Selasa, 11 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 008

Kembali kepada Kwa Tin-ok dan lain-lain. Mereka menjadi jeri oleh ketangkasan Li Bok-chiu yang pergi-datang cepat luar biasa itu. Hanya si anak muda tadi ternyata bernyali sangat besar.

“Biar aku pergi menolong kedua Moaymoay!” demikian serunya. Sambil berkata dia terus mengejar pergi mengikuti arahnya Li Bok-chiu tadi.

Anak muda ini sama sekali tidak kenal jalanan. Setelah beberapa kali belok sini dan putar sana, akhirnya kesasar, maka terpaksa ia harus berhenti untuk bertanya kepada orang di pinggir jalan. Meski begitu, sesudah jalan terus secara ngawur tiba-tiba dari kejauhan terdengar ada suara teriakan Thia Eng yang me-manggil2:

“Piaumoay, Piaumoay!”

Kedengarannya suara itu berada tidak jauh, tanpa ayal lagi segera ia percepat langkahnya mengudak ke depan. Sungguh pun anak muda ini baru sekali ini bertemu dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, akan tetapi dalam hati mudanya tanpa terasa sudah timbul perasaan suka pada mereka. Sudah terang ia tahu betapa lihaynya Li Bok-chiu, namun ia tetap menguber terus tanpa memikirkan risikonya sendiri.

Setelah ber-lari-lari tak lama menurut arah datangnya suara tadi, ia taksir seharusnya sudah sampai di tempat suara Thia Eng, akan tetapi aneh sekali, meski ia menengok sana-sini, bayangan kedua anak dara itu sama sekali tidak tampak. Ketika tanpa sengaja ia berpaling, tiba-tiba melihat di atas tanah berserakan belasan buah jarum perak yang mengeluarkan sinar mengkilap, tiap-tiap jarum panjangnya kira-kira setengah dim, pada batang jarumnya samar-samar tampak terukir kembangan yang amat bagus dan menarik.

Karena itu dia jemput sebuah jarum kemudian digenggam pada tangan kirinya. Tetapi mendadak dia mendapatkan sesuatu yang aneh. Dia melihat di samping jarum-jarum perak yang berserakan itu ada seekor kelabang besar yang sudah mati dengan perut terbalik. Ia jadi lebih tertarik oleh kejadian ini. Tatkala ia menunduk dan periksa lebih teliti, ia lihat pula di atas tanah itu terdapat banyak sekali binatang sebangsa semut, jangkrik, tawon, belalang dan lainnya, semuanya sudah mati. Tentu saja anak muda ini merasa heran. Waktu dia menyingkap semak-semak rumput di bagian lain, keadaannya tampak sama saja, di sekitar tempat yang terdapat jarum perak itu banyak kutu-kutu dan serangga-serangga yang mati.

Namun setelah dia menjauh beberapa tindak, di sana serangga-serangga kedapatan masih hidup segar. Dan ketika ia gunakan jarum yang dia pegang untuk menyentuh serangga-serngga itu, luar biasa cepatnya, hanya sejenak saja segera binatang-binatang kecil itu mati kaku. Beberapa kali ia coba dengan beberapa jenis binatang kecil, keadaannya serupa saja.

Akhirnya anak muda ini menjadi girang sekali. Ia pikir kalau jarum perak ini dijadikan alat perangkap nyamuk dan lalat, hasilnya tentu akan sangat memuaskan. Di luar dugaan, sesaat kemudian mendadak dia merasa tangan kirinya sendiri telah kaku dan kejang, gerak-geriknya tidak leluasa. Dasar anak muda ini memang punya kecerdasan otak yang luar biasa, se-konyong-konyong dia terkejut dan sadar: “He, jarum perak ini mengandung racun yang jahat luar biasa, sangat berbahaya bila aku memegangnya!”

Karena itu cepat ia buang semua jarum itu. Segera ia lihat telapak tangannya sudah berubah menjadi hitam semua, lebih-lebih tangan sebelah kiri, begitu hitam sehingga seperti kena tinta. Saking takutnya hampir saja ia menangis, tangannya di-gosok-gosokkan ke pahanya dengan kuat, namun perlahan-lahan ia merasa tangannya mulai kaku kesemutan lalu naik ke bagian lengan, bahkan tangan kiri sudah pegal sampai ke siku. Sejak kecil anak muda ini sudah biasa berkawan dengan ular berbisa, ia tahu bahaya orang terkena racun, karena itu akhirnya ia menangis sedih.

“Nah, sudah tahu lihaynya bukan, nak?” tiba-tiba di belakangnya ada suara teguran orang.

Suara orang ini nyaring, tetapi pecah dan sangat menusuk telinga, datangnya mendadak sehingga se-akan-akan timbul dari bawah tanah saja. Maka dengan cepat si anak muda putar tubuh ke belakang. Tetapi segera ia kaget hingga ternganga, karena apa yang dia lihat ialah seorang yang berdiri di belakangnya, tetapi cara ‘berdiri’ orang ini sungguh aneh bin ajaib, bukannya dia berdiri dengan kaki, tetapi dengan kepalanya, jadi kepala yang menyanggah tubuhnya, sedang kedua kakinya rapat tegak ke atas. Dalam kagetnya anak muda itu melompat mundur beberapa tindak.

“Kau... kau ini siapa...?” serunya kemudian dengan tak lancar.

Tetapi aneh, entah cara bagaimana gerakannya tahu2 orang itu telah enjot tubuhnya maju tiga kaki dan dengan tepat turun di depan si anak muda.

“Aku... aku ini siapa...? Ha, kalau aku tahu siapa aku ini tentu akan baik sekali,” demikian sahutnya.

Keruan anak muda itu semakin ketakutan oleh kelakuan orang, tanpa pikir lagi segera ia angkat kaki dan lari kesetanan cepatnya. Namun dia dengar di belakangnya selalu diikuti dengan suara “tok-tok-tok” yang keras dan ketika ia menoleh, tanpa terasa arwahnya hampir terbang dari raga saking kagetnya.

Kiranya orang itu mempergunakan kepala sebagai kaki, dengan menjungkir tubuhnya me-lompat-lompat dengan kecepatan yang tiada bandingannya, jarak terjauhnya selalu tak lebih dari beberapa kaki saja di belakangnya. Tentu saja ia berlari semakin kencang dan mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar menderunya angin, tahu-tahu orang aneh itu sudah melompat lewat di atas kepalanya lantas turun di hadapannya.

“Mak...!” dalam takutnya anak muda itu sampai berteriak memanggil ibunya

Segera ia putar tubuh hendak lari ke jurusan lain, tapi percuma saja, tidak peduli kemana ia berlari, orang aneh itu selalu dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu sudah melompat lewat dan turun di depannya. Percuma saja ia mempunyai sepasang kaki, sebab ternyata tidak bisa lebih cepat dari pada orang yang berlari pakai kepala. Kemudian ia mendapat akal. Ia sengaja berputar dan ber-ganti-ganti beberapa arah, ia tunggu orang aneh itu makin dekat, lalu mendadak ia ulur tangan hendak mendorong orang. Tapi tak terduga lengannya ternyata sudah kaku dan tidak mau turut perintah lagi. Keringatnya gemerobyos, ia menjadi bingung dan kehabisan akal, akhirnya ia merasakan kedua kakinya menjadi lemas dan ia pun jatuh terduduk.

“Semakin kau lari kian kemari, racun di tubuhmu semakin cepat kerjanya,” demikian ia dengar orang aneh itu berkata.

Seperti orang yang dapat rejeki dan mendadak menjadi pintar sendiri, segera anak muda itu bertekuk lutut di depan orang sambil berseru:

“Mohon Lo-kongkong (kakek) menolong jiwaku!”

Tetapi di luar dugaan, orang aneh itu hanya geleng2 kepala. “Susah ditolong, susah ditolong!” demikian ia menjawab.

Karena menggunakan kepala untuk menahan tubuhnya, maka sekali menggeleng kepala, otomatis tubuhnya ikut menggeleng juga hingga bergoncang.

“Kepandaianmu begini tinggi, kau pasti bisa menolongku,” kata anak muda itu pula.

Rupanya kata-kata pujian ini membikin orang aneh itu menjadi senang sekali. Karena itu ia pun tersenyum.

“Dari mana kau tahu kepandaianku tinggi?” ia tanya.

Mendengar lagu suara orang sudah berubah menjadi halus dan tampaknya pujiannya membawa hasil segera anak muda itu mengikuti arah angin, lekas ia tambahi pula pujian-pujiannya.



“Ya, kenapa tidak tahu! Dengan jungkir-balik begini saja bisa berlari secepat ini, di kolong langit terang tiada orang kedua lagi yang bisa melebihi kau.”

Kata pujian terakhir ini sesungguhnya terlalu berlebihan dan diucapkan semaunya saja, siapa sangka kata-kata “di kolong langit ini tiada orang kedua lagi yang melebihi kau” dengan tepat justru kena betul di lubuk hati orang aneh itu. Maka terdengarlah suara ketawanya yang ter-bahak-bahak.

“Baliki tubuhmu, biar aku pandang kau,” demikian ia berteriak kemudian.

Anak muda itu berpikir: “Betul juga, aku berdiri tegak dan orang ini berjungkir-balik, memang benar tidak bisa terang melihatnya, dia tidak mau berdiri cara biasa, tiada jalan lain kecuali aku yang harus ikut menjungkir.”

Tanpa berkata lagi dia lantas menjungkir tubuhnya, dia sanggah tubuhnya dengan kepala, tangan kanannya yang masih punya daya-rasa dia gunakan pula buat menahan. Sementara setelah orang aneh itu mengamat-amati dia beberapa lama, wajahnya tampak mengunjuk ragu dan sedang pikir-pikir.

Kini setelah anak muda itu ikut menjungkir, maka pun bisa melihat jelas muka orang, ia melihat orang aneh ini berhidung besar, matanya mendelong dalam, mukanya penuh bulu, berbeda sekali dengan manusia biasa, ia dengar pula orang itu kemat-kemit bergumam sendiri, ia tidak paham bahasa aneh apa yang diucapkan itu karena sukar didengar.

“Kongkong yang baik, tolonglah diriku,” demikian ia memohon pula.

Di pihak lain, demi melihat anak muda ini bermuka cakap, cara bicaranya pun membawa semacam daya tarik yang sukar ditolak orang, hati orang aneh itu menjadi girang.

“Baik, tidak susah buat tolong kau, tetapi kau harus terima suatu permintaanku,” sahutnya kemudian.

“Apa yang kau katakan pasti akan kuturut,” kata si anak muda, “Permintaan apakah yang harus kupenuhi, katakanlah, Kongkong!”

“Ha-ha, justru aku ingin kau terima permintaanku itu,” sahut orang aneh itu sambil tertawa lebar. “kau harus menurut segala apa yang kukatakan.”

Mendengar syarat ini, mau tidak mau anak muda ini berpikir, ia menjadi ragu-ragu. “Harus menurut semua apa yang dikatakannya? Kalau dia suruh aku menjadi anjing dan makan kotoran, apa harus aku turuti juga?”

Dalam pada itu, melihat anak ini ragu2, orang aneh itu menjadi gusar. “Baiklah, biar kau mati saja!” teriaknya segera.

Setelah itu sekali lehernya mengkeret dan menonjol lagi, tiba-tiba tubuhnya telah mencelat pergi sejauh beberapa kaki. Karena kuatir ditinggal pergi orang, dan untuk mengubernya dan mohon pertolongan tidak mungkin ia menirukan cara jalan dengan berjungkir, maka dengan cepat anak muda itu berjumpalitan dan berdiri kembali, segera pula ia angkat kaki memburu.

“Kongkong! Kongkong...!” ia ber-teriak2, “baiklah, aku berjanji apa saja yang kau katakan, pasti akan kuturuti semua.”

Mendengar syaratnya diterima, mendadak orang aneh itu berhenti dan putar balik, “Baik, tetapi kau harus bersumpah dahulu,” katanya.

Tatkala itu si anak muda merasa kaku dan pegal di tangannya telah naik sampai di pundak. Ia insyaf apa bila rasa kaku itu sampai merembes hingga di dada, maka jiwanya pasti akan melayang. Karena itu terpaksa ia menurut dan bersumpah.

“Baiklah, aku bersumpah, apa bila Kongkong menolong jiwaku dan membersihkan semua racun di tubuhku, pasti aku akan menurut semua kata-katamu. Jika aku membantah, biarlah racun jahat itu balik kembali pada tubuhku.”

Pembawaan anak muda ini memang licin, maka sewaktu ia mengucapkan sumpahnya, di dalam hati ia berpikir: “Asal selanjutnya aku tidak pernah menyentuh jarum perak itu lagi, cara bagaimana racun itu bisa balik kembali di tubuhku? Entah orang aneh ini mau terima tidak sumpahku ini?”

Ketika ia lirik orang, ternyata muka orang aneh itu mengunjuk rasa senang, suatu tanda merasa puas atas sumpahnya tadi. Kemudian tampak ia manggut-manggut, habis ini mendadak ia berjumpalitan bangun, lengan anak muda itu dia pegang dan dengan kuat ia pijat-pijat dan di-urut-urut beberapa kali.

“Bagus, bagus, kau adalah anak baik,” demikian ia berkata.

Karena dipijat dan diurut itu, segera si anak muda merasa lengannya menjadi berkurang rasa pegal kakunya.

“Kongkong, pijatlah beberapa kali lagi!” pintanya pula.

Tiba-tiba orang aneh itu mengkerut kening demi mendengar panggilannya ini. “Jangan kau panggil aku Kongkong (kakek), tetapi harus panggil ayah!” demikian ia membetulkan.

“Tidak, ayahku sudah mati, aku tak punya ayah,” sahut si anak muda.

Jawaban ini membikin orang aneh itu menjadi marah: “Kurang ajar, baru pertama kali aku berkata kau sudah membantah, guna apa lagi punya anak semacam kau ini?!” bentaknya segera.

“O, kiranya dia hendak terima aku sebagai anak,” pikir anak muda itu.

Oleh karena sejak kecil ia tidak punya bapak, maka ia amat iri apa bila melihat anak lain mendapat kasih sayang ayah. Dia menjadi pingin mempunyai ayah pula, namun melihat kelakuan orang aneh yang berlainan dengan orang biasa ini dan seperti orang gila, maka kini berbalik ia tidak sudi mengaku ayah padanya.

“Kau tak mau panggil aku sebagai ayah?!” bentak orang aneh itu lagi. “Baiklah! Hm, orang lain hendak panggil ayah padaku, belum tentu aku mau terima.”

Tetapi anak muda itu masih tetap tidak mau memanggil, bahkan kini mulutnya menjengkit tanda mencemoohkan, ia pun tidak gubris kata-lata orang lagi, hanya di dalam hati ia sedang berpikir cara bagaimana supaya dapat mengakali orang agar mau menyembuhkan racun di badannya.

Sementara itu terdengar orang aneh itu komat-kamit entah apa yang dikatakan, berbareng bertindak pergi pula dengan cepat. Keruan si anak muda menjadi gugup.

“Ayah, ayah!” terpaksa ia berseru memanggil. “Hendak kemana, ayah?”

Mendengar panggilan ini, orang aneh itu lalu tertawa senang: “Ha-ha-ha, anakku sayang, marilah kuajarkan kau cara melenyapkan hawa racun di dalam tubuhmu.”

Dengan cepat anak muda itu mendekati.

“Racun yang kena dirimu itu adalah racun jarum Peng-pek-gin-ciam milik Li Bok-chiu. Di jagat ini hanya dua orang saja yang mampu menyembuhkannya,” demikian kata si orang aneh pula, “”Yang pertama ialah seorang Hwesio tua, tetapi untuk menolong kau ia harus mengorbankan jerih-payah latihannya selama beberapa tahun. Dan yang seorang lainnya ialah ayahmu ini.”

Lalu ia ajarkan kunci ilmu penyembuhannya secara lisan. Anak muda itu disuruh menurut ajarannya untuk mengatur napas. Cara ini adalah cara bernapas yang terbalik dan harus dilakukan dengan tubuh terbalik pula, yakni dengan berjungkir kepala di bawah dan kaki di atas, supaya hawa dan darah berjalan bertentangan arah, dengan demikian hawa racun itu lantas terdesak kembali dan keluar dari tempat masuk semula.

Tetapi karena baru belajar dan mulai berlatih, setiap hari hanya sedikit saja racun itu bisa didesak keluar, sedikitnya harus lebih sebulan baru semua hawa berbisa itu bisa dikuras. Setelah orang aneh itu ajarkan cara-cara melakukannya, si anak muda ternyata sangat pintar, sekali tunjuk saja ia sudah paham, begitu dengar sudah teringat baik-baik. Oleh karena itu ia lantas kerjakan menurut cara yang diajarkan itu. Betul juga, rasa kaku dan pegal tadi lambat laun mulai berkurang. Ia atur jalan napasnya sejenak pula, akhirnya dari ujung jari kedua tangannya mengucurkan beberapa tetes air hitam.

“Nah, cukuplah sudah, hari ini tidak perlu berlatih lagi, biarlah besok kuajarkan cara baru padamu,“ ujar orang aneh itu dengan girang demi nampak menetesnya air hitam. “Marilah, sekarang kita pergi!”

“Pergi ke mana?” tanya anak itu dengan bingung.

“Kau adalah anakku, kemana saja sang ayah pergi, dengan sendirinya kau ikut ke sana,” sahut si orang aneh.

Sebelum anak itu menjawab, pada saat itu pula mendadak terdengar beberapa kali suara mencicitnya burung, menyusul sepasang burung rajawali yang melayang lewat di angkasa dan disusul pula dengan suara seruan orang yang nyaring-keras, yang sayup-sayup berkumandang dari jauh. Seketika air muka orang aneh itu berubah demi mendadak mendengar suara tadi.

“Tidak, aku tidak mau bertemu dengan dia, tidak mau bertemu dia!” sekonyong-konyong ia berteriak, berbareng itu ia pun melangkah pergi dengan cepat.

Langkahnya demikian cepat sehingga dalam beberapa tindak saja orang aneh itu sudah menghilang di balik lereng gunung sana.

Keruan si anak muda tadi yang kelabakan. “Ayah, ayah!” ia ber-teriak-teriak sambil menguber.

Tetapi baru saja ia melewati satu pohon Yang-liu besar, tiba-tiba ia mendengar sambaran angin dari belakang, begitu keras angin itu hingga kulit kepalanya terasa sakit, menyusul pandangannya menjadi gelap seakan-akan tertutup selapis awan tebal. Kiranya kedua burung rajawali tadi telah melayang dari belakang dan turun di depannya. Pada saat yang sama dari belakang pohon muncul seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedua rajawali itu segera hinggap di pundak kedua orang itu sambil bercuat-cuit seperti sedang melaporkan sesuatu.

Laki-laki itu bermata besar dan beralis tebal, dadanya lebar dan punggungnya tegak, usianya antara 34-35 tahun, di atas bibirnya terpelihara kumis tebal dan wajahnya sedikit pun tidak menunjukkan perasaannya. Sedang yang wanita usianya 30 tahunan. Meski pun sudah setengah umur, tapi di antara alis matanya masih jelas kelihatan sifat aleman yang menarik dan nampak seperti masih polos. Dengan tangannya ia tengah mengelus sayap burung rajawali dengan rasa sayang.

“Menurut pendapatmu, anak ini mirip siapa?” tiba-tiba saja wanita itu berkata kepada lelaki di sampingnya sesudah mengamat-amati si anak beberapa kali.

Akan tetapi lelaki itu ternyata tidak menjawab, sebaliknya ia malah berkata ke jurusan lain;

“Mengapa Tiau-ji (si rajawali) bisa berada di sini? Jangan-jangan di atas pulau telah terjadi sesuatu?”

Kiranya kedua orang ini ialah Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri. Mereka telah keluar pulau buat mencari Oey Yok-su, tetapi meski pun mereka sudah jelajahi antero kota-kota di daerah Kanglam, belum juga mereka ketemukan jejak ayah dan ayah mertua mereka itu.

Oey Yong kenal watak ayahnya yang suka pada keindahan alam daerah Kanglam. Bila mana orang tua ini sampai mencari tempat tirakat lain, maka bisa dipastikan tidak akan melintasi utara sungai Tiangkang dan tentu pula tidak lebih selatan dari Sian-he-nia. Kebetulan hari itu mereka berdua sampai di kota kecil Ling-oh dari kabupaten Oh-ciu-hu. Di sini tiba-tiba mereka melihat ada mengepulnya asap dan berkobarnya api yang meninggi ke langit. Mereka dengar pula orang kampung pada berteriak.

“He, Liok-keh-ceng kebakaran!”

Mendengar nama pedesaan yang disebut itu, hati Kwe Ceng jadi tertarik, ia ingat bahwa di daerah Ling-oh ini terdapat seorang Liok Tian-goan, Liok-lo-enghiong. Meski selama ini belum pernah bertemu, tetapi sudah lama ia kagumi nama orang yang tersohor. Ketika ia menanyakan, betul juga apa yang dikatakan orang udik tadi adalah rumah kediaman Liok Tian-goan.



BELAJAR HA-MO-KANG

Mereka berdua buru-buru menuju ke tempat kebakaran. Setibanya di sana, perumahan yang terbakar itu sudah menjadi puing, hanya di antara sisa gundukan api terdapat beberapa mayat yang sudah hangus dengan bau yang sangit busuk.

“Engkoh Ceng, kukira dalam kejadian ini terdapat sesuatu yang aneh,” demikian kata Oey Yong pada sang suami.

“Kenapa?” tanya Kwe Ceng.

“Ya, ingat saja Liok Tian-goan adalah seorang Enghiong yang namanya gilang-gemilang. kabarnya sang isteri Ho Wan-kun juga seorang pendekar wanita pada jaman ini, apa bila hanya kebakaran biasa saja, mustahil tiada seorang pun di antara keluarganya yang bisa menyelamatkan diri. Aku menduga tentu musuhnya yang tangguh telah datang menuntut balas padanya!” demikian pendapat Oey Yong.

Kwe Ceng pikir betul juga pendapat isterinya ini. Ia adalah golongan manusia yang berbudi luhur dan suka menolong, meski sekarang usianya sudah menanjak, pengalamannya pun banyak bertambah, tetapi hatinya yang bajik dan mulia itu sedikit pun tidak berkurang dari pada waktu mudanya. Oleh karenanya segera ia menyatakan akur.

“Betul pendapatmu itu. Marilah kita periksa, coba lihat siapakah musuhnya, kenapa turun tangan secara begini keji?”

Mereka berdua kemudian mengitari perkampungan yang terbakar itu, namun sedikit pun tiada tanda-tanda mencurigakan yang mereka dapat. Tetapi mata Oey Yong yang jeli tiba-tiba tertarik pada sesuatu, lalu sekonyong-konyong ia berteriak sambil menuding pada dinding rumah yang tinggal separuh itu.

“Lihat, apakah itu?” serunya.

Kwe Ceng memandang ke arah yang ditunjuk dan tampaklah di atas dinding itu terdapat bekas lima cap tangan. Karena baru saja tergarang asap, maka cap tangan itu kelihatan bertambah seram.

Seperti diketahui, cap tangan yang berada di dinding itu semuanya ada sembilan buah, namun karena dinding temboknya sudah ambruk separoh, maka yang masih ketinggalan hanya lima buah.

Kwe Ceng kaget ketika mengenali tanda telapak tangan itu. “Jik-lian Sian-cu!” tanpa terasa ia menyebut nama orang.

“Ya, benar dia,” sahut Oey Yong, “Sudah lama kita mendengar bahwa Jik-lian Sian-cu Li Bok-Chiu dari Hunlam memiliki ilmu silat yang maha hebat, caranya pun sangat keji tiada taranya dan tidak kalah dengan Se-tok Auyang Hong dahulu. Kalau dia berani menginjak Kanglam sini, kita boleh coba ukur tenaga padanya.”

“Ya, tetapi iblis ini sangat ulet dan tidak gampang dilawan,” sahut Kwe Ceng memanggut. “Paling baik kalau kita bisa ketemukan Gakhu (mertua).”

“He, semakin berumur, nyalimu jadi semakin kecil!” goda Oey Yong dengan tertawa.

“Memang,” sahut Kwe Ceng. ”Kalau ingat dahulu, betapa tanpa mengenal tingginya langit dan tebalnya bumi kita berani naik ke Hoa-san untuk berebut gelar jago silat nomor satu di kolong langit, jika seperti aku sekarang ini, sekali pun aku digotong kesana dengan joli delapan orang, pasti aku tidak berani pergi.”

“Huuh! Harus digotong pakai joli segala?” goda sang isteri.

Begitulah, sambil besenda-gurau tapi mereka diam-diam berlaku waspada, mereka terus memeriksa, akhirnya di pinggir sebuah kolam mereka melihat dua buah jarum Peng-pek-gin-ciam yang beracun. Ujung sebuah jarum di antaranya terendam air, oleh karena itu beberapa ratus ikan piaraan yang berada di dalam kolam itu semua mati dengan perut terbalik ke atas, suatu tanda betapa jahat racun yang terdapat pada jarum itu.

Oey Yong meleletkan lidahnya. Dari buntalannya ia lantas keluarkan sepotong baju, ia lempit beberapa kali, dengan dialingi kain baju ini ia jemput jarum perak itu, ia bungkus baik-baik dan dimasukkan ke dalam kantong rangselnya.

Habis ini mereka berdua tak bicara lagi melainkan mempercepat memeriksa dan mencari jejak. Akhirnya di belakang pohon Liu tadi mereka dapatkan sepasang burung rajawali dan ketemu pula si anak tanggung itu. Dari rajawali yang menclok di atas pundak mereka, tiba2 Oey Yong mencium bau yang aneh, sesudah berapa kali ia sedot, segera dadanya menjadi sesak dan rasanya menjadi mual.

Kwe Ceng pun mencium bau busuk itu, bau yang seperti datang dari tempat yang sangat dekat dengan hidungnya. Waktu ia men-cari-cari dari mana datangnya bau busuk itu, tiba-tiba ia melihat kaki kedua burungnya terdapat luka lecet dan ketika ia dekatkan hidungnya, betul saja bau busuk itu datangnya dari luka ini.

Suami-isteri ini terkejut, lekas mereka periksa luka burung-burung itu dengan teliti. Meski luka itu sebenarnya hanya lecet kulit saja, tetapi sudah menimbulkan bengkak, pula sebagian kulit daging kakinya sudah mulai busuk.

“Luka apakah ini, mengapa begini lihay?” demikian Kwe Ceng berpikir sambil menunduk Tiba-tiba pula ia lihat tangan kiri si anak muda tadi telah berubah menjadi hitam semua, keruan ia kaget pula.

“Kau pun terkena racun ini?” serunya kuatir.

Dengan cepat Oey Yong mendekati anak muda itu. Dia angkat tangannya dan diperiksa, habis ini cepat ia gulung lengan bajunya, ia keluarkan sebuah pisau kecil. Dengan senjata ini ia sayat tangan orang sebelah bawah, lantas dengan kuat ia pencet agar darah yang berbisa mengalir keluar.

Akan tetapi ia menjadi heran sekali ketika melihat darah yang menetes keluar dari tangan anak muda itu ternyata berwarna merah segar, padahal telapak tangannya je!as-jelas sudah berubah hitam seluruhnya, tapi kenapa darah yang mengucur keluar tidak beracun? Nyata dia tidak tahu bahwa sesudah si anak muda mendapatkan ilmu ajaib ajaran orang aneh yang suka menjungkir itu, sekarang darah berbisa dalam tubuhnya sudah didesak ke ujung jari dan untuk sementara tidak akan menjalar. Sesudah ragu2 sejenak, kemudian Oey Yong keluarkan sebutir pil ‘Kiu-hoa-giok-lo-wan’, obat pil yang terbuat dari sari sembilan macam bunga-bunga-an.

“Kunyah dan telan ini,” katanya sambil memberikan pil itu pada si anak

Anak muda itu tidak menolak, ia terima pemberian pil itu terus masukkan ke dalam mulut, rasanya manis dan harum. Lalu Oey Yong keluarkan pula empat pil dan dibagikan kepada kedua burung rajawalinya yang terluka itu.

Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba Kwe Ceng bersiul panjang. Suara siulan ini berkumandang jauh sekali, begitu keras suaranya hingga menggema lembah pegunungan sampai dahan pohon Liu yang menjulur ikut tergoncang. Belum lenyap suara siulan pertama, menyusul Kwe Ceng menggembor dengan suaranya yang amat keras, begitu hebat suara teriakan itu susul menyusul hingga membikin seluruh lembah gunung penuh dengan suara sahut-menyahut yang menggelegar.

Karena teriakan ini sama sekali di luar dugaan, si anak muda tadi dibikin kaget sehingga tanpa tertahan air mukanya berubah hebat karena belum pernah mendengar suara yang luar biasa ini.

Sebaliknya Oey Yong mengerti maksud dan tujuan sang suami. Ia tahu dengan suara itu suaminya bermaksud menantang tanding kepada Li Bok-chiu. Ketika pekikan ketiga sang suami dilontarkan, segera pula ia kumpulkan tenaga dan menyusul dengan teriakannya.

Bila suara pekikan Kwe Ceng agak rendah tetapi kuat, maka suara Oey Yong sebaliknya tinggi tetapi nyaring sekali. Perpaduan suara yang hebat ini makin lama semakin jauh dan semakin keras, saling susul menyusul tiada putusnya, seakan-akan satu sama lain tidak ingin ketinggalan.

Kiranya Kwe Ceng dan Oey Yong telah berlatih diri di Tho-hoa-to dengan giat, kini tenaga dalam mereka telah sampai di puncak kesempurnaan, dengan suara pekikan yang berkumandang jauh ini, orang yang berada dalam jarak belasan li sama terkejut dan ter-heran-heran tidak mengerti suara aneh ini datang dari mana.

Sementara itu suara pekikan hebat ini telah didengar oleh beberapa orang tertentu. Demi mendengarnya, orang aneh yang suka berjungkir balik itu telah ‘tancap gas’ mempercepat larinya.

Sebaliknya orang aneh berjubah hijau yang memondong Thia Eng segera tertawa waktu mendengar suara itu

“Ha-ha ha ha….., mereka datang juga, aku harus menyingkir jauh supaya tidak banyak rewel.”

Dalam pada itu Li Bok-chiu sambil mengempit Liok Bu-siang sedang lari dengan cepatnya. Ketika mendadak mendengar suara siulan pertama, sekonyong-konyong dia berhenti, dia ayun kebutnya dan memutar tubuh.

“Hm, nama Kwe-tayhiap telah menggoncangkan Bu-lim, aku justru ingin membuktikannya apakah namanya bukan bikinan belaka,” demikian katanya dengan ketawa dingin.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar