Sabtu, 22 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 016

Sementara itu, tiba-tiba terdengar beberapa kali suitan kecil, lalu dari belakang batu besar melompat keluar empat Tosu atau imam, di tangan mereka masing-masing terhunus pedang dan menghadang di tengah jalan, tetapi semuanya bungkam saja.

“Cayhe adalah Kwe Ceng dari Tho-hoa-to dan ingin naik ke atas gunung untuk menjumpai Khu-cin-jin,” demikian kata Kwe Ceng sambil maju memberi hormat.

Untuk sementara tiada satu pun dari empat imam itu yang menjawab. Kemudian satu di antaranya yang berperawakan jangkung lantas melangkah maju.

“Hmm, Kwe-tayhiap namanya dikenal di seluruh jagat, menantu Oey-locianpwe dari Tho-hoa-to, mana bisa dia begini tak kenal malu seperti kau ini, lekaslah kau enyah turun gunung saja.” demikian kata imam itu dengan tertawa dingin.

“Aneh, dalam hal apakah aku tidak kenal malu?” demikian Kwe Ceng membatin. Namun dia coba sabarkan diri, lantas berkata lagi:

“Cayhe betul-betul Kwe Ceng adanya, harap kalian memberi jalan, soal ini tentu akan menjadi jelas kalau sudah berhadapan dengan Khu-cin-jin.”

Namun imam jangkung ini masih tidak mau mengerti, bahkan ia membentak. “Hmm, kau berani main gila dan pamer kepandaian ke Cong-lam-san, mungkin kau sudah bosan hidup,” damperatnya. “Hm, kalau kau tidak diberi sedikit rasa, mungkin kau menyangka semua imam yang tinggal di Tiong-yang-kiong adalah manusia-manusia tak berguna semua.”

Ia mendamperat orang dengan kata-kata yang juga menyindir kedua imam pendek dan kurus tadi. Sesudah berkata, segera ia melangkah maju, pedangnya bergerak dengan tipu hun-hoa-hud-liu atau memetik bunga mengebut pohon Liu, tiba-tiba menusuk pinggang Kwe Ceng. Melihat orang tanpa sebab dan tanpa alasan terus menyerang, diam-diam Kwe Ceng merasa aneh.

“Sudah belasan tahun aku tidak berkecimpung di kalangan Kangouw, semua peraturan rupanya sudah berubah?” demikian ia heran. Berbareng pula ia menghindar tusukan tadi, ia pikir berkelit saja dahulu untuk kemudian ajak orang bicara baik-baik.

Di luar dugaan, ketiga imam lainnya segera mengerubut maju, mereka kepung Kwe Ceng dan Yo Ko di tengah-tengah.

“Apakah yang Si-wi (tuan berempat) inginkan? Cara bagaimana mau percaya bahwa Cayhe betul2 adalah Kwe Ceng?” seru Kwe Ceng sebelum membalas serangan orang.

“Kecuali kalau kau mampu merebut pedang di tanganku ini!” bentak imam jangkung tadi. Sambil berkata, kembali dia menusuk, sekali ini mengarah dada Kwe Ceng, cara menyerangnya seenaknya saja se-akan-akan tidak pandang sebelah mata pada lawannya. Tentu saja akhirnya Kwe Ceng marah juga, “Untuk merebut pedangmu, apa susahnya?” demikian ia pikir.

Sementara itu pedang orang telah menusuk sampai di depan dadanya, cepat Kwe Ceng papaki senjata musuh dengan sekali jentikan jarinya. Sungguh hebat sekali tenaga jarinya, dengan mengeluarkan suara “creng” yang nyaring, tiba-tiba imam jangkung itu merasakan genggamannya terguncang, pedangnya mencelat ke udara. Dalam kaget dan gugupnya lekas ia melompat keluar dari kalangan pertempuran.

Di lain pihak, tidak sampai menunggu pedangnya jatuh ke bawah, terdengar suara nyaring tiga kali, susul menyusul Kwe Ceng menjentik, maka pedang ketiga Imam yang lain senasib sama, semua kena disentil terbang ke angkasa.

“Bagus!” teriak Yo Ko kegirangan oleh kepandaian sang paman ini. “Nah, sekarang kalian mau bercaya tidak?” demikian ia tegur para imam itu.

Sebenarnya setiap Kwe Ceng bergebrak selalu memberi kelonggaran dan berlaku murah hati pada pihak lawan, tetapi kini karena marah pada imam jangkung yang menyerang dengan kiam-hoat yang sifatnya rendah, maka ia unjuk tenaga sentilan jari yang lihay.

Ilmu kepandaian menjentik dengan jari ini sesunguhnya adalah kepandaian tunggal yang sangat dirahasiakan oleh Oey Yok-su, ayah Oey Yong. Namun Kwe Ceng sudah tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to bersama bapak mertuanya, maka ia sudah mewarisi seluruh kepandaiannya, ditambah pula tenaga Kwe Ceng yang telah terlatih sedemikian tingginya, sudah tentu tenaga sentilannya bukan main hebatnya. Sebaliknya meski pedang sudah terpental dari tangan mereka, keempat imam tadi masih belum tahu pihak lawan menggunakan ilmu silat apa.


MENEMBUS BARISAN BINTANG-BINTANG

“Maling cabul ini bisa main ilmu sihir, hayo lekas lari,” seru imam jangkung ketika melihat gelagat jelek, dia mendahului angkat kaki dan disusul oleh tiga kawannya, dalam sekejap saja mereka sudah menghilang di balik batu cadas.

Tadi Kwe Ceng dimaki orang dengan kata-kata ‘maling cabul’, kini ditambahi lagi dituduh ‘bisa main ilmu sihir’, keruan ia merasa mendongkol dan terhina sekali. Watak Kwe Ceng memang jujur dan polos, semakin tidak mengerti, semakin ingin jelas semua hal-ikhwalnya.

“Ko-ji, beberapa pedang ini letakkan di atas batu dengan baik,” katanya pada Yo Ko.

Yo Ko menurut, ia ambil keempat pedang yang ditinggal lari, bersama dua pedang yang duluan tadi ia taruh di atas batu. Dalam hati mudanya sungguh tidak habis kagumnya terhadap ilmu kepandaian sang paman, mulutnya sebenarnya sudah berulang-ulang tercetus kata2: “Kwe-pepek, aku tidak ingin belajar silat pada imam busuk itu, tetapi ingin belajar padamu saja.”

Akan tetapi bila teringat pada kejadian di Tho-hoa-to yang sudah dialaminya, akhirnya dia telan kembali kata-kata yang sebenarnya ingin dia ucapkan itu. Begitulah mereka melanjutkan lagi, setelah membelok dua kali, tiba-tiba tanah di depan kelihatan rada lapang, akan tetapi segera terdengar suara nyaring beradunya senjata sebagai isyarat, menyusul dari hutan di samping jalan lantas keluar tujuh orang imam dengan pedang terhunus.

Melihat munculnya ketujuh imam ini dengan mengambil kedudukan di kiri empat orang dan di kanan tiga orang, segera Kwe Ceng kenal ini adalah ‘Thian-keng-pak-tau-tin’ atau barisan ilmu bintang yang sengaja dipasang, dalam hati ia terperanjat.

“Kalau harus menggempur barisan ini, agaknya rada sulit juga,” demikian ia membatin.

Oleh karena itu dia tidak berani gegabah, dengan suara perlahan dia pesan Yo Ko: “Kau sembunyilah di belakang batu besar sana, lebih jauh lebih baik, supaya perhatianku tidak terbagi dalam pertempuran ini.”

Yo Ko mengangguk, tetapi anak ini memang cerdik, tidak sudi ia unjuk lemah di hadapan para imam, maka ia berlagak lepas kolor celana sambil berkata:

“Kwe-pepek, aku pergi kencing dahulu!” sambil berkata ia putar tubuh dan lari ke belakang sebuah batu besar.



Diam-diam dalam hati Kwe Ceng bersyukur melihat kepintaran dan kecerdasan anak ini, ia mengharap hendaklah anak ini bisa menuju jalan yang benar dan jangan tersesat lagi seperti ayahnya. Ketika ia menoleh, di bawah sinar bulan yang remang-remang ia melihat ketujuh imam itu, enam yang berada di depan seperti memelihara jenggot, usia mereka pun sudah tak muda lagi, sedangkan orang ketujuh berperawakan kecil, agaknya seperti seorang To-koh atau imam wanita.

Melihat barisan ini segera Kwe Ceng paham bahwa mereka sudah menirukan cara Coan-cin-chit-cu dahulu, di antara Coan-cin-chit-cu itu memang terdapat seorang imam wanita, yakni Jing-ceng Sanjin Sun Put-ji, kini kedudukannya juga dipegang oleh seorang imam wanita.

“Apa gunanya aku terlibat dalam pertempuran dengan mereka, lebih baik cepat-cepat naik ke atas menemui Khu-cinjin lantas menjelaskan kesalahan pahaman ini,” tiba-tiba pikiran Kwe Ceng tergerak.

Karenanya, begitu bergerak, segera dia mendahului menyerobot ke sebelah kiri, dia rebut kedudukan bintang ‘Pak-kek’ (kutub utara). Melihat orang mendadak lari ke sebelah kiri, cepat imam yang menduduki tempat bintang ‘Thian-koan’ (kekuasaan langit) berteriak dengan suara tertahan. Dia kerahkan barisan bintang-bintangnya terus memutar ke kiri dengan tujuan hendak kepung Kwe Ceng di tengah.

Siapa duga, begitu ketujuh imam ini bergerak, Kwe Ceng lantas ikut bergerak juga, selalu mendahului pihak lawan untuk menduduki tempatnya. Dan begitulah seterusnya sampai beberapa kali meski para imam itu ber-ganti-ganti dengan beberapa tipu gerakan, tetapi selalu didahului Kwe Ceng, sehingga mereka kewalahan dan serba salah.

Hendaklah diketahui bahwa ‘Thian-keng-pak-tau-tin’ ini merupakan ilmu kepandaian tertinggi dari kaum Coan-cin-kau, barisan yang teratur rapi dan dilakukan tujuh orang, sekali pun lawannya beratus atau beribu orang dapat pula ditahan.

Akan tetapi dihadapan Kwe Ceng, barisan bintang yang hebat ini ternyata tiada gunanya, sebab Kwe Ceng sudah paham akan ilmu barisan bintang ini, apa lagi ketujuh imam ini hanya anak murid Coan-cin-kau angkatan muda. Jika barisan ini dipasang dengan Coan-cin-chit-cu, mungkin Kwe Ceng tidak gampang merebut tempat kedudukan sesukanya.

Oleh karenanya, meski barisan para imam itu sudah ber-ubah beberapa kali gerak tipu, sebenarnya sekali pukul Kwe Ceng bisa bikin kocar-kacir barisan lawan, namun dia sengaja membodoh dan pura-pura tak mengerti, dengan ke-tolol-tololan sengaja berdiri menjublek di tempatnya, hanya kalau barisan orang itu bergerak, maka segera ia ikut menggeser.

Begitulah sampai lama sekali, walau pun si imam yang menjadi poros barisan bintang sudah beberapa kali bergerak dengan cepat, namun tetap tidak berhasil mengepung Kwe Ceng. Dalam terkejutnya imam itu menjadi marah, dia tidak mau menyerah mentah-mentah, segera putar barisannya dengan cepat.

Melihat pertarungan yang ramai, yang paling senang adalah Yo Ko. Ia melihat ketujuh imam itu seperti orang gila saja berIari-lari cepat mengitari Kwe Ceng, sebaliknya dengan tenang saja Kwe Ceng melangkah beberapa tindak ke kiri atau ke kanan, ke timur atau ke barat menurut keadaan musuh. Sejak semula sampai akhir ketujuh imam itu ternyata tak berani sembarang menyerang dengan senjata mereka, makin menonton semakin ketarik hingga saking senangnya Yo Ko bertepuk tangan.

Sementara itu tiba-tiba terdengar Kwe Ceng berseru: “Maaf!”

Mendadak dia menyerobot cepat dua langkah ke kiri. Sekarang barisan bintang berbalik di bawah pengaruh gerakannya, maka Kwe Ceng cepat menyerobot. Apa bila tujuh imam itu tidak ikut menggeser ke arah yang sama, tentu mereka harus menghadapi bahaya yang dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu terpaksa ketujuh imam ini harus mengikuti gerak arah Kwe Ceng.

Dengan begitu maka tujuh imam ini sudah terjeblos dalam keadaan tak dapat melepaskan diri lagi, kemana pun Kwe Ceng pergi, ketujuh orang ikut ke sana, Kwe Ceng cepat, para imam pun cepat dan kalau lambat mereka turut lambat.

Di antara ketujuh imam ini rupanya kepandaian To-koh atau imam wanita itu yang paling cetek. Setelah dibawa putar belasan kali oleh Kwe Ceng, ia sudah merasa kepalanya pusing dan napas ter-sengal-sengal, tampaknya segera akan terbanting jatuh. Tetapi ia pun insaf, jika barisan bintang kehilangan seorang saja, maka seketika akan menjadi pincang dan daya pertahanan mereka akan segera runtuh. Dalam keadaan terpaksa ia hanya bisa mengertak gigi bertahan sekuatnya.

Walau pun usia Kwe Ceng boleh dibilang tidak muda lagi, tapi semenjak ia tirakat di Tho-hoa-to bersama isterinya Oey Yong, paling akhir ini sudah jarang bergaul dengan dunia luar, selama itu pula hati kanak-kanak-nya ternyata belum hilang. Kini melihat ketujuh imam itu dapat dipancing hingga berlari-larian, ia menjadi senang dan timbul kembali hati mudanya.

“Hari ini tanpa sebab tanpa alasan kalian mendamperat padaku, kalian mencaci aku sebagai maling cabul, menuduh aku menggunakan ilmu sihir, kini kalau aku tidak betul-betul unjuk sedikit ilmu sihir kepada kalian, mungkin kalian sangka aku boleh dihina begitu saja,” demikian ia pikir.

Oleh karena itu ia lantas berteriak pada Yo Ko: “Lihat Ko-Ji, saksikan ilmu sihir yang aku keluarkan ini!” Mendadak dengan sekali loncat, ia melompat ke atas batu cadas.

Ketujuh imam itu kini sudah berada di bawah pengaruh Kwe Ceng, maka begitu dia loncat ke atas batu, kalau ketujuh imam ini tidak ikut meloncat, segera titik kelemahan barisan mereka akan terlihat. Karena itu di antara mereka ada beberapa imam yang menjadi ragu-ragu, namun imam yang menduduki tempat Thian-koan atau pemimpinnya, dengan sekali bersuit segera ia pimpin barisannya melompat ke atas.

Di luar dugaan, belum sampai mereka menancapkan kaki di atas, se-konyong-konyong Kwe Ceng melompat turun lagi, lantas ganti tempat yang lain. Keruan terpaksa para imam itu memburu dan meniru. Demikianlah seterusnya terjadi uber-uberan, sampai akhirnya tiba-tiba Kwe Ceng meloncat ke atas puncak pohon.

“Sungguh celaka, entah dari mana munculnya iblis semacam dia ini, pamor Coan-cin-kau hari ini pasti akan runtuh seluruhnya,” demikian diam-diam para imam itu mengeluh.

Sekali pun di dalam hati mereka berpikir, tetapi kaki mereka tidak berani berhenti, masing-masing mencari dahan pohon yang bisa dibuat singgah dan terus ikut meloncat ke atas.

“Lebih baik di bawah saja!”

Kwe Ceng menggoda dengan ketawa dan betul saja dia lantas lompat turun lagi, bahkan berbareng dia ulur tangan hendak menjambret kaki imam yang menduduki tempat Khay-yang.

Sesungguhnya letak kelihayan Pak-tau-tin atau barisan bintang itu adalah karena dapat bahu-membahu dengan kerja sama yang sangat rapat. Kini Kwe Ceng menyerang satu tempat, otomatis dua imam yang menduduki tempat serangkaian terpaksa melompat turun buat membantu dan karena turunnya yang dua ini, mau tidak mau imam yang lain ikut turun pula dan dengan demikian seluruh barisan menjadi terpengaruh.

Yang paling senang karena pertarungan ramai ini adalah Yo Ko. Dia terpesona dalam girang tercampur kejut, Katanya dalam hati: “Bila mana pada suatu hari aku dapat belajar hingga sehebat kepandaian Kwe-pepek, sekali pun seumur hidupku harus menderita aku rela.”

Akan tetapi lantas terpikir pula: “Namun seumur hidupku ini mana bisa belajar kepandaian setinggi ini kecuali si budak Kwe Hu dan kedua saudara Bu yang beruntung, Hm, sudah jelas ia (maksudnya Kwe Ceng) tahu kepandaian orang Coan-cin-kau jauh di bawahnya, tapi ia justru sengaja kirim aku belajar silat pada imam-imam busuk ini.”

Begitulah makin dipikir Yo Ko semakin dongkol hingga ia berpaling ke jurusan lain, ia tidak mau melihat Kwe Ceng mempermainkan ketujuh imam tadi. Akan tetapi sifat anak-anak mana bisa tahan lama, tidak berapa lama dia menjadi kepingin tahu apa jadinya dengan imam-imam yang digoda itu, maka tak tahan lagi ia berpaling kembali untuk menyaksikan pertempuran ramai dan lucu.

Sementara itu, sesudah puas mempermainkan para imam, diam-diam Kwe Ceng berpikir: “Setelah begini tentunya mereka percaya bahwa aku betul-betul Kwe Ceng, jadi orang hendaklah jangan keterlaluan harus jaga kebaikan di hadapan Khu-cin-jin nanti.”

Sementara itu ia sedang menggoda ketujuh imam tadi hingga ia pun putar kayun dengan kencang. Mendadak dia berdiri diam sambil Kiongciu serta berkata:

“Tujuh To-heng, maaf, sekarang silahkan menunjukkan jalan.”

Di luar dugaan, imam yang menduduki tempat Thian-koan dan menjadi pemimpin tadi ternyata berwatak sangat keras. Karena melihat ilmu silat lawannya semakin kuat, ia jadi semakin yakin orang pasti tidak bermaksud baik terhadap perguruan mereka, maka meski menghadapi musuh setangguh ini, sama sekali ia pantang mundur.

“Hmm, maling cabul,” demikian segera ia menjawab dengan suara lantang, “Coan-cin-kau paling benci pada segala perbuatan kejahatan, maka se-kali-kali jangan kau harap bisa melakukan perbuatan yang tidak tahu malu di Cong-lam-san!”

Kwe Ceng bingung oleh damperatan yang tak keruan juntrungannya ini, “Apa perbuatanku yang tidak kenal malu?” demikian ia tanya.

“Hmm, pura-pura bodoh.” jengek imam Thian-koan itu. “Melihat kepandaianmu yang tinggi, tentunya kau bukan sebangsa manusia yang suka berbuat kotor, aku nasehati kau, lekas kau turun kembali sana!”

Meski imam ini masih mendamperat, tetapi di balik kata-kata yang diucapkan ini dia telah unjuk juga rasa kagumnya terhadap ilmu kepandaian Kwe Ceng.

“Jauh-jauh Cayhe sengaja datang dari selatan dan ingin bertemu Khu-cinjin untuk sesuatu keperluan, sebelum bertemu mana bisa aku kembali turun gunung?” demikian jawab Kwe Ceng.

Mendengar jawaban ini, air muka imam Thian-koan itu berubah hebat. “Hmm, jadi kau ingin bertemu dengan Khu-cinjin? Baiklah, coba katakan, sebenarnya ada urusan apa?” tanyanya dengan dingin.

“Semenjak kecil Cayhe menerima budi besar dari Ma-cinjin dan Khu-cinjin, karena sudah belasan tahun tidak bertemu, maka aku menjadi kangen sekali,” sahut Kwe Ceng.

Namun jawaban ini ternyata makin menambah sikap permusuhan dari imam itu. Kiranya soal ‘budi’ dan ‘dendam’ dalam kalangan Kangouw paling diutamakan, sering kali karena soal sakit hati, di mulut dia bilang datang balas budi padahal yang benar maksudnya hendak membalas dendam. Imam Thian-koan itu suka memegang teguh pandangannya sendiri, maka kata-kata Kwe Ceng yang diucapkan dengan setulus hati justru diterima kebalikannya.

“Jangan-jangan guruku Giok-yang Cinjin juga kau katakan ada budi padamu,” demikian ia menjengek lagi.

Karena kata-kata ini Kwe Ceng jadi ingat pada masa yang silam, masa mudanya dengan peristiwa yang terjadi di istana Thio-ong-hu, di mana Giok-yang-cu (atau Giok-yang Cinjin) Ong Ju-it tanpa pikirkan bahaya sudah menandingi gerombolan musuh yang jauh lebih banyak untuk menolong dirinya, atas kejadian itu memang tidak sedikit budi yang dia terima dari Ong Ju-it. Oleh sebab ini tanpa ragu-ragu lagi ia lantas menjawab:

“O, kiranya To-heng adalah murid Giok-yang Cinjin. Memang betul juga Ong-cinjin ada budi terhadap Cayhe, bila dia juga berada di atas gunung, sudah tentu akan lebih baik lagi.”

Di luar dugaan, tujuh imam ini malah menjadi marah, dengan suara bentakan yang murka senjata mereka langsung menyambar, dengan cepat menyerang tujuh tempat di tubuh Kwe Ceng secara serentak.

Akan tetapi mana bisa Kwe Ceng diserang secara gampang. Dengan sedikit mengegos ia sudah melangkah ke samping, kembali duduki tempat bintang Pak-kek atau kutub utara yang menjadi kelemahan barisan para imam itu.

“He, mari bicara dahulu,” demikian dia teriaki imam-imam Coan-cin-kau ini, “Cayhe Kwe Ceng sama sekali tidak mengandung maksud jahat, dengan cara bagaimana kalian mau percaya bahwa aku benar-benar Kwe Ceng adanya?”

“Kau sudah merebut enam pedang anak murid Coan-cin-kau, mengapa tidak sekalian merampas lagi tujuh pedang kami?” sahut imam Thian-coan.

Sementara itu imam yang menduduki tempat Thian-koan yang semenjak tadi sebetulnya tutup mulut saja, kini mendadak ikut menyela dengan suara yang pecah.

“Maling cabul anjing, rupanya kau hendak pamer kepandaian di hadapan sundel kecil keluarga Liong itu? Hm, apa kau kira Coan-cin-kau gampang kau hina?” demikian ia mencaci maki.

Keruan Kwe Ceng menjadi marah. “Apa kau bilang?” sahutnya dengan muka merah. “Nona keluarga Liong? Siapa dia? Aku Kwe Ceng selamanya tidak pernah kenal dia.”

“Ha-ha, jika kau berani, kenapa kau tidak memaki dia sebagai perempuan busuk, sebagai sundel cilik!” kata imam Thian-koan pula dengan bergelak tawa.

Mendengar orang mengumbar kata-kata kotor, Kwe Ceng menjadi tertegun. Dasarnya dia memang jujur dan patuh pula adat peraturan, dia pikir wanita she Liong yang disebut itu entah orang macam apakah, mana boleh tanpa sebab dan alasan aku mencaci makinya. Karena pikiran ini, ia lantas menjawab:

“Kenapa aku harus memaki dia?”

“Ha-ha-ha!” beberapa imam itu tertawa berbareng “Nah, bukankah kau sudah mengaku sendiri?”

Dasar Kwe Ceng memang tak pandai menggunakan otak, kini orang secara serampangan memaksakan tuduhan padanya, semakin lama dia merasa semakin ruwet. Ia hanya pikir dengan paksa terjang saja ke Tiong-yang-kiong untuk menemui Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, tentu segala urusan akan menjadi beres.

“Kini Cayhe akan naik ke atas, jika kalian merintangi lagi, jangan kalian menyesali Cayhe tidak segan-segan,” dengan dingin ia memberi peringatan.

Tapi ketujuh imam itu tiba-tiba melangkah maju setindak dengan senjata siap sedia. “Jangan kau pakai ilmu sihir, kita boleh coba ukur kepandaian dalam ilmu sejati,” dengan suara keras imam Thian-soan tadi menantang.

Kwe Ceng hanya tertawa, segera ia mengambil satu keputusan, maka ia lalu menjawab:

“Aku justru hendak unjuk sedikit ilmu sihir pada kalian, tanpa tanganku menyentuh senjata kalian sedikit pun aku, sanggup merampas ketujuh pedang kalian.”

Ketujuh imam itu saling pandang, dari wajah mereka tampak perasaan tidak percaya. “Bagus, kami akan coba-coba ilmu kepandaianmu dalam hal tendangan,” seru salah satu imam.

“Aku pun tidak perlu menggunakan kaki,” sahut Kwe Ceng, “Pendek kata tidak akan aku menyenggoI barang sedikit pun senjata mau pun anggota badan kalian, tapi senjata kalian akan kurampas. Apa bila sampai tersentuh, anggap saja aku kalah dan segera aku turun gunung untuk selamanya tidak akan naik ke sini lagi.”

Mendengar orang membuka mulut besar, ketujuh imam itu menjadi marah. Tanpa menanti lagi, begitu imam Thian-koan menggerakkan pedangnya, segera ia bawa barisannya mengerubut maju.

Tapi dengan kepala menunduk Kwe Ceng lantas menerjang dengan cepat. Ia menduduki titik bintang Pak-kek lagi kemudian dengan langkah cepat mengarah ke kiri, ia menyerang sayap kiri barisan para imam.

Imam Thian-koan yang menjadi pemimpin barisan kenal lihaynya orang, maka lekas dia bawa barisannya memutar ke kanan, dengan maksud supaya dapat berhadapan dengan Kwe Ceng dan supaya kelemahan barisannya tidak kentara.

Diluar dugaan, sekali Kwe Ceng mengincar sayap kiri, tetap dia serang bagian kiri dan tidak putar balik. Meski kadang-kadang cepat dan kadang lambat, tetap ia berlari mengincar bagian kiri, oleh karena dia bisa menduduki tempat bintang Pak-kek dengan kukuh. Mau tidak mau ketujuh imam itu harus ikut memutar ke kiri juga.

Begitulah makin lari semakin cepat pula Kwe Ceng menguber, sampai akhirnya kecepatan larinya boleh dikatakan melebihi kuda, makin lama semakin luas pula tempat yang dibuat berputaran sehingga berupa satu lingkaran selebar belasan tombak.

Tetapi ketujuh imam ini tergolong tidak lemah juga. Meski mereka dipaksa berada dalam kedudukan yang terbalik dipengaruhi orang, tapi barisan mereka sedikit pun belum kacau. Mereka bertujuh masih menduduki tempatnya masing-masing dengan kuat dan mantap, hanya tubuh mereka saja yang tidak bisa dikuasai lagi masih terus ikut lari terbawa oleh Kwe Ceng.

Diam-diam Kwe Ceng harus puji juga keuletan tujuh imam Coan-cin-kau ini, maka langkahnya tak pernah dia kendurkan, tiba-tiba dia malah pergiat kakinya hingga berlari memutar sepertii roda angin saja.

Mula-mula ketujuh imam itu masih bisa paksakan diri ikut berlari terus, tetapi lama kelamaan Ginkang atau ilmu entengkan tubuh imam-imam itu lantas tertampak. Imam Thian-koan paling tinggi Ginkang-nya, ia lari paling depan dan disusul dengan imam yang menduduki tempat Thian-ki dan Thian-heng, sedang imam yang lain per-lahan-lahan menjadi ketinggalan hingga barisan mereka lambat laun makin renggang, Tentu saja mereka terperanjat, pikir mereka: “Jika musuh mau menggempur barisan kita pada saat ini mungkin barisan bintang ini tidak bisa dipertahankan lagi.”

Walau pun mereka sudah tahu bakal celaka, namun karena sudah terlanjur, mereka tidak pikirkan hal lain lagi, hanya bisa berbuat sepenuh tenaga dan keluarkan seluruh kepandaian untuk lari lebih cepat mengikuti Kwe Ceng yang masih terus berputar.

Sebagai contoh dapat dilukiskan, umpama kita ikat sepotong batu dengan seutas tali kemudian kita putar secepat mungkin, di waktu batu berputar kencang dan mendadak kita lepaskan, maka batu itu pasti akan mencelat jauh bersama tali pengikatnya.

Sama halnya sekarang dengan ketujuh imam itu. Mereka sudah dipengaruhi Kwe Ceng yang makin putar semakin cepat sampai pedang mereka terangkat di atas kepala, makin cepat mereka berlari, makin tidak kuat memegang pedang mereka seakan-akan ada satu tenaga maha besar yang menariknya dan hendak merebut pedang dari tangan mereka.

“Lepas!” se-konyong-konyong terdengar Kwe Ceng membentak. Berbareng ia meloncat cepat ke kiri.

Oleh karena tidak men-duga akan kejadian ini, ketika imam-imam itu mendadak melihat Kwe Ceng meloncat ke atas, terpaksa mereka harus turut melompat ke atas juga. Dan aneh, entah mengapa ketujuh pedang yang mereka pegang semuanya tidak mampu mereka pertahankan lagi, seluruhnya terlepas dari cekalan, lalu seperti tujuh ular perak saja ketujuh pedang itu menyamber ke dalam hutan yang berjarak belasan tombak jauhnya.

Sementara itu mendadak pula Kwe Ceng sudah berdiri tegak, dengan ketawa kemudian ia berpaling. Sebaliknya wajah ke tujuh imam itu menjadi pucat seperti mayat, mereka berdiri terpaku di tempatnya, hanya masing-masing tetap menduduki tempat barisannya, barisan mereka sama sekali belum menjadi kacau. Melihat keadaan ini diam-diam Kwe Ceng memuji atas kegigihan imam-imam ini.

Sementara imam Thian-koat tadi tiba-tiba bersuit satu kali, menyusul semuanya lantas mundur ke belakang batu-batu cadas dan menghilang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar