Kamis, 20 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 015

Ketika Yo Ko mengangkat kepalanya, terlihat bagaikan terbang cepatnya Kwe Ceng dan Oey Yong menghampiri. Agaknya karena mendengar suara-suara yang mencurigakan dan kehilangan Kwe Hu, maka mereka lekas mencarinya.

Sementara itu saking ketakutannya, semangat Yo Ko belum pulih, lebih-lebih ia tidak mengerti Ha-mo-kang yang biasa dilatihnya untuk main-main belaka ternyata bisa begini lihay, karena itulah ia masih ter-mangu-mangu dan tidak menjawab seruan Oey Yong tadi.

Waktu kemudian Kwe Ceng menarik dan memeriksa orang yang kecemplung ke laut, tiba-tiba ia berseru kaget:

“Yong-ji, ini kawan dari Kay-pang (kaum pengemis).”

Pada dada orang itu terdapat noda darah, napasnya sudah lama putus. Oey Yong menjadi marah bercampur kaget ketika nampak keadaan luka orang itu. Dengan sekali cengkeram dia pegang lengan Yo Ko lantas bertanya dengan suara bengis:

“Hayo, katakan!”

Cengkeraman Oey Yong ini dirasakan sakit sekali pada lengan Yo Ko, tetapi ia mengertak gigi dengan kencang, ia menahan sakit dan tetap tutup mulut tanpa menjawab.


MENINGGALKAN THO-HOA-TO

Ketika Kwe Ceng menoleh, tampak olehnya di belakang gundukan pasir menggeletak dua orang Iagi. Lekas ia melompat ke sana memeriksanya, ia dapatkan pula peta yang digambar kedua orang itu.

“He, Yong-ji, lekas sini!” serunya pada sang isteri.

Segera Oey Yong melepaskan Yo Ko dan mendekati Kwe Ceng, di belakang gundukan pasir mereka berembuk dengan suara perlahan sampai lama. Kejadian ini sudah diketahui Kwa Tin-ok juga, orang ini pun menyusul, maka mereka lantas berunding bertiga. Sesudah bicara agak lama, kemudian Kwe Ceng lebih dahulu melepaskan puterinya dari ringkusan musuh tadi, lalu ia berkata pada Yo Ko:

“Ko-ji, kau kurang cocok tinggal di pulau ini, biar aku antar kau ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-sam, dan di sana kau bisa belajar silat di bawah petunjuk Tiang-jim-cu Khu-cinjin dari Coan-cin-kau.”

Keputusan yang diambil Kwe Ceng secara tiba-tiba ini, seketika membuat Yo Ko menjadi bingung se-akan kehilangan sesuatu, maka ia hanya mengangguk perlahan saja. Besok paginya, sesudah membekal perlengkapan seperlunya kemudian mohon diri pada Oey Yong serta Kwe Hu dan kedua saudara Bu, maka berangkatlah Kwe Ceng bersama Yo Ko. Mereka berlayar menuju pantai timur daerah Ciatkang.

Sesudah mendarat, Kwe Ceng membeli dua ekor kuda kemudian melanjutkan perjalanan ke utara bersama Yo Ko. Selamanya belum pernah Yo Ko menunggang kuda, tetapi karena Iwekang yang dia latih sudah ada dasarnya, maka setelah berlari beberapa hari sudah cukup pandai dan dapat menguasai binatang tunggangannya, Bahkan karena hati-mudanya, setiap hari dia malah melarikan kudanya di depan Kwe Ceng.

Setelah berapa hari, sesudah menyeberangi Hong-ho (Huangho, sungai Kuning), mereka memasuki daerah Siamsay. Tatkala itu negeri Kim (Chin) sudah dibasmi oleh bangsa Mongol (Jengis Khan bersama putera-puteranya), maka di utara Hong-ho boleh dikatakan merupakan dunianya bangsa Mongol.

Di masa mudanya Kwe Ceng sendiri pernah menjabat sebagai panglima pasukan Mongol (dia pernah diangkat menjadi menantu Temujin yang kemudian terkenal sebagai Jengis Khan). Dia kuatir kalau-kalau kesamplok dengan bekas bawahannya dan mungkin akan mendatangkan kesulitan, dia lantas tukarkan kuda mereka dengan keledai yang kurus dan jelek, dia ganti pakaian pula dengan baju yang terbuat dari kain kasar, dia menyamar seperti orang desa atau kaum petani saja.

Berlainan dengan Yo Ko yang berhati muda. Sesungguhnya ia seribu kali tidak sudi memakai baju yang berbau kampungan seperti Kwe Ceng, namun selamanya dia tak berani membantah kata-kata sang paman, maka terpaksa ia mengenakan baju kasar, kepalanya dibelebat pula dengan ikat kain biru dan menunggang keledai yang kurus jelek.

Justru keledai yang ia tunggangi ini buruk pula wataknya, sudah jalannya lambat, berulang kali masih ngambek lagi, maka sepanjang jalan selalu Yo Ko cekcok saja dengan binatang tunggangannya ini.

Hari itu mereka telah sampai di daerah Hoan-joan, tempat ini indah permai pemandangan alamnya. Karena hatinya mendongkol, sejak meninggalkan Tho-hoa-to hingga selama ini Yo Ko tidak pernah menyebut lagi tentang pulau bunga Tho. Tapi melihat keindahan alam semesta yang menarik ini, kini tanpa tertahan ia membuka suara.

“Kwe-pepek, tempat ini hampir mirip dengan Tho-hoa-to kita,” demikian dia bilang kepada Kwe Ceng.

Hati Kwe Ceng memang luhur dan berbudi, mendengar anak ini bilang “Tho-hoa-to kita”, tanpa terasa ia jadi terharu.

“Ko-ji,” sahutnya kemudian, “Cong-lam-san sudah tidak jauh lagi dari sini, ilmu silat Coan-cin-kau adalah ilmu kepandaian yang terkemuka di bumi ini, selanjutnya kau harus belajar baik-baik. Beberapa tahun lagi aku akan datang lagi menjemput kau pulang ke Tho-hoa-to.”

Mendengar kata-kata terakhir ini, cepat Yo Ko melengos. “Tidak, selama hidupku ini tidak akan kembali lagi ke Tho-hoa-to,” katanya kemudian.

Sama sekali diluar dugaan Kwe Ceng bahwa anak semuda Yo Ko ini bisa mengucapkan kata-kata yang begitu ketus dan tegas, maka dia tertegun, seketika tiada kata-kata lain yang bisa dia ucapkan.

“Apa kau marah pada Kwe-pekbo (bibi)?” tanyanya kemudian.

“Mana Tit-ji (keponakan) berani?” sahut Yo Ko. “Malahan Tit-ji selalu membikin Kwe-pekbo marah.” jawaban yang tajam ini bikin Kwe Ceng bungkam, memang dia tidak pandai bicara, maka ia tidak menyambung lagi.

Perjalanan selanjutnya mulai menanjak. Pada waktu lohor mereka sudah sampai di suatu kelenteng di atas bukit. Saat Kwe Ceng mendongak, ia lihat papan nama yang tergantung di atas pintu kelenteng itu tertulis tiga huruf besar ‘GU THAU SI’ atau kelenteng kepala kerbau.

Mereka tambat keledai pada pohon di luar kelenteng, mereka masuk untuk minta sedekah sekedar untuk mengisi perut. Di dalam kelenteng ternyata ada tujuh-delapan paderi. Melihat dandanan Kwe Ceng yang sederhana dan kotor, mereka mengunjuk sikap dingin, maka sedekah yang diberikan hanya dua mangkok bubur dingin serta beberapa potong kue.

Namun Kwe Ceng menerima saja sedekah makanan seperti itu. Bersama Yo Ko mereka lantas duduk di atas bangku batu di bawah pohon cemara untuk makan. Pada saat lain, ketika Kwe Ceng berpaling tiba-tiba ia lihat ada pilar batu di belakang pohon yang sebagian besar tertutup oleh rumput alang-alang yang lebat, samar-samar nampak dua huruf ‘TIANG JUN’ pada pilar batu itu.



Kwe Ceng tergerak hatinya oleh tulisan itu. Dia mendekati dan memeriksanya lebih jelas dengan menyingkap rumput alang-alang yang menutupi batu itu, kemudian baru dia ketahui di permukaan batu itu terukir sebuah syair gubahan Tiang-jun-cu Khu Ju-ki, salah satu tokoh terkemuka angkatan kedua dari Coan-cin-kau yang hendak didatanginya.

Syair itu menyesalkan kehancuran negara yang terjatuh ke tangan bangsa lain, Karenanya Kwe Ceng terbayang kembali pada kejadian di gurun Mongol belasan tahun yang lalu. Ia terharu, sambil meraba pilar batu itu ia ter-mangu-mangu saja. Ketika teringat tak lama lagi bisa bertemu dengan Khu Ju-ki maka hatinya rada terhibur dan bergirang.

“Kwe-pepek, apakah maksud syair di atas batu ini?” demikian Yo Ko tanya.

“lni adalah syair buah karya kau punya Khu-cosu (kakek guru), Murid kesayangan Khu-cosu dahulu adalah mendiang ayahmu,” sahut Kwe Ceng sambil menjelaskan sekedarnya arti yang terkandung pada syair itu. “Mengingat ayahmu, tentu Khu-cosu akan melayani kau baik-baik, maka kau harus belajar dengan giat pula agar kelak besar gunanya untuk nusa dan bangsa.”

“Kwe-pepek, maukah kau beri-tahukan satu hal padaku?” tiba-tiba Yo Ko berkata pula.

“Hal apa?” tanya Kwe Ceng.

“Cara bagaimana meningggalnya ayahku?” kata Yo Ko.

Muka Kwe Ceng berubah seketika oleh pertanyaan ini, teringat olehnya peristiwa di kelenteng Thi-cio-bio di Kahin di mana Yo Khong - yaitu ayah Yo Ko - telah tewas, maka tubuhnya gemetar sedikit dan ia tidak menjawab.

“Siapakah sebenarnya yang menewaskan ayah?” tanya Yo Ko lagi.

Tetapi Kwe Ceng tetap tidak menjawab.

“Kau dengan Kwe-pekbo yang menewaskan dia, ya bukan?” seru Yo Ko tiba-tiba dengan bernapsu.

Kwe Ceng menjadi marah, ia mengangkat tangannya lalu menggablok sekerasnya sambil membentak:

“Tutup mulut, siapa yang suruh kau sembarang omong?!”

Tenaga dalam Kwe Ceng sekarang entah sudah betapa lihaynya, maka gablokan dalam keadaan marah itu seketika membikin pilar batu yang kena digebuk itu berantakan, batu kerikil pun berhamburan.

Kelihatan sang paman naik darah, Yo Ko jadi mengkeret. “Ya, Tit-ji mengaku salah, selanjutnya tak berani sembarangan omong lagi, harap paman jangan marah,” lekas ia minta maaf dengan kepala menunduk.

Sesungguhnya Kwe Ceng sangat sayang kepada anak ini. Kini demi mendengar dia mau mengaku salah, segera amarahnya lenyap. Dan selagi dia hendak menghibur Yo Ko agar jangan takut, tiba-tiba terdengar di belakang ada suara tindakan kaki yang perlahan, waktu ia menoleh, dilihatnya ada dua To-su (imam penganut Tao-isme) setengah umur berdiri di ambang pintu sedang memperhatikan gablokannya di pilar batu tadi, tentu perbuatannya tadi telah dilihat oleh kedua imam ini. Sesudah saling pandang sekejap, cepat kedua To-su itu keluar meninggalkan kelenteng itu.

Tindakan dua imam yang cepat dan gesit itu dapat dilihat Kwe Ceng dengan jelas, terang ilmu silat kedua orang itu tidak lemah. Kwe Ceng pikir letak Tiong-yang-kiong dari gunung Cong-lam-san tidak jauh dari kelenteng di mana dia berada sekarang, maka ia menduga dua imam ini pasti orang dari Tiong-yang-kiong. Kalau melihat umur keduanya sudah kira-kira empat puluhan, maka besar kemungkinan mereka adalah anak murid Coan-cin-chit-cu (tujuh tokoh dari Coan-cin-kau), itu aliran persilatan yang paling terkemuka dan disegani di kalangan Bu-lim.

Memang sudah lama sekali Kwe Ceng tinggal di Tho-hoa-to tanpa saling memberi kabar dengan Ma Giok bertujuh, (Ma Giok adalah orang pertama dari Coan-cin-chit-cu), karena itu anak murid Coan-cin-kau hampir tidak dikenal seluruhnya. Ia hanya tahu bahwa paling belakang ini penganut Coan-cin-kau semakin banyak dan maju dengan pesat.

Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ju-it cu, banyak menerima anak murid yang berbakat maka nama Coan-cin-kau di kalangan Bu-lim makin lama semakin cemerlang, tak ada satu pun orang kalangan Kangouw yang tidak menaruh hormat bila menyebut nama Coan-cin-kau.

Begitulah, karena Kwe Ceng pikir dirinya toh akan naik ke atas gunung untuk menemui Khu Ju-ki, Khu-cin-jin (cinjin adalah sebutan pada imam Taoisme yang berilmu), maka ia merasa kebetulan bisa berjalan bersama dengan kedua imam tadi. Karenanya segera ia percepat langkahnya berlari keluar kelenteng. Ia melihat kedua imam tadi dengan langkah secepat terbang sudah berlari sejauh beberapa puluh tombak, sama sekali mereka tidak menoleh lagi.

“Hai, kedua Toheng (saudara yang berilmu) yang di depan harap berhentilah dahulu, ada sesuatu yang ingin kutanyakan,” demikian Kwe Ceng teriaki mereka.

Suara Kwe Ceng memang lantang, apa lagi tenaga dalamnya sangat hebat, maka sekali menggembor suaranya se-akan-akan menggetar lembah gunung.

Kedua imam itu rada terkejut mendengar suara ini, tetapi bukannya berhenti, sebaliknya mereka berlari lebih cepat.

“Eh, apa kedua orang ini tuIi?” demikian pikir Kwe Ceng.

Sekali dia tutul kakinya, tiba-tiba melayang ke depan, hanya beberapa kali naik-turun saja ia sudah mendahului di depan kedua imam itu.

“Baik-baik kah kedua To-heng,” Kwe Ceng menyapa sambil bersoja (memberi hormat dengan mengepal kedua tangan) dan membungkuk pula.

Nampak gerak tubuh yang begini cepat, kedua imam itu kaget. Ketika melihat Kwe Ceng membungkuk memberi hormat, mereka mengira orang akan menyerang dengan tenaga dalam, maka dengan cepat pula mereka berkelit ke kanan dan kiri.

“Apa yang kau lakukan?!” demikian mereka membentak berbareng.

“Apa kalian adalah To-heng dari Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san?” tanya Kwe Ceng.

“Kalau ya mau apa?” sahut salah satu imam dengan menarik muka.

“Cayhe (aku yang rendah) adalah kenalan lama Tiang-jun-cinjin Khu-totiang, dan maksud kedatanganku justru ingin ke atas gunung buat menemuinya, maka diharap Toheng suka menunjukkan jalan,” kata Kwe Ceng pula.

“Kalau kau berani pergi sana sendiri! Hayo menyingkir!” sahut imam satunya yang pendek gemuk. Habis ini mendadak sebelah tangannya menyapu dari samping.

Serangan ini luar biasa cepatnya dan terpaksa Kwe Ceng berkelit ke kanan. Di luar dugaan, imam satunya yang kurus segera menyerang pula, berbareng ia memukul dari sebelah kanan. Dengan demikian Kwe Ceng jadi tergencet di tengah.

Kedua serangan yang dilontarkan ini disebut ‘Tay-kwan-bun-sik’ atau gerakan menutup pintu, yaitu tipu serangan yang lihay dari Coan-cin-pay, dengan sendirinya Kwe Ceng bisa mengetahuinya, cuma yang dia tidak mengerti ialah mengapa kedua imam ini mendadak menyerangnya dengan tipu yang mematikan, inilah yang bikin dia bingung.

Sebab itu dia tidak patahkan serangan mereka, juga tidak menghindar, maka terdengarlah suara “plak-plok” yang keras, kedua telapak tangan imam itu kena menghantam di bawah bahunya, tetapi rasanya seperti menghantam karung kosong saja. Dengan menerima gebukan ini, segera Kwe Ceng dapat mengukur tinggi rendahnya ilmu silat lawan. Ia pikir kalau bicara tentang kepandaian, kedua imam ini memang betul adalah anak murid Coan-cin-chit-cu dan masih terhitung seangkatan dengan dirinya.

Tadi dia sudah mengumpulkan tenaga untuk menahan pukulan kedua orang itu. Dia bisa menggunakan tenaga dalamnya dengan tepat sekali, dia bikin diri sendiri sedikit pun tidak terluka juga tidak sakit, sebaliknya dia pentalkan kembali tenaga pukulan lawan sehingga tangan kedua imam itu terasa sakit dan bengkak.

Keruan kedua imam itu terkejut tidak kepalang, sebab dengan keuletan silat mereka yang sudah dilatihnya lebih dua puluh tahun, ternyata pukulan mereka tadi hanya seperti kena tempat kosong saja. Maka mereka tidak berani ayal lagi, sekali teriak mereka langsung menerjang bersama, dua pasang kaki mereka segera menyambar mengarah dada Kwe Ceng.

Pembawaan Kwe Ceng memang sabar dan peramah, tidak gampang dia naik darah atau menjadi marah. Melihat kedua imam ini seruduk sini dan terjang sana tanpa sebab, diam-diam ia menjadi heran, “Coan-cin-chit-cu semuanya adalah imam berilmu, mengapa anak murid mereka bisa bersikap kasar?” demikian ia membatin.

Sementara itu tendangan orang secara berantai dengan lihay sudah dekat tubuhnya, tapi Kwe Ceng masih tetap tidak bergerak seperti tak menggubris, Maka terdengarlah segera “plak-plok, plak-plok” berulang sampai belasan kali, di dadanya bertambah debu kotoran bekas kaki.

Kalau Kwe Ceng tetap anggap sepi saja, sebaliknya kedua imam itu entah berlipat berapa kali ngerinya dari pada tadi demi melihat tendangan mereka tidak membuat orang goyah sedikit pun, bahkan tendangan mereka sama saja seperti mengenai karung pasir.

“Orang ini sebenarnya manusia atau setan? Meski tingkatan guru dan paman-paman guru tidak mempunyai kepandaian setinggi ini?” demikian mereka berpikir dengan jeri.

Waktu mereka mengamati orang, terlihat Kwe Ceng yang bermata besar, alisnya tebal, mukanya kotor penuh debu, pakaiannya terbikin dari kain kasar, serupa saja seperti orang udik, sedikit pun tidak nampak sifat-sifat istimewa, keruan mereka menjadi kesima tanpa bisa bersuara.

Di lain pihak, Yo Ko yang menyaksikan pamannya digebuk dan ditendang kedua imam itu, sedangkan Kwe Ceng sama sekali tidak membalas, diamdiam ia menjadi marah.

“Hai, kalian imam busuk kenapa memukuli pamanku?” segera ia membentak.

“Ko-ji, tutup mulut,” cepat Kwe Ceng mencegah anak ini mencaci maki lebih ianjut, “Lekas kemari dan memberi hormat kepada Totiang ini.”

Mendengar kata-kata Kwe Ceng ini, Yo Ko tercengang dan penasaran. “Kwe-pepek sungguh aneh, masa takut pada mereka?” pikirnya.

Sementara itu kedua imam tadi agaknya belum kapok. Sesudah saling pandang sekejap, mendadak mereka lolos pedang, dengan cepat mereka menyerang, imam yang pendek menusuk ke bagian bawah Kwe Ceng dengan tipu ‘tam-hai-to-liong’ atau menjelajahi laut membunuh naga, sedang imam yang kurus membacok kaki Yo Ko dengan gerakan ‘King-hong-sau-yap’ atau angin lesus menyapu daun.

Sebenarnya Kwe Ceng masih pandang enteng serangan orang ini, tetapi demi melihat Yo Ko yang tidak berdosa ikut diserang juga dengan tipu yang cukup keji, mau tidak mau hatinya jadi dongkol juga, “Anak ini tiada permusuhan dengan kalian, mengapa harus diserang dengan tipu yang ganas ini? Dengan bacokanmu ini apa kakinya takkan menjadi buntung?” demikian ia pikir dengan gemas.

Karena itu segera ia tolong dulu Yo Ko yang terancam. Ia mengegos tubuh sedikit ke samping, berbareng ini dengan gerak tipu ‘sun-cui-tui-du’ atau menurut arus air menyurung perahu, dengan tangan kiri ia tempel batang pedang imam pendek yang menyerangnya, lalu dengan perlahan ia dorong ke kiri. Dengan demikian imam pendek itu tak mampu memegang kencang senjatanya sehingga memutar balik, pedang yang membalik ini saling beradu dengan pedang kawannya sendiri, si-imam kurus, maka terdengarlah suara “trang” yang nyaring. Dengan demikian tanpa ditangkis pun tipu serangan imam kurus itu sudah kena digagalkan temannya sendiri.

Tentu saja kedua imam itu merasakan tangannya kaku kesemutan. Kembali mereka memandang Kwe Ceng dengan mata melotot, dalam hati mereka lagi-lagi tidak kepalang terkejutnya, tetapi juga kagum atas kepandaian orang ini. Meski demikian, mereka masih penasaran, dengan berteriak kembali mereka merangsak maju.

Melihat gerak serangan orang, diam-diam Kwe Ceng berpikir: “Kepandaian kalian ini sungguh pun terhitung Kiam-hoat yang hebat tetapi kalian hanya berdua, lagi pula latihanmu belum matang, apa gunanya kalian pamer di hadapanku?”

Tapi karena kuatir Yo Ko akan keserempet senjata mereka, maka sambil menghindarkan sabetan pedang lawan, segera ia menyambar tubuh Yo Ko.

“Cayhe adalah kenalan lama Khu-cinjIn, hendaklah kalian jangan bergurau lagi,” seru Kwe Ceng.

Akan tetapi kedua imam itu ternyata tidak kenal aturan. “Kau bilang kenal Ma-cinjin juga percuma,” kata imam yang kurus.

“Ya, memang Ma-cinjin pernah juga mengajarkan kepandaian kepada Cayhe,” sahut Kwe Ceng.

Imam yang kate tadi wataknya paling berangasan. Segera ia mendamperat lagi. “Bangsat, jangan kau asal ngoceh, jangan-jangan nanti kau bilang Tiong-yang Cosu kami juga pernah ajarkan kepandaian padamu?” teriaknya murka, Menyusul ini, dengan sekali tusuk, ujung pedangnya mengarah dada Kwe Ceng.

Kwe Ceng yang berpikiran sederhana jadi tidak habis mengerti. Sudah terang kedua imam ini adalah anak murid Coan-cin-kau, tetapi mengapa dia dianggap sebagai musuh besar saja?

Tetapi karena Kwe Ceng memang berbudi luhur, lagi pula ia pikir Yo Ko bakal belajar silat di Tiong-yang-kiong, maka sedapat mungkin jangan sampai menyakiti hati imam-imam ini, oleh karenanya terus menerus dia hanya berkelit saja atas serangan lawan dan tidak pernah balas menyerang.

Oleh karena tipu serangan mereka tetap tidak mampu mengenai sasaran, akhirnya kedua imam tadi menjadi kewalahan sendiri. Mereka menjadi gelisah, mereka insaf ilmu silat Kwe Ceng jauh di atas mereka, kalau hendak melukainya jelas tidak gampang, maka mereka lantas ganti siasat, tiba-tiba mereka ubah Kiam-hoat yang dimainkan tadi, be-runtun beberapa kali sasaran tusukan mereka dialihkan kepada diri Yo Ko.

Melihat kekurang-ajaran orang, sungguh pun Kwe Ceng orang sabar, akhirnya rada naik darah juga. Sementara itu dia melihat imam yang kate sedang menusuk dengan gerakan yang cukup ganas, mendadak Kwe Ceng ulur tangan kanannya, dengan dua jarinya menjepit senjata orang, dia sodok batang hidung lawan dengan sikutnya.

Ketika senjata dijepit jari orang, imam pendek itu menarik sekuatnya, tapi tidak berhasil, sebaliknya tahu-tahu sikut orang menyodok tiba. Ia insaf kalau sampai mukanya dicium sikut orang, kalau tidak mampus sedikitnya akan luka parah juga, oleh karena itu terpaksa ia lepaskan senjatanya dan melompat mundur.

Kepandaian Kwe Ceng pada waktu ini boleh dikatakan sudah taraf yang tiada taranya. Ia bisa berbuat semaunya, setiap kali tangannya bergerak atau kakinya melayang tentu kena sasaran dengan tepat dan hebat, maka ketika dengan perlahan ia menyentil dengan kedua jarinya, dengan mengeluarkan suara “creng” yang nyaring, tiba-tiba pedang yang dia rampas tadi menegak dan mental ke atas.

Sementara itu imam yang kurus sedang mengayunkan pedangnya menusuk ke leher Yo Ko, karena itu ujung pedangnya sudah kena ditumbuk oleh pedang yang disentil oleh Kwe Ceng ini, demikian keras benturan itu hingga si imam kurus merasakan tangannya panas pedas, tubuhnya pun ikut tergetar, maka dia pun terpaksa melepaskan senjatanya terus melompat mundur.

“Maling cabul ini memang sangat lihay, lekas lari!” seru kedua imam itu berbareng.

Baru kini mereka merasa kapok, segera mereka putar tubuh terus angkat langkah seribu.

Mendengar cacian orang, semula Kwe Ceng tertegun sejenak, namun segera dia menjadi marah. Selama hidupnya memang sering ia dimaki orang seperti ‘tolol’, ‘goblok’, ‘bangsat’, ‘jahanam’, dan macam-macam lagi, tetapi ‘maling cabul’ selamanya belum pernah orang memaki padanya.

Dalam marahnya, ia pun tidak turunkan Yo Ko lagi, sambil menggendong anak ini segera ia mengudak dengan langkah cepat. Sesudah menyusul sampai di belakang kedua imam itu, begitu kakinya menutul, segera tubuhnya melayang lewat di atas kepala kedua To-su atau imam itu dan dalam keadaan masih terapung di udara segera ia membentak:

“He, tadi kalian memaki apa padaku?!”

Kedua imam itu terperanjat luar biasa. Begitu melihat kelihayan orang, walau pun dalam hati imam pendek itu merasa jeri, namun mulutnya ternyata belum mau kalah, dia masih berani balas membentak.

“Bukankah kau ingin memiliki perempuan hina she Liong? Lalu untuk apa kau datang ke Cong-lam-san?” demikian damperatnya.

Meski keras di mulut, tapi kuatir kalau Kwe Ceng menghajarnya, maka tanpa terasa dia malah mundur ke belakang.

Mendengar damperatan orang yang tak keruan juntrungnya ini, seketika Kwe Ceng hanya melongo, “Aku ingin memiliki perempuan hina she Liong? Siapakah perempuan she Liong itu? Kenapa aku ingin memiliki dia?” demikian serentetan pertanyaan timbul dalam hatinya hingga dia bingung sendiri.

Melihat orang termangu-mangu seperti orang linglung, kedua imam itu berpikir kesempatan bagus janganlah disia-siakan. Maka, sesudah saling memberi tanda, segera mereka menyerobot lewat di samping Kwe Ceng dengan langkah cepat terus lari ke atas gunung. Melihat Kwe Ceng masih ter-mangu-mangu, Yo Ko lantas meronta turun dengan perlahan dari gendongannya.

“Kwe-pepek, kedua imam busuk itu sudah lari,” kata Yo Ko.

Karena itu Kwe Ceng mengiakan sekali seperti orang baru sadar dari mimpi. “Tadi mereka bilang aku ingin memiliki perempuan she Liong, siapakah dia itu?” kata Kwe Ceng kemudian dengan masih bingung.

“Tit-ji pun tidak tahu,” sahut Yo Ko. “Tetapi melihat kedua imam itu tanpa membedakan merah atau putih lantas menyerang kita, agaknya mereka salah alamat.”

“Ya, ya, tentu begitu,” ujar Kwe Ceng dengan ketawa geli sendiri, “Kenapa aku tidak pikir sampai disitu, Marilah kita naik ke atas gunung!”

Waktu Yo Ko mengambil kedua pedang yang ditinggalkan kedua imam tadi, Kwe Ceng melihat pada batang pedang masing-masing terukir tiga huruf kecil ‘TIONG JANG KIONG’.

Mereka lantas mendaki ke atas gunung. Setelah lebih satu jam, akhirnya mereka sampai di puncak ‘Bo-cu-giam’ atau puncak ibu gendong anak. Sesuai dengan namanya, puncak ini menonjol seperti seorang wanita yang sedang membopong seorang anak. Di puncak ini mereka duduk mengaso.

“Apa kau letih, Ko-ji?” tanya Kwe Ceng.

Yo Ko tersenyum. “Tidak,” sahutnya kemudian dengan geleng kepala.

“Baiklah kalau begitu, mari kita naik ke atas lagi,” kata Kwe Ceng.

Maka mereka lantas melanjutkan lagi perjalanan. Tidak berapa lama, tampak di depan terdapat sebuah batu cadas yang sangat besar dengan corak yang seram, batu cadas raksasa ini setengah menggelantung di udara bagai seorang nenek yang sedang membungkuk melongok ke bawah. Saking seramnya hati Yo Ko terasa agak takut.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar