Senin, 10 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 007

Begitu mendapat kebebasan burung merah itu segera pentang sayap hendak terbang, tapi baru saja sayapnya terbentang, Li Bok-chiu kerahkan lwekang melalui telapak tangannya, sehingga burung merah itu seakan-akan melengket pada tangannya. Meski pun beberapa kali burung kecil itu menggelepar-geleparkan sayapnya, tetap tidak mampu terbang lolos dari telapak tangannya.

Maklumlah, Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah mencapai puncaknya, maka tenaga yang dikerahkan pada telapak tangannya bisa digunakan sesuka hati. Dalam sekejap saja ia bisa mengubah kekuatan pukulan telapak tangan beberapa kali, sekali serang pukulan itu dapat menimbulkan gelombang kekuatan yang menderu hebat, tenaga dipusatkan di tengah-tengah telapak tangan, sementara jarinya bisa mengendon sehingga orang yang terkena pukulannya tidak mampu mengerahkan tenaga untuk melawan.

Bagi jago yang berilmu silat tinggi, apa bila badannya terkena pukulan, secara reflek akan mengerahkan tenaga melawan, baik menangkis mau pun mematahkan. Akan tetapi ilmu pukulan Li Bok-chiu ini lain dari pada yang lain, sekali pukul di dalamnya terkandung bermacam kekuatan yang dahsyat, oleh karena itu ia amat tenar dan ditakuti karena ilmu pukulan Jik-lian-sin-ciang ini. Siapa yang tidak akan kuncup nyalinya bila mendengar atau melihat ilmu pukulan ini. Begitulah burung merah tadi masih terus kerupukan di tengah telapak tangan Li Bok-chiu dan tidak mampu terbang meloloskan diri.

Bu Sam-nio dan lainnya juga terkurung oleh barisan ular yang banyak itu, mereka pun kaget dan terheran pula. Melihat burung merah itu tidak mampu lepas dari telapak tangan orang, mereka pun kuatir akan keselamatannya, akan tetapi karena takut digigit ular-ular berbisa, setapak pun mereka tidak berani bergerak.

Melihat suaminya terkapar di tanah tanpa bergerak, entah mati atau masih hidup, betapa pun mereka sudah menjadi suami isteri sekian puluh tahun lamanya, Bu Sam-nio merasa amat prihatin akan keadaan suaminya, segera ia berseru memanggil:

“Samko, bagaimana kau?”

Bu Sam-thorig mengerang, punggungnya terangkat beberapa kali, tapi tetap tidak mampu menegakkan badan.

Kwe Hu tampak celingukan kian kemari. Ketika tidak melihat bayangan kedua burungnya, segera ia berteriak:

“Tiau-ji, Tiau-ji, lekas kembali!”

Setelah menunggu cukup lama dan tidak melihat apa-apa, maka Li Bok-chiu sudah bertekad: “Seumpama Kwe Ceng suami isteri dan Auwyang Hong berada di sekitar sini, tapi kalau aku segera turun tangan, masakah mereka sempat berbuat apa-apa terhadapku?” Maka dengan tersenyum kecil dia melangkah ke depan.

“Eh, jangan bergerak!” teriak anak muda tadi. “Awas digigit ular!”

Tetapi dilihatnya di mana kaki Li Bok-chiu beranjak ke depan, entah kenapa kawanan ular itu menyurut mundur seperti amat takut kepadanya, saling desak dan menyingkir ke pinggir. Tiba2 Li Bok-chiu melompat lewat di samping si pemuda terus menerjang ke dalam gua.

Bu Sam-nio ayun pedangnya seraya membentak: “Keluar!”

Tangan kiri Li Bok-chiu masih memegang burung kecil dan tangan kanan menyongsong tajamnya pedang terus menepuk.

Keruan Bu Sam-nio heran, “Memangnya tanganmu terbuat dari baja?”

Tapi siapa tahu jari-jari orang ternyata bergerak selincah ular hidup, tahu-tahu sudah mencomot batang pedang terus digentak ke depan, ujung pedang malah membalik memotong ke jidat Bu Sam-nio sendiri. Perubahan ini terjadi dalam waktu yang amat cepat.

“Sret!” belum sempat ia berkelit pedangnya sendiri sudah membacok jidatnya.

“Maaf!” ujar Li Bok-chiu sambil tertawa.

Burung di tangan kirinya segera dilepaskan, kedua tangannya segera menjinjing Thia Eng dan Liok Bu-siang, begitu kakinya sedikit menutul, tubuhnya mencelat keluar gua. Dalam kesibukannya itu ia sempat pula menendang tongkat besi Kwa Tin-ok yang datang menyerampang dan menimpuk sebatang Ping-pok-ciam ke kuncir Kwe Hu.



Mendengar jeritan kedua anak dara Thia dan Liok, tahu bahwa keadaan sangat gawat, si pemuda segera bangun dan menubruk maju memeluk Li Bok-chiu sambil teriak:

“Hai, hai, lekas lepaskan!”

Tangan Li Bok-chiu yang masing-masing menjinjing satu orang, lagi pula ia tidak menduga si pemuda bakal memeluk pinggangnya, maka tahu-tahu ia merasa bawah ketiaknya sudah dijepit sepasang tangan kecil. Seketika hatinya terkesiap, entah mengapa seketika seluruh badannya menjadi lemas lunglai. Supaya Thia dan Liok kedua anak perempuan itu tidak tergigit ular, ia kerahkan tenaga di telapak tangan terus melemparkan mereka beberapa tombak jauhnya, lalu dengan cepat sekali tangannya membalik mencengkeram punggung si pemuda.

Memang usia Li Bok-chiu sudah mencapai lima puluhan tahun, namun dia masih seorang perawan suci. Semasa mudanya bergaul dan main asmara dengan Liok Tian-goan, namun keduanya memegang teguh adat istiadat, maka selama hidupnya belum pernah dia bersentuhan tubuh dengan laki-laki mana pun. Banyak laki2 dari kalangan Kangouw yang terpikat akan kecantikannya, tapi sekali orang menampakkan nafsu jahat atau tingkah laku yang tak sopan, maka jiwa orang itu pasti melayang di bawah Jik-lian-sin-ciangnya.

Walau pemuda ini baru berusia belasan, betapa pun badannya sudah mengeluarkan bau kelelakian yang merangsang dan memabukkan. Se-konyong2 Li Bok-chiu menghadapi keadaan ini, maka seketika ia terkesima dan luluh hatinya. Begitu mencengkeram punggung si pemuda sebetulnya ia sudah kerahkan tenaga hendak menghancurkan isi perut orang untuk mencabut nyawanya, siapa tahu tenaganya ternyata tak kuasa dikerahkan. Selama hidupnya hal semacam ini belum pernah dia alami, keruan tak terkatakan rasa kejut dan herannya.

Pada saat itulah burung merah itu tahu2 menubruk mematuk matanya yang sebelah kiri. Sedikit pun Li Bok-chiu tidak menyangka, tahu-tahu sebelah matanya terasa seperti ditusuk sesuatu benda dan sakitnya luar biasa, ternyata biji matanya sudah dipatuk buta oleh burung merah itu. Keruan murkanya tidak kepalang. Dia ayun tangannya secepat kilat, pukulan ini dilandasi kekuatan Iwekang-nya selama hidup ini

“Plok!” Burung kecil itu seketika terpental jatuh dengan leher putus sayap kutung.

Cepat sekali tangan kanan Li Bok-chiu mengangkat si pemuda lalu memaki: “Keparat cilik, kau ingin mampus ya!”

Segera ia putar badan pemuda itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, ia hendak benturkan kepala orang pada batu gunung agar mampus. Meski dalam bahaya, tetapi si pemuda sedikit pun tidak gugup atau takut, malah katanya sambil tertawa:

“Kokoh (bibi), jangan kau puntir kakiku hingga kesakitan!”

Suaranya demikian lembut dan aleman, sorot matanya halus mesra dan membuat orang yang menghadapinya luluh dan kuncup amarahnya, apa pun yang diminta rasanya sulit untuk menolaknya. Sekilas Li Bok-chiu melenggong. Belum lagi hatinya mengambil keputusan, didengarnya pekik sepasang rajawali dari angkasa, kedua rajawali itu sedang terbang mendatangi dari kejauhan, tahu-tahu menukik serta menyerangnya pula.

Mata kirinya sudah buta, rasa marah dan penasaran ini belum sempat terlampiaskan. Segera ia kebutkan lengan baju kirinya, dua batang Ping-pok-ciam memapak kedua rajawali itu.

Senjata rahasianya ini amat ganas dan berbisa. Dua rajawali ini tadi telah merasakan kelihayannya, maka mereka lekas pentang sayap melambung lagi ke atas. Tetapi jarum2 perak itu menyambar dengan kecepatan luar biasa, meski kedua rajawali terbang sangat cepat, luncuran dua batang jarum perak lebih cepat lagi. Saking kaget dan ketakutan kedua rajawali sampai bersuit nyaring, tampaknya jiwa mereka bakal takkan tertolong lagi, kedua rajawali yang gagah perkasa ini bakal melayang oleh jarum berbisa itu.

Mendadak terdengar suara mendering keras, sesuatu benda meluncur amat kencang dari kejauhan memecah angkasa. Sungguh cepat sekali kedatangan benda kecil ini, baru saja kuping mendengar dering luncurannya, dalam sekejap saja telah melayang tiba dan tahu-tahu membentur jatuh kedua batang jarum berbisa itu.

Datangnya senjata rahasia ini sungguh amat mengejutkan. Meski Li Bok-chiu seorang kejam, tak urung ia pun terperanjat. Segera dia melompat ke depan sambil melemparkan si pemuda untuk menjemput benda itu, kiranya hanya sebutir batu kerikil biasa. Pikirnya: “Orang yang menimpukkan batu kerikil ini ilmu silatnya pasti tinggi luar biasa. Kini mataku sudah cidera, biarlah aku menghindarinya saja.”

Serta merta ia bergerak menuruti jalan pikirannya, telapak tangannya segera menepuk punggung Thia Eng, tujuannya hendak membinasakan Thia Eng dan Liok Bu-siang sesuai tanda peringatan sembilan tapak tangan berdarah yang ditinggalkan di dinding rumah Liok Lip-ting.

Akan tetapi pada waktu telapak tangannya hampir menyentuh punggung Thia Eng, sekilas mata kanan yang masih jeli itu tiba-tiba melihat leher anak dara itu terikat selembar sapu tangan bersulam bunga merah indah yang dia kenal adalah buah tangan sendiri yang dulu dia berikan kepada kekasihnya sebagai tanda mata.



DUA TOKOH KOSEN YANG ANEH

Karena ini seketika ia merandek, tenaga gablokannya tadi dengan cepat ia tarik kembali, segala cumbu-rayu dimasa silam sekilas terbayang kembali olehnya. Melihat sapu tangan sulaman ini ia pun lantas tahu maksud kemauan Liok Tian-goan, pikirnya dalam hati:

“Walau pun ia telah menikah dengan perempuan hina she Ho itu, namun di dalam hatinya ternyata ia tidak pernah melupakan diriku, terbukti sapu tangan ini masih dia simpan baik-baik, karena itu ia mohon agar aku mengampuni keturunannya, lantas aku harus mengampuni atau tidak?”

Demikianlah sesaat ia menjadi ragu-ragu sehingga tidak bisa mengambil keputusan. Sejenak kemudian ia putuskan akan bunuh dulu Liok Bu-siang saja. Maka kebutnya segera ia angkat hendak menyabet gadis cilik itu, tetapi di bawah cahaya matahari yang terang, lagi-lagi tertampak olehnya pada leher gadis ini berkalung selembar sapu tangan bersulam yang sama.

“Ehh…!” Li Bok-chiu bersuara heran, pikirnya pula: “Mana mungkin ada dua sapu tangan yang sama? Satu di antaranya pasti palsu.”

Oleh karena itu kebutnya yang menghantam tadi dia ubah menjadi membelit dan dengan tepat leher Liok Bu-siang sudah kena dililit oleh ekor kebut. Anak dara ini terus dia seret ke dekatnya.

Akan tetapi pada saat itu juga suara mendesing tadi kembali menggema dan sebutir batu lagi-lagi menyambar dari belakang mengarah punggungnya. Li Bok-chiu lekas baliki kebutnya untuk menyampok batu yang cepat sekali datangnya ini, tangkisannya sangat jitu, dengan tepat batu itu kena disampok pergi, namun demikian Li Bok-chiu merasakan telapak tangannya sakit pedas.

Batu sekecil itu ternyata membawa tenaga yang begitu kuat, maka betapa hebat ilmu silat penyambit batu itu dapat dibayangkan. Keruan Li Bok-chiu tidak berani tinggal lebih lama lagi, dia sambar Liok Bu-siang terus dikempit, dia keluarkan ginkang atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi, secepat terbang dalam sekejap saja dia sudah menghilang kabur.

Nampak Piaumoay atau adik misannya digondol orang, tentu saja Thia Eng menjadi ribut.

“Piaumoay…! Piaumoay…!” demikian dia berteriak-teriak sambil menyusul dari belakang dengan kencang.

Akan tetapi dengan kecepatan berlari Li Bok-chiu, mana sanggup Thia Eng menyusulnya? Namun sejak kecil gadis ini sudah memiliki kemauan keras, dengan kertak gigi dia masih terus mengudak.

Di daerah Kanglam terdapat banyak sungai. Belum lama Thia Eng mengudak, dia sudah terhalang oleh sebuah sungai kecil hingga tak berdaya buat maju lagi, Tetapi dara ini tidak putus asa, sambil jalan menyusut gili-gili sungai, mulutnya masih memanggil terus. Pada sebuah jembatan kecil di sebelah kiri sana, se-konyong-konyong berkelebat bayangan putih dan tiba-tiba satu orang mendatangi dari seberang. Thia Eng tercengang karena tahu-tahu Li Bok-chiu sudah berdiri di hadapannya, akan tetapi Liok Bu-siang sudah tak kelihatan di bawah kempitannya. Di dalam hati Thia Eng sangat ketakutan, tetapi ia lantas ingat lagi pada Liok Bu-siang, maka dengan tabahkan hati ia tanya:

“Di mana adik-misanku?”

Sekilas Li Bok-chiu melihat raut muka Thia Eng yang sangat mirip dengan mendiang Ho Wan-kun yang menjadi lawan asmaranya, maka rasa bencinya seketika timbul dan panas hatinya membakar, tanpa pikir lagi ia angkat kebutnya, menyabet ke kepala si nona.

Dengan ilmu silatnya yang begitu tinggi saja orang seperti Liok Lip-ting masih tak mampu menangkis tipu serangan Li Bok-chiu yang sangat lihay ini, apa lagi hanya gadis sekecil Thia Eng? Maka agaknya senjata kebut itu dengan segera akan membikin kepala berikut dada anak dara itu hancur lebur.

Di luar dugaan, baru saja Li Bok-chiu mengayunkan kebutnya, mendadak terasa tarikannya menjadi kencang, ujung kebutnya se-akan-akan kena dibetot oleh sesuatu dan tak mampu diayunkan ke depan. Tidak kepalang kejutnya! Ia hendak menoleh buat melihat, tapi tahu-tahu tubuhnya terapung ke atas terus melompat beberapa tombak ke belakang, habis ini baru turun kembali. Sungguh bukan buatan kejut Li Bok-chiu oleh kejadian ini! Lekas ia memutar tubuh, tetapi dia menjadi melongo karena di belakangnya kosong melompong tanpa sesuatu yang dia dapatkan.

Li Bok-chiu sudah biasa menghadapi lawan tangguh, tahu gelagat kurang menguntungkan dirinya. Ia lalu putar kebutnya hingga berwujut satu lingkaran secepat roda angin, dengan demikian dalam jarak lima kaki musuh sukar memperdayainya, setelah ini baru dia berani memutar tubuh lagi. Maka tampaklah olehnya di samping si dara cilik Thia Eng kini sudah berdiri seorang aneh yang berjubah hijau, perawakannya tinggi kurus, air mukanya kaku tanpa mengunjuk sesuatu perasaan, seperti manusia tapi lebih memper mayat pula hingga membikin orang yang melihatnya akan timbul semacam rasa jemu dan muak.

Li Bok-chiu tidak kenal orang aneh ini. Ia pikir ilmu silat orang jauh di atas dirinya, tapi ia justru tak ingat dalam kalangan Bu-lim ada tokoh siapakah yang begini lihay dan bermuka seperti dia ini. Selagi ia hendak menegur, tiba-tiba ia mendengar orang itu sudah buka suara!

“Orang ini terlalu kejam, nak. Hayo, kau pukul dia!” demikian orang itu berkata pada Thia Eng.

Sudah tentu Thia Eng tidak berani menghantam Li Bok-chiu seperti apa yang diajarkan itu.

“Aku tak berani,” ia menjawab dengan mengkeret.

“Kenapa takut? Hantam saja dia,” kata orang itu lagi.

Akan tetapi Thia Eng masih tetap tak berani. Akhirnya orang itu jadi tak sabar, mendadak ia pegang tengkuk Thia Eng terus dilemparkan ke tubuh Li Bok-chiu.

Kini Li Bok-chiu tidak berani lagi menghantam anak dara ini dengan kebutnya. Dia ulurkan tangan kirinya untuk menyambut datangnya tubuh kecil itu, namun baru saja tangannya hampir menyentuh pinggang Thia Eng, se-konyong2 terdengar suara mendesir, sikutnya terasa linu pegal sehingga seketika tangannya tak kuat diangkat.

Keruan dengan tepat kepala Thia Eng lantas menumbuk dadanya, malah berbareng itu pula gadis ini menambahi dengan sekali tamparan keras hingga mengeluarkan suara “plak” pada pipinya.

Seumur hidup Li Bok-chiu belum pernah dihina sedemikian rupa, tentu saja ia sangat marah, secepat kilat kebutnya memutar terus menyabet kepala dara cilik itu. Akan tetapi kembali terdengar sambaran angin, tangkai kebutnya kena dibentur sesuatu benda kecil sehingga hampir terlepas dari cekalannya.

Kiranya orang aneh tadi telah menggunakan pula sebutir batu kecil yang disentilkan dengan jari dan tepat mengenai gagang kebutnya. Sementara itu Thia Eng teringat Li Bok-chiu telah membunuh A Kin dan pelayan wanita di rumahnya, juga nasib paman dan bibinya sampai kini belum diketahui, tiba-tiba rasa takutnya berubah menjadi dendam dan murka, tanpa ayal lagi susul menyusul ia kerjakan kedua tangannya yang kecil dengan cepat, beruntun ia persen pipi Li Bok-chiu dengan empat kali tempelengan.

Percuma Li Bok-chiu selama ini malang-melintang di seluruh jagat, tapi kini telah digenjot anak dara ini sesuka hati tanpa bisa membalas sedikit pun! Li Bok-chiu pandai berpikir juga pintar menyimpan perasaan hatinya. Ia mengerti keadaan tidak menguntungkan dirinya, maka ia pun tidak mau tinggal lebih lama. Tiba-tiba ia tertawa ngikik, lantas putar tubuh hendak kabur. Baru beberapa langkah, sekonyong-konyong dia kebaskan lengan bajunya ke belakang beberapa kali, berbareng itu terlihat sinar perak yang kemilauan, belasan jarum ‘Peng-pek-gin-ciam’ telah menyambar orang aneh berjubah hijau tadi.

Cara Li Bok-chiu melepaskan Am-gi atau senjata gelapnya, tidak memutar tubuh dulu, juga tanpa menoleh, akan tetapi setiap jarumnya dengan tepat mengarah tempat-tempat yang berbahaya pada tubuh orang aneh itu.

Orang itu sama sekali tidak menduga akan serangan ini, ia pun tidak menyangka senjata rahasia Li Bok-chiu bisa begini keji dan lihay, maka terpaksa dia enjot kakinya dan secepat kilat melompat mundur. Datangnya jarum perak luar biasa cepatnya, namun cara melompat mundurnya ternyata lebih cepat lagi, pula sekali lompat dia telah mundur sejauh beberapa tombak. Dengan mengeluarkan suara gemerisik, jarum-jarum perak tadi jatuh semua di depan orang itu.

Li Bok-chiu sendiri sudah mengetahui bahwa serangannya tidak bakal berhasil. Dengan menghamburkan belasan jarum ini tujuannya hanya untuk mendesak orang menyingkir saja. Karena itu, ketika ia dengar suara lompatan orang di belakang, kembali ia kebaskan lengan bajunya lagi, dua jarum perak yang lain menyusul dia arahkan ke ulu hati Thia Eng.

Sudah dipastikan Li Bok-chiu bahwa dua jarumnya ini tak akan meleset dari sasaran, tetapi karena takut orang aneh berjubah hijau itu menubruk maju dan menghajarnya, maka tanpa menoleh lagi buat melihat hasil serangannya itu, segera ia ‘tancap gas’ terus lari pergi dengan cepat, hanya sekejap saja ia sudah menyeberangi jembatan kemudian menghilang di antara hutan yang lebat.

Sementara itu, karena serangan mendadak tadi orang berbaju hijau lantas berseru kaget. Ketika ia maju dan membangunkan Thia Eng, ia lihat dua jarum perak yang rada panjang menancap pada dada anak dara itu. Tanpa terasa air muka orang aneh ini berubah. Setelah ter-mangu-mangu sejenak, segera ia pondong Thia Eng terus lari cepat menuju ke arah barat.


**** 007 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar