangan?

Ya, itu namanya bertanding ilmu tenaga jari, kita boleh melihat siapa yang mengukir lebih dalam’. Namun Sian-su geleng2 kepala saja, jawabnya kemudian: ‘Aku toh bukan dewa, mana sanggup aku mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan?

Tetapi kalau aku bisa, apa kau mau mengaku kalah?’ tanya orang itu. Di dalam keadaan demikian Sian-su jadi dipojokkan pada keadaan yang serba susah, maju salah, mundur pun keliru. Tetapi kemudian ia pikir di jagad ini pasti tak mungkin ada orang yang sanggup mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan, kebetulan urusan ini dapat diselesaikan sampai disini, dengan demikian pertandingan ini dapat dianggap tidak pernah ada, maka ia lantas berkata:

Jika kau bisa, sudah tentu aku lantas ngaku kalah. Tetapi kalau kau pun tak bisa, kita boleh anggap seri, tak ada yang menang dan tiada yang kalah, selanjutnya kita pun tidak perlu bertanding lagi’.

Karena itu tiba2 orang itu tertawa dengan rasa pedih: ‘Bagus, jika begitu sudah pasti kau akan jadi Tosu’, demikian katanya sambil dengan tangan kirinya me-raba2 sejenak di atas batu, habis ini ia ulur jari telunjuk tangan kanan terus menggores di atas batu itu.

Sian-su menjadi ternganga ketika menyaksikan debu batu itu bertebaran, betul saja orang telah menulis sehuruf demi sehuruf, dalam kagetnya sampai dia tidak sanggup bicara lagi, Dan tulisan yang terukir dengan tangan itu bukan lain adalah bagian depan dari syair ini.

Tentu saja Sian-su menjadi lesu dan terima kalah, dia tidak bisa bicara lagi. Besoknya dia lantas sucikan diri menjadi Tosu, juga mendirikan sebuah kuil kecil di dekat kuburan itu, dan itu adalah Tiong-yang-kiong yang asli.”

Kwe Ceng jadi terheran-heran oleh cerita itu, waktu ia merabanya lebih terang, betul saja memang tulisan di atas batu itu bukan ditatah, juga bukan ukiran, melainkan benar-benar digores jari tangan.

“Kalau begitu, ilmu kepandaian cianpwe itu dalam hal tenaga jari sungguh-sungguh sangat mengejutkan orang,” katanya kemudian.

Karena ucapannya ini, Khu Ju-ki mendongak dan ketawa terbahak-bahak.

“Ceng-ji, peristiwa ini bisa mengelabui mendiang guruku, menipu aku, dan juga menipu kau, akan tetapi jika waktu itu isterimu berada di sini, pasti tidak bisa mengelabui matanya,” demikian katanya.

Kwe Ceng menjadi lebih heran sehingga kedua matanya terpentang lebar. “Apa? Apa dalam hal ini terdapat sesuatu yang tidak beres?” tanyanya.

“Sudah tentu, hal itu tak perlu dikatakan lagi,” sahut Khu Ju-ki. “Sekarang coba kau pikir, pada jaman ini, kalau soal tenaga jari, siapa jago nomor satu?”

“Toan-hongya, It-teng Taysu punya It-yang-ci,” kata Kwe Ceng.

“Nah, dengan tenaga jari It-teng Taysu saja, sekali pun di atas kayu, belum tentu sanggup menulis sesuka hati, apa lagi di atas batu? Apa lagi orang lain?” ujar Khu Ju-ki, “Karena itu setelah Sian-su menjadi imam, terhadap kejadian itu ia masih terus berbikir tidak mengerti. Belakangan dia berjumpa dengan bapak mertuamu, Oey Yok-su Cianpwe, secara tak langsung guruku menyinggung kejadian itu. Setelah Oey-tocu berpikir sebentar, kemudian bergelak tawa, katanya: ‘Kepandaian itu aku pun bisa. Cuma sekarang aku belum melatihnya, sebulan lagi pasti aku datang kembali kesini’. Habis berkata, dengan tawa terbahak dia lantas mohon diri dari guruku.” Khu Ju-ki menghela napas, kemudian melanjutkan lagi.

“Benar saja sebulan kemudian Oey-tocu datang lagi, lalu bersama Sian-su mereka datang ke sini memeriksa batu ini. Sebetulnya syair yang ditulis cianpwe wanita itu tadinya masih belum selesai, baru bagian depan yang maksudnya menghendaki Sian-su tirakat saja meniru Thio Liang di jaman ahala Han. Sesudah Oey-tocu pakai tangan kiri meraba rada lama di atas batu, kemudian dia mengulur tangan kanan terus menulis di atas batu, dia menyambung syair cianpwe wanita yang masih belum selesai itu yang artinya menghormat dan memuji diri guruku.

Melihat jari tangan mertuamu bisa menulis di atas batu, sama halnya seperti yang dilakukan cianpwe wanita itu, Sian-su menjadi heran dan terkejut, pikirnya dalam hati: ilmu silat Oey Yok-su jelas masih kalah setingkat di bawahku, tetapi kenapa dia pun memiliki tenaga jari begini lihay?

Begitulah untuk sesaat itu guruku merasa tidak habis mengerti. Mendadak ia pun ulurkan jari tangannya menutul ke atas batu itu, sungguh aneh, batu itu ternyata lantas berlubang oleh tusukan jarinya. Tempatnya di sini, coba kau boleh merabanya.”

Khu Ju-ki tarik tangan Kwe Ceng ke tepi batu itu, Ketika Kwe Ceng meraba dan dapatkan satu lubang kecil, dia masukkan jari telunjuknya. Betul saja, seperti cetakan persis dapat dimasuki jarinya.

Tetapi Kwe Ceng masih sangsi, jangan-jangan batu cadas ini memang lunak dan berlainan dengan batu umumnya, maka ia gunakan tenaga jarinya dan dikorek dengan keras, namun yang dia rasakan kesakitan belaka, sebaliknya batu itu sedikit pun tidak bergerak. Khu Ju-ki tertawa berbahak-bahak.

“Kau tak mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik kejadian ini,” demikian katanya kemudian. “Sebelum tangan cianpwe wanita itu menulis di atas batu, lebih dulu telah meraba agak lama di atas batu dengan sebelah tangannya yang lain. Tangan yang dipakai buat meraba-raba itu menggenggam ‘Hoa-sek-tan’ (obat pelebur batu), dia bikin permukaan batu itu menjadi lunak dan dalam waktu sekitar setengah jam, permukaan batu tidak akan mengeras kembali. Rahasia ini rupanya dapat dipecahkan oleh Oey-tocu, ia bilang sebulan buat melatih kepandaian itu kepada guruku, sebenarnya ia turun gunung untuk mengumpulkan obat buat bikin ‘Hoa-sek-tan’, baru ia datang lagi dan menirukan cara orang menulis di atas batu.”

Kwe Ceng menjadi kagum sekali atas kecerdasan bapak mertuanya. Tiba-tiba ia ingat orang tua itu telah lama tinggalkan Tho-hoa-to, ia menjadi rindu. Khu Ju-ki tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kwe Ceng, maka ia menyambung lagi ceritanya.

“Ketika mula-mula Sian-su menjadi Tosu, sebenarnya perasaannya sangat tertekan, akan tetapi sesudah banyak membaca kitab ajaran To (Tao), akhirnya ia pandai dan menginsafi segalanya di dunia ini tergantung jodoh dan tidak, maka dia pun mempelajari ilmu agama kita lebih mendalam lagi untuk lebih mengembangkannya.

Kalau dipikir, jika bukan gara-gara pancingan cianpwe wanita itu, mungkin di jagat ini tidak bakal terdapat Coan-cin-kau, aku Khu Ju-ki tentu pula tidak bisa seperti hari ini dan apalagi kau Kwe Ceng tidak diketahui akan berada di mana.”

Kwe Ceng angguk-angguk membenarkan ucapan itu. “Entah cara bagaimana harus menyebut nama Licianpwe (wanita tingkatan tua) itu. Apa kini dia masih hidup?” tanyanya kemudian.

“Kecuali guruku sendiri, di jagat ini tak ada orang lain yang tahu nama aslinya, sedang Sian-su pun tidak pernah katakan pada orang,” sahut Ju-ki. “Cianpwe itu meninggal jauh sebelum terjadi Hoa-san-lun-kiam yang pertama kali, kalau tidak, dengan ilmu silatnya yang tinggi serta wataknya yang tinggi hati, mana mungkin dia tidak ikut serta dalam pertandingan Hoa-san itu.”

“Dan entah dia meninggalkan keturunan atau tidak?” ujar Kwe Ceng.

Khu Ju-ki menghela napas panjang. “Persoalannya justru terletak di sini,” katanya kemudian, “Seumur hidup Locianpwe tak pernah menerima murid, ia hanya mempunyai satu dayang yang selalu mendampingi dan melayani segala keperluannya. Kedua orang ini tinggal bersama di kuburan kuno, selama belasan tahun tidak pernah melangkah keluar dan seluruh ilmu silat Locianpwe itu pun diturunkan kepada dayangnya, Dayangnya ini tak pernah injakkan kaki di kalangan Kangouw, di kalangan Bu-lim pun jarang yang kenal dia, tetapi malah mempunyai dua orang murid, yang besar she Li, mungkin kau pernah mendengar namanya, di kalangan Kangouw orang menyebut Jik-lian Sian-cu Li Bok-chiu.”

“Ahh, kiranya dia ini,” seru Kwe Ceng mendadak. “Perempuan ini keji bukan main, kiranya berasal dari sini.”

“Kau pernah ketemu dia?” tanya Khu Ju-ki.

“Ya, beberapa bulan yang lalu pernah bergebrak satu kali dengannya di daerah Kanglam, ilmu silatnya sangat hebat,” sahut Kwe Ceng.

“Dan kau melukai dia?” tanya Ju-ki lagi.

“Tidak,” jawab Kwe Ceng menggoyang kepala. “Justru dialah yang turun tangan keji dan membunuh beberapa orang sekaligus, kelakuannya terlalu ganas dan keji, kalau dibandingkan dengan Tang-si (Si mayat tembaga) Bwe Ciau-hong dulu, mungkin melebihi jahatnya.”

“Hm, lebih baik kalau kau tidak melukainya, kalau tidak, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan saja,” ujar Khu Ju-ki. “Dan dia punya Sumoay she Liong...”

“Ha, kiranya wanita she Liong itu?” potong Kwe Ceng dengan terkesiap.

Mendengar lagu suara Kwe Ceng ini, air muka Khu Ju-ki rada berubah juga. “Kenapa? Apa kau pernah lihat dia? Apa telah terjadi sesuatu?” tanyanya cepat.

“Tidak, Tecu belum pernah bertemu dia,” sahut Kwe Ceng demi nampak wajah Khu Ju-ki rada aneh, “Cuma waktu aku naik gunung tadi, para To-yu di sini berulang memaki aku maling cabul, pula bilang kedatanganku ini disebabkan wanita she Liong itu, aku menjadi bingung.”

Khu Ju-ki bergelak setelah tahu duduknya perkara, tetapi segera ia menghela napas. “Ya, rupa-rupanya Tiong-yang-kiong harus mengalami bencana seperti hari ini,” katanya kemudian. “Kalau bukan kejadian yang menimbulkan salah paham itu, bukan saja Pak-tau-tin besar yang berjaga di luar pasti sanggup menahan kedatangan kawanan penyatron itu, bahkan kau pun dapat lebih cepat sampai di atas gunung, dan tentu Hek-sute tidak sampai kena dilukai musuh.”

Melihat air muka Kwe Ceng mengunjuk rasa bingung, Khu Ju-ki cepat-cepat menerangkan lagi.

“Hari ini adalah ulang tahun ke-20 dari si nona she Liong itu,” demikian katanya.

“Oh, ulang tahunnya yang ke-20?” mengulang Kwe Ceng. Akan tetapi ulang tahun ke-20 seorang wanita kenapa bisa menimbulkan mala petaka bagi Coan-cin-kau, dalam hatinya masih tetap tidak mengerti barang sedikit pun.”

“Gadis she Liong bernama siapa orang luar tak ada yang tahu, cuma kawanan pendatang itu pada menyebut dia Siao-liong-li (gadis cilik she Liong), maka kita pun boleh menyebutnya dengan nama ini,” sambung Khu Ju-ki. “Pada suatu malam dua puluh tahun yang lalu, di luar Tiong-yang-kiong kita tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi, tentu saja para kawan dalam istana merasa heran. Ketika mereka pergi melihatnya, kiranya di luar pintu terdapat satu buntalan yang membungkus satu orok dan terletak di lantai.”

“Sudah tentu para kawan menjadi kebingungan karena semua orang yang tinggal di Tiong-yang-kiong ini adalah imam, semua laki-laki, mana bisa memelihara orok. Akan tetapi, sebagai imam yang berdasarkan welas-asih tidak bisa tinggal diam. Selagi serba susah, tiba-tiba dari belakang gunung muncul seorang wanita setengah umur, sesudah menyapa lalu dia bilang: ‘Bayi ini sungguh kasihan, biarlah aku yang memeliharanya!

Ketika itu kami tidak berada di istana, maka para kawan menjadi girang mendengar wanita itu suka menerima orok itu tanpa syarat, segera orok itu diserahkan padanya. Belakangan setelah Ma-suheng dan aku pulang, mereka lalu menceritakan kejadian itu dan menjelaskan rupa serta dandanan wanita setengah umur itu, maka tahulah kami dia ialah dayang yang tinggal di kuburan itu. Dia pernah beberapa kali melihat kami dari Coan-cin-chit-cu, cuma selamanya tidak pernah bicara.

Meski kedua keluarga boleh dibilang tetangga dekat, tapi akibat persengketaan orang tua maka seperti tidak kenal saja, selamanya tidak pernah saling berhubungan. Dan setelah kami dengar cerita itu, kami pun tidak perhatikan urusan itu lagi.

Belakangan setelah muridnya, si Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu turun gunung, orang ini berhati kejam, ilmu silatnya sangat tinggi, dunia Kangouw morat-marit oleh perbuatannya yang menggemparkan. Telah beberapa kali Coan-cin-kau mengadakan sidang dan bermaksud memberi hajaran, namun selalu teringat pada wanita tua dalam kuburan hingga selama itu belum pernah turun tangan. Kami lantas tulis surat yang panjang lebar dan ramah, lalu dikirim ke kuburan. Akan tetapi surat itu seperti batu tenggelam ke dalam laut, selamanya tak pernah menerima balasan, sebaliknya kelakuan Li Bok-chiu masih tetap dibiarkan, sedikit pun tidak mengurusnya.

Kira-kira lewat sepuluh tahun, tiba-tiba di luar kuburan itu kami lihat dipasang kain putih di antara semak yang tumbuh lebat, kami tahu To-yu (kawan se-agama) itu telah meninggal, maka kami berenam (tatkala itu Coan-cin-chit-cu kehilangan Tam Ju-toan yang tewas di tangan Auwyang Hong, diceritakan dalam kisah Sia Tiauw Enghiong) lantas melayat ke kuburan itu. Baru selesai kami menjalankan penghormatan tiba-tiba di dalam semak-semak lebat itu keluar gadis cilik yang umurnya antara sepuluh tahun, dia membalas hormat kami dan menyatakan terima kasih. Katanya pula:

Sewaktu Suhu hendak mangkat, beliau telah pesan Tecu menyampaikan kepada para Totiang bahwa orang itu (maksudnya Li Bok-chiu) yang banyak melakukan kejahatan, Suhu sendiri ada jalan buat hajar dia, maka diharap kalian tak perlu kuatir.'

Habis berkata ia lalu putar tubuh dan masuk kembali ke dalam kuburan. Sebenarnya kami masih ingin bertanya lebih jauh, akan tetapi tak keburu. Sian-su sendiri pernah meninggalkan pesan bahwa siapa saja dilarang melangkah barang selangkah pun ke pintu kuburan itu. Hanya saja di hati kami merasa sangat heran, sebab To-yu itu sudah mati, lalu cara apa lagi yang dia tinggalkan untuk menghajar muridnya?

Kami melihat gadis cilik itu sebatang-kara dan harus dikasihani, maka kami lalu berdaya-upaya membantunya, kami mengirim sedikit makanan, tetapi aneh, selalu ditolaknya kembali.

Tampaknya watak dara cilik ini juga aneh serupa dengan Cosu (kakek guru) dan Suhu-nya. Belakangan karena kami banyak urusan dan jarang tinggal di rumah, kabar berita nona kecil ini sedikit sekali terdengar lagi.

Dan entah mengapa, Li Bok-chiu pun menghilang dari kalangan Kangouw dan tidak cari gara-gara lagi. Kami mengira To-yu memang benar-benar mempunyai akal bagus yang bikin takut muridnya, maka kami sangat kagum padanya.

Lalu kembali lewat beberapa tahun lagi, dan itulah kejadian tiga tahun yang lalu. Tatkala itu aku dan Ong-sute (Ong Ju-it) ada urusan pergi ke daerah barat. Di sana kami tinggal di rumah seorang pendekar terkemuka dan mendengar sebuah kabar yang amat mengejutkan. Katanya tiga tahun lagi, semua kaum setan iblis dan golongan agama liar akan berkumpul di Cong-lam-san untuk melakukan sesuatu.

Cong-lam-san adalah pangkalan Coan-cin-kau. Apa bila mereka berani naik ke sini tentu tujuannya hendak menyatroni agama kita, mana boleh kita tidak berjaga-jaga? Tapi aku dan Ong-sute masih kuatir kabar itu tidak benar, maka kami selidiki melalui pihak ketiga, dan ternyata hal itu bukan bikinan belaka melainkan memang sungguh-sungguh.

Cuma maksud tujuan mereka ke Cong-lam-san ternyata bukan hendak menyatroni agama kita, melainkan mengandung maksud tertentu terhadap Siao-liong-Ii yang tinggal di kuburan kuno itu.”

Kwe Ceng menjadi heran oleh cerita ini. “Dia hanya dara cilik yang selamanya tidak pernah keluar pintu, mengapa para penyatron itu bisa ikut permusuhan dan dendam padanya?” tanyanya dengan tidak mengerti.

“Memang apa sebab musabab yang sebenarnya di belakang layar itu, kita hanyalah orang luar, maka tak begitu jelas,” sahut Khu Ju-ki. “Tapi dasar Ong-sute paling suka cari tahu, dia menyelidiki ke mana-mana, akhirnya diketahui bahwa peristiwa itu sengaja diusik dan dikobarkan oleh suci (kakak seperguruan perempuan) Siao-liong-li sendiri.”

“Ha, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu?” sela Kwe Ceng heran.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar