Minggu, 16 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 011

Oey Yong biasa berpikir teliti, ia pikir tidak perlu menanyakan dia sekarang, seterusnya gerak-geriknya diawasi saja. Demikianlah, siang hari telah lalu, dan petangnya sesudah bersantap mereka pergi mengaso.

Yo Ko tidur sekamar dengan Kwa Tin-ok. Sampai tengah malam, diam-diam ia bangun, membuka pintu kamar dan ngeluyur keluar. Waktu ia menoleh, Kwa Tin-ok sedang menggeros nyenyak. Maka dengan berindap-indap ia mendekati pagar tembok, ia panjat ke atas satu pohon, dari sini melompat ke atas pagar tembok dan kemudian merosot turun keluar dengan perlahan.

Mencium bau manusia, dua ekor anjing di luar pagar menyalak, Tetapi Yo Ko sudah siap sedia, dari bajunya dikeluarkan dua potong tulang daging yang dia sengaja simpan pada siang harinya, dia lemparkan pada anjing-anjing itu. Mendapat tulang daging, anjing-anjing itu lupa akan manusianya dan segera berhenti menyalak untuk menggerogoti tulang-tulang itu.

Setelah pilih jurusannya, kemudian Yo Ko menuju ke arah barat-daya. Setelah beberapa li ia tempuh, maka sampailah dia pada sebuah kelenteng bobrok. Dia dorong pintu kelenteng itu dan masuk ke dalam.

“Ayah!” demikian ia lantas memanggil.

Maka terdengarlah suara sahutan yang berat dari dalam, yang dikenalinya sebagai suara Auwyang Hong. Girang sekali Yo Ko. Dia mendekatinya, dia lihat Auwyang Hong rebah di atas beberapa kasuran bundar di depan patung pemujaan, keadaannya loyo dan napasnya lemah. Kiranya keadaan luka yang diderita Auwyang Hong serupa dengan Kwe Ceng, cuma Kwe Ceng masih muda dan kuat, sebaliknya dia sudah lanjut usia, dengan sendirinya daya tahannya jauh kalah dari pada Kwe Ceng.

“Makanlah ini, ayah,” sementara Yo Ko telah berkata lagi sambil mengeluarkan beberapa bakpau dan diserahkan pada Auwyang Hong.

Memang Auwyang Hong sudah lapar sehari suntuk. Ia hendak keluar, tapi kuatir kepergok musuh, maka sepanjang hari sembunyi di dalam kelenteng bobrok ini dengan kelaparan. Kini sesudah beberapa bakpau ia jejalkan ke dalam perutnya, segera semangatnya terbangkit kembali.

“Di manakah mereka berada kini?” ia tanya.

Maka berceritalah Yo Ko apa yang diketahuinya….. Ketika Yo Ko bermalam di hotel bersama Kwe Ceng, tengah malam kembali Auwyang Hong datang menjenguknya. Tak terduga malam itu Bu Sam-thong yang sedang terluka oleh pukulan Li Bok-chiu kebetulan menginap di hotel yang sama. Oleh karena bekerjanya racun di tubuhnya akibat pukulan Li Bok-chiu itu, semalam suntuk dia kelabakan tidak bisa tidur. Ketika mendadak mendengar di atas rumah ada suara keresekan, Bu Sam-thong menyangka Li Bok-chiu telah menyusul datang, maka tanpa menghiraukan luka yang sudah dideritanya, dia segera lompat ke atas rumah untuk menghadapi musuh.

Di luar dugaan, musuh baru itu tidak datang, tapi sebaliknya yang dihadapi adalah musuh kawakan. Dahulu Auwyang Hong hendak menghancurkan ilmu silat Toan-hongya, untuk itu dia pernah sengaja melukai Bu Sam-thong dengan pukulan yang berbisa. Kini demi berhadapan lagi, musuh yang sudah lama ditunggu ini membikin mata Bu Sam-thong merah berapi, tanpa pikir lagi segera dia melabrak maju.



TEMPAT PERSEMBUNYIAN TERAMAN

Dengan sendirinya sekali-kali Bu Sam-thong bukan tandingan Auwyang Hong, maka baru bergebrak belasan jurus saja dia sudah kena dihantam sekali hingga terjungkal ke bawah rumah.

Waktu Auwyang Hong datang ke hotel Yo Ko memang sudah bangun, tatkala ayah angkatnya ber-turut-turut bergebrak dengan Bu Sam-thong dan suami isteri Kwe Ceng dan Oey Yong, selama itu Yo Ko berdiri menonton di samping.

Kemudian setelah Auwyang Hong dan Kwe Ceng sama-sama terluka dan ada orang yang memperhatikan dirinya, maka diam-diam dia menyusul Auwyang Hong. Mula-mula Auwyang Hong berjalan amat cepat, Yo Ko tak mampu menyandaknya, tetapi sesudah lukanya bekerja sehingga melangkah saja terasa susah, maka dapatlah Yo Ko menyusul dan memayangnya ke kelenteng bobrok.

Walau pun umur Yo Ko masih kecil, tetapi ternyata dia paham segala hal. Dia tahu kalau dirinya tidak kembali tentu Oey Yong, Kwa Tin-ok dan lainnya akan mencari, dan jika terjadi begini tentu akan membahayakan jiwa Auwyang Hong yang terluka parah, maka lebih dulu ia menunggu orang di tepi jalan dan akhirnya bertemu lagi dengan Kwe Ceng, kemudian tengah malam ia datang lagi menjenguk ayah angkatnya.

Begitulah setelah mendengar penuturan Yo Ko baru Auwyang Hong merasa lega. Tetapi bila teringat olehnya Kwa Tin-ok tidak berhasil dia binasakan pada siang tadi, kembali dia menjadi kuatir.

“Orang she Kwe itu telah merasakan pukulanku, dalam tujuh hari dia tak akan bisa sembuh,” demikian katanya kemudian, “lsterinya harus melayani suaminya, tentu tak akan berani sembarang tinggal pergi, maka kini kita hanya kuatirkan si buta she Kwa seorang saja. Apa bila malam ini dia tidak datang, pasti besok dia akan mencari kesini, sungguh sayang sedikit pun aku tak bertenaga. Ai, aku sudah membunuh lima saudara angkatnya, kalau kini aku mati di tangannya rasanya juga... juga...” Berkata sampai disini, ia lantas ter-batuk-batuk.

Sementara itu Yo Ko duduk di lantai dengan tangan menunjang janggut, sekejap saja timbul macam-macam pikiran. Ia lihat Auwyang Hong rebah dengan kedua tangan digunakan sebagai bantal, meski rebah dengan melintang tetapi kedua kaki orang tua ini masih tetap pasang kuda-kuda seperti biasanya kalau berlatih ilmu Ha-mo-kang, jadi kuda-kudanya mirip kodok saja.

“Ah, aku ada akal,” tiba-tiba Yo Ko berpikir, “biar aku taruh beberapa macam benda tajam di atas lantai, kalau si buta itu masuk begitu saja, biar dia rasakan sedikit luka.”

Karena pikiran ini, segera ia turunkan empat buah Cektay, yakni tempat menancapkan lilin yang biasa dipakai di meja sembahyang. Ia buang sisa lilinnya, ia pasang cektay di mulut pintu secara berjajar dengan bagian yang lancip tajam menghadap ke atas, sesudah ini ia tutup pintu kelenteng dengan setengah rapat, lalu ia angkat sebuah Hio-lo (tempat abu) yang terbuat dari besi, ia manjat ke atas dan memasang Hio-lo itu di atas daun pintu yang setengah rapat itu.

Kemudian Yo Ko memeriksa sekitarnya lagi. Ia ingin mendapatkan jebakan lain yang bisa dipasang untuk memperdaya orang, tetapi tiada yang dapat lagi kecuali di atas ruangan kelenteng bagian timur dan barat tergantung sebuah genta raksasa. Begitu besar genta itu hingga sedikitnya lebih dari dua ribu kati beratnya dan tidak cukup dirangkul oleh tiga orang sejajar. Di atas genta masing-masing terdapat satu gantolan besi yang amat besar pula dan terikat kencang di atas kerangka kayu yang terbuat dari balok-balok besar. Kelenteng ini rupanya sudah sangat tua dan bobrok, tetapi kedua genta raksasa ini masih dalam keadaan baik karena pembikinannya sangat kokoh dan kuat.

“Kalau si buta she Kwa itu benar-benar masuk ke sini, aku akan manjat ke atas kerangka genta itu, tanggung dia tidak akan bisa ketemukan aku,” demikian Yo Ko berkata dalam hati.



Waktu Yo Ko hendak pergi ke bagian belakang untuk mencari sesuatu alat senjata yang cocok baginya, tiba-tiba dari jalan besar di luar terdengar berkumandang suara “tak-tek-tak-tek” yang diterbitkan oleh ketokan tongkat besi.

Air muka Yo Ko seketika berubah. Ia tahu Kwa Tin-ok betul-betul datang, maka cepat ia sirapkan api lilin. Namun segera ia ingat perbuatannya ini hanya berlebihan saja, ia pikir: “Mata si buta itu tak bisa melihat, jadi sebenarnya tidak perlu aku padamkan lilin.”

Dalam pada itu suara “tak-tek” tadi sudah makin dekat. Mendadak Auwyang Hong bangkit duduk, dia hendak mengumpulkan seluruh tenaga yang masih ada di tangan kanannya, dia hendak mendahului musuh dengan sekali pukul membinasakannya.

Yo Ko sendiri juga ber-debar-debar. Dia pegang Cektay itu dengan bagian lancip menghadap keluar, ia berjaga di samping Auwyang Hong dan siap melawan musuh. Memang sama sekali tidak salah, suara “tak-tek” tadi adalah suara tongkat Kwa Tia-ok yang meng-ketok-ketok tanah bila berjalan.

Meski mata Tin-ok buta, akan tetapi orangnya luar biasa cerdiknya. Ia menduga sesudah Auwyang Hong terluka, pasti akan sembunyi di sekitar tempat ini, maka sebelum makan malam, di tempat mondoknya dia sudah mencari tahu dengan jelas bahwa di sekitar sini hanya terdapat sebuah kelenteng kuno yang bobrok, kecuali ini hanya rumah penduduk melulu, maka ia sudah menaksir sembilan bagian pasti Auwyang Hong sembunyi di kelenteng.

Bila teringat olehnya bahwa lima saudara angkatnya semua dibinasakan Auwyang Hong secara keji di pulau Tho-hoa, dan kini ada kesempatan bagus untuk menuntut balas, tentu saja tidak akan dia lewatkan begitu saja. Maka sesudah tengah malam, dengan perlahan kemudian ia me-manggil2:

“Ko-ji, Ko-ji!”

Tapi ia tidak memperoleh jawaban. Ia sangka tentu anak ini sedang nyenyak tidur, maka ia tidak mendekatinya lagi buat diperiksa, melainkan terus keluar rumah pondok dengan melompati pagar tembok. Kedua anjing tadi masih menggerogoti tulang yang dilempar Yo Ko, maka munculnya Kwa Tin-ok tidak digonggong, hanya terdengar suara geraman saja beberapa kali untuk kemudian menggeragoti tulang lagi.

Perlahan-lahan akhirnya Kwa Tin-ok sampai juga di depan kelenteng itu. Ketika ia pasang kuping, betul saja di ruangan dalam terdengar ada suara bernapasnva orang.

“Hayo, Auwyang Hong, Si buta she Kwa sudah berada di sini, kalau kau memang jantan, lekas keluar!” segera ia berteriak menantang.

Sambil berkata, ia ketok tongkatnya ke tanah dengan keras. Akan tetapi Auwyang Hong tidak menyahut. Ia kuatir tenaga yang telah dikumpulkan sejak tadi gembos, maka tak berani ia buka suara.

Setelah berteriak-teriak beberapa kali lagi dan tetap tiada jawaban, akhirnya Kwa Tin-ok menjadi tidak sabar, begitu ia angkat tongkatnya, segera ia dorong pintu kelenteng terus melangkah masuk.

Tanpa disangka, tiba-tiba saja terasa olehnya ada sambaran angin yang berat, semacam benda antap tahu-tahu menghantam dari atas kepalanya, berbareng itu pula kaki kirinya yang melangkah masuk tepat menginjak pada tancapan lilin yang tajam hingga sol sepatunya tembus, telapak kakinya seketika kesakitan.

Karena matanya buta, sesaat Kwa Tin-ok tidak mengerti apa yang terjadi. Dia hanya lekas ayun tongkatnya ke atas, maka terdengarlah suara “trang” yang keras dan nyaring memekakkan telinga, Hio-lo yang jatuh dari atas itu kena dihantamnya sehingga terpental, menyusul ia jatuhkan diri agar kakinya tidak sampai tertancap tembus oleh benda tajam tadi.

Tidak di duga bahwa di samping lainnya masih terdapat beberapa Cektay pula yang sama tajamnya, keruan segera pundaknya terasa sakit, sebuah tancapan lilin telah menusuk tubuhnya. Ketika ia pegang Cektay itu kemudian dicabut keluar, maka mengucurlah darah membasahi pakaiannya.

Ia tak berani ceroboh lagi, ia pasang kuping dan bisa mendengar suara bernapasnya Auwyang Hong, maka setindak demi setindak ia maju perlahan, sekitar tiga kaki di depan orang, segera ia angkat tongkatnya ke atas.

“Ayo, Lo-ok-but (Si binatang tua berbisa), sekarang apa yang hendak kau katakan lagi?!” bentak Tin-ok.

Sementara itu Auwyang Hong sudah kumpulkan seluruh tenaga yang ada dan dipusatkan di telapak tangan kanannya. Dia tunggu bila tongkat Hui-thian-pian-hok benar-benar mengemplang, maka sekaligus dia akan menghantamnya, dengan demikian supaya binasa ber-sama-sama.

Begitu!ah karena sama-sama tidak mau menyerang lebih dulu, mereka berdua menjadi berdiri berhadapan saja dan sama-sama tidak bergerak. Kemudian dengan telinga Tin-ok yang tajam, akhirnya ia dengar suara napas orang yang berat dan sesak, tiba-tiba terkilas suara dan wajah kelima saudara angkatnya: Cu Jong, Han Po-ki, Lam Hi-jin dan Han Siau-eng, yang menjadi korban Auwyang Hong, yang se-olah-olah muncul dan be-ramai-ramai sedang menganjurkan kepadanya agar cepat turun tangan.

Oleh karena itu, tidak bisa tahan lagi, dengan sekali geraman yang keras, dengan gerak tipu ‘Cin-ong-pian-sek’ (raja Cin merangket batu), Tin-ok ayun tongkatnya menggepruk kepala orang.

Namun Auwyang Hong masih keburu berkelit, dan selagi dia hendak lontarkan hantaman balasan, tetapi apa daya? Keinginan ada, tenaga kurang. Baru tangannya terangkat napasnya sudah tidak dapat menyambung lagi, keruan dia menjadi lemas hingga ngusruk jatuh. Terdengarlah suara “bang” yang amat keras dibarengi dengan muncratnya lelatu api, ujung tongkat Kwa Tin-ok telah menghancurkan beberapa ubin hingga hancur.

Kwa Tin-ok tidak memberi kelonggaran bagi lawannya, sekali serang tidak kena, serangan kedua segera menyusul, kini tongkatnya menyerampang dari samping. Jika dalam keadaan biasa, serangan Kwa Tin-ok ini cukup Auwyang Hong sambut dengan sedikit senggol saja pasti akan bikin tongkat terpental dari cekalan atau paling tidak dapat pula menghindar dengan melompat ke atas. Tapi sekarang seluruh badan Auwyang Hong lemas linu, tenaga sedikit pun tak bisa dikeluarkan, terpaksa untuk kedua kalinya ia harus robohkan diri dengan menggelinding ke samping.

Dalam pada itu dengan cepat Kwa Tin-ok sudah mainkan ilmu tongkat ‘Hang-mo-tiang-hoat’ (ilmu tongkat penakluk iblis). Ia menyerang dengan hebat, satu serangan lebih cepat dari serangan yang lain. Sebaliknya gerak-gerik Auwyang Hong semakin lama semakin lamban dan kaku, hingga akhirnya mau tak mau ia kena digebuk sekali di pundak kirinya.

Menyaksikan pertarungan ini, hati Yo Ko menjadi ber-debar-debar. Maksud hati ingin maju membantu sang ayah angkat, tetapi apa daya, dia maklum ilmu silatnya terlalu cetek dan tidak tahan sekali digebuk musuh, bila mana berani ikut maju, maka tiada bagian lain kecuali antar nyawa belaka. Tetapi ia saksikan tongkat Kwa Tin-ok susul menyusul kena menghantam di atas badan Auwyang Hong, maka ia menjadi ngeri pula.

Agaknya memang sudah nasib Auwyang Hong yang harus mengalami ajaran ini. Untung ia bukan jago silat sembarangan, ia punya tenaga dalam yang terlatih tinggi sekali. Meski pun dalam keadaan tak mampu membalas, tapi ia masih mampu mematahkan serangan orang, tiap tenaga gebukan yang Kwa Tin-ok lontarkan selalu dia singkirkan ke samping, meski tubuhnya kena dihajar hingga babak-belur, tetapi jerohannya tiada yang terluka.

Diam-diam Kwa Tin-ok menjadi heran, di dalam hati dia berpikir: ‘Lo-tok-but’ atau Si binatang tua berbisa (julukan Auwyang Hoag) ini sungguh bukan main lihaynya, setiap hantaman tongkatnya ternyata seperti mengenai kasur saja, hanya mengeluarkan suara ”bluk” yang keras, tetapi Auwyang Hong seperti tidak berasa saja. Ia pikir kalau tidak hantam bagian kepalanya, meski seribu kali gebuk lagi belum tentu bisa mampuskan dia. Tidak ayal lagi Kwa Tin-ok lantas ayunkan tongkatnya semakin cepat, kini yang dia incar hanya kepala orang.

Mula-mula Auwyang Hong masih bisa mengkeret kepalanya untuk menghindar beberapa kali serangan, tetapi sekejap kemudian ia sudah terkurung rapat di bawah sambaran angin tongkat musuh yang selalu berkisar di tepi telinganya saja. Keruan ia mengeluh. Ia paham kalau sampai kepalanya kena dikemplang maka dapat dipastikan dia akan mati seketika.

Sementara itu ia melihat tongkat Kwa Tin-ok telah mengemplang kembali. Dalam keadaan kepepet terpaksa Auwyang Hong harus mengambil risiko dan adu untung. Dia bukannya menghindarkan diri lagi, tetapi sebaliknya mendadak dia menubruk maju, dengan kencang dia berhasil menjambret dada orang.

Tentu saja tidak kepalang kaget Kwa Tin-ok, dalam gugupnya ia sempat gunakan gagang tongkatnya menyodok ke punggung orang., Tentu saja hantaman ini tak bisa dihindarkan Auwyang Hong. Terdengar suara tertahan, Auwyang Hong terkena hantaman itu mentah-mentah, luar biasa sakit punggungnya hingga hampir ia pingsan.

Sebaliknya Kwa Tin-ok menyangka hantamannya itu tidak berguna sama sekali dan tidak mampu melukai lawan lagi, seketika ia menjadi habis akal, terpaksa dengan tangan kiri ia menjambret lawan.

Harus diketahui bahwa sebelah kaki Kwa Tin-ok memang pincang. Ia bisa menubruk dan menyerang karena bantuan imbangan tongkatnya. Kini karena tubuhnya kena dirangkul orang, maka setelah sekali dua kali gebrak, akhirnya tak sanggup lagi ia berdiri tegak dan jatuh terguling.

Tapi Auwyang Hong belum mau lepaskan jambretan di dadanya, bahkan dengan sebelah tangan yang lain ia hendak merangkul pinggang Kwa Tin-ok, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya menyentuh sesuatu benda keras, tidak ayal lagi ia cabut dengan cepat, waktu dia tegasi, kiranya adalah sebilah belati tajam.

Belati ini adalah senjata peninggalan Thio A Seng, salah satu saudara angkat Kwa Tin-ok, namanya ‘To-gu-to” atau belati jagal sapi. Meski namanya belati jagal, tetapi sebenarnya tidak pernah dibuat menyembelih sapi. Belati ini luar biasa tajamnya. Karena Thio A Seng tewas di tangan Tan Lip-hong di daerah Mongol dahulu, belati ini lantas jatuh ke tangan Kwa Tin-ok dan selalu dibawanya seperti selalu berdampingan dengan saudara angkatnya yang sudah tewas itu.

Mengetahui belati ini sudah kena direbut Auwyang Hong dan justru mereka sedang dalam pergulatan secara mati-matian, keruan dia terkejut, lekas dia ayun kepalan kiri menjotos sebelum tikaman Auwyang sampai. Karena jototan ini Auwyang Hong terpelanting jatuh, menyusul tongkat Kwa Tin-ok segera menghantam pula. Jotosan yang tepat mengenai pelipisnya itu membikin Auwyang Hong merasa matanya ber-kunang-kunang. Lekas ia ayun tangannya, ia timpukkan belati itu kepada musuh.

Kwa Tin-ok masih keburu berkelit, maka terdengarlah suara “Trang” yang nyaring, kiranya belati itu dengan tepat mengenai genta raksasa yang berada di tengah ruangan kelenteng. Meski sambitan Auwyang Hong tidak membawa tenaga keras, namun saking tajamnya belati itu sehingga menancap masuk setengah senti pada dinding genta itu, dan gagang belati sampai ber-goyang-goyang tiada hentinya.

Waktu itu kebetulan Yo Ko berdiri di samping genta, belati itu menyambar lewat sehingga hampir saja pipinya keserempet. Dalam kagetnya lekas anak muda ini memanjat ke atas kerangka genta dengan cepat.

Di pihak lain, tiba2 Auwyang Hong mendapat akal. Ia lalu mengitar ke belakang genta yang tergantung itu. Pada saat suara genta yang menggema masih belum lenyap, Kwa Tin-ok hendak mendengarkan di mana Auwyang Hong bernapas, maka dia sedang mendengarkan secara teliti dengan miringkan kepala dan pasang kuping. Di bawah sorotan cahaya rembulan, tampak rambut orang tua yang kusut ini sedang mendengarkan sambil menunjang tongkat, sikapnya sangat menakutkan.

Yo Ko memiliki otak yang sangat tajam dan sesaat ia sudah dapat mengetahui sebab musababnya. Maka sekuatnya ia cabut belati jagal sapi yang menancap tadi, lalu ia tabuh sekali lagi genta itu dengan keras, maka terdengarlah suara “trang” yang sangat nyaring hingga suara pernapasan mereka berdua, Yo Ko dan Auwyang Hong, jadi tertutup hilang.

Ketika mendadak mendengar suara genta lagi, dengan cepat Kwa Tin-ok menubruk maju, namun Auwyang Hong sudah memutar lagi ke belakang genta. Ketika Kwa Tin-ok memukul dengan tongkatnya, tongkat itu mengenai genta sehingga kembali suara “trang” yang lebih keras menggema sampai memekakkan telinga.

Suara keras yang susul-menyusul itu membikin anak telinga Yo Ko seakan-akan hendak pecah, maka sesaat ia pun tak mendengar suara lain. Dalam pada itu Kwa Tin-ok telah mengamuk, dengan ayunkan tongkatnya ia hantam genta terus-menerus sehingga suara genta semakin keras.

Melihat perbuatan orang, Auwyang Hong pikir tidak menguntungkan dirinya. Apa bila Kwa Tin-ok mengetok genta terus, meski Kwe Ceng menderita luka, tapi dikuatirkan Oey Yong akan menyusul datang buat membantunya. Oleh karenanya, pada saat suara genta sedang berbunyi hebat itu, secara berindap-indap perlahan ia bermaksud mengeluyur pergi melalui pintu belakang.

Siapa sangka telinga Kwa Tin-ok memang tajam sekali, walau pun dalam menggemanya suara genta, masih bisa juga ia membedakan suara yang lain. Begitu ia mendengar suara menggeser tindakan Auwyang Hong, ia pura-pura tidak tahu, ia masih mengayun tongkatnya menabuh genta, ia menanti orang sudah bertindak pergi beberapa tindak dan sudah agak jauh meninggalkan genta, barulah mendadak ia melompat maju, ia ayun tongkatnya terus mengemplang kepala orang.

Meski Auwyang Hong sudah kehilangan daya tahannya, tapi selama hidupnya entah telah mengalami berapa banyak badai dan tipu-menipu di waktu bertempur, dengan sendirinya ia telah ber-jaga-jaga. Maka begitu melihat tubuh orang bergerak, segera ia tahu maksud Kwa Tin-ok. Belum sampai tongkat orang mengemplang, lebih dulu ia sudah sembunyi kembali di belakang genta.

Keruan Kwa Tin-ok menjadi marah, “Biar pun aku tidak bisa pukul mampus kau, pasti juga aku akan bikin kau mati letih!” demikian teriaknya murka. Habis ini dengan mengitar genta segera ia mengudak.

Nampak dua orang itu berkejaran mengitari genta. Yo Ko insaf apa bila waktu ber-Iarut-larut, pasti Auwyang Hong akan kehabisan tenaga, sedang keadaan sudah sangat berbahaya. Tiba-tiba ia mendapat satu akal, dari atas kerangka genta ia gerakkan kedua tangannya untuk memberi isyarat.

Waktu itu Auwyang Hong sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghindari udakan musuh, maka ia belum lihat kode orang. Setelah mengitar dua kalangan lagi baru kemudian dia melihat bayangan Yo Ko di lantai yang lagi memberikan tanda supaya dia menyingkir. Semula ia tidak mengerti apa maksud anak muda ini, tetapi ia pikir kalau Yo Ko berani suruh aku menyingkir tentu ada maksud tujuannya, maka dengan menghadapi bahaya ia lantas bertindak keluar.

Sementara itu Kwa Tin-ok telah berhenti dan diam tak bergerak untuk mem-bedakan ke jurusan mana perginya musuh. Saat itu juga diam-diam Yo Ko mencopot sepatunya, lalu dia lemparkan ke bagian belakang ruangan, maka terdengarlah suara “blak-bluk” dua kali, suara jatuhnya benda di lantai.

Tentu saja Kwa Tin-ok terheran-heran dan menjadi bingung. Sudah terang ia dengar Auwyang Hong jalan menuju ke pintu depan, tapi mengapa di bagian belakang ada suara orang lagi. Dan justru pada saat yang meragukan itu, Yo Ko cepat angkat belatinya terus memotong tali gantolan yang menggantung genta raksasa itu.

Gantolan genta itu sebenarnya cukup kuat, meski belatinya amat tajam sekali potong tidak akan bisa terputus, tetapi karena beratnya genta yang tergantung, hanya setengah saja tali gantolan itu terpotong sudah tidak dapat menahan bobot genta lagi. Dengan membawa sambaran angin santer, tanpa ampun lagi genta itu lantas menutup ke atas kepala Kwa Tin-ok yang tepat berdiri di bawahnya.

Hebat sekali daya menurunnya genta ini sehingga sewaktu Kwa Tin-ok mendengar suara angin sudah tak keburu buat melompat pergi. Dalam seribu kerepotannya mendadak dia tegakkan tongkatnya, maka terdengarlah suara “trang” dan dengan persis genta itu menindih di atas tongkat. Karena tangkisan ini maka Tin-ok mendapat kesempatan dia berhasil meloncat keluar dari bawah genta. Apa bila lompatannya ini sedikit kasip saja dapat dipastikan tubuhnya akan tertindih genta hingga hancur. Dalam pada itu lantas terdengar suara “dung... gerubyak... bruk… klontang” secara susul menyusul.

Tongkat tadi telah patah menjadi dua, genta pun telah menggelinding ke samping lantas menyeruduk bokong Kwa Tin-ok hingga tubuh orang cacat ini terlempar keluar dari pintu kelenteng, malah masih terguling beberapa kali, darah mengucur pula dari hidungnya dan batok kepalanya benjut.

Kasihan Kwa Tin-ok yang matanya tak bisa melihat, ia tidak tahu kenapa dan sebab apa kejadian yang mendadak itu, ia kuatir jangan-jangan dalam kelenteng itu terdapat pula makhluk aneh lain yang mengacau. Maka sesudah merangkak bangun, dengan ter-pincang-pincang lekas dia bertindak pergi.

Menyaksikan kejadian ini, mau tak mau hati Auwyang Hong terkesiap juga, ber-ulang-ulang ia mengatakan:

“Sayang!”

“Baiklah, sekarang si buta ini tak berani datang lagi, ayah,” demikian kata Yo Ko dengan senang sesudah merangkak turun dari atas kerangka genta. Di luar dugaan, Auwyang Hong masih geleng-geleng kepala saja.

“Orang ini setinggi gunung dendamnya padaku, asal dia masih dapat bernapas, pasti dia akan datang mencari aku lagi,” katanya kemudian.

“Kalau begitu lekas kita berangkat pergi,” ujar Yo Ko.

“Percuma,” sahut Auwyang Hong sambil geleng kepala, “Lukaku terlalu parah, tidak bisa jauh kita lari.”

“Lantas bagaimana baiknya?” kata Yo Ko menjadi kuatir.

“Ada satu akal,” sahut Auwyang Hong sesudah berpikir “Kau potong putus lagi gantolan genta yang lain, biar aku tertutup di dalamnya.”

“Dan cara bagaimana ayah akan keluar?” tanya Yo Ko.

“Aku akan sekap diriku selama tujuh hari di bawah genta, setelah tenaga asliku pulih, aku sendiri sanggup keluar dengan membuka genta,” kata Auwyang Hong, “Dalam tujuh hari ini, sekali pun si buta itu datang mencari aku lagi, tidak mungkin mampu membuka genta sebesar ini kalau hanya dengan sedikit kepandaiannya itu.”

Yo Ko pikir baik juga akal itu, tetapi ia masih ragu. Ia tanya lagi apa betul Auwyang Hong sanggup membuka genta buat keluar sendiri. Sesudah yakin benar barulah ia memanjat lagi ke atas buat melakukan apa yang diminta Auwyang Hong.

“Kau boleh ikut pergi saja dengan manusia she Kwe itu, kelak aku akan mencari kau ke sana,” demikian Auwyang Hong berpesan.

Yo Ko mengiyakan pesan itu. Dan sesudah Auwyang Hong duduk tepat di bawah genta, lalu ia potong gantolan genta hingga Auwyang Hong tertutup rapat di dalamnya. Dari luar Yo Ko memanggil beberapa kali, namun dia tidak mendapat sahutan. Dia tahu di dalam genta tidak dengar suara dari luar, maka ia lantas ber-kemas buat pergi. Tetapi sebelum itu, tiba-tiba lahir pula satu akalnya. Dia pergi ke ruang belakang dan mendapatkan sebuah mangkok rusak serta sebuah sikat bobrok. Dia isi penuh mangkok itu dengan air jernih. Setelah mangkok ditaruh di lantai, kemudian ia sendiri berjungkir sambil tangan kiri dimasukkan ke dalam mangkok yang berisi air itu.

Kiranya ia sudah melakukan ilmu menolak hawa berbisa dalam tubuhnya menurut ajaran Auwyang Hong, dia desak keluar beberapa tetes darah beracun dari tangannya. Ilmu ini sangat memakan tenaga, sedang Yo Ko baru mempelajari dasar-dasar nya saja. Meski pun dapat juga ia desak keluar beberapa tetes darah hitam, tidak urung ia mandi keringat.

Kemudian dengan sikat yang tersedia itu ia celupkan untuk semir sekitar genta. Ia pikir kalau paderi-paderi kelenteng ini kembali atau si buta she Kwa itu berani datang lagi dan bermaksud menyongkel genta ini, begitu tubuh mereka menyentuh, pasti mereka akan merasakan jahatnya racun ini.

Selesai ia atur jebakannya, dengan langkah lebar Yo Ko lantas pulang ke pondoknya. Pada waktu melintasi pagar tembok untuk masuk kamar, dalam hati ia rada kuatir kalau-kalau kepergok Kwa Tin-ok. Siapa tahu sesudah dia masuk kamar, Kwa Tin-ok malah belum kembali, ini sama sekali di luar dugaannya. Setelah rebah di pembaringan, Yo Ko hanya gulang-guling saja tak bisa tidur, keadaan ini berlangsung terus sampai hari terang, baru kemudian ia mendengar ada suara ketokan pintu kamar dengan pentung.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar