Rabu, 12 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 009

Tetapi tiba-tiba pula di antara suara pekikan panjang tadi diselingi pula dengan suara siulan nyaring yang menimpali suara yang duluan hingga menambah keangkeran suara-suara itu.

Hati Li Bok-chiu langsung menjadi jeri. Teringat olehnya bahwa Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri selama berkelana selalu berdampingan dan bahu-membahu, sebaliknya dia hanya sebatang-kara. Seketika perasaannya menjadi hampa dan putus asa, ia menghela napas panjang, habis ini dengan mencengkeram punggung Liok Bu-siang terus bertindak pergi.

Pada saat itu pula Bu-sam-nio tengah memayang sang suami yang terluka dan membawa kedua puteranya pergi jauh setelah berpisah dengan Kwa Tin-ok. Sesudah mengalami pertarungan sengit tadi, kuatir kalau Li Bok-chiu balik kembali untuk mencelakai Kwe Hu, maka lekas Kwa Tin-ok membawa lari dara cilik ini dengan maksud mencari tempat untuk bersembunyi, tetapi dia keburu mendengar suara siulan Kwe Ceng dan Oey Yong yang keras itu, maka hatinya menjadi girang.

“He, ayah, ibu!” Kwe Hu berseru juga ketika mengenali suara orang tuanya.

Habis ini segera ia angkat kaki terus lari menuju ke arah datangnya suara, Tetapi tiba-tiba ia berpikir pula: “Aku sudah ngeluyur keluar, tentu nanti akan didamperat ayah, bagaimana baiknya ini?” Dalam bingungnya ia tarik-tarik lengan baju Kwa Tin-ok, ia coba membujuk orang tua ini:

“Kongkong, nanti kalau bertemu dengan ayah, katakanlah kau yang bawa aku keluar buat bermain, ya?” demikian ia memohon.

“Tidak, aku tak mau berbohong untuk kau!” sahut Kwa Tin-ok dengan menggeleng kepala.

Tetapi Kwe Hu tidak kurang akal, tiba-tiba ia meloncat dan merangkul leher si orang tua, dengan kata-kata halus ia membujuk lagi:

“Kongkong, sekali ini sayanglah padaku, untuk seterusnya aku tak akan nakal lagi.”

Namun masih tetap Kwa Tin-ok geleng-geleng kepala.

“Baiklah, jika begitu biar aku minggat pergi,” teriak Kwe Hu tiba-tiba sambil lompat turun dari rangkulannya. “Selamanya aku tidak akan menjumpai kau lagi, juga tidak akan menemui ayah-bunda.”

Mendengar kata-kata ini, Tin-ok menjadi kaget dan kuatir. Ia kenal watak dara cilik ini berani berkata berani berbuat pula, sedangkan dirinya buta, kalau sampai si kecil ini pergi maka susah lagi untuk mencarinya.

“Baik, baik, kululuskan keinginanmu,” terpaksa ia menyerah.

Kwe Hu ketawa senang dengan kemenangannya ini. “Memang aku sudah tahu kau bakal meluluskan, tidak mungkin kau tega membiarkan aku diomeli ayah dan ibu,” kata si nakal ini.

Maka dua sejoli, satu tua dan satu bocah ini kemudian berlari ke tempat beradanya Kwe Ceng dan isteri. Sesudah dekat, dengan serta-merta Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pelukan ibunya dengan laku aleman.

“Bu, Kongkong yang membawa aku ke sini mencari kalian, engkau tentu senang bukan?” demikian si nakal ini berkata pada sang ibu.

Akan tetapi kepintaran Oey Yong tiada bandingannya, sebab itu hanya sedikit permainan sandiwara sang puteri ini mana bisa mengelabuinya. Cuma bisa bertemu anaknya di sini, sesungguhnya dia memang senang juga, maka ia hanya tertawa saja, lalu bersama sang suami mereka menjalankan penghormatan pada Kwa Tin-ok dan tanyakan kesehatan si orang tua.

Kwe Hu masih kuatir kalau disemprot ayahnya, maka sesudah menyapa sekali, lantas ia tarik tangan si anak muda tadi menyingkir pergi.

“Pergilah kau memetik bunga, buatkanlah mahkota bunga untukku,” demikian pintanya.

Pemuda itu tidak menolak, ia ikut pergi bersama. Perawakan Kwe Hu ternyata jauh lebih pendek, tingginya hanya sedada orang, maka dengan mudah saja ia bisa melihat telapak tangan pemuda itu yang hitam. Mendadak sontak ia kipatkan tangan orang yang tadinya dia gandeng.

“Hiiii, tanganmu kotor, aku tidak mau bermain dengan kau,” demikian ia meng-olok-olok.

Watak pemuda itu ternyata tidak gampang mengalah, ia pun tinggi hati, maka kontan ia jawab dengan ketus:

“Siapa pingin bermain dengan kau?” Habis berkata dengan langkah lebar ia lantas bertindak pergi sendiri

“Eh, eh, saudara cilik, jangan pergi dulu, sisa racun di dalam tubuhmu masih belum hilang seluruhnya, kalau sampai kambuh pasti akan luar biasa lihaynya,” seru Kwe Ceng ketika melihat si anak muda ini hendak pergi.

Anak itu paling benci kalau orang katai dia jelek, oleh karena itu olok=olok Kwe Hu tadi sudah menusuk perasaannya, maka dengan tegang leher ia masih jalan terus tanpa menggubris teriakan Kwe Ceng.

Tabiat Kwe Ceng memang welas-asih, maka buru-buru ia menguber. “Cara bagaimanakah kau terkena racun?” demikian ia bertanya pula, “Marilah kami sembuhkan kau dulu.”



“Aku toh tidak kenal kau, peduli apa dengan kau?” sahut anak muda itu dengan ketusnya. Berbareng itu dia percepat langkahnya dan bermaksud menerobos lewat di samping Kwe Ceng.

Sekilas Kwe Ceng dapat melihat wajah si anak muda yang menunjukkan rasa marah ini, di antara mata-alisnya tertampak sangat mirip seseorang, tiba-tiba hatinya tergerak.

“Ehh, saudara cilik, kau she apa?” segera ia tanya.

Namun pemuda itu tidak menjawab, sebaliknya ia memelototi orang, lalu tubuhnya sedikit miring dengan maksud hendak menerobos lewat, Di luar dugaan secepat kilat Kwe Ceng sudah mencekal sebelah tangannya. Dalam kagetnya si anak muda itu pun menjadi marah, ia me-ronta-ronta beberapa kali, setelah tak berhasil mendadak ia angkat tangan kirinya terus menggenjot perut Kwe Ceng.

Kwe Ceng tidak urus pukulan ini. Dia membiarkan perutnya kena dihantam dengan mulut tersenyum saja. Ketika anak muda itu bermaksud menghantam lagi, tahu-tahu kepalannya ambles di-tengah perut orang, meski dia tarik-tarik bagaimana pun tetap tak bisa melepaskan diri. Dia tidak putus asa, masih terus ia tarik-tarik, saking keras ia keluarkan tenaga hingga mukanya merah padam, tetapi tangannya seperti melengket saja di perut Kwe Ceng, sebaliknya ia rasakan lengan sendiri kesakitan karena di-betot-betot.

“Nah, beri-tahu kepadaku kau she apa dan segera kulepaskan kau,” dengan tertawa Kwe Ceng tanya lagi.

Akan tetapi si anak muda memang amat kepala batu. Ia pikir tidak mau omong, kalau mau, akan kusebutkan she palsu dan nama bikinan saja, oleh karenanya dia lantas menjawab:

“Aku she Cin dan bernama Coa-ji, si anak ular. Lekas lepaskan aku.”

Di lain pihak, demi mendengar nama orang ini Kwe Ceng merasa kecewa sekali. Ia lantas kendorkan tenaga perutnya yang menyedot kepalan pemuda itu. Setelah tangannya terlepas, pemuda itu pandang Kwe Ceng dengan luar biasa kagumnya atas kepandaian orang tadi.

Di sebelah situ Kwe Hu sedang asyik menceritakan pengalaman selama berpisah dengan ibunya. Akhirnya dia ceritakan tentang bagaimana sepasang rajawalinya berkelahi dengan seorang wanita jahat, kemudian datang seekor burung merah kecil yang telah membantu rajawali-rajawalinya.

Mendengar “burung merah kecil” itu, Oey Yong jadi ketarik sekali. “Apakah Koko (kakak) kecil ini yang membawa burung merah kecil itu datang?“ dia tanya dengan cepat.

“Ya,” sahut Kwe Hu, “Burung merah kecil itu menotol biji wanita jahat itu hingga buta, tapi sayang burung itu pun kena digaplok mati oleh dia.”

Mendengar penuturan ini, Oey Yong tidak ragu-ragu lagi, segera dia melompat maju dan memegang pundak si anak muda tadi dengan kedua tangannya, dengan tajam ia pandang orang.

“Kau she Yo bernama Ko, ibumu yang she Cin, ya bukan?” demikian ia menegas sekata demi sekata.

Pemuda ini memang benar she Yo dan bernama Ko. Ketika tiba-tiba saja nama aslinya disebut Oey Yong, darah di dalam rongga dadanya menaik ke atas hingga hawa racun di tangannya se-konyong-konyong menjalar kembali. Ia merasa kepala puyeng dan pikiran menjadi butek, akhirnya jatuh pingsan.

Dalam kejutnya lekas Oey Yong memegang tubuh orang supaya tidak sampai roboh. “Dia... dia kiranya putera adikku Yo Khong,” kata Kwe Ceng terkejut bercampur girang.

Sementara itu kelihatan Oey Yong mengkerut alis. Ia lihat racun menjalar terlalu hebat di tubuh Yo Ko dan ia kuatir, karena sesungguhnya ia sendiri tidak punya sesuatu pegangan untuk menyembuhkan orang.

“Marilah kita cari tempat pondokan dulu, kemudian kita cari pula beberapa racikan obat,” ajaknya kemudian dengan suara terharu.

Kwe Ceng lantas pondong Yo Ko, lalu bersama Kwa Tm-ok, Oey Yong dan si nakal Kwe Hu serta membawa pula sepasang burung Tiau mereka mencari hotel di kota. Bahan obat yang mereka perlukan ternyata sukar dicari, biar pun sudah dikumpulkan akhirnya masih kurang juga empat macam. Melihat keadaan Yo Ko yang masih tak sadar, Kwe Ceng merasa sedih dan kuatir sekali, sampai Oey Yong beberapa kali memanggilnya ternyata tidak didengarnya.

Oey Yong cukup mengerti perasaan hati sang suami waktu itu. Sejak terbinasanya Yo Khong (tentang lelakon Kwe Ceng, Oey Yong dan hubungannya dengan Yo Khong telah diceritakan tersendiri) pikirannya selalu sedih dan menyesal, maka dengan sendirinya kini luar biasa girangnya demi bisa ketemukan anak keturunan saudara angkatnya itu, tetapi anak ini justru terkena racun dan belum bisa diketahui bakal mati atau hidup.

“Ceng-koko, marilah kita coba keluar mencari pelengkapnya obat,” ia mengajak.

Kwe Ceng sendiri mengerti juga sifat Oey Yong. Dia tahu bila ada sedikit harapan dapat mengobati, pasti sang isteri sudah menghibur padanya. Kini nampak wajah isterinya amat prihatin, maka hatinya makin tak tenteram. Segera ia pesan Kwe Hu jangan sembarangan ngeloyor pergi, lalu mereka suami-isteri keluar buat mencari obat2an.

Dalam pingsannya Yo Ko masih terus tertidur, meski hari sudah gelap belum juga sadar. Beberapa kali Kwa Tin-ok masuk kamar memeriksanya, akan tetapi orang tua ini pun tak berdaya. Ia pun kuatir kalau si nakal Kwe Hu ngeluyur pergi, maka tiada hentinya ia bujuk dara cilik ini lekas tidur.

Entah sudah lewat berapa lama, dalam keadaan remang-remang tiba-tiba Yo Ko merasa ada orang me-mijat-mijat dan mengurut dadanya, perlahan pikirannya jernih kembali. Waktu ia membuka mata, terlihat dalam kegelapan ada berkelebat bayangan entah apa meloncat keluar jendela dengan cepat.

Meski rasanya masih lemas, Yo Ko paksakan diri buat berdiri. Dia coba melongok keluar jendela, dan tampaklah olehnya di atas emper rumah berdiri satu orang dengan kepala menjungkir di bawah, siapa lagi kalau bukan orang aneh yang siang tadi menerima dirinya sebagai anak angkat itu.

Kepala orang aneh yang menyanggah badannya itu ternyata separohnya menempel di luar emper, tubuhnya yang tegak terbalik ke atas itu kelihatan ber-goyang-goyang, tampaknya setiap waktu bisa terbanting jatuh ke bawah.

“He, kau!” seru Yo Ko kaget tercampur girang.

“Kenapa tidak panggil ayah?” tegur orang aneh itu.

Karenanya Yo Ko lantas memanggil: “Ayah!” akan tetapi lagu suara panggilannya sangat dipaksakan.

Namun orang aneh itu sudah kegirangan. “Naiklah sini,” katanya.

Yo Ko menurut. Dia lalu merangkak ke ambang jendela untuk kemudian meloncat ke atas payon. Akan tetapi karena badannya masih lemah, tenaganya menjadi tak cukup, maka sebelum tangannya memegang emper rumah dia pun sudah terjungkal ke bawah. Dalam kagetnya ia berteriak.

Orang aneh itu tadinya berjungkir di atas payon, tetapi begitu nampak Yo Ko terjungkal, mendadak tubuhnya roboh ke bawah laksana batang kayu yang terbanting saja, hanya kepalanya masih tetap melekat di atas emper rumah. Dengan demikian secepat kilat tangannya berhasil menjambret punggung Yo Ko, habis ini tubuhnya kembali menegak lagi ke atas, dengan enteng saja Yo Ko diletakkannya di atas payon.

Dan selagi ia hendak bicara, tiba-tiba terdengar di kamar sebelah barat ada suara orang meniup memadamkan api. Ia tahu jejaknya telah diketahui orang, maka tanpa ayal lagi ia pondong Yo Ko dan melangkah pergi dengan cepat, hanya sekejap saja beberapa deretan rumah penduduk sudah ia lintasi.

Waktu itu Kwa Tin-ok melompat ke atas rumah, tapi di sekelilingnya sudah sepi nyenyak.

Setelah Yo Ko dibawa sampai pada sebuah tempat sunyi di luar kota, orang aneh itu baru menurunkannya.

“Coba kau gunakan cara yang pernah kuajarkan padamu itu, hawa berbisa dipaksa keluar lagi sedikit,” demikian ia memberi petunjuk pada Yo Ko.

Pemuda ini menurut, maka tidak berapa lama, dari ujung jarinya menetes keluar beberapa titik darah hitam, berbareng rasa sesak di dadanya pun menjadi lega.

“Sungguh kau ini anak pintar, sekali tunjuk lantas paham, jauh lebih cerdas dibandingkan almarhum putera kandungku dulu,” kata orang aneh itu. Teringat pada puteranya sendiri itu, tiba-tiba ia meratap: “O, anakku, anakku…”

Air matanya berlinang juga karena terkenang puteranya sendiri yang sudah mati, ia elus-elus kepala Yo Ko sambil menghela napas perlahan.

Yo Ko sendiri sejak belum lahir sudah ditinggal bapaknya, ibu pun tewas oleh pagutan ular berbisa di kala ia baru berumur lima tahun, dan selama 8-9 tahun ini dia luntang-lantung sebatang kara di Kangouw, di mana-mana dihina orang sehingga tabiatnya menjadi eksentrik, benci pada sesama manusia serta cemburu pada keadaan sekitarnya, Kini meski orang aneh ini belum pernah kenal dia, namun ternyata demikian baik terhadap dirinya, ini boleh dikatakan belum pernah terjadi selama hidupnya.

Karena darah keturunan ayah-bundanya, maka watak Yo Ko luar biasa pula anehnya. Bila mana dia sudah baik pada seseorang, maka dia bela mati-matian tanpa pikirkan jiwa sendiri. Sebaliknya jika ada orang lain menghina dan memandang rendah padanya, maka selama hidup akan dia ingat terus dan dendam, dia pasti berusaha dengan segala daya-upaya untuk menuntut balas.

Kini si orang aneh itu mengunjuk rasa kasih sayang murni padanya, hati pemuda ini luar biasa terharunya sehingga dia melompat terus merangkul leher orang sambil berulang kali memanggil,

“Ayah, ayah!”

Sejak Yo Ko berumur 2-3 tahun dia sudah berharap mempunyai seorang ayah yang akan cinta dan melindunginya. Bahkan dalam mimpi kadang-kadang mendadak muncul seorang ayah yang gagah perkasa yang dia cintai, tetapi begitu terjaga dari tidurnya, ayah khayalan itu langsung hilang lagi tak berbekas, oleh karenanya sering kali ia suka menangis sendirian dengan sedih. Kini harapan yang sudah lama ia impikan itu tiba-tiba terwujud, dua kali panggilan tadi keluar dari lubuk hatinya yang penuh cinta kasih seorang anak kepada bapaknya.

Kalau hati Yo Ko terharu sekali, maka dalam hati orang aneh itu ternyata jauh lebih girang dari pada Yo Ko. Waktu mereka mula bertemu di mana Yo Ko dipaksa memanggil ayah, di dalam hati anak muda itu sesungguhnya seribu kali tidak sudi, tetapi kini dua hati telah kontak seperti ayah dan anak kandung.

“Oh, anak baik, anak manis, coba panggil ayah sekali lagi!” demikian kata orang aneh itu dengan bergelak ketawa.

Betul juga Yo Ko lantas memanggil ayah, bukan hanya satu kali, malahan dia panggil lagi dua kali, lalu ia menggelendot di badan orang dengan laku yang aleman.

“Aha, anak baik, marilah kuajarkan kau ilmu silatku yang paling aku banggakan selama hidup ini,” dengan tertawa orang aneh itu berkata pula.

Sambil berkata lantas ia berjongkok, dari mulutnya terdengar suara “kuk-kuk-kuk” tiga kali, menyusul kedua tangannya dia dorong ke depan, maka terdengarlah suara gemuruh yang keras, setengah tembok pagar yang berada di depannya ambruk seketika sehingga debu dan batu berhamburan. Nampak orang memiliki ilmu silat selihay ini, girang sekali hati Yo Ko.

“Ayah, ilmu apakah itu, dapatkah aku mempelajarinya?” dengan cepat ia tanya.

“Ini namanya Ha-mo-kang (ilmu weduk kodok),” sahut orang itu, “Asal kau mau berlatih dengan giat, tentu kau dapat mempelajarinya.”

“Setelah aku pandai, apakah tiada orang lain lagi yang berani menganiaya diriku?” tanya Yo Ko lagi.

“Tentu saja,” sahut orang aneh itu sambil menarik alis “Siapakah yang berani menghina puteraku, biar kupatahkan tulangnya dan kubeset kulitnya.”

Kiranya orang aneh yang sangat kosen ini bernama Auwyang Hong yang namanya telah disinggung di bagian atas tadi. Sejak Hoa-san-lun-kiam atau pertandingan silat di atas Hoa-san (salah satu gunung yang tersohor di daerah propinsi Siamsay), Auwyang Hong kena diakali oleh Oey Yong hingga otaknya rada miring. Selama belasan tahun ini ia luntang-lantung di daerah sunyi, yang selalu dia pikirkan adalah: “Siapakah aku ini sebenarnya?”

Tetapi tahun-tahun terakhir ini, sesudah dia berlatih Kiu-im-cin-keng, maka Iwekang-nya banyak kemajuan, otaknya juga lebih terang, walau pun kelakuannya masih tetap tidak beres dan suka gila-gilaan. Tetapi banyak kejadian lama perlahan-lahan satu persatu mulai dia ingat, cuma saja tentang “siapakah dirinya sendiri” inilah yang tetap belum dia ingat.

Tentang Hoa-san-lun-kian serta mengapa Auwyang Hong bisa diakali Oey Yong hingga menjadi gila dan sebab apa dia berlatih ilmu Kiu-im-cin-keng secara terbalik, bacalah cerita Sia Tiauw Eng Hiong.

Begitulah, maka Auwyang Hong lantas mengajarkan Yo Ko dasar2 permulaan ilmu Ha-mo-kang. Hendaklah diketahui bahwa Ha-mo-kang yang menjadi ilmu kebanggaan Auwyang Hong ini terhitung ilmu silat kelas satu di dunia persilatan. Dahulu meski putera kandungnya sendiri belum pernah Auwyang Hong mengajarkan, tetapi kini karena guncangan perasaannya, tanpa pikir lagi diajarkannya pada anak angkatnya yang baru dia terima ini.

Ha-mo kang ini amat sulit dan dalam sekali. Yo Ko sendiri masih belum punya landasan, meski dia coba baik-baik semua apa yang diuraikan Auwyang Hong, tetapi sama sekali ia tidak paham akan arti yang terkandung dalam rahasia ilmu yang dia terima itu.

Oleh karena itu, sesudah hampir setengah hari Auwyang Hong mengajar, ia lihat Yo Ko masih ngawur saja kalau ditanya, sama sekali belum paham dasar yang diajarkannya, akhirnya Auwyang Hong menjadi keki dan dalam dongkolnya ia hendak menampar anak muda itu. Namun sebelum tangannya menyentuh pipi orang, di bawah cahaya sang dewi malam ia lihat muka Yo Ko yang putih bersih dengan matanya yang jeli menarik itu, ia menjadi tidak tega menghajarnya.

“Sudahlah, kau tentu sudah letih, pulang saja sekarang, besok aku mengajarkan kau lagi,” katanya kemudian dengan menghela napas.

Tak tahunya, sejak Yo Ko dikatai Kwe Hu bahwa tangannya kotor, terhadap anak dara itu sudah timbul rasa benci di dalam hatinya, maka demi mendengar dirinya disuruh kembali kepada Kwe Ceng, ia menjadi sedih.

“Tidak, ayah, aku ikut kau saja, aku tak mau pulang ke sana,” katanya.

Siapa dirinya sendiri hingga sekarang Auwyang Hong masih belum jelas, tapi mengenai urusan umum pikirannya sudah cukup terang dan jernih, maka atas permintaan Yo Ko dia menjawab:

“Jangan. Otakku masih rada kurang beres, aku kuatir kau nanti ikut menderita. Kau pulang saja dahulu, nanti kalau aku sudah dapat bikin terang sesuatu soal barulah kita berkumpul untuk selamanya.”

Kata-kata Auwyang Hong yang penuh kasih sayang ini meresap sekali ke lubuk hati Yo Ko, boleh dikatakan sejak ibunya mangkat belum pernah ia mengenyam rasa simpatik seperti sekarang ini, maka dengan cepat ia merangkul orang.

“Kalau begitu harap lekas kau datang menjemput aku, ayah,” katanya.

“Jangan kuatir, nak, sementara diam-diam senantiasa akan kuikuti kau, kemana pun kau pergi pasti aku mengetahuinya,” sahut Auwyang Hong manggut-manggut. Kemudian ia membopong Yo Ko lagi dan diantar pulang ke hotel.

**** 009 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar