Sabtu, 08 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 006

Bu Sam-thong menyusup ke timur dan berputar ke barat, akhirnya dia bawa kedua orang itu memasuki sebuah gua di sebuah lekukan gunung. Begitu masuk ke dalam gua, Bu Sam-nio melihat Tun-ji dan Siu-bun, kedua puteranya selamat tak kurang apa pun, dia merasa lega, Dilihatnya kedua puteranya sedang bermain batu di tanah bersama Liok Bu-siang dan Thia Eng.

Di ujung sana berdiri seorang gadis cilik lain yang berpakaian mewah, Usianya lebih kecil dari Liok dan Thia, namun sikap serta tindak tanduknya kelihatan sombong, dia tidak sudi bermain dengan mereka berempat, Dia bukan lain adalah puteri kesayangan Kwe Ceng dan Oey Yong, Kwe Hu adanya.

Melihat Kwa Tin-ok ikut datang, segera Kwe Hu berteriak: “Kwa-kongkong, kedua burung entah pergi kemana, tidak kelihatan bayangannya, sudah kupanggil berulang kali juga tidak mau kembali!”

Sementara itu Thia Eng dan Liok Bu-siang langsung memeluk badan Liok-toanio dan Liok Lip-ting serta menangis sambil menjerit2. Mendengar jerit tangis dua anak perempuan ini, seketika Kwa Tin-ok teringat akan kata2 Li Bok-chiu, serunya kuatir:

“Wah, sungguh celaka! Kita memancing setan masuk pintu, sebentar lagi iblis laknat itu pasti menyusul kemari!”

“Bagaimana bisa?” tanya Bu Sam-nio bingung.

“Gembong iblis itu hendak mencabut nyawa kedua bocah dari keluarga Liok ini, tetapi dia tidak tahu di mana mereka berada.”

Seketika Bu Sam-nio tersadar, ujarnya: “Ya, benar, dia sengaja tidak melukai kami, tetapi mengintil di belakang kita secara diam2.”

Bu Sam-thong menjadi marah, teriaknya: “Setan keparat itu berani mengganas, biar aku yang menempurnya.”

Batok kepala Liok Lip-ting sudah remuk, namun ada satu hal yang belum dia selesaikan maka dia bertahan sampai sekarang, dengan suara lemah katanya kepada Thia Eng:

“Ah-Eng, ambillah sapu... sapu.... sapu tangan di dalam bajuku.”

Thia Eng menyeka air matanya, lalu merogoh keluar sehelai sapu tangan sutera dari baju sang paman. Sapu tangan ini terbuat dari sutera putih, pada tiap ujungnya tersulam bunga merah. Bentuk dan warna bunga itu sangat aneh lain dari bunga biasanya, kelihatan indah menyolok tetapi menyeramkan pula, selintas pandang membuat berdiri bulu kuduk orang.

Kata Liok Lip-ting: “Ah-Eng, ikatlah sapu tangan ini di lehermu,?”

Thia Eng tidak tahu maksudnya, tetapi pamannya berpesan wanti2, maka ia mengangguk serta mengiakan. Saking kesakitan Liok-toanio sudah jatuh pingsan berulang kali, namun begitu mendengar suara suaminya, segera dia membuka mata, katanya:

“Kenapa tidak kau berikan kepada anak Siang? Berikan kepada Siang-ji!”

“Tidak!” sahut Liok Lip-ting tegas, “Mana boleh aku mengingkari pesan ayah bundanya?”

“Kau... kau sungguh kejam, puterimu sendiri tak kau hiraukan lagi keselamatannya?” mata Liok-toanio memutih, suaranyapun serak dan jatuh semaput lagi.

Liok Bu-siang tidak tahu soal apa yang dipertengkarkan ayah bundanya, sambil menangis ia berteriak:

“lbu...! Ayah...!”

“Niocu!” ujar Liok Lip-ting dengan suara lembut: “Kau amat sayang kepada Siang-ji, maka biarlah dia ikut berangkat bersama kita.”

Sebetulnya sapu tangan sutera putih bersulam bunga merah itu adalah pemberian Li Bok-chiu kepada Liok Tian-goan pada masa mudanya sebagai tanda mengikat janji. Menjelang ajal, Liok Tian-goan tahu dosa-dosa mereka suami isteri bertumpuk dan banyak musuh, anak cucunya kelak pasti akan terlibat banyak urusan, maka dia lalu wariskan sapu tangan itu kepada puteranya.

Dengan wanti-wanti dia berpesan, bila Bu Sam-thong meluruk datang menuntut balas, kalau bisa menghindari adalah baik, kalau tidak bolehlah dilawan sekuat tenaga dan rasanya jiwa tidak akan melayang Cuma-cuma. Tapi kalau Li Bok-chiu yang datang, orang ini amat keji dan ganas, ilmu silatnya juga tinggi, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri ialah mengalungkan sapu tangan sutera putih itu di leher. Kalau ingat akan asmara pada masa mudanya, mungkin si iblis itu tidak tega turun tangan.



BOCAH PENGGEMBALA ULAR

Tapi Liok Lip-ting sendiri tinggi hati, meski menjelang ajal ia tak mau unjuk sapu tangan itu.

Thia Eng ialah puteri saudara perempuan Liok Lip-ting yang dititipkan padanya. Biasanya ia bersikap keras kepada keponakan ini, sering ia memarahinya dan mendidiknya dengan keras. Akan tetapi urusan sudah berlarut sedemikian jauh, malah dia berikan sapu tangan penyelamat itu kepada Thia Eng.

Betapa pun Liok-toanio berjiwa lebih sempit, kasih sayangnya kepada puteri sendiri lebih besar. Melihat sang suami tidak pedulikan keselamatan jiwa puteri sendiri, saking dongkol dan gusar, kontan ia jatuh semaput lagi.

Karena soal sapu tangan bibi dan pamannya sampai bertengkar, maka Thia Eng segera mengangsurkan sapu tangan itu kepada Piaumoay-nya, katanya:

“Bibi bilang untuk kau, nah, terimalah!”

Tapi Liok Lip-ting segera membentak: “Siang-ji, jangan kau terima!”

Bu Sam-nio tahu dalam hal ini pasti ada latar belakang yang dirahasiakan, maka segera ia tampil bicara:

“Bagaimana kalau sapu tangan ini disobek menjadi dua potong? Satu orang separoh, boleh tidak?”



Liok Lip-ting hendak bicara, namun keadaannya sudah payah bukan main, mana bisa dia mengeluarkan suara, terpaksa dia hanya mengangguk saja. Bu Sam-nio segera minta sapu tangan itu. “Bret,” ia sobek menjadi dua dan dibagikan kepada Liok Bu-siang dan Thia Eng.

Bu Sam-thong berdiri di mulut gua. Ia mendengar jerit tangis di dalam, tetapi tidak tahu apa yang terjadi. Segera ia berpaling, entah mengapa dilihatnya separuh muka isterinya berwarna hitam separuh yang lain putih halus seperti salju, keruan ia kaget dan kuatir, katanya sambil menuding muka sang isteri:

“Ke... kenapa begini?”

“Kenapa?” tanya Bu Sam-nio sambil meraba mukanya.

Hatinya mencelos. Terasa kulit mukanya seperti kaku dan mati rasa, seketika dia teringat akan rabaan tangan Li Bok-chiu pada mukanya tadi. Apakah tangan halus dan lembut itu menggunakan racun dalam rabaannya tadi?

Baru saja Bu Sam-thong hendak bertanya pula, mendadak terdengar seseorang tertawa di luar gua, katanya:

“Kedua bocah perempuan itu di sini bukan? Peduli mati atau hidup, lekas lempar keluar!” suaranya nyaring seperti kelintingan.

Bu Sam-thong segera melompat keluar gua, dilihatnya Li Bok-chiu sedang berdiri di luar gua, seketika hatinya tergetar: “Puluhan tahun tidak bertemu, kenapa dia masih sedemikian cantik?”

Tapi dilihatnya kebut di tangan Li Bok-chiu bergoyang gontai, sikapnya adem-ayem saja, pandang matanya tajam, kedua pipinya bersemu merah, bagi orang yang tidak kenal iblis yang suka mengganas ini, pasti mengira dia ini adalah putri hartawan yang sengaja menjadi To-koh (pendeta wanita agama Tao).

Begitu melihat kebut, barulah Bu Sam-thong ingat bahwa dirinya tidak membekal senjata, kalau balik mengambil ia kuatir orang akan menerjang masuk dan melukai Thia Eng atau Liok Bu-siang. Sekilas dilihatnya di pinggir gua tumbuh sebatang pohon, segera ia rangkul dengan kedua tangan serta menghardik keras:

“Naik!” Waktu ia kerahkan tenaga, pohon itu seketika kena dicabut sampai akar-akarnya.

Li Bok-chiu tersenyum genit: “Besar amat tenagamu!”

Bu Sam-thong segera melintangkan batang pohon itu, katanya: “Nona Li, puluhan tahun tidak bertemu, kau baik-baik saja?”

Dahulu ia biasa panggil nona Li, kini meski pun orang sudah menjadi pendeta To, namun ia tidak mengubah panggilannya. Selama dua puluhan tahun terakhir ini Li Bok-chiu tidak pernah mendengar orang memanggil dirinya dengan sebutan “nona Li”, seketika tergerak hatinya dan terbayang olehnya akan kehidupan manis mesra masa mudanya dahulu.

Namun pada kilas lain ia pun berpikir: sebetulnya aku dapat hidup rukun sampai hari tua bersama pujaan hatiku, tapi siapa tahu di dunia ini muncul seorang yang bernama Ho Wan-kun yang membuat aku malu dan kehilangan pamor, sehingga aku hidup menderita sampai hari tua. Segera rasa manis mesra yang menggejolak tadi seketika tersapu bersih, perasaan berubah menjadi benci dan dendam.

Seperti halnya Li Bok-chiu, Bu Sam-thong juga orang yang patah hati dalam gelanggang asmara, maka bolehlah dikatakan mereka mengalami penderitaan dan siksaan batin yang sama.

Sekitar sepuluh tahun yang silam Bu Sam-thong pernah melihat seorang diri Li Bok-chiu membantai puluhan Piausu dari Ho-si Piaukiok secara kejam tanpa berperi-kemanusiaan. Bila dibayangkan sampai sekarang masih terasa seram.

Para Piausu itu sesungguhnya tiada salah dan tiada dosa kepadanya, mereka pun tiada sangkut pautnya dengan Ho Wan-kun, soalnya hanya karena mereka pun she Ho. Di kala kepedihan hati tidak terlampiaskan, dia meluruk ke Ho-si Piau kiok serta membunuh habis semua penghuninya.

Sekarang dilihat pula oleh Bu Sam-thong raut muka perempuan ini sebentar mengunjuk kelembutan hatinya, namun pada lain saat berubah bengis dan menyeringai dingin. Diam2 dia sangat menguatirkan keselamatan kedua anak perempuan Liok dan Thia itu.

Berkata Li Bok-chiu: “Di atas dinding sudah kuberikan tanda sembilan telapak tangan, aku tidak akan berhenti sebelum membinasakan sembilan orang, Nah, Bu-samko, silahkan kau menyingkir!”

“Orang-orang yang kau musuhi sudah mati semua, putera dan bininya pun telah kau lukai, cucu perempuannya yang masih kecil itu, harap kau ampuni saja!” kata Bu Sam-thong.

Li Bok-chiu menggeleng sambil tersenyum, katanya: “Bu-samko, silakan kau minggir.”

Bu Sam-thong pegang batang pohon itu lebih kencang, teriaknya: “Nona Li, kau memang terlalu kejam, Ho Wan-kun….”

Begitu mendengar nama itu seketika berubah air muka Li Bok-chiu, katanya: “Aku sudah bersumpah, barang siapa di hadapanku menyinggung nama orang itu maka kalau bukan aku yang mati pasti dialah yang mampus. Nah, Bu-samko, kau sendiri yang salah, jangan kau menyalahkan aku.” Kebutnya segera mengebas ke atas kepala Bu Sam-thong.

Jangan pandang kebutnya itu kecil pendek, namun kebasannya ini cepat dan keras sekali, rambut kepala Bu Sam-thong yang awut2an itu seketika seperti diterpa angin ribut.

Li Bok-chiu tahu orang adalah murid kesayangan It-teng Taysu, biar pun tindak tanduknya ling-lung tapi ilmu silatnya mempunyai keistimewaan sendiri, maka sekali turun tangan segera ia lancarkan serangan maut yang mematikan. Cepat Bu Sam-thong angkat batang pohon itu dan mendadak terulur maju terus menyapu dengan keras.

Melihat sapuan keras dan lihay ini, badan Li Bok-chiu berkelebat melayang mengikuti deru angin. Sebelum daya kekuatan sapuan pohon itu melanda tiba, dia sudah melompat ke depan terus menyerang ke muka lawan.

Hebat memang kepandaian Bu Sam-thong, tidaklah sia-sia Toan-hongya menggemblengnya selama puluhan tahun. Melihat orang merangsak maju, tangan kanan segera terangkat, jari tengahnya terjulur menotok jidat orang. It-yang-ci yang dia lancarkan ini tidak bisa dibandingkan dengan permainan isterinya tadi. Kelihatan gerak tangannya tidak begitu cepat dan hebat, namun serba rumit dijajagi atau diraba perubahannya, aneh dan ajaib.

Tapi badan Li Bok-chiu mendadak mencelat mundur beberapa tombak jauhnya. Melihat orang bergerak segesit kera selincah kupu-kupu menyelusuri kembang, datang pergi seenteng asap, dalam sekejap saja merangsak maju dan mundur beberapa kali, mau tak mau Bu Sam-thong sangat kagum dan tergetar.

Segera ia kerahkan tenaga dan mengabitkan dahan pohon itu dengan hebatnya, serentak ia desak lawan mundur hingga puluhan tombak jauhnya. Tapi sedikit ada peluang, Li Bok-chiu segera menyelinap maju secepat kilat, untung It-yang-ci amat lihay, kalau tidak tentu sejak tadi dia sudah terkapar roboh.

Meski demikian, betapa pun juga bobot dahan pohon itu terlalu berat, diputar sedemikian kencangnya maka lama-kelamaan dia pun merasa letih dan kehabisan tenaga, sebaliknya Li Bok-chiu bergerak semakin gesit dan mendesak semakin dekat.

Mendadak bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Li Bok-chiu sudah melompat ke pucuk pohon sembari mengayun kebutnya menyerang ke bawah dari tengah udara.


Bu Sam-thong terkejut, lekas ia memutar balik batang pohon terus dihantamkan ke tanah. Sambil tertawa Li Bok-chiu berlari maju melalui dahan pohon, dan segera Bu Sam-thong memapak dengan tutukan jarinya. Namun sekali menggeliat gemulai, badan lawan tahu2 sudah menyurut mundur ke pucuk pohon pula.

Begitulah beruntun selama puluhan jurus, bagaimana pun Bu Sam-thong kerahkan tenaga menggentak pohon atau menyapukannya dengan hebat menghantam batang pohon yang lain untuk menjatuhkan orang, namun Li Bok-chiu seperti lengket dengan dahan pohon di tangannya itu, malah setiap kali kalau gerakan dahan pohon lamban dia lantas menyerang maju dengan serangan ganas.

Lama kelamaan Bu Sam-thong merasa payah juga. Meski badan orang tidak terlalu besar dan berat, paling tidak menambah beban di atas dahan pohon besar itu. Dengan berdiri di pucuk pohon, dahan pohon itu tidak akan mampu mengenai dia, bahkan sebaliknya orang lebih leluasa menyerang dirinya, terang dirinya dalam posisi yang terdesak.

Inysaf akan kedudukan yang berbahaya ini, bila dirinya sedikit lengah, jiwa sendiri tidak menjadi soal, tetapi semua penghuni gua baik tua dan muda bakal menjadi mangsa keganasannya. Segera ia ayunkan batang pohon itu lebih kencang, ia berusaha menjatuhkan orang dari dahan pohon di tangannya. Tepat pada saat itulah tiba-tiba dari belakang didengarnya seruan nyaring yang disusul dua bayangan abu2 menubruk turun dari atas.

Waktu Bu Sam-thong angkat kepala, dilihatnya dua ekor rajawali menukik turun laksana meteor jatuh menyerang ke arah Li Bok-chiu dari kanan kiri. Melihat luncuran dua burung raksasa yang pesat dan dahsyat ini, cepat Li Bok-chiu menjungkir ke bawah dengan kaki kiri tetap menggantol dahan pohon. Karena tak berhasil mengenai musuh, kedua rajawali itu terbang lagi ke udara. Baru saja Bu Sam-thong keheranan, tiba-tiba saja didengarnya suara anak perempuan di belakangnya:

“Tiau-ji, ayo turun gigit perempuan jahat itu!”

Kedua ekor burung rajawali itu amat cerdik dan tahu kata-kata orang. Seekor dari kiri ke kanan dan yang lain dari kanan ke kiri, empat cakar besinya serentak mencengkeram ke bawah pohon.

Li Bok-chiu pernah pula mendengar bahwa Kwe Ceng dan Oey Yong dari Tho-hoa-to memelihara sepasang burung rajawali sakti. Menghadapi serangan kedua burung sakti ini, terhadap rajawali itu sendiri ia tidak takut, namun ia jeri bila Kwe Ceng suami isteri berada tidak jauh dari situ, hal itu tentu akan membawa kesulitan dan menggagalkan urusannya. Dengan gerakan gemulai segera ia berkelit beberapa kali, tiba2 ia ayun kebutnya.

“Plok!” ia berhasil menyabet sayap kiri rajawali jantan, saking kesakitan rajawali itu lantas berpekik dan beberapa tangkai bulunya rontok berhamburan di udara.

Melihat burung rajawalinya cidera, Kwe Hu berteriak kembali: “Tiau-ji, jangan takut, gigit perempuan galak itu.”

Sekilas Li Bok-chiu melirik. Dia melihat anak perempuan itu berkulit halus bagaikan salju, cantik molek dan menawan hati, maka hatinya tergerak: “Semenjak lama kudengar bahwa Kwe-hujin adalah perempuan tercantik nomor satu di antara angkatan muda, memangnya anak perempuan ini adalah puterinya?” Karena menggunakan pikiran ini maka gerak gerik kaki tangannya menjadi sedikit lamban,

Walau pun mendapat bantuan sepasang rajawali namun Bu Sam-thong masih tidak kuasa merobohkan lawannya, keruan hatinya semakin gelisah, Se-konyong2 pohon itu ia lempar ke tengah udara bersama orangnya. Agaknya Li Bok-chiu tidak menduga akan perbuatannya ini, maka tanpa kuasa badannya ikut terlempar beberapa tombak tingginya di udara.

Seperti diketahui, tenaga sakti Bu Sam-thong memang amat mengejutkan. Dahulu waktu Kwe Ceng dan Oey Yong hendak minta bertemu dengan It-teng Taysu, di tepi jurang dia mengangkat sebongkah batu besar yang di atasnya rebah pula seekor sapi jantan yang besar, dan dia kuat bertahan hampir setengah jam lebih.

Kepandaian silat Li Bok-chiu memang tinggi namun karena dilempar sekuat itu, dia tidak kuasa menyingkirkan diri lagi. Melihat dia melambung ke udara, kedua rajawali itu segera menukik turun pula seraya mematuk. Kalau di atas tanah datar kedua rajawali ini tidak dapat mengapakan dirinya, sekarang Li Bok-chiu terapung di tengah udara dan tiada tempat untuk pengerahan tenaga, mana kuat melawan terjangan kedua rajawali yang hebat ini!

Dalam gugupnya kebut terayun untuk melindungi mukanya, berbareng dengan itu lengan bajunya mengebas, sekaligus ia timpuk tiga batang jarum Peng-pok-gin-ciam. Dua batang menerjang kedua rajawali dan sebatang ke arah dada Bu Sam-thong. Tiga batang senjata rahasia ia timpukan sekaligus ke tiga arah sasaran yang berlainan dengan tepat, sungguh lihay sekali.

Kedua rajawali itu rupanya tahu kelihaian jarum musuh, cepat pentang sayap melambung tinggi lagi ke udara, tapi jarum perak itu menyamber teramat cepat.

“Sret! Sret!” jarum menyerempet lewat sela-sela cakar kaki dan mengelupas sedikit sisik kulitnya.

Ketika Bu Sam-thong tiba2 melihat sinar perak berkelebat, lekas dia jatuhkan diri, namun jarum perak itu masih juga mengenai paha kirinya. Sebat sekali dia hendak berdiri lagi, siapa tahu kaki kirinya itu ternyata tidak mau menurut perintah lagi, lututnya tertekuk dan berlutut dengan tangan menyanggah tanah.

Dia segera kerahkan tenaga murni, tetapi baru saja hendak merangkak bangun, rasa kaku dengan cepat telah menjalar. Sekejap saja kedua kakinya sudah mati rasa, kontan ia jatuh tengkurap, kedua tangan masih bertahan dan meronta hendak berdiri, akan tetapi akhirnya ia rebah tak bergerak lagi.

Karena pahanya tersambit jarum berbisa, Bu Sam-thong rebah tengkurap tidak sanggup bangun lagi, sementara Li Bok-chiu sedang sibuk dikerubuti dua ekor rajawali dan seekor burung merah kecil berparuh panjang.

“Tiau-ji, Tiau-ji!” teriak Kwe Hu keras, “Lekas kemari!”

Namun kedua ekor rajawali itu ternyata terbang entah kemana dan tidak mau mendengar teriakannya lagi

“Adik cilik”, tegur Li Bok-chiu tersenyum, “apa kau she Kwe?”

Melihat orang bicara manis budi, Kwe Hu pun tertawa, sahutnya: “Ya, aku she Kwe. Kau she apa?”

“Mari sini, kuajak kau bermain,” perlahan Li Bok-chiu menghampiri hendak menggandeng tangannya.

Dengan mengetuk tongkatnya Kwa Tin-ok sudah cepat menerjang keluar dari gua lantas menghadang di depan Kwe Hu, teriaknya:

“Hu-ji, lekas masuk!”

“Memangnya kau takut kalau aku bakal menelannya bulat-bulat?” ujar Li Bok-chiu tertawa cekikikan. Kaki kirinya sedikit mencungkit tongkat besi berbareng tangan kiri meraih menangkap ujung tongkat.

Kwa Tin-ok lekas menyendal serta menariknya, tapi ia tidak berhasil melepaskan cekalan orang, teriaknya:

“Hu-ji, lekas lari!”

Kwe Hu malah bersungut dan berkata, “Bibi ini hendak bermain dengan aku.” Ia tidak lari malah hendak menarik tangan Li Bok-chiu.

Kwa Tin-ok kaget, selagi kehabisan akal, tiba2 terdengar suara pekik kedua rajawali yang telah terbang balik.

“Tiau-ji, lekas ke sini!” Kwe Hu berseru.

Tiba-tiba nampak sinar merah berkelebat, seekor burung kecil warna merah yang berparuh panjang mendadak menubruk langsung ke arah kepala Li Bok-chiu dari sela-sela kedua burung rajawali.

Keruan Li Bok-chiu terkejut, lekas kebutnya menyambar tapi burung merah itu melayang pergi datang dengan cepat, tiba-tiba badannya mundur tiga kaki ke udara meluputkan diri dari kebutan. Tapi secepat itu pula dia sudah menerjang maju lagi, gerak geriknya tidak kalah dari pada tokoh kosen dunia persilatan. Kaget dan senang pula Li Bok-chiu, katanya sambil tertawa:

“Burung kecil ini tampaknya menyenangkan juga!”

Tiba-tiba didengarnya suara desiran aneh yang berkumandang dari belakang gunung, entah dari mana berbondong2 merayap keluar ular hijau yang jumlahnya tak terhitung. Seorang anak lelaki berbaju hijau sedang mendatangi sambil berdendang dengan bertepuk tangan. Ular-ular itu mengiringi nyanyiannya, sebaris demi sebaris sangat teratur merubung ke arah Li Bok-chiu.

Anak lelaki berusia 14-15 tahun itu lalu duduk di tanah untuk menonton burung merah tadi menempur sengit Li Bok-chiu. Burung merah kecil itu sangat gesit dan tangkas, maju mundur bagai kilat, meski sabetan kebut Li Bok-chiu sangat kencang, namun lawan kecil ini selalu dapat lolos. Ketika Li Bok-chiu melihat anak itu bermuka cakap, bibir merah, gigi putih, tampan dan menyenangkan, serta merta timbul rasa kasih sayangnya. Melihat orang menggusur ular menghadang di depannya, ia berpikir:

“Kabarnya di Pek-tho-san daerah Se-ek benua barat ada seorang Bu-lim Cianpwe tokoh persilatan tua bernama Auwyang Hong yang pandai menguasai ular untuk menyerang musuh, mungkinkah pemuda ini punya hubungan erat dengannya?”

Semula dia berniat melancarkan serangan ganas untuk membinasakan burung merah itu, tapi berpikir sampai di situ, ia jadi ragu dan membatalkan niatnya semula.

Harus diketahui Li Bok-chiu adalah seorang yang licik dan banyak tipu dayanya, sebelum bertindak ia selalu memikirkan lebih dulu secara seksama, kalau dirinya tidak terdesak kalah, dia tidak akan segera menurunkan tangan jahat. pikirnya: “Mengapa hari ini begini kebetulan? It-teng Taysu, Pek-tho-san dan Tho-hoa-to masing-masing ada orangnya yang kumpul di sini, memangnya sebelum ini mereka sudah berjanji untuk bersatu menghadapi aku? Biarlah kucari tahu dulu keadaan yang sebenarnya.”

Sambil mengibaskan kebutnya, Li Bok-chiu bertanya: “Adik cilik, siapa namamu? Apa kau datang dari Pek-tho-san?”

Melihat orang bicara dengan lemah-lembut, pemuda itu berdiri, sahutnya dengan tertawa:

“Aku she Yo, Pek-tho-san apa yang kau maksudkan?”

Melihat orang sedang tidak bersiap, se-konyong2 burung merah tadi menyergap lagi serta mematuk dengan paruhnya yang runcing panjang. Sebat sekali Li Bok-chiu ulur tangan kiri terus meraih. Gerak-gerik burung merah kecil itu sangat cepat dan tangkas, namun gerak tangan Li Bok-chiu lebih cepat lagi, tahu-tahu burung merah itu tergenggam.

Keruan pemuda itu kaget, teriaknya: “Hai, jangan kau melukainya!”

“Baik, nih kukembalikan padamu!” sahut Li Bok-chiu sambil membuka telapak tangannya.






OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar