Minggu, 23 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 017

“Ko-ji, marilah sekarang kita naik gunung,” teriak Kwe Ceng.

Tapi meski sudah dua kali ia memanggil, belum juga ada sahutan dari Yo Ko, waktu ia coba mencari namun bayangan Yo Ko sudah tidak tampak lagi, yang dia ketemukan hanya sebuah sepatu kecil yang ketinggalan di semak di belakang pohon.

Tentu saja Kwe Ceng terkejut. Ia mengerti ada orang lain yang mengintai di samping dan telah menculik si Yo Ko. Akan tetapi bila dia pikir para imam tadi hanya salah paham saja terhadap dirinya, lagi pula Coan-cing-kau selamanya suka bantu yang lemah dan berantas kejahatan, tidak mungkin anak kecil dibikin susah oleh mereka, maka dia tidak menjadi kuatir lagi. Dengan kumpulkan tenaganya, segera ia berlari cepat mendaki ke atas.

Sudah belasan tahun Kwe Ceng tirakat di Thoa-hoa-to, meski pun setiap hari ia tetap berlatih diri, akan tetapi sudah sekian lamanya belum pernah ia bergebrak dengan orang, karena itu kadang-kadang dia merasa kesepian. Kini kebetulan bisa bergebrak seru dengan para imam, maka diam-diam ia merasa cukup puas.

Sementara jalanan pegunungan semakin sulit ditempuh, tak berapa lama, bahkan awan hitam menutup raut sang dewi malam, mendadak udara pegunungan cerah menjadi gelap guIita, Karena keadaan ini, Kwe Ceng menjadi ragu, ia pikir: “Tempat ini aku belum apal, jangan-jangan para To-heng itu main tipu muslihat, betapa pun aku harus waspada.”

Karenanya ia lantas lambatkan langkahnya, ia berjalan perlahan saja. Sesudah maju lagi, tiba-tiba awan hitam tadi terpencar di tiup angit, rembulan memancarkan sinarnya dengan terang benderang, dan ia mendengar di balik gunung sana sayup-sayup ada suara napas orang yang hampir ratusan banyaknya. Meski pun suara napas itu amat perlahan, tetapi karena jumlah orangnya banyak, maka Kwe Ceng dapat mengetahuinya. Tapi ia tidak menjadi gentar. Setelah kencangkan ikat pinggangnya, segera ia melanjutkan perjalanan, dan sesudah melintasi satu lereng gunung, tiba-tiba ia menjadi kaget.

Kiranya di depannya terdapat satu lapangan yang amat luas dengan sekelilingnya dikitari gunung-gunung, keadaannya amat angker dan bagus sekali. Di bawah gunung di mana terdapat lapangan luas itu terdapat pula satu kolam besar, karena sorotan cahaya bulan, maka air kolam menjadi berkelap-kelip kemilauan. Di depan kolam besar itu nampak ratusan imam yang berdiri berpencaran. Para imam ini semuanya memakai kopiah kuning dan jubah kelabu, tangan mereka menghunus pedang, sinar pedang yang gemerlapan menyilaukan mata.

Ketika Kwe Ceng mengawasi kiranya para imam itu tiap-tiap tujuh orang tergabung menjadi satu kelompok sehingga seluruhnya ada empat belas barisan bintang Thian-keng-pak-tau-tin. Tiap-tiap tujuh Pak-tau-tin kecil ini terbentuk pula menjadi sebuah Pak-tau-tin yang besar, sungguh hebat sekali keadaan barisan bintang raksasa ini, karena itu diam-diam Kwe Ceng berkuatir.

Sementara itu tiba-tiba terdengar satu imam dalam barisan raksasa itu bersuit, habis ini ke-98 imam itu dengan cepat terpencar, ada yang di depan ada yang di belakang, sekaligus berubahlah barisan bintang mereka dan segera Kwe Ceng terkurung di-tengah-tengah. Tiap-tiap imam siap sedia dengan pedang terhunus, mereka memandang dengan mata yang tak berkedip dan semuanya bungkam.

“Dengan hati tulus Cayhe mohon bertemu Khu-cinjin, maka harap para To-heng jangan merintangi,” segera Kwe Ceng menyapa dengan memberi hormat.

“llmu kepandaianmu cukup hebat, mengapa kau tidak tahu harga diri dan mau berkomplot dengan kaum siluman? Hendaklah kau cepat-cepat insaf bahwa selamanya wanita suka menyesatkan orang. Sayang kalau puluhan tahun latihan kepandaianmu hanya dibuang dalam sekejap saja!” demikianlah imam berjenggot panjang dalam barisan itu menjawab.

Nada suaranya rendah, tetapi setiap kata diucapkannya dengan jelas, suatu tanda tenaga dalamnya sudah kuat sekali, lagu kata-katanya juga sungguh-sungguh nyata ia menasihati orang dengan setulus hati.

Sudah tentu Kwe Ceng merasa geli dan mendongkol. Pikirnya di dalam hati: “Para imam hidung kerbau ini entah anggap aku ini manusia macam apa? Coba kalau Yong-ji berada di sampingku, pasti tidak akan terjadi kesalah pahaman seperti sekarang ini.”

Oleh karena itu dia lantas menyahut: “Siluman apa dan wanita apa yang kau maksudkan? Sungguh Cayhe sama sekali tidak tahu-menahu. Kalau Cayhe bertemu dulu dengan Khu-cinjin, tentu segalanya akan menjadi terang.”

“Kau bisa bertemu beliau kalau mampu memboboIkan Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau kami ini,” kata imam berjenggot panjang tadi.

“Cayhe hanya seorang diri, ilmu kepandaianku terlalu rendah, mana berani melawan ilmu mukjijat kalian? Harap saja anak yang aku bawa itu dibebaskan dan silakan memberi kesempatan kepadaku buat menemui Khu-cin-jin,” sahut Kwe Ceng.

“Hm, kau masih coba berlagak dan putar lidah? Di depan Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san ini mana boleh kau maling cabul ini berbuat tidak semena-mena?” mendadak imam jenggot panjang membentak. Habis ini pedangnya memutar ke atas dengan membawa sambaran angin yang santer hingga menerbitkan suara ngaungan yang bergema.

Karena inilah imam yang lain serentak gerakan senjata, sekaligus 98 batang pedang berputar kian kemari sehingga menerbitkan angin yang keras, sinar pedang yang berpantulan tersusun seperti satu jaringan sinar perak. Diam-diam Kwe Ceng mengeluh oleh susunan barisan bintang ini, ia pikir dengan seorang diri mana mungkin bisa menandingi lawan yang begitu banyak?

Sementara itu sebelum dia dapat mengambil keputusan, ke-98 imam itu sudah merubung maju dari dua belah sisi, sinar pedang mereka menyambar rapat hingga boleh dikatakan lalat saja sukar menerobos.

“Hayo, senjata apa yang akan kau pakai, lekas keluarkan!” terdengar si imam jenggot panjang membentak.

“Rupanya barisan Pak-tau-tin mereka tak gampang dipecahkan, tapi jika hendak membuat aku celaka, rasanya mereka juga tidak akan mampu. Biarlah aku melihat cara bagaimana permainan barisan ini,” demikian Kwe Ceng membatin.

Maka dengan se-konyong-konyong ia memutar pergi, ia berlari menduduki tempat di ujung barat-daya, berbareng keluarkan tipu pukulan ‘ciam-liong-bat-yong’ atau naga selulup jangan digunakan, satu tipu pukulan yang lihay dari ilmu pukulan ‘Hang-liong-sip-pat-ciang’ (ilmu pukulan penakluk naga) yang meliputi delapan belas jurus. Sekali tangannya diulur lalu ditarik pula terus mendadak didorong lagi ke samping.




TIONG-YANG-KIONG MEMBARA

Karena serangan ini, tujuh imam muda yang menjaga barisan ujung barat-daya lekas-lekas pindahkan pedang mereka ke tangan kiri, lalu sambil bergandengan tangan mereka ulur telapak tangan kanan untuk menyambut pukulan Kwe Ceng. Tidak tahunya ilmu pukulan ini sudah dilatih Kwe Ceng sedemikian rupa sehingga di atas puncaknya kesempurnaan, tenaga dorongannya luar biasa kerasnya dan yang paling lihay justru terletak pada tenaga tarikan kembalinya.

Oleh karena itu, ketika sepenuh tenaga ketujuh imam itu menahan dorongannya, di luar dugaan menyusul satu kekuatan yang maha besar malah menarik kembali ke depan, keruan ketujuh imam muda ini tidak bisa tancap kaki lebih kuat lagi, tanpa kuasa mereka terbanting jatuh. Meski pun segera mereka bisa melompat bangun, tetapi tak urung muka mereka kotor penuh debu hingga mereka merasa malu.

Nampak betapa lihaynya Kwe Ceng, sekali turun tangan tujuh anak muridnya sudah kena dibanting roboh, tentu saja imam jenggot panjang tadi sangat terkejut. Segera dia bersuit panjang, dia gerakkan ke-14 Pak-tau-tin mereka dan bergandeng menjadi satu secara ber-deret-deret.

Dalam keadaan demikian, sekali pun tenaga pukulan Kwe Ceng berlipat ganda tidak mungkin sanggup mendorong ke-98 imam ini. Maka ia tak berani menyerang secara keras lawan keras lagi, segera dia keluarkan Ginkang atau ilmu enteng tubuh, dia menerobos ke sana kemari di antara barisan orang, ia pikir mencari lubang dahulu untuk kemudian baru turun tangan mematahkan barisan.

Sesudah lari sini dan lompat sana, ia sengaja memancing barisan musuh supaya berubah tempat, namun segera ia tahu kalau hanya kekuatan seorang diri saja sungguh sulit mematahkan barisan bintang ini. Sementara itu garis kepungan semakin lama semakin ciut, sehingga Kwe Ceng merasa hendak berkelit atau hindarkan diri makin lama semakin sulit.

Karenanya diam2 Kwe Ceng berusaha cara bagaimana untuk menerjang keluar kepungan musuh. Ketika mendadak dia mendongak, dia lihat jauh di Iamping gunung sebelah kanan sana berdiri satu kuil yang sangat megah, dia taksir tentu itulah Tiong-yang-kiong. Ia lihat kuil itu jauhnya kira-kira belasan li. Ia memperhitungkan suara teriakannya masih bisa mencapai istana itu, maka diam-diam ia kumpulkan seluruh tenaga dalamnya, sesudah siap, mendadak ia berseru keras:

“Tecu (anak murid) Kwe Ceng mohon bertemu! Tecu Kwe Ceng mohon bertemu!”

Begitu keras suara teriakan hingga seperti bunyi guntur di siang hari sampai kuping para imam itu terasa pekak, bahkan tergetar sampai kepala pusing dan mata kabur, seketika daya serangan mereka menjadi kendor.

“Awas, jangan sampai kena dikibuli maling cabul ini,” lekas-lekas imam jenggot panjang memberi semangat pada kawan-kawannya.

Kwe Ceng menjadi marah mendengar orang berulang kali memaki dirinya, ia pikir: “Barisan bintang-bintang ini berada di bawah pimpinannya, asal aku hantam roboh orang ini, ular tanpa kepala, tentu barisan ini tidak sulit lagi dihancurkan.”

Karena itu segera ia buka serangan lagi, mengincar si imam jenggot panjang. Di luar dugaannya, keistimewaan barisan bintang ini justru adalah memancing musuh menggempur pucuk pimpinan, dengan demikian barisan dalam kelompok kecil lainnya segera mengepung dari kedua sayap, bila mana terjadi begini berarti musuh telah terjebak ke dalam jaring-jaring mereka.

Syukur Kwe Ceng bukan sembarang orang. Baru beberapa langkah dia menguber imam jenggot panjang, segera ia merasa gelagat tidak menguntungkan, tiba-tiba ia merasakan daya tekanan dari belakang bertambah hebat, begitu pula dari kedua sayap mengerubut maju secara ber-bondong-bondong. Satu kali dia hendak belok ke kanan, tetapi dua barisan kecil dari depan telah menyerang berbareng dengan 14 pedang. Tempat yang di arah ke-14 pedang para imam ini ternyata tepat dan bagus sehingga Kwe Ceng hendak berkelit pun tak bisa, hendak mengegos pun tak sempat.

Namun begitu menghadapi bahaya demikian, dalam hati Kwe Ceng bukannya menjadi takut, sebaliknya hawa amarahnya semakin memuncak, pikirnya dalam hati: “Sekali pun kalian dakwa aku sebagai maling cabul segala, tapi sebagai orang beragama seharusnya berwelas-asih, kenapa tiap seranganmu begini keji? Apa kalian memang sengaja hendak melenyapkan jiwaku?”

Mendadak dia meloncat ke samping, berbareng sebelah kaki melayang, sekali tendang dia bikin satu imam muda terpental, sedang tangan kiri diulur untuk merebut pedang orang. Dengan senjata rampasan ini ia tangkis tujuh pedang yang sementara itu sudah menyerang lagi dari sebelah kanan. Maka terdengarlah suara nyaring beradunya senjata, tahu-tahu ketujuh pedang musuh sudah terkutung semua, sebaliknya pedang yang Kwe Ceng pegang masih baik-baik saja tanpa rusak.

Hendaklah diketahui bahwa pedang yang dirampas Kwe Ceng itu tiada bedanya dengan pedang para imam yang terkutung dan bukannya lebih tajam, soalnya karena tenaga dalamnya sengaja dia salurkan ke ujung pedang, lantas sekaligus bikin tujuh pedang musuh tergetar putus. Mungkin saking kaget oleh ketangkasan Kwe Ceng ini hingga muka ketujuh imam tadi jadi pucat dan mulut tenganga.

Nampak barisan kawannya bobol, lekas dari samping dua barisan kecil merubung maju melindungi barisan yang duluan. Diam-diam Kwe Ceng ingin mencoba lagi kekuatannya sendiri demi nampak 14 imam kedua kelompok barisan pendatang ini tangan bergandeng tangan, tenaga 14 orang telah tergabung menjadi satu. Maka ia sengaja ayunkan pedang rampasannya dan sekali tempel, senjata ke-14 imam itu segera melengket pada pedang Kwe Ceng.

“Awas!” tiba2 Kwe Ceng berseru, berbareng tangannya sedikit diangkat, maka terdengar suara “krak” yang riuh, ternyata ada dua belas batang pedang para imam yang patah. Masih dua batang lagi telah mencelat terbang ke udara.

Tentu saja imam-imam itu terperanjat luar biasa, lekas mereka melompat mundur. Biar pun senjata para imam itu sekaligus kena dipatahkan dan dilempar pergi, namun Kwe Ceng tidak merasa puas seluruhnya, pikirnya: “Nyata kepandaianku masih belum sampai pada tingkatan yang paling tinggi, maka dua pedang tadi masih belum bisa kubikin patah sekalian.”

Sementara itu para imam telah bertambah waspada, cara mereka menyerang pun lebih berhati-hati, tapi semakin kencang pula kepungan mereka. Sebaliknya karena belum bisa membikin patah semua pedang tadi, Kwe Ceng merasa barisan musuh dijaga lebih kuat, dalam hati dia menjadi ragu. Dia pikir jangan sampai diriku akhirnya kecundang, urusan jangan sampai terlambat, lebih baik turun tangan lebih dulu.

Habis ini dengan sedikit mendakkan tubuh, mendadak Kwe Ceng meloncat ke sudut timur laut. Dengan tindakan ini dia tahu kedua kelompok barisan kecil dari jurusan barat-daya pasti akan berputar maju, namun dia sudah siap. Meski hanya sebatang pedang yang dia pegang, akan tetapi dalam sekejap saja ia sudah menusuk empat belas kali, 14 titik putih gemerdep menyambar berbareng, tiap-tiap tusukannya tepat mengenai ‘yang-kok-hiat’ di pergelangan tangan ke-14 imam itu.

Meski cara menggerakkan tangan Kwe Ceng tidak keras, tapi tahu-tahu para imam itu sudah rasakan tangan mereka tak bertenaga lagi, ke 14 pedang mereka pun terjatuh ke tanah. Luar biasa terkejutnya para imam. Sambil ter-sipu mereka melompat mundur dan ketika pergelangan tangan mereka periksa, nyata ‘Yong-kok-hiat’ yang kena ditutul tadi sedikit tanda merah, namun setetes darah pun tidak mengucur keluar.

Sungguh hebat serangan Kwe Ceng. Dia gunakan ujung pedang yang tajam itu untuk menusuk Hiat-to, tapi sedikit pun tidak bikin lecet kulit daging, sungguh suatu kepandaian yang luar biasa. Keruan para imam itu terperanjat. Dalam hati mereka bisa membayangkan juga apa bila Kwe Ceng mau menebas putus tangan mereka tadi sebenarnya bukan urusan sulit.

Kini sudah ada 5 kali 7 atau 35 pedang yang telah terlepas dari cekalan. Imam yang berjenggot panjang semakin marah. Dia tahu Kwe Ceng masih belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tapi untuk menjaga agar pamor Coan-cin-kau tidak merosot, berulang kali ia memberi perintah lagi, ia persempit lingkaran barisannya. Ia pikir dengan kepungan 98 imam, secara desak-mendesak saja akan dapat menggencet mampus lawannya.

Sebaliknya hati Kwe Ceng menjadi gemas juga, batinnya: “Para To-heng ini sungguh tidak kenal baik dan jelek, agaknya terpaksa aku harus hajar mereka supaya kapok.”

Tanpa ayal lagi segera ia mulai membuka serangan baru, dengan Ginkang yang lihay ia menyusur kesana dan memutar kemari, hanya sekejap saja barisan bintang para imam itu sudah tampak rada kacau.

Melihat gelagat jelek, imam jenggot panjang lekas-lekas memberi perintah agar para kambratnya berlaku tenang dan tetap jaga rapat kedudukan barisan mereka. Ia insyaf apa bila Kwe Ceng sampai ikut berlari, maka akhirnya barisan mereka pasti akan kocar-kacir dipatahkan. Tetapi demi mereka berdiri tenang tak bergerak, Kwe Ceng sendiri gagal usahanya.

“To-heng ini (maksudnya imam jenggot panjang) sangat paham akan rahasia barisannya, nyata dengan cepat dia bisa mengambil tindakan,” demikian diam-diam Kwe Ceng membatin. “Biarlah aku berteriak beberapa kali lagi, coba ada suara sahutan dari Khu-totiang atau tidak.”

Selagi ia mendongak hendak buka mulut, sekilas tertampak olehnya pada pojok kuil yang megah di atas gunung sana lapat-lapat ada berkelebatnya cahaya putih, agaknya seperti ada orang sedang bertempur dengan senjata tajam, hanya sayang karena jaraknya terlalu jauh, maka gerak tubuh orangnya tidak jelas, lebih-lebih suara beradunya senjata tidak bisa kedengaran. Hati Kwe Ceng tergerak “Siapakah yang bernyali begitu besar, berani mengacau Tiong-yang-kiong? Rupanya kejadian malam ini ada sesuatu yang mencurigakan.”

Karena itu, ia ingin lekas memburu ke kuil di atas gunung untuk melihat apa yang terjadi, cuma para imam masih terus merintanginya dengan mati-matian. Akhirnya Kwe Ceng menjadi tidak sabar, tiba-tiba tangan kirinya memukul dengan gerak tipu ‘kian-liong-cay-thian’ (melihat naga di sawah), sedang tangan kanan dengan tipu pukulan ‘kong-liong-yu-hwe’ (naga pembawa sial), sekali serang ia keluarkan ilmu kepandaiannya hantam kanan-kiri dengan kedua tangannya.

Karena serangan kanan-kiri ini, maka barisan bintang raksasa itu terpaksa membagi 49 orang buat menahan serangan dari kiri dan 49 orang lainnya menahan hantaman dari sebelah kanan.

Diluar dugaan, belum penuh gerak serangan Kwe Ceng tadi dilontarkan, di tengah jalan tiba-tiba berubah, gerak tipu ‘kian-liong-cay-thian’ mendadak berubah menjadi ‘’kong-liong-yu-hwe’ dan sekaligus Kwe Ceng gerakkan kedua tangannya dengan tipu pukulan Kian-liong-cay-thian dan Kong-liong-yu-hwe ke kanan dan kiri lalu diputar balik secara berlawanan.

Seungguhnya ilmu pukulan dari kanan-kiri ini, kedua tangan sekaligus mengeluarkan tipu serangan yang berlainan, bahkan di tengah jalan tipu serangan itu bisa berubah, sungguh orang tidak pernah mendengar atau menyaksikannya (dari mana Kwe Ceng memperoleh ajaran ilmu pukulan kanan-kiri dengan serangan yang berlainan, diceritakan dalam kisah Sia Tiauw Enghiong).

Padahal barisan Pak-tau-tin besar sebelah kiri sedang keluarkan tenaga untuk menahan tipu ‘kian-liong-cay-thian’ dan barisan sebelah kanan menangkis tipu ‘kong-liong-yu-hwe’, karena perubahan yang terbalik ini, maka tertampaklah bayangan Kwe Ceng berkelebat, tahu-tahu dia telah meloncat keluar dari celah himpitan kedua barisan besar itu, sebaliknya ke-49 imam itu karena tidak pernah menyangka akan tindakan lawan, keruan lantas terdengar suara gedebukan yang ramai, kedua barisan itu sudah saling tumbuk dan saling seruduk, banyak pedang yang patah dan tangan terluka, ada pula yang muka babak belur dan hidung mancur, beberapa puluh orang telah menderita luka semua.

Meski imam berjenggot panjang sempat hindarkan diri lebih cepat, namun tidak urung dia ikut kelabakan juga. Saking gemasnya, segera dia kerahkan seluruh barisannya terus mengudak. Akan tetapi amarahnya ini justru sudah melanggar pantangan ilmu silat dari golongan Coan-cin-kau yang mengutamakan ketenangan. Sementara itu Kwe Ceng berlari cepat di depan dan dari belakang ke-98 imam itu mengudak dengan kencang.

Tatkala sampai di tepi sebuah kolam besar, Kwe Ceng melihat di depan hanya air belaka, akan tetapi dia tidak kurang akal, mendadak dia lemparkan pedang rampasannya lurus ke permukaan air.

Meski pun pedang ini terbuat dari baja, namun kekuatan yang Kwe Ceng gunakan begitu tepat, maka batang pedang ini beberapa kali me-loncat terapung di atas air. Kesempatan inilah yang digunakan Kwe Ceng dengan baik, ia melayang ke tengah kolam, dengan kaki kanan ia tutul perlahan di atas batang pedang. Pada saat pedang itu tenggelam ke dalam kolam, Kwe Ceng sudah meminjam tenaga tutulan tadi untuk melompat sampai di seberang.

Sebaliknya para imam itu yang sial. Mereka sedang mengudak dengan kencangnya dan tak keburu mengerem, maka terdengarlah suara “plang-plung” yang ramai beberapa puluh kali, nyata ada 40 hingga 50 orang yang telah kecemplung ke dalam kolam. Sedang beberapa puluh yang di belakang menginjak punggung imam-imam yang depan, karena inilah mereka bisa berhenti di tepi kolam.

Sedang karena imam-imam yang kecemplung tadi tidak bisa berenang, banyak yang megap-megap dan berteriak-teriak minta tolong. Imam-imam lainnya yang bisa berenang cepat memberi pertolongan, maka dengan sendirinya tidak sempat buat menguber Kwe Ceng lagi.

Pada waktu para imam ini tunggang langgang, tiba-tiba Kwe Ceng dengar suara genta yang ditabuh keras berkumandang dari Tiong-yang-kiong, itu istana kaum Coan-cin-kau. Suara genta itu dibunyikan secara titir, keras dan kerap, agaknya tanda bahaya.

Waktu itu Kwe Ceng baru lepaskan diri dari rintangan para imam dan lagi berlari menuju Tiong-yang-kiong secepatnya. Ketika ia dengar suara genta rada aneh, ia telah merandek dan mendongak, maka terlihatlah olehnya di belakang kuil suci itu ada sinar api yang ber-kobar menjulang tinggi. Tentu saja Kwe Ceng kaget, pikirnya: “Kiranya hari ini memang benar ada orang hendak menggempur Coan-cin-kau, aku harus lekas-lekas pergi menolongnya.” Sementara itu ia mendengar suara teriakan para imam tadi telah menyusul dari belakang.

Kini Kwe Ceng baru mengerti tentunya imam-imam ini sudah salah sangka dirinya adalah musuh. Kuil mereka sedang terancam bahaya, sudah tentu mereka lebih kalap dan hendak adu jiwa dengan dirinya. Namun ia pun tidak urus mereka lagi melainkan dengan cepat lari terus ke atas.

Dengan Ginkang atau ilmu entengi tubuh yang Kwe Ceng dapat belajar juga dari Coan-cin-kau, yakni ajaran Ma Giok, maka tidak sampai waktu satu tanakan nasi ia sudah tiba di depan Tiong-yang-kiong. Ia melihat api telah berkobar dan menjalar hebat, akan tetapi aneh, ratusan To-su atau imam dari Coan-cin-kau yang masing-masing memiliki ilmu silat tinggi itu ternyata tiada satu pun yang keluar buat memadamkan api.

Diam-diam Kwe Ceng merasa kuatir. Waktu dia mengamati lagi, kiranya api menjalar dari bagian belakang istana yang megah itu, terbukti bagian depannya masih utuh. Cepat ia melintasi pagar tembok yang tinggi dan melompat masuk pelataran depan kuil, maka terlihatlah olehnya di pendopo sana sudah ber-jubel-jubel orang yang sedang saling hantam dengan mati-matian.

Waktu Kwe Ceng menegasi pula, dia melihat ada 49 orang imam berjubah kuning yang tersusun menjadi tujuh barisan Pak-tau-tin sedang menandingi serangan 60 atau 70 orang musuh. Para musuh pendatang itu ada yang tinggi ada yang pendek, gemuk atau kurus, seketika tak dapat dilihat dengan terang. Hanya kepandaian silat serta golongan para pendatang ini berlainan, ada yang memakai senjata dan ada yang menggunakan tangan kosong. Mereka terus merangsek dengan sepenuh tenaga.

Sebenarnya ilmu silat para penyerang ini tidak lemah, pula jumlahnya lebih banyak, maka para imam Coan-cin-kau sudah mulai terdesak. Hanya saja lawan mereka menyerang dan menghantam secara perseorangan, sebaliknya ketujuh barisan bintang para imam dapat bahu-membahu dan bantu membantu, mereka menjaga diri dengan sangat rapat, Meski para musuh sangat lihay namun tak mampu mendesak para imam barang selangkah pun.

Melihat pertarungan besar-besaran ini, Kwe Ceng menjadi heran, Selagi ia hendak membentak dan bertanya, tiba-tiba ia mendengar di istana kuil itu ada suara sambaran angin yang men-deru-deru, kiranya di dalam sana masih ada rombongan lain lagi yang tengah bertempur. Dari angin pukulan yang kedengaran itu, agaknya orang yang bergebrak di dalam istana itu ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada para penyerang yang berada di luar.

Lekas Kwe Ceng memburu maju, ia mengegos dan menerobos masuk, ia berkelit ke kiri terus menyusup ke kanan, tahu-tahu ia telah menyelip masuk melalui Pak-tau-tin para imam, Tentu saja imam-imam Coan-cin-kau sangat kaget, berbareng mereka saling memperingatkan kawannya, tapi karena tekanan musuh dari luar terlalu hebat, maka mereka tidak sanggup membagi sebagian untuk mengudak Kwe Ceng.

Di dalam istana sebenarnya terang benderang oleh belasan lilin yang besar, tatkala itu api yang berkobar dari ruangan belakang sudah menjalar ke depan, dari pancaran sinar api yang berkobar itu bercampurkan asap tebal yang menghembus terbawa angin, sinar lilin di dalam ruangan hanya kelihatan remang-remang saja.

Sementara Kwe Ceng melihat di dalam istana itu ber-deret tujuh imam duduk sila di atas kasuran yang bundar, telapak tangan kiri mereka saling menempel, hanya tangan kanan mereka yang dikeluarkan untuk menahan kepungan belasan orang musuh.

Begitu datang Kwe Ceng tidak periksa pihak musuh, melainkan terus pandang dulu pada ketujuh imam Coan-cin-kau. Ia lihat di antara tujuh orang itu yang tiga sudah berumur dan empat lainnya masih muda, yang tua itu masing-masing ialah Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, sedangkan di antara empat imam yang muda hanya seorang saja yang dia kenal, yakni In Ci-peng, murid Khu Ju-ki.

Ketujuh imam ini pun memasang barisan Pak-tau-tin, mereka berduduk saja tanpa bergerak. Di antara tujuh imam ini ada satu di antaranya yang kepalanya menunduk dan sedikit membungkuk hingga mukanya tidak tampak jelas. Demi melihat Ma Giok bertujuh berada dalam keadaan terancam, seketika darah Kwe Ceng jadi panas. Dia pun tidak peduli lagi siapa dan dari mana adanya musuh, dengan sekali bentakan yang menggeledek segera ia mendamperat:

“Kawanan bangsat yang kurang ajar, berani kalian main gila di Tiong-yang-kiong?”

Berbareng itu kedua tangan mengulur, sekaligus dia dapat mencengkeram punggung dua orang musuh. Selagi dia bermaksud membanting sasaran pertama, tak terduga kedua orang ini ternyata tergolong jagoan tinggi, walau pun punggung mereka kena dijamberet, namun kedua kaki mereka ternyata masih terpaku di lantai dan tidak kena dibanting. Tentu saja Kwe Ceng kaget sekali, pikirnya: “Dari manakah mendadak bisa datang lawan keras begini banyak? Pantas kalau Coan-cin-kau hari ini harus menderita kekalahan.”

Sambil berpikir ia pun lantas kerjakan serangan lain, mendadak kendurkan jamberetan-nya tadi, menyusul kakinya melayang, ia serampang kaki kedua orang lawannya. Pada waktu itu pula kedua lawannya sedang mengeluarkan kepandaian ‘Cian-kin-tui’ atau tindihan seberat ribuan kati, yakni semacam ilmu yang bikin tubuhnya menjadi berat untuk melawan tarikan pwe Ceng, sama sekali tidak mereka duga bahwa Kwe Ceng dapat mengubah serangannya secepat itu. Tanpa ampun lagi mereka kena diserampang hingga tubuh mereka mencelat keluar pintu.

Tentu saja pihak penyerang terkejut tatkala mengetahui pihak lawan kedatangan bala bantuan. Akan tetapi karena mereka merasa yakin pasti akan berada di pihak pemenang, maka datangnya Kwe Ceng tidak mereka perhatikan. Hanya ada dua orang yang segera maju dan membentak:

“Siapa kau?!”

Namun Kwe Ceng tidak menggubris. Tanpa berkata dia sambut kedua orang ini dengan gablokan kedua telapak tangannya secara susul-menyusul. Sungguh tak pernah diduga oleh kedua orang itu, sebelum mereka mendekat mendadak tenaga pukulan Kwe Ceng sudah membikin mereka tergetar hingga tak bisa berdiri tegak. Tanpa ampun lagi terdengarlah dua kali suara “bluk”, punggung mereka tertumpuk pada dinding tembok dengan keras hingga darah segar muncrat keluar dari mulut mereka.

Melihat empat kawan mereka roboh beruntun, keruan para musuh lainnya segera menjadi jeri, seketika tiada lagi yang berani maju buat mencegat. Di lain pihak, Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it segera mengenali Kwe Ceng. Dalam hati mereka menjadi girang luar biasa.

“Orang ini datang, Coan-cin-kau kami tidak perlu kuatir lagi!” demikian kata mereka dalam hati.

Sementara Kwe Ceng sama sekali tidak memandang sebelah mata pada para musuhnya, bahkan ia lantas berlutut di hadapan Ma Giok memberi hormat tanpa gubris musuh-musuh yang lain.

“Tecu Kwe Ceng memberi hormati,” demikian ia berkata.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar