Rabu, 19 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 014

TAMU TAK DIUNDANG

Kiranya setelah mendorong batu pegunungan yang besar itu dan menyaksikan kedua rajawali berhasil menolong kedua saudara Bu, dari jauh Yo Ko melihat pula Oey Yong keluar dari rumah. Dia tahu sekali ini dirinya pasti akan didamperat habis-habisan, oleh karena itu dia lantas sembunyi di sela-sela batu cadas yang besar dan tak berani keluar. Dia dengar juga suara panggilan Kwe Ceng, namun dia tak berani menyahut.

Begitulah dengan menahan lapar Yo Ko bersembunyi. Ia tidak berani sembarang bergerak, ia lihat cuaca mulai remang-remang, akhirnya menjadi gelap. Selang tidak lama kemudian, kerlipan bintang-bintang di langit diiringi hembusan angin laut yang silir semilir. Yo Ko merasakan badannya rada menggigil.

Dia keluar dari tempat sembunyinya dan memandang ke bawah. Dia melihat rumah yang terbangun bagus di bawah sana sudah ada sinar lampu, dan dia membayangkan saat itu tentu Kwe Ceng dan Oey Yong suami isteri, Kwe Hu dan kedua saudara Bu sedang mengitari meja dan bersantap, terbayang pula olehnya di atas meja yang penuh dengan lauk-pauk, daging ayam, itik dan lain-lain yang enak-enak, tanpa terasa ia menelan liur beberapa kali.

Akan tetapi segera terpikir pula olehnya pasti mereka sedang mencaci maki habis-habisan padanya. Teringat akan ini, tanpa tertahan Yo Ko meluap juga amarahnya. Bocah berusia sekecil dia ini, di malam gelap yang diselingi tiupan angin laut berdiri di atas bukit karang, dalam hatinya yang dipikir adalah nasibnya yang selalu dihina orang saja, maka terasalah olehnya se-akan-akan setiap manusia di bumi ini semuanya memandang rendah. Perasaannya seketika bergolak, ia merasakan getirnya seorang anak piatu dan sesalkan akan nasib sendiri.

Padahal apa yang Yo Ko bayangkan ini sebetulnya salah sama sekali. Justru karena tidak ditemukan Yo Ko, Kwe Ceng tidak bisa bersantap dengan hati tenteram. Nampak suaminya merasa kesal, Oey Yong tahu percuma saja meski dia menghiburnya, maka ia pun tidak jadi makan, melainkan terus kawani sang suami duduk terdiam saja menghadapi meja. Begitulah suami-isteri itu tidak bisa tidur semalaman. Besok paginya, belum terang tanah kedua orang sudah lantas keluar mencari Yo Ko lagi.

Di lain pihak, sesudah Yo Ko menderita lapar sehari semalam, besoknya pagi-pagi sekali bocah ini sudah tak tahan lagi. Ia mengeluyur turun, di tepi sungai ia berhasil menangkap beberapa ekor Swike atau kodok hijau, ia beset kulitnya dan mengumpulkan kayu kering. Dia bermaksud hendak makan kodok panggang, ia sudah biasa bergelandangan maka cara makan sedemikian ini sudah biasa dilakukannya.

Tetapi karena kuatir asap apinya dilihat Kwe Ceng, maka ia membakar kayu kering itu dalam sebuah gua. Selesai paha kodok yang dia panggang, segera ia sirapkan api terus menggerogoti kodok itu dengan lahap, mungkin saking laparnya, dia merasakan lezat dan nikmat sekali Swike panggang itu.

Selagi ia mengunyah daging kodoknya dengan penuh cita rasa, tiba-tiba ia dengar ada suara kresekan di luar gua dan disusul dengan suara yang mendesis, ia kenal itu adalah suara merayap dan menyemburnya sebangsa ular.

Sambil masih menggerogoti paha kodoknya, segera Yo Ko jalan ke mulut gua. Dan betul saja, di sana dia melihat ada seekor katak sedang menghadapi seekor ular kembang yang panjangnya hampir tiga kaki, kedua binatang itu sedang saling pandang tanpa bergerak.

Selang tak lama, mendadak ular kembang itu melonjak terus terjang katak itu. Tapi katak itu sudah siap sedia, tiba-tiba terdengar suara “kok-kok” dua kali, katak ini mangap mulutnya dan menyemburkan uap yang tipis, berbareng ini tubuhnya berkelit sedikit untuk hindarkan tubrukan ular.

Karena kena uap berbisa yang disemburkan katak, ular kembang lantas berjumpalitan terus jatuh terjungkal ke tanah, sesudah itu segera ular ini melingkar sambil tegak kepala menghadapi lawannya.

Yo Ko jadi tertarik oleh pertarungan katak melawan ular ini. Ia pikir tubuh katak kasar dan berat, lagi pula tak punya gigi, akan tetapi ternyata berani bertarung melawan seekor ular yang tidak terbilang kecil itu, sungguh harus dibuat heran.

Ia lihat kedua binatang itu masih saling gebrak dengan ramainya, tiap kali ular kembang itu menyerang dan menubruk, pasti si katak ada jalan buat balas menyerang. Kalau yang menyerang aneka macam gaya perubahannya, maka yang bertahan pun banyak sekali tipu akalnya untuk menjaga diri. Meski gigi ular kembang itu sangat tajam, namun tetap tak dapat mengalahkan si katak.

Tidak lama kemudian, karena ber-ulang-ulang kena disembur uap berbisa si katak, gerak-gerik ular kembang mulai lamban dan kaku, makin lama malah semakin terdesak di bawah angin, sampai akhirnya rupanya insaf bukan tandingan lawannya lagi, mendadak ular itu putar tubuh terus menyelinap masuk ke dalam semak. Tapi katak itu ternyata tidak membiarkan musuhnya lari begitu saja. Sambil mengeluarkan suara “kok-kok-kok”, segera ia menguber.

Melihat gerak-gerik katak itu dan mendengar suaranya, hati Yo Ko tergerak. Dia merasa meski pun gerak-gerik katak ini sangat aneh, tetapi tanpa terasa dirinya seperti lebih suka padanya, apa sebabnya, ia sendiri tidak mengerti. Waktu duduk kembali di dalam gua, ia pun mendengar suara panggilan Kwe Ceng.

“Hm, kau memanggil aku keluar untuk kemudian menghajarku, kalau aku mau keluar kan tolol!” demikian ia membatin.

Begitulah malamnya ia tidur di gua sambil terduduk. Dalam keadaan layap-layap tiba-tiba dia melihat Auwyang Hong masuk ke dalam gua dan berkata:

“Marilah anakku, biar aku ajar kau berlatih ilmu!”

Yo Ko menjadi girang, ia ikut keluar gua, di sana ia lihat Auwyang Hong lantas berjongkok sambil bersuara “kok-kok” beberapa kali, lalu sepasang telapak tangannya mendorong ke depan.

Entah mengapa Yo Ko merasakan seluruh tubuhnya luar biasa gesitnya. Ia tiru cara-cara orang dan berlatih, terasa olehnya tiap pukulan dan tendangannya tak ada satu pun yang keIiru. Hingga suatu saat tiba2 Auwyang Hong memukulnya, karena tidak keburu berkelit “plak”, ubun-ubun kepalanya kena diketok hingga terasa sakit tak kepalang, saking tak tahannya sampai ia menjerit dan melonjak.

Akan tetapi kembali terdengar suara “plok”, kepalanya kena diketok lagi. Dalam kagetnya Yo Ko menjadi sadar dan... busyet, kiranya hanya mimpi belaka. Waktu ia raba kepalanya, ternyata sudah benjol benjut akibat benturan pada dinding gua. Ia menarik napas panjang dan keluar gua, ia lihat keadaan sunyi senyap, cakrawala yang membentang lebar di atas seakan-akan berlapiskan layar hitam, hanya beberapa bintik bintang yang berkelap-kelip sekedar penghias alam.

Yo Ko mencoba merenungkan apa yang diajarkan Auwyang Hong dalam mimpi tadi, namun sedikit pun dia tak ingat lagi, tatkala ia coba berjongkok sambil mulutnya menirukan suara “kok-kok” beberapa kali. Ia bermaksud menggunakan Ha-mo-kang yang diperolehnya dari Auwyang Hong di dekat kota Ling-oh-tin tempo hari untuk dipraktekkan sekarang, namun bagaimana pun juga dia meng-ingat tetap tidak dapat disalurkan melalui tangan atau kakinya. Seorang diri ia berdiri di puncak bukit sambil memandangi lautan yang begitu luas, terasa kekosongan hatinya semakin menjadi hampa.

Tiba-tiba dari arah lautan sana sayup-sayup terdengar suara teriakan orang yang keras panjang sedang memanggil-manggilnya:



“Ko-ji, Ko-ji!”

Mendengar suara panggilan yang penuh daya tarik ini, tanpa kuasa lagi Yo Ko berlari-lari turun ke bawah gunung.

“Aku berada disini, aku berada disini!” demikian ia berseru menjawab.

Walau pun suara anak ini tak begitu keras, tetapi Kwe Ceng sudah dapat mendengarnya, maka lekas-lekas perahunya didayung menuju ke tempat Yo Ko berada. Setelah berjarak beberapa tombak saja dari pesisir, dengan sekali lompat segera Kwe Ceng meninggalkan perahunya. Maka tampaklah di bawah cahaya bintang yang remang-remang dua sosok bayangan orang per-lahan-lahan makin mendekat, dengan kencang kemudian Kwe Ceng berangkul Yo Ko dalam pangkuannya.

“Marilah lekas pulang bersantap,” demikianlah kata-kata yang tercetus dari mulut Kwe Ceng, Saking terharunya sampai suaranya rada serak dan gemetar.

Begitulah, sesudah kedua orang berada kembali dalam rumah, segera Oey Yong siapkan nasi hangat dan lauk-pauk untuk Yo Ko, terhadap kejadian yang telah lalu, sepatah-kata pun tidak di-ungkit-ungkit.

Besok paginya, keempat anak: Yo Ko, Kwe Hu serta kedua saudara Bu, Tun-si dan Siu-bun, oleh Kwe Ceng sudah dikumpulkan di ruangan besar, lalu Kwa Tin-ok diundang hadir pula, kemudian keempat anak itu disuruh menjura di hadapan abu pemujaan Kanglam-lak-koay (enam orang kosen dari Kanglam) yang sudah di alam baka.

“Toa-suhu,” demikian Kwe Ceng berkata kepada Kwa Tin-ok, “hari ini Tecu (anak murid) mohon ijin Suhu agar diperbolehkan menerima empat cucu muridmu ini.”

“Bagus, bagus sekali,” sahut Kwa Tin-ok girang. “Nah, terimalah ucapan selamatku ini!”

Yo Ko bersama Tun-si dan Siu-bun lantas menjura pada Kwa Tin-ok, setelah itu barulah memberi hormat kepada Kwe Ceng dan Oey Yong sebagai upacara pengangkatan guru.

“Apa aku pun harus menjura, ibu?” dengan tertawa Kwe Hu bertanya.

“Sudah tentu,” sahut Oey Yong.

Karena itu dengan tertawa haha-hihi anak nakal ini pun menyembah kepada ketiga orang tua itu.

“Mulai hari ini kalian berempat adalah saudara seperguruan,” demikian Kwe Ceng memberi petuah dengan sikap sungguh-sungguh dan kereng, “oIeh karena itu seterusnya kalian harus saling hormat-menghormati dan cinta-mencintai, ada kesulitan sama-sama dipikul. Jika kalian berempat berani berkelahi lagi, pasti tidak akan kuampuni.” Habis berkata ia pandang pula sekejap pada Yo Ko.

“Tentu saja kau mengeloni anakmu sendiri,” demikian Yo Ko membatin di hatinya, “Biarlah selanjutnya aku tidak akan sentuh dia lagi.”

MenyusuI sebagai kakek gurunya, Kwa Tin-ok ikut menjelaskan juga peraturan perguruan yang sudah umum, yakni tidak boleh menganiaya orang yang lebih lemah, tidak boleh membantu yang jahat sehingga semakin jahat, tidak boleh mencelakai orang yang tidak berdosa dan lain sebagainya.

“llmu silat yang aku pelajari terlalu banyak macamnya,” demikian Kwe Ceng berkata lagi, “kecuali dasar yang kudapat dari Kanglam-chit-koay (tujuh orang aneh dari Kanglam, Lak-koay tersebut di atas telah wafat, ditambah Kwa Tin-ok), ilmu Iwekang dari Coan-cin-pay serta ilmu silat ketiga aliran persilatan terbesar dari Tang-Lam-Pak (Timur-Selatan-Utara, maksudnya, dari Tang-sia, Lam-te dan Pak-kay, tentang ini diceritakan tersendiri dalam kisah Sia Tiauw Enghiong), semuanya meski pun hanya sedikit tetapi kacang jangan lupa akan kulitnya, sebagai orang jangan lupa akan asalnya, biarlah hari ini aku ajarkan kalian kepandaian asal dari Kwa-suco (kakek guru she Kwa, maksudnya Kwa Tin-ok).”

Dan baru saja ia hendak uraikan titik-titik pokok ajarannya, tiba-tiba Oey Yong melihat Yo Ko sedang menunduk dengan terkesima, pada wajah anak ini ada semacam tanda aneh yang sulit diucapkan, tanpa terasa ia jadi ingat pada berbagai kejadian yang menimbulkan kecurigaan tempo hari.

“Meski ayahnya bukan aku yang membunuhnya, tapi boleh dikatakan juga mati di tanganku, jangan-jangan piara macan mendatangkan bencana hingga menjadi bibit mala petaka yang besar,” demikian pikir Oey Yong. Setelah putar otak sejenak, segera ia mendapatkan suatu jalan.

“Seorang diri mengajar empat anak, tentu terlalu berat bagimu. Biarlah aku yang mengajar Ko-ji,” katanya kemudian.

“Bagus, bagus sekali usulmu!” seru Kwa Tin-ok sambil tertawa sebelum Kwe Ceng sempat menjawab, “Dan kalian suami isteri boleh berlomba, lihat saja murid siapa kelak yang terpandai.”

Mendengar usul isterinya, dalam hati Kwe Ceng girang juga. Ia tahu kepintaran Oey Yong beratus kali di atas dirinya, cara mengajarnya pasti jauh lebih baik dari pada dirinya, maka ber-ulang ia pun menyatakan bagus dan akur.

“Tetapi kita harus menetapkan satu syarat,” demikian Oey Yong kemukakan pendapatnya lagi, “Sekali-kali tak boleh kau mengajarkan Ko-ji, sebaliknya aku pun tak boleh mengajar mereka bertiga. Pula di antara keempat anak ini pun tak boleh saling belajar, sebab kalau ilmu yang dilatihnya bercampur aduk, hanya ada jeleknya dan tiada faedahnya.”

“Ya, sudah tentu.” sahut Kwe Ceng setuju lagi.

“Nah, Ko-ji, ikutlah denganku,” kata Oey Yong.

Memang Yo Ko sedang benci pada Kwe Hu serta kedua saudara Bu itu, kini mendengar keinginan Oey Yong bahwa dirinya tidak akan berlatih setempat dengan mereka, ini justru cocok dengan pikirannya, maka ia lantas ikut Oey Yong masuk ke dalam.

Di luar dugaannya, Oey Yong tidak membawanya ke lapangan berlatih silat melainkan dibawa ke kamar baca. Di sini Oey Yong mengambil sebuah kitab dari rak buku kemudian berkata padanya:

“Gurumu mempunyai tujuh orang Suhu yang dijuluki Kanglam-chit-koay, Toasuhu adalah Kwa-kongkong itu, Jisuhu (guru kedua) bernama Cu Jong dan berjuluk Biau-jiu-su-seng (si sastrawan bertangan sakti), maka kini lebih dulu aku ingin ajarkan kepandaian Cu-suco.”

Sembari berkata dia lantas buka kitab yang dia ambil dari rak tadi. Dengan suara lantang segera dia membacanya. Dalam hati Yo Ko menjadi heran, namun ia tak berani banyak bertanya, terpaksa ia ikut membaca dan belajar menulis, Begitulah be-runtun selama beberapa hari ia hanya diajar membaca oleh Oey Yong dan selamanya tidak pernah menyinggung tentang ilmu silat.

Suatu hari, sehabis belajar, seorang diri Yo Ko ber-jalan-jalan iseng ke atas gunung. Tiba-tiba ia teringat pada ayah angkatnya Auyang Hong yang tidak diketahui berada di mana kini. Teringat pada sang ayah angkat tak tahan lagi ia lantas berjumpalitan dan menjungkir tubuh, ia menirukan cara yang dulu pernah dipelajarinya, tubuhnya yang berjungkir itu segera berputar cepat.

Setelah berputar-putar dengan berjungkir, kemudian ia ikuti petunjuk yang pernah diterimanya dari Auwyang Hong untuk menjalankan jalan darah secara terbalik, terasa olehnya makin berputar semakin lancar. Kemudian pada saat ia melompat bangun, mendadak ia berseru “kok” sekali berbareng kedua telapak tangannya dipukulkan ke depan, habis ini ia merasa seluruh badan menjadi segar dan enak sekali, segera pula mengeluarkan keringat hingga membasahi sekujur badan. Nyata ia tidak tahu bahwa dengan latihannya ini tenaga dalamnya sudah maju jauh sekali.

Hendaklah diketahui bahwa ilmu yang diciptakan Auwyang Hong yang khas itu meski pun bukan tergolong ilmu yang baik, tetapi justru merupakan semacam ilmu kepandaian yang lihay luar biasa. Pula pembawaan Yo Ko memang berotak encer dan mudah menerima, apa yang dia pelajari dalam tempo yang singkat meski cuma sedikit, namun tanpa terasa dan diluar tahu ia sudah menuju ke aliran ilmu silat Pak-to-san (gunung Onta putih).

Sejak itulah setiap hari Yo Ko belajar sekolah dengan Oey Yong, dan kalau pagi atau petangnya ada kesempatan segera ia pergi ke tempat sunyi di kaki bukit untuk melatih diri. Sebenarnya bukan maksud ingin melatih diri agar bisa menjadi seorang kosen yang disegani, tetapi entah mengapa, tiap kali sehabis berlatih, selalu dirasakannya luar biasa enak dan segar badannya. Demikianlah secara diam-diam Yo Ko melatih ilmu sendiri, Kwe Ceng dan Oey Yong sedikit pun ternyata tidak tahu.

Maka tiada sebulan, kitab ‘Lun-gi’ (salah satu kitab ajaran Nabi Khongcu) yang Oey Yong jadikan mata pelajaran untuk Yo Ko sudah selesai semua, Begitu apal isi kitab tersebut, sampai Yo Ko sanggup membaca di luar kepala, cuma isi dan arti kitab yang diajarkan itu, sama sekali ia anti, tidak setuju, maka sering kali ia sengaja kemukakan bantahan2.

Padahal Oey Yong sendiri pun seribu kali tidak sepaham dengan segala isi kitab yang diajarkan Khong-hucu itu, ia sendiri sesungguhnya juga jemu, hanya lapat-lapat perasaannya punya firasat: “Kalau anak ini diberi pelajaran ilmu silat, kelak pasti akan menjadi bibit bencana saja, lebih baik kalau diajarkan ilmu sastra, biar dia kenyang dengan teori isi kitab saja, buat dia dan buat orang lain mungkin malah ada baiknya.”

Dengan ketetapan itulah, dengan maksud baik Oey Yong mengajar Yo Ko sekolah. Maka sehabis kitab ‘Lun-gi’ lantas disusul dengan kitab ‘Beng-cu’. Karenanya, beberapa bulan sudah lewat, tetapi selama itu tidak pernah Oey Yong berbicara sepatah kata pun tentang ilmu silat.

Yo Ko cukup tahu diri juga, melihat orang tidak omong, ia pun tidak mau bertanya, hanya hidup di pulau ini dirasakan semakin hampa, ia tahu pula meski pun Kwe Ceng menerima dirinya sebagai murid, tapi ilmu silat pasti tidak akan diajarkan padanya.

Sedang kini saja ia bukan tandingan Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, apa lagi setahun atau dua tahun lagi jika mereka mendapat pelajaran silat dari Kwe Ceng. Bila mereka berkelahi lagi pasti ia akan mampus di tangan mereka. Karena pikiran inilah ia ambil keputusan, apa bila ada kesempatan segera ia akan berdaya-upaya buat meninggalkan pulau.

Pada satu sore hari, sehabis Yo Ko belajar membaca, seorang diri ia ber-jalan-jalan iseng di tepi laut. Sambil memandangi ombak laut yang men-dampar berdeburan, dalam hati ia berpikir entah kapan baru bisa melepaskan diri dari kurungan ini. Bila terlihat olehnya burung laut yang terbang kian kemari, ia menjadi terharu dan kagum sekali akan kebebasan burung-burung yang tak terbatas itu.

Tengah ia termenung, tiba-tiba mendengar di balik hutan pohon Tho sana ada suara berkesiurnya angin. Ia menjadi tertarik, diam-diam ia memutar ke sebelah sana dan mengintip, maka tampaklah olehnya Kwe Ceng sedang memberi pelajaran silat pada kedua saudara Bu di sebuah tanah lapang. Ia lihat Kwe Ceng sedang memberi petunjuk-petunjuk sambil kaki-tangannya memberi contoh dan menyuruh ketiga saudara Bu itu menirukannya.

Bagi Yo Ko yang cerdas, hanya sekali lihat saja dia sudah tahu di mana letak intisari jurus tipuan ini, tetapi bagi Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, walau sudah belajar berulang kali, masih belum juga paham.

Kwe Ceng sendiri memang juga berotak puntuI, pada waktu kecilnya ia sendiri sudah merasakan pahit-getirnya belajar, maka kini sedikit pun dia tidak merasa jemu dan masih terus memberi dengan petunjuk penuh kesabaran.

“Hm, jika Kwe-pepek mau ajarkan padaku, tidak akan aku segoblok mereka,” kata Yo Ko dalam hati sambil menghela napas diam-diam. Oleh karena kesal hati, dia lantas kembali ke kamarnya untuk tidur.

Petangnya sehabis bersantap dan setelah mengulangi pelajaran kitabnya, terasa olehnya luar biasa isengnya, maka ia pergi ke tepi laut lagi. Di sana ia menirukan gerak-gerik ilmu silat yang dimainkan Kwe Ceng siang tadi. Namun tipu silat yang cuma dua tiga gerakan ini, sesudah dimainkan berulang-ulang, akhirnya merasa bosan juga.

Tiba-tiba hatinya tergerak, “Mulai besok, secara diam-diam aku akan mengintip dan mencuri belajar ilmu silatnya, siapa yang melarang aku?” demikian ia pikir.

Oleh karenanya, rasa dongkolnya yang tertahan sekian lama segera menjadi lapang, dengan berpeluk dengkul ia lalu duduk bersandar batu karang di tepi laut, akhirnya tertidur.

Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam alam impiannya ketika tiba-tiba dikagetkan bunyi suara rantai besi yang gemerincing. Pada waktu mengintai dari belakang batu karang itu, kiranya di tepi laut sana telah bertambah dengan sebuah perahu layar, suara gemerincing rantai tadi ternyata disebabkan perahu layar itu membuang sauh buat berlabuh.

Tidak berapa lama, dari perahu itu muncul dua orang melompat ke daratan, gerak tubuh mereka ternyata cepat dan sebat luar biasa. Setelah berada di daratan, mula-mula kedua orang itu mendekam dan melongak-longok ke sekeliling, kemudian perlahan-lahan mereka merayap maju ke tengah pulau.

Melihat kelakuan kedua orang ini terang tidak mengandung maksud baik, Yo Ko berpikir: “Jalanan di pulau ini belak-belok dan lika-liku, kalian hanya mengantar kematian belaka.”

Oleh karena itu, ia mengkeretkan tubuhnya supaya tidak dilihat kedua orang itu, ia tidak berani bergerak, sementara itu kedua orang tadi sudah merayap semakin jauh. Ketika pandangannya mengikuti bayangan kedua orang itu, mendadak ia lihat sesuatu di tempat jauh, tanpa tertahan ia terkejut.

Kiranya di bawah satu pohon Liu ada sesosok bayangan orang berbaju putih. Tubuhnya yang kecil dengan berjungkir sedang memutar dengan cepat, dengan cara sebagaimana biasanya kalau dirinya berlatih ilmu ajaran Auwyang Hong. Melihat bentuk tubuh orang berjungkiran itu jelas bukan lain lagi dari pada Kwe Hu adanya.

Tentu saja Yo Ko terheran-heran melihat kelakuan dara cilik itu, “Apa Kwe-pepek juga mengajarkan ilmu kepandaian semacam ini?” demikian ia ber-tanya-tanya dalam hati. Tetapi segera dia mengerti: “Aha, tentu pada waktu aku sedang berlatih telah dapat dilihat dia dan sekarang dia menirukan caraku untuk main-main.”

Sementara itu, kedua sosok bayangan tadi sudah makin dekat dengan Kwe Hu. Mungkin saking asyiknya berputar kayun dengan tubuhnya, sama sekali Kwe Hu tidak berasa kalau ada orang lain mendekatinya. Sesaat kemudian tiba-tiba kedua orang itu melompat maju, tubuh anak perempuan ini terus dirangkul, seorang mendekap mulut yang mungil itu dengan tangannya, sedang yang satu lagi mengeluarkan seutas tali kemudian meringkus seluruh badan Kwe Hu, bahkan mulutnya disumbat dengan sepotong sapu tangan.

Perbuatan kedua orang itu ternyata cepat dan berhasil dengan baik, hanya sekejap saja mereka sudah meletakkan Kwe Hu yang tak bisa berkutiik itu ke dalam semak-semak, habis itu mereka melanjutkan merayap ke depan.

Menyakksikan kejadian aneh ini, mulut Yo Ko ternganga, hatinya pun berdebar-debar dan kuatir pula, ia tidak tahu apa maunya kedua pendatang itu. Mata Yo Ko cukup tajam, meski dalam keadaan gelap dia masih bisa melihat jelas gerak-gerik kedua orang tadi. Ia melihat sesudah merangkak-rangkak maju lagi, setelah hampir sampai di jalan masuk perkampungan, rupanya mereka mengerti juga lihaynya Tho-hoa-to yang sudah diatur oleh Oey Yok-su, maka mereka tidak berani maju lagi.

Mereka lantas mengeluarkan sehelai kertas putih, seseorang meng-gambar di atas kertas itu dengan menggunakan alat tulis. Jika melihat kelakuan mereka, rupanya mereka sedang mencuri melukis peta keadaan pulau ini untuk digunakan kelak ketika melakukan penyerbuan.

“Kalau sekarang juga aku berteriak, sebelum Kwe-pepek sempat keluar tentu aku sudah dibunuh mereka lebih dulu,” demikian diam-diam Yo Ko membikin perhitungan dalam hati.

Mendadak pikirannya tergerak, tiba-tiba ia ambil suatu keputusan yang luar biasa beraninya, “Ya, biar diam-diam aku masuk ke dalam perahu mereka, jika beruntung tidak ketahuan, tentu aku akan berhasil melarikan diri dari pulau ini,” demikian ia berpikir.

Setelah mengambil keputusan ini, ia pun tidak pusing apakah perbuatannya ini berbahaya atau tidak, segera ia me-rayap mendekati perahu yang berlabuh itu. Setelah dekat, selagi ia hendak merayap ke atas perahu, tiba-tiba terdengar suara “krak” dari dalam perahu, menyusul papan geladak perahu itu terbuka, lalu muncul satu orang melompat ke pesisir.

Tidak kepalang kaget Yo Ko oleh munculnya orang yang sekonyong-konyong ini, lekas ia mendekam ke bawah lagi. Sementara kedua orang yang duluan tadi rupanya sudah mendengar juga, yang seorang memondong Kwe Hu, satunya lagi lantas kembali ke perahu hendak memeriksa apa yang terjadi.

Akan tetapi orang yang muncul belakangan ini telah sembunyi di belakang gundukan pasir tepi laut, ia tidak memapaki dua orang yang duluan, nyata mereka bukan kawan. Waktu itu Yo Ko berada di belakang orang, maka ia dapat menyaksikan semua dengan terang, makin lihat ia semakin heran.

Dia melihat yang memondong Kwe Hu telah kembali ke dalam perahu, sedang kawannya menengok sekelilingnya dan mendekati gundukan pasir tadi. Tetapi orang yang sembunyi itu masih belum bergerak, ia menanti ketika orang sudah dekat, se-konyong-konyong ia melompat keluar, di antara berkelebatnya sinar putih, sekali serang saja ia telah tancapkan belatinya di atas dada orang. Tidak ampun lagi tanpa bersuara sedikit pun, orang yang diserang itu roboh terguling.

Mendengar suara gedebukan akibat jatuhnya tubuh itu, orang yang berada di atas perahu tadi rupanya menjadi curiga.

“Lo-toa, ada apa?” ia coba tanya sang kawan.

Lekas penyerang tadi mencabut belatinya, ia sembunyi lagi di belakang gundukan pasir dan menjawab dengan suara yang ditahan dan di-bikin-bikin:

“Aneh, aneh!”

Mendengar suara yang samar-samar, tetapi sekian lama tidak melihat kawannya kembali, orang di dalam perahu menjadi khawatir, dengan langkah lebar segera ia menuju gundukan pasir tadi.

Melihat orang meninggalkan perahu, Yo Ko pikir jangan sia-siakan kesempatan yang baik ini, maka dengan cepat ia merayap ke tepi perahu. Ia berniat mengangkat sauh untuk kemudian menjalankan perahunya. Dan pada saat itu juga terdengar olehnya suara jeritan ngeri, nyata belati si pembunuh tadi telah makan korban lagi.

Sementara itu Yo Ko sedang mengangkat rantai jangkar, tetapi sebelum jangkar kena ditarik, rantai besi itu mengeluarkan suara gemerincing lebih dahulu. Karenanya ia tahu gelagat jelek, segera ia hendak melarikan diri, akan tetapi sudah terlambat, ia lihat si pembunuh tadi dengan mulut menggigit belati yang masih meteskan darah telah melompat ke atas perahu.

Di bawah cahaya rembulan Yo Ko dapat melihat pakaian orang yang compang-camping, mukanya penuh noda darah, rupanya beringas menakutkan. Keruan Yo Ko menjadi kelabakan bingung. Dalam keadaan begini otomatis ia berjongkok, mulutnya bersuara “kak-kok” dua kali, kedua telapak tangannya mendadak didorong ke depan.

Tatkala itu kaki orang belum sempat mendarat di atas perahu. Karena serangan Ha-mo-kang ini dilakukan dalam keadaan masih terapung di udara, orang itu mendadak jatuh terjengkang ke belakang lantas terbanting masuk laut, sedikit pun tidak berkutik lagi.

Melihat akibat serangan ini, Yo Ko malah berbalik terkesima, ia terpaku di tempatnya dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

“He, Ha-mo-kang ini kau dapat belajar dari mana? Dan mana Auwyang Hong?” tiba-tiba terdengar suara teriakan Oey Yong dari jauh.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar