Senin, 24 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 018

Tatkala itu rambut alis Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sudah putih karena usia. Mereka hanya memanggut sambil bersenyum dan angkat tangan buat balas hormat.

“Awas, Kwe-heng!” tiba-tiba In Ci-peng berseru memperingatkan Kwe Ceng.

Sementara itu, Kwe Ceng sudah merasa di belakang kepalanya ada mendesisnya angin, ia tahu ada musuh melakukan pembokongan, tetapi dia pun tidak menoleh atau berpaling. Dengan tangan menahan lantai, tubuhnya terangkat ke atas dan di waktu turunnya, kedua lututnya dengan tepat menindih di atas punggung kedua pembokong ini. Dengan demikian Kwe Ceng masih tetap berlutut, hanya saja di bawah lututnya sudah bertambah dengan dua orang pengganjel.

Ternyata dengan secara tepat dan hebat sekali Kwe Ceng sudah menggunakan lututnya menumbuk jalan darah penyerang gelap tadi, keruan dengan lemas kedua orang itu terkulai ke lantai dan dipakai sebagai kasur pengganjel Kwe Ceng.

Ma Giok tersenyum melihat kejadian ini, katanya: “Bangunlah, Ceng-ji, belasan tahun tak berjumpa, rupanya kepandaianmu sudah jauh lebih maju!”

“Cara bagaimana harus selesaikan beberapa orang ini, harap Totiang memberi petunjuk,” kata Kwe Ceng sambil berdiri.

Tetapi sebelum Ma Giok menjawab, tiba-tiba Kwe Ceng mendengar di belakangnya ada dua orang secara berbareng bersuara tertawa “haha”. Suara tertawaan ini sangat aneh sekali, kalau yang satu tajam menusuk telinga, adalah yang lain sebaliknya nyaring menarik. Cepat Kwe Ceng menoleh, maka tampaklah olehnya di belakangnya sudah berdiri dua orang.

Kedua orang ini yang satu adalah paderi Tibet yang berjubah merah, kepalanya memakai kopiah berlapis emas, wajahnya kurus. Sedangkan yang satu lagi memakai baju kuning, tangan mencekal sebuah kipas lempit, angkuh dan tampan, nyata sekali seorang putera bangsawan. Kedua orang ini berdiri dengan sikap yang tenang dan tidak banyak bicara, terang sekali mereka adalah dua musuh tangguh, sama sekali berbeda dengan para musuh yang lain. Karena itu Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh ini, dengan membungkuk badan ia lantas memberi hormat.

“Siapakah kalian berdua? Ada keperluan apakah datang ke sini?” demikian ia menegur.

“Dan kau sendiri siapa? Untuk apa kau datang kemari?” sambil tertawa putera bangsawan tadi balas bertanya.

“Cayhe (aku yang rendah) she Kwe bernama Ceng, adalah murid beberapa guru yang berada di sini ini,” sahut Kwe Ceng tetap dengan ramah.

“Sungguh tidak nyana dalam Coan-cin-kau ternyata masih ada tokoh seperti kau ini,” ujar si putera bangsawan tertawa.

Meski umur putera bangsawan itu belum ada tiga puluhan, akan tetapi cara mengucapkan kata-katanya ternyata berlagak seperti orang tua saja, seperti tak pandang sebelah mata pada Kwe Ceng.

Sebenarnya Kwe Ceng hendak terangkan bahwa dirinya bukan anak murid Coan-cin-kau, tetapi karena kata-kata orang yang pandang rendah padanya, mau tak mau rada panas juga hatinya. Memang ia pun tak pandai bicara, maka ia tidak ingin banyak omong, ia hanya menjawab singkat saja:

“Kalian berdua ada permusuhan apa dengan Coan-cin-kau? Mengapa perlu mengerahkan kekuatan begini banyak dan membakar kuil ini?”

“Siapakah kau ini? Berdasarkan apa kau berani ikut campur urusan?” sahut Kui-kong-cu (putera bangsawan) ketawa.

“Aku justru ingin ikut campur,” sahut Kwe Ceng ketus.

Sementara itu berkobarnya api semakin hebat dari kini sudah menjalar lebih dekat lagi, tampaknya tidak lama lagi kuil Tiong-yang-kiong itu akan terbakar menjadi tumpukan puing. Tiba-tiba putera bangsawan itu menggerakkan kipas lempitnya, dikembangkan terus ditutup lagi, maka sekilas tampaklah pada kertas kipasnya yang putih itu terlukis setangkai bunga Bo-tan yang indah.

“Akulah yang membawa kawan-kawan ini kemari,” kemudian dia berkata dengan ketawa sambil melangkah maju, “asalkan kau mampu menerima tiga puluh gebrakan dariku, segera aku mengampuni kawanan imam hidung kerbau ini!”

Mendengar kata-kata orang yang sombong ini, Kwe Ceng pun sungkan bicara lebih banyak lagi, tiba-tiba ia ulur tangan kanannya, sekali bergerak dia pegang kipas lempit orang terus ditarik dengan keras. Dengan tarikan ini, kalau putera bangsawan itu tidak melepaskan kipasnya, maka seluruh tubuhnya pasti akan ikut terseret.

Diluar dugaan, begitu Kwe Ceng membetot, badan Kui-kong-cu itu hanya sempoyongan sedikit saja, sedang kipasnya masih belum terlepas dari cekalannya. Tentu saja Kwe Ceng amat terkejut, pikirnya: “Orang ini masih begini muda namun sudah sanggup menahan tenaga tarikanku tadi, di jagat ini ternyata masih ada orang pandai seperti dia, kenapa selamanya aku belum pernah mendengarnya?”

Oleh karena pikiran itu, segera pula dia menambah tenaga tarikannya terus menjambret lagi sambil membentak:

“Lepas!”

Se-konyong-konyong muka putera bangsawan itu bersemu guram, akan tetapi hanya sekilas saja lantas lenyap lagi, mukanya kembali sudah putih bersih pula. Kwe Ceng mengerti orang sedang menahan tenaga tarikannya dengan Iwekang yang tinggi, jika pada saat ini juga dia tambah tenaga tarikannya, asal muka orang tiga kali mengunjuk semu guram, maka dapat dipastikan jerohannya (isi perut) akan terluka parah.

Akan tetapi hati Kwe Ceng memang berbudi. Dia pikir orang ini bisa berlatih diri sampai tingkatan sedemikian, sesungguhnya bukan soal gampang, maka dia tidak ingin melukai orang dengan tenaga berat. Dia tersenyum dan mendadak lepaskan tangannya. Meski Kwe Ceng telah membuka tangannya, tapi nyatanya kipas lempit itu masih terletak di telapak tangannya, lagi pula tenaga Kui-kong-cu yang membetot kembali masih tetap besar. Tapi aneh, tenaga telapak tangan Kwe Ceng ternyata telah dia salurkan dari kipas ke tangan lawan.

Meski putera bangsawan itu sudah berusaha merebut dengan sekuat tenaga, toh tenaga menariknya selalu dipatahkan Kwe Ceng. Dengan demikian kedua belah pihak menjadi bertahan, tidak maju dan tidak mundur. Sungguh pun putera bangsawan itu sudah mengeluarkan seluruh kemahirannya, tapi satu senti pun belum sanggup dia tarik ke pihaknya. Maka insaflah dia bahwa ilmu silat lawan masih jauh di atasnya, dan karena ingin memberi muka padanya, maka lawan tidak rebut kipasnya. Mengingat hal ini, segera ia lepaskan tangannya terus melompat pergi, mukanya menjadi merah malu.



MASA MUDA ONG TIONG-YANG

“Mohon tanya she dan nama tuan yang terhormat,” kata Kui-kong-cu itu kemudian sambil membungkukkan badan.

“Ah, nama Cayhe tiada harganya disebut, cuma Ma-cinjin, Khu-cinjin dan Ong-cinjin yang berada di sini ini memang semuanya adalah guru Cayhe yang berbudi,” sahut Kwe Ceng.

Karena jawaban ini, Kui-kong-cu itu setengah percaya setengah sangsi. Ia pikir pihaknya tadi sudah menggempur Coan-cin-chit-to (tujuh imam Coan-cin-kau) dan yang tertampak lihay hanya barisan bintang Thian-keng-pak-tau-tin mereka, apa bila bergebrak satu lawan satu, maka tiada satu pun dari Tosu-tosu itu yang mampu menandingi dirinya, tapi mengapa anak muridnya malah bisa begini lihay? Dalam sangsinya kembali ia mengamat-amati Kwe Ceng lagi, sudah tentu yang tertampak olehnya, Kwe Ceng memakai baju dari kain kasar yang tidak ada bedanya dengan petani biasa saja.

Dan selagi ia hendak membuka mulut mengucapkan beberapa kata-kata halus untuk kemudian membawa begundalnya segera mundur teratur, tiba-tiba dari luar terdengar suara mengaungnya tabuhan khim (kecapi). Suara khim ini sangat lembut tetapi merdu, karena itu setiap orang yang mendengar tergetar hatinya.

Mendengar suara tabuhan khim itu, air muka Kui-kong-cu kelihatan rada berubah. “llmu silatmu sungguh mengejutkan orang, aku merasa sangat kagum. Sepuluh tahun lagi aku akan datang kembali minta petunjuk. Karena masih ada urusan lain yang belum selesai, baiklah sekarang juga aku mohon diri,” demikian katanya pada Kwe Ceng. Habis berkata, kembali ia memberi hormat pula.

“Sepuluh tahun kemudian tentu aku akan tunggu kau di sini,” sahut Kwe Ceng membalas hormat orang.

Sementara itu putera bangsawan telah memutar tubuh dan berjalan keluar, tetapi baru sampai depan pintu, tiba-tiba dia menoleh dan berkata pula:

“Urusanku dengan Coan-cin-kau hari ini aku terima mengaku kalah, hanya kuharap To-yu (kawan dalam agama) dari Coan-cin-kau janganlah ikut campur lagi atas urusan pribadiku.”

Menurut peraturan Kangouw, bila seseorang telah mengaku kalah dan terima menyerah, pula sudah menentukan harinya untuk kemudian adu kepandaian lagi, maka sebelum tiba hari yang dijanjikan, meski pun saling kepergok lagi di tengah jalan, sekali-kali tidak boleh saling labrak dahulu. Oleh karena itulah, maka Kwe Ceng lantas menjawab:

“Ya, sudah tentu.”

Maka tersenyumlah Kui-hong-cu itu, segera ia hendak melangkah pergi pula. Di luar dugaan, mendadak Khu Ju-ki telah menyentaknya dengan suara keras:

“Tak perlu sampai sepuluh tahun aku Khu Ju-ki pasti pergi mencari kau.”

Mendengar suara bentakan yang kuat hingga anak telinga tergetar se-akan pecah, hati putera bangsawan itu menjadi keder, ia ragu apa orang tadi belum mengeluarkan seluruh kepandaian untuk melawannya? Karenanya ia tak berani tinggal lebih lama lagi, segera ia bertindak pergi dengan cepat. Sesudah memandang Kwe Ceng sekejap dengan mata melotot, paderi Tibet itu pun ikut pergi bersama kawan-kawannya yang lain.

Kwe Ceng lihat kawanan musuh ini berwajah lain dari biasanya, hidung mereka besar dan berewokan, rambut keriting serta mata dekuk, tampaknya seperti bukan orang dari negeri sendiri, maka dalam hati ia tak habis mengerti dan menaruh curiga. Sementara ia dengar suara saling adunya senjata dan suara bentakan di ruangan depan sudah mulai berhenti, ia tahu tentu musuh sudah mundur pergi.

Sementara itu ia lihat Ma Giok bertujuh sudah pada berdiri, di samping itu terdapat pula satu orang yang menggeletak terlentang di atas lantai. Ketika Kwe Ceng maju melihatnya, dia kenal Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu di antara Coan-cin-chit-cu atau tujuh tokoh dari Coan-cin-kau. Kiranya meski Ma Giok dan lainnya terancam oleh bahaya api, tetapi mereka tetap duduk tenang tanpa bergerak, sebabnya karena ingin melindungi kawan yang terluka ini.

Waktu Kwe Ceng memeriksanya, dia melihat muka Hek Tay-thong pucat laksana kertas, napasnya lemah dan matanya tertutup rapat, terang sekali menderita luka berat. Ketika Kwe Ceng membuka jubahnya, dia menjadi lebih terkejut lagi, dia melihat di dada imam itu terdapat bekas lima jari tangan dengan terang sekali, warna bekas jari ini matang biru dan mendekuk ke dalam daging.

“Di kalangan Bu-lim belum pernah kudengar ada yang memiliki ilmu kepandaian semacam ini. Apa karena belasan tahun aku terasing di Tho-hoa-to lalu semua kejadian di bumi ini sudah berubah jauh?” demikian pikirnya.

Maka segera dia berjongkok dan mengeluarkan ilmu It-yang-ci atau totokan jari sakti, berulang dua kali dia totok bagian bawah bahu Hek Tay-thong. Dua kali totokan ini meski tidak bisa menyembuhkan luka dan menghilangkan racun pada luka Hek Tay-thong, namun dalam dua belas jam keadaan luka boleh dipercaya tidak bakal meluas dan memburuk.

Sementara itu api berkobar semakin hebat dan sukar ditolong lagi, lekas Khu Ju-ki mengangkat Hek Tay-thong.

“Hayo, lekas keluar!” demikian ajaknya cepat.

“He, di manakah anak yang aku bawa? Siapakah yang menahan dia? Jangan sampai dia dimakan api!” tanya Kwe Ceng tiba-tiba.

Tadi Khu Ju-ki dan kawan-kawannya sedang melawan musuh dengan seluruh perhatian, dengan sendirinya dia tidak tahu seluk-beluk urusan Yo Ko yang dibawa kemari. Mereka menjadi bingung.

“Anak? Anak siapa? Di mana dia?” demikian tanya mereka berbareng.

Dan sebelum Kwe Ceng menjawab, di antara sinar api yang berkobar-kobar itu tiba-tiba ada berkelebatnya bayangan orang, sesosok tubuh yang kecil tahu-tahu telah melompat turun dari atas belandar rumah.

“Aku berada di sini, Kwe-pepek,” demikianlah seru anak kecil itu dengan ketawa. Siapa lagi dia kalau bukan Yo Ko?

Tentu saja Kwe Ceng terkejut bercampur girang. “Mengapa kau bisa bersembunyi di atas belandar rumah?” lekas ia tanya.

“Tadi, waktu aku dengan ketujuh imam busuk itu...”

“Hus, jangan kurang ajar kau!” bentak Kwe Ceng memotong sebelum Yo Ko meneruskan “Hayo, lekas memberi hormat kepada para Co-su-ya (kakek guru).”

Karena bentakan itu Yo Ko meleletkan lidahnya. Dia tak berani membantah, segera dia berlutut ke hadapan Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga untuk menjura. Ketika sampai gilirannya harus menjura kepada In Ci-peng, Yo Ko melihat orang itu masih muda, maka lebih dulu ia berpaling dan bertanya kepada Kwe Ceng:

“Kwe-pepek, apakah dia Co-su-ya juga? Agaknya tidak perlu lagi aku menjura, ya?”

“Dia ini In-supek (paman guru), lekas menjura,” sahut Kwe Ceng.

Terpaksa Yo Ko harus menjura lagi, sungguh pun dalam hati seribu kali tidak sudi. Habis ini, Kwe Ceng melihat Yo Ko lantas berdiri dan tidak menjura pula pada tiga imam setengah umur yang lain, maka kembali ia membentak:

“Ko-ji, kenapa kurang ajar? Hayo, menjura lagi!”

“Kalau harus menunggu aku selesai menjura, mungkin tak keburu lagi, nanti jangan Kwe-pepek salahkan aku,” dengan tertawa Yo Ko menjawab.

Kwe Ceng sudah kenal anak ini. Kelakuannya sangat aneh dan nakal, banyak pula tipu akalnya, Maka ia lantas bertanya:

“Soal apa yang tak keburu lagi?”

“ltu, di sana ada satu paman To-su diringkus orang di dalam kamar, apa bila tidak segera ditolong, mungkin akan terbakar mati oleh api,” sahut Yo Ko.

“Kamar yang mana? Lekas katakan!” tanya Kwe Ceng dengan cepat.

“Eeeh, nanti dulu, coba aku ingat-ingat dulu, ai, mengapa aku jadi lupa,” demikian Yo Ko menjawab dengan ketawa.

Tentu saja In Ci-peng menjadi gemas. Dia melotot sekejap pada Yo Ko, kemudian dengan langkah cepat ia berlari ke kamar sebelah timur. Ia dobrak pintu kamar, tapi tiada seorang pun. Kembali ia berlari ke kamar murid angkatan ketiga yang biasa untuk berlatih.

Ketika ia tendang terpentang pintu kamar ini, ternyata seluruh kamar telah penuh dengan asap yang tebal, remang-remang kelihatan satu imam yang teringkus di tiang ranjang, mulutnya menganga dan sedang ber-teriak-teriak minta tolong dengan suara yang serak, mungkin saking lamanya ia men-jerit-jerit.

Melihat keadaan sudah amat mendesak, cepat In Ci-peng mencabut pedangnya, dengan sekali tebas, ia potong tali pengikat dan membebaskan imam itu dari ancaman maut.

Sementara itu Khu Ju-ki, Kwe Ceng, Yo Ko dan lainnya telah selamatkan diri keluar kuil, mereka sudah berdiri di atas tanah tanjakan dan sedang menyaksikan mengamuknya jago merah yang menjilat-jilat semakin hebat. Oleh karena di atas gunung memang tidak gampang didapatkan air yang cukup, maka tanpa berdaya mereka menyaksikan kuil yang megah itu lambat laun ambruk untuk akhirnya menjadi tumpukan puing belaka.

Watak Khu Ju-ki sangat keras dan berangasan, sekarang menyaksikan kuil mereka yang bersejarah ini ditelan mentah-mentah oleh api, dia mengutuk tidak habisnya pada musuh.

Selagi Kwe Ceng hendak tanya siapakah sebenarnya musuh yang datang itu dan kenapa turun tangan secara keji begini, tiba-tiba ia melihat sebelah tangan In Ci-peng mengempit satu imam sedang menerobos keluar di antara gumpalan asap yang tebal. Karena kepelepekan oleh asap tebal, imam yang dikempit In Ci-peng masih ter-batuk-batul hingga kedua matanya mengucurkan air mata, tapi demi nampak Yo Ko, dadanya hampir meledak saking gusarnya, tanpa pikir lagi segera ia ulur tangan terus menubruk bocah itu.

Namun perbuatan orang hanya diganda tertawa oleh Yo Ko. Ketika imam itu menubruk tiba, dengan cepat ia sembunyi ke belakang Kwe Ceng. Rupanya imam itu belum kenal siapa adanya Kwe Ceng, maka dia telah mendorong dada Kwe Ceng dengan maksud kesampingkan orang supaya lebih leluasa menangkap Yo Ko. Siapa duga dorongannya laksana kena dinding saja, sedikit pun Kwe Ceng tidak bergerak. Karena itu, sesaat imam itu menjadi kesima, tetapi segera dia tuding Yo Ko dan mencaci maki:

“Anak jadah, berani kau pedayai To-ya (tuan imam), hampir aku terbakar mampus karena perbuatanmu!” demikian teriaknya murka.

“Ceng-kong, apa yang kau katakan?” tiba-tiba Ong Ju-it membentaknya dari samping.

Ternyata Tosu atau imam yang kena ‘dikerjai’ Yo Ko ini adalah cucu-murid Ong Ju-it dan bernama Ceng-kong. Tadi ia beruntung bisa diselamatkan dari elmaut atas pertolongan In Ci-peng. Dalam sengitnya begitu nampak Yo Ko segera ia menubruk maju untuk mengadu jiwa, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa para paman guru dan kakek gurunya juga berada di situ. Kini mendadak dibentak Ong Ju-it, baru dia ingat telah berlaku kurang sopan, keruan ia berkeringat dingin saking takutnya.

“Ya, Tecu patut mampus,” katanya kemudian dengan tangan lurus ke bawah.

“Ada urusan apakah sebenarnya? Katakan!” bentak Ong Ju-it lagi.

“Semuanya karena Tecu sendiri yang tak becus, harap Cosuya memberi ampun,” sahut Ceng-kong.

Karena jawaban yang lain dari pada yang ditanya, Ong Ju-it mengerutkan kening. “Memangnya siapa yang bilang kau becus? Aku hanya bertanya, sebenarnya ada urusan apakah?” ulangi Ong Ju-it.

“Tadi Tecu diperintah oleh Thio Ci-goan-Susiok agar menjaga di belakang, kemudian Thio-susiok membawa anak... anak...”

Sebenarnya Ceng-kong hendak mengatakan “anak jadah,” untung ia lantas ingat sedang berhadapan dengan Cosuya, maka ia tidak berani keluarkan kata-kata kotor, lekas dia ganti: “anak... anak kecil ini dan diserahkan padaku. Ia bilang anak ini ikut naik gunung bersama musuh tapi dapat ditawan Thio-susiok, maka aku diperintahkan untuk mengawasinya agar jangan sampai anak ini melarikan diri. Oleh karena itu Tecu lalu membawanya ke dalam kamar latihan di sebelah timur. Siapa duga, duduk tidak lama mendadak anak... anak kecil ini memakai tipu muslihat, katanya ingin kencing dan minta aku lepaskan tali yang meringkus tangannya, Tecu tak mau diakali, maka dengan tanganku sendiri kubukakan celananya biar kencing. Siapa tahu bocah ini memang berhati jahat, habis kencing hingga membuat sebagian lantai basah kuyup, waktu aku mengikat celananya lagi, mendadak ia mendorong aku dengan keras.”

Bercerita sampai di sini, tiba-tiba saja terdengar Yo Ko ketawa ngikik, keruan Ceng-kong menjadi marah.

“Anak... anak apa yang kau tertawakan?” damperatnya dengan gemas.

Tetapi Yo Ko malah mengangkat kepala melihat ke atas, tanpa memandang ia menjawab:

“Aku tertawa sendiri, peduli apa dengan kau?”

Sudah tentu Ceng-kong tidak menyerah mentah-mentah, ia hendak adu mulut dengan bocah ini kalau saja Ong Ju-it tidak membentaknya.

“Tak perlu kau ribut-ribut dengan anak kecil, lekas teruskan ceritamu!” kata Ong Ju-it.

“Ya, ya,” sahut Ceng-kong ketakutan, “Engkau tak tahu, Cosuya, anak ini licin luar biasa. Sesudah aku didorong hingga jatuh telentang di atas lantai yang basah kuyup dengan air kencingnya, dan selagi aku hendak melompat bangun buat persen dia beberapa kali tamparan, mendadak dengan cengar-cengir dia malah mendekati aku dan berkata: “Wah, To-ya, aku telah bikin kotor pakaianmu!”

Mendengar cara Ceng-kong menirukan suara perkataan Yo Ko yang masih kanak-kanak kedengaran lucu sekali, semua orang diam-diam merasa amat geli. Hanya Ong Ju-it yang mengkerut kening lagi, di dalam hati ia damperat habis-habisan cucu-muridnya yang bikin malu di depan orang banyak ini.

“Mendengar kata-kata-nya itu, aku mengira dorongan padaku tadi karena tidak disengaja, maka aku tidak menyalahkan dia lebih jauh,” demikian Ceng-kong melanjutkan ceritanya, “Sementara itu ia mendekati aku, tampaknya seperti hendak bantu membangunkan aku, tetapi kedua tangannya terikat, maka tidak bisa berbuat apa-apa. Tak tahunya mendadak dia lantas melompat dan mencemplak ke atas tubuhku, dia menunggangi aku yang masih telentang, bahkan mulutnya terus ditempelkan ke leherku dan menggigit tenggorokanku.”

Bercerita sampai di sini, tanpa terasa Ceng-kong meraba-raba lehernya, agaknya masih terasa sakit oleh bekas gigitan tadi.

“Dengan sendirinya aku jadi terperanjat,” sambungnya lagi, “aku berusaha membalikkan tubuh buat banting dia, siapa duga, ia menggigit lebih kencang, kalau sekali lagi dia gigit mungkin jalan pernapasanku bisa putus, Karena terpaksa, aku tak berani berkutik, dengan jalan halus aku lantas memohon: ‘Sudahlah, tentu kau ingin aku lepaskan tali pengikatmu, bukan?’. Dia mengangguk-angguk atas pertanyaanku ini, sebaliknya aku masih ragu-ragu, maka kembali dia perkeras lagi gigitannya, saking sakitnya sampai aku ber-teriak-teriak.

Pikirku pada saat itu: “Biarlah aku lepaskan talinya, asal dia tidak menggigit lagi, masakah dengan satu anak kecil saja aku kalah?” Maka aku lantas lepaskan tali pengikatnya. Tak terduga, begitu tangannya merdeka, segera ia cabut pedangku terus menodong ulu hatiku dan mengancam, bahkan senjata berbalik makan tuan, dia malah menggunakan tali yang mengikat dia tadi untuk meringkus diriku pada tiang ranjang, dia mengiris sepotong kain bajuku pula lantas menyumbat mulutku. Belakangan kuil kita terbakar, hendak lari aku tak dapat, ingin berteriak juga tak bisa, kalau bukan In-susiok tadi yang menolong, tentu Tecu sudah terbakar hidup-hidup karena anak kecil ini?” Habis bercerita, dengan mata melotot ia memandang Yo Ko dengan murka.

Setelah mendengar penuturannya, semua orang sebentar memandang Yo Ko, di saat lain memandang Ceng-kong, yang satu tubuhnya kurus kecil, sedangkan yang satunya lagi berperawakan tinggi besar, tetapi yang gede kena dikibuli hingga tak berdaya. Saking gelinya, semua orang tertawa terbahak-bahak.

Ceng-kong menjadi bingung, ia cakar-cakar kuping dan garuk-garuk kepala dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

“Ceng-ji,” kata Ma Giok kemudian dengan tertawa, “apakah ini puteramu? Tampaknya dia telah lengkap menurunkan tabiat sang ibu, oleh karena itu begini nakal dan cerdik.”

“Bukan,” sahut Kwe Ceng, “dia adalah putera tinggalan dalam perut dari adik angkatku, Yo Khong.”

Ketika tiba-tiba mendengar nama Yo Khong disebut, hati Khu Ju-ki terkesiap, Kemudian ia mencoba mengamat-amati Yo Ko, betul juga ia lihat wajah bocah ini rada mirip dengan Yo Khong.

Antara Khu Ju-ki dan Yo Khong terdapat hubungan guru dan murid. Meski kemudian Yo Khong berkelakuan kurang baik, tamak kedudukan dan serakah akan kemewahan, terima mengaku musuh sebagai bapak, tetapi bila Khu Ju-ki teringat semua itu, selalu ia merasa dirinya kurang sempurna mendidik anak muridnya hingga akibatnya Yo Khong menjadi tersesat, maka sering kali dalam hati ia merasa menyesal. Sekarang demi mendengar Yo Khong mempunyai keturunan tentu saja ia sangat girang, lekas ia bertanya lebih jelas.

Begitulah, tanpa menghiraukan Tiong-yang-kiong mereka telah habis ditelan api, Ma Giok dan Khu Ju-ki sebaliknya mendengarkan penuturan Kwe Ceng tentang diri Yo Ko dengan penuh perhatian.

“Ceng-ji, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini boleh dikatakan tingkat kepandaianmu sudah jauh di atas tingkatan kami, kenapa tidak kau sendiri yang mengajar dia?” demikian kata Khu Ju-ki kemudian setelah mendengar bahwa Kwe Ceng sengaja membawa Yo Ko ke Cong-lam-san buat belajar silat.

“Soal ini akan kuterangkan kelak,” sahut Kwe Ceng, “Hanya kedatangan Tecu sekarang telah banyak bikin ribut para To-heng, inilah yang bikin hatiku tidak enak sekali.”

Kemudian ia lantas menuturkan pula tentang kesalah pahaman sewaktu ia naik gunung tadi sehingga saling gebrak dengan para imam yang memasang jaring-jaring Pak-tau-tin buat mencegatnya.

Mendengar cerita ini, seketika Khu Ju-ki menjadi marah. “Sungguh tak berguna, Ci-keng memimpin barisan luar, kenapa tidak bisa membedakan kawan atau lawan?” katanya, “Memang aku merasa heran kenapa barisan yang kita pasang begitu kuat di luar itu bisa begitu cepat dibobol musuh hingga menerjang ke atas gunung, kita diserang dalam keadaan belum siap. Hmm, kiranya dia telah kerahkan Pak-tau-tin yang dia pimpin untuk merintangi kedatanganmu.” Semakin berkata, tampak Khu Ju-ki semakin menjadi marah.

“Mungkin itu disebabkan salah paham,” ujar Kwe Ceng, “ketika berada di bawah gunung, tanpa sengaja Tecu telah tepuk hancur batu pilar yang terukir syair buah tangan Totiang, mungkin inilah yang menimbulkan salah paham.”

Mendengar keterangan ini, air muka Khu Ju-ki berubah menjadi tenang kembali. “Oh, kiranya begitu, kalau demikian tidak bisa menyalahkan mereka,” ujarnya. “Memang begitu kebetulan, sebab musuh yang hendak menyerang Tiong-yang-kiong kita hari ini justru diketahui memakai tanda serangan dengan menepuk pilar batu yang kau katakan itu.”

“Siapakah sebenarnya orang-orang yang datang tadi? Kenapa nyali mereka bisa begitu besar?” tanya Kwe Ceng.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar