Kamis, 06 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 005

TO-KO JELITA BERHATI KEJI

Tatkala itu hari sudah terang, para petani sudah bekerja di sawah, dengan riang gembira sedang menuai padi sambil berdendang. Kakek itu berlari bagai terbang tanpa hiraukan suasana gembira kaum tani yang bekerja keras, sekejap saja dia sudah tiba di depan Liok-keh-cheng.

Kedua matanya memang buta, akan tetapi daya pendengarannya amat tajam. Jaraknya masih kira2 satu li, namun dari kejauhan dia sudah mendengar suara bentrokan senjata keras, suara orang sedang bertempur dengan sengit.

Ia tidak kenal keluarga Bu atau keluarga Liok dan tiada hubungan, ia pun tahu ilmu silatnya bukan tandingan Jik-lian-sian-cu, maka kedatangan dirinya ini mungkin hanya mengantar jiwa belaka, tapi selama hidupnya selalu membantu kaum lemah demi kebenaran dan keadilan, selamanya ia tidak menghiraukan keselamatan diri sendiri.

Karena langkah kakinya dipercepat sewaktu tiba di depan perkampungan didengarnya di atas genteng ada empat orang sedang bertempur dengan seru. Sebelah kanan satu orang melawan tiga orang, tapi agaknya ketiga orang itu justru terdesak di bawah angin.

Ternyata sesudah Bu Sam-thong membawa pergi Tun-ji dan Siu-bun, Liok Lip-ting suami isteri semakin cemas dan heran, mereka tidak tahu apa maksud orang gila itu, sebaliknya Bu Sam-nio menjadi senang, katanya tertawa:

“Selamanya suamiku bertindak angin2an, kali ini ternyata bisa tahu kasih sayang dan dapat melihat bahaya.”

Liok-toanio mohon keterangan, tetapi Bu Sam-nio hanya tersenyum saja, katanya: “Nanti kau akan tahu sendiri.”

Waktu itu sudah larut malam, Liok Bu-siang sudah tertidur di pangkuan ayahnya, Thia Eng pun sudah mengantuk dan tidak kuasa membuka matanya lagi. Liok-toanio berdiri hendak membawa kedua anak itu masuk kamar, namun segera Bu Sam-nio berseru mencegah:

“Tunggulah sebentar lagi.”

Benar juga. Tak lama kemudian terdengar suara di atas genteng: “Lemparkan ke atas!”

Itulah suara Bu Sam-thong. Pergi datangnya ternyata tidak berbekas, Liok Lip-ting suami istri sebelumnya tidak tahu sama sekali. Segera Bu Sam-nio bopong Thia Eng keluar lantas dilemparkan ke atas. Bu Sam-thong ulurkan tangan meraihnya. Baru saja Liok Lip-ting berdua kaget dan ingin bertanya, Bu Sam-nio sudah melemparkan Liok Bu-siang ke atas pula. Keruan Liok Lip-ting kuatir, serunya:

“Apa yang kau lakukan?”

Segera ia melompat ke atas genteng, namun sekelilingnya sunyi sepi, bayangan Bu Sam-thong dan kedua anak perempuan itu sudah tidak nampak. Baru saja Liok Lip-ting hendak mengejar, dari bawah Bu Sam-nio berteriak:

“Liok-ya tidak perlu mengejar, dia bermaksud baik.”

Liok Lip-ting ragu-ragu, segera ia turun ke pelataran. Tanyanya kuatir: “Maksud baik apa?”

Liok-toanio sudah maklum lebih dulu, katanya: “Bu-samya kuatir iblis perempuan itu turun tangan keji terhadap anak-anak, maka sebelumnya hendak disembunyikan di tempat rahasia!”

Baru sekarang Liok Lip-ting sadar, ber-kali2 ia mengiakan, namun teringat Bu Sam-thong juga mencuri jenazah ayah bundanya, hatinya berkuatir pula. Bu Sam-nio tertawa, ujarnya:

“Biasanya suamiku tidak suka anak perempuan, tapi entah kenapa kali ini dia mau melindungi kedua puterimu, benar-benar di luar dugaanku, Waktu dia membawa pergi anak Ji dan anak Bun tadi, beberapa kali ia melirik kepada putri2mu, sikapnya amat prihatin, betul juga dia kembali membawa mereka. Aih, semoga sejak kini wataknya berubah, tidak linglung lagi.” Dia pun menghela napas, lalu katanya lebih lanjut: “Silahkan kalian pergi istirahat. Iblis itu sangat membanggakan kepandaian sendiri, selama ini tidak mau menyergap musuh di waktu malam, sebelum terang tanah pasti dia tak akan datang.”

Semula Liok Lip-ting suami isteri memang sangat menguatirkan keselamatan puteri serta keponakannya. Kini setelah kekuatiran itu tidak lagi membebani benak mereka, rasa takut pun hilang, timbul keberanian mereka untuk menghadapi musuh. Mereka telah membekal senjata masing2, semua duduk bersimpuh di ruang besar itu, bertiga dengan Bu Sam-nio mulai semadi menghimpun tenaga.

Sang waktu berjalan cepat, tidak lama fajar pun menyingsing. Biasanya waktu seperti itu, suasana diramaikan oleh kokok ayam dan gonggongan anjing, namun sekarang keadaan sepi nyenyak.

Di tengah kesunyian pagi itulah tiba-tiba terdengar suara “blang” yang menggetarkan hati. Entah diterjang apa pintu besar itu tiba2 terbuka dan semplak pecah. Pintu besar itu telah dipantek dengan dua batang besi, menurut kebiasaan A Kin, si jongos, setiap malam pintu itu dipalang pula dengan batang kayu.

Akan tetapi sekarang palang besi dan kayu luar dalam itu sama putus, tahu-tahu seorang To-koh setengah baya mengenakan jubah putih mulus melangkah masuk. Dia bukan lain adalah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu!

Saat itu A Kin sedang menyapu di pelataran. Segera ia membentak: “Siapa itu?!”

Cepat Liok Lip-ting berteriak: “A Kin, lekas menyingkir!”

Tetapi terlambat. Sekali kebut di tangan Li Bok-chiu terayun, seperti pula kematian anjing, babi dan yang lain, tanpa bersuara kepala A Kin terpukul remuk dan melayanglah jiwanya tanpa bersuara.

Liok Lip-ting segera menjinjing golok dan menerjang keluar terus membacok. Li Bok-chiu miringkan tubuh berkelit terus melesat lewat di sampingnya, lalu sekali kebutnya bergerak lagi, dua pelayan perempuan seketika tersabet mati, lalu tanyanya dengan tertawa:

“Di mana kedua bocah itu?”

Melihat musuh bertindak begitu ganas, meski sadar bukan tandingan lawan, tetapi dengan sengit Liok Lip-ting berdua tetap merangsak dengan senjata masing2. Li Bok-chiu sudah angkat kebut hendak memukul, tapi tiba-tiba dilihatnya Bu Sam-nio berdiri di samping. Ia tersenyum manis, katanya:

“O, masih ada orang luar di sini, terpaksa aku bunuh kalian di luar rumah saja,” suaranya merdu, gerak geriknya genit.



Tak terlihat bagaimana ia bergerak, tahu2 badannya mengapung ke atas genteng, segera mengejar juga ke atas, Belum lagi mereka berdiri tegak, kebut Li Bok-chiu telah menyapu datang sehingga senjata mereka terpental balik.

Agaknya ia sengaja hendak permainkan ketiga lawannya. Dalam puluhan jurus ia tidak pernah melancarkan serangan mematikan, cuma mendesak ketiga lawannya berputar2 seperti layaknya kucing sedang mempermainkan tikus. Keruan Liok Lip-ting bertiga mandi keringat dan gusar pula dibuatnya.

“Mau bunuh lekas bunuh saja!” damprat Liok Lip-ting.

Tiba-tiba Li Bok-chiu bersiul nyaring panjang. Ia melayang turun ke tanah langsung menubruk ke arah seorang kakek pincang bertongkat besi yang berdiri di pinggir kali. Di mana kebut Li Bo chiu bergerak, tahu2 kebutnya membelit ke leher si kakek pincang dan buta itu. Jurus serangan ini dilancarkan di saat kakinya belum menyentuh tanah, namun kebutnya bagai ular hidup tahu2 sudah menyerang tempat mematikan di badan lawan.

Walau kakek tua itu buta, tapi kupingnya dengan jelas mendengar serangan musuh yang lihay ini. Lekas tongkatnya terangkat dan mendadak menutul ke depan, ia balas menjojoh pergelangan tangan kanan musuh. Tongkat besi merupakan senjata berat, umumnya piranti yang digunakan untuk menyapu, menggebuk, mengemplang atau menggencet. Tetapi kakek tua ini justru menjojoh dengan gaya seperti pedang menusuk, dan tongkat seberat itu ternyata dapat ia mainkan dengan ringan dan lincah seperti pedang.

Lekas Li Bok-chiu sedikit gentakkan kebutnya, ujung kebut memutar balik untuk membelit ujung tongkat terus ditarik dan disendal sambil membentak:

“Lepas tangan!”

Jurus ini merupakan ilmu meminjam tenaga lawan untuk memukul lawan, ujung kebutnya meminjam tenaga jojohan tongkat tadi serta ditarik dan disendal. Maka seketika itu pula si kakek merasakan seluruh lengannya tergetar hebat sehingga hampir saja ia tak kuasa memegang tongkatnya.

Dalam keadaan yang gawat itu, lekas ia melompat miring mengikuti tarikan orang, dengan begitu barulah ia berhasil memunahkan daya tarikan kebutan lawan. Diam2 ia terkejut dan berkata dalam hati: “Gembong iblis ini ternyata tidak bernama kosong.”

Tadi Li Bok-chiu telah menyerukan “lepas tangan”, tetapi ia tidak berhasil merebut tongkat besi lawan, hal ini benar2 di luar dugaannya, pikirnya: “Siapa kakek pincang yang punya kepandaian selihay ini?”

Sekilas dilihatnya biji mata orang memutih, kiranya seorang buta, maka barulah dia sadar dan teringat. Teriaknya:

“Kau ini Tin-ok?”

Kakek pincang buta ini memang orang tertua Kang-lam-chit-koay (tujuh manusia aneh dari Kanglam) Hwi-thian-pian-kok (si kelelawar) Kwa Tin-ok adanya.

Seperti diketahui, sejak Hoa-san-lun-kiam pertandingan ilmu pedang di Hoa-san dulu, Kwe Ceng dan Oey Yong kemudian menikah setelah mendapat restu Oey Yok-su, lalu mereka mengasingkan diri di pulau Tho-hoa-to.

Sifat Oey Yok-su memang lain dari pada yang lain, suka menyepi tidak suka keramaian. Sesudah beberapa bulan berkumpul bersama puteri dan menantunya, lama kelamaan ia menjadi bosan dan tidak kerasan tinggal di rumah, lalu secara diam-diam ia meninggalkan Tho-hoa-to. Ia hanya meninggalkan sepucuk surat, katanya ia hendak mencari tempat lain yang sepi dan nyaman.

Oey Yong kenal baik watak ayahnya, meski hati merasa berat, namun apa boleh buat dan tidak bisa berbuat apa-apa. Semula dia mengira dalam beberapa bulan Oey Yok-su pasti akan pulang atau paling tidak mengirim kabar, tak tahunya seka!i berpisah tahunan sudah lewat, namun Oey Yong tidak pernah mendapat kabar berita sang ayah.

Karena kangen kepada ayahnya, Oey Yong mengajak suaminya, Kwe Cerig, keluar untuk mencarinya. Selama beberapa bulan mereka berkelana di dunia Kangouw, hingga mereka terpaksa pulang ke Tho-hoa-to, sebab waktu itu Oey Yong ternyata sedang hamil.

Perangai Oey Yong biasanya jahil dan suka aneh2, hampir tak suka ketentraman barang sekejap pun. Karena sedang hamil segala sesuatunya dirasakan serba repot dan kurang leluasa, hatinya menjadi kesal dan risau. Dalam keadaan itu dia menjadi uring-uringan, dia anggap biang keladi yang membikin susah padanya itu ialah Kwe Ceng.

Perempuan yang sedang hamil memang sering bersifat kasar dan suka marah. Meski pun Oey Yong amat mencintai Kwe Ceng, ada kalanya dia sengaja mencari kesalahan orang dan mengajak bertengkar. Dasar Kwe Ceng berwatak polos dan lugu, bila mana sang istri sedang marah tanpa alasan, paling2 ia hanya tertawa-tawa saja tanpa menghiraukannya.

Tanpa terasa sepuluh bulan telah berselang. Akhirnya Oey Yong melahirkan seorang anak perempuan dan diberi nama Kwe Hu. Waktu hamil hatinya kurang senang, maka setelah melahirkan dia amat kasih sayang kepada puterinya, selalu dimanjakan. Belum lagi genap satu tahun puterinya ini sudah teramat nakal.

Ada kalanya Kwe Ceng merasa anaknya keterlaluan lalu dia memarahinya, namun Oey Yong segera membela dan melindunginya. Lama kelamaan sang puteri semakin menjadi nakal.

Pada waktu Kwe Hu berusia tiga tahun, Oey Yong mulai mengajarkan ilmu silat padanya, Karena itu celakalah binatang piaraan di Tho-hoa-to, kalau bukan bulunya digunduli, tentu ekornya dicabuti. Tho-hoa-to yang biasanya aman tenteram dan damai itu lama kelamaan menjadi tempat jagal binatang.

Hari berganti bulan dan tanpa terasa beberapa tahun sudah berselang pula. Pada suatu hari mereka kedatangan seorang tamu, dia bukan lain adalah guru Kwe Ceng, Kwa Tin-ok adanya.

Setelah menetap beberapa tahun di kampung halamannya di Kang-lam, di mana dulu ada Cu Jong, Han Po-ki, Lam Hi-jin, Thio Ah-seng, Coan Kim-hoat dan Han Siau-eng, mereka bertujuh biasa malang melintang ke mana saja, akan tetapi sekarang tinggal Kwa Tin-ok seorang, apa lagi usia semakin lanjut, maka lama kelamaan dia merasa kesepian. Hari itu dia teringat akan muridnya suami istri. Segera dia jual segala harta miliknya buat ongkos menuju ke Tho-hoa-to.

Kedatangan sang guru sudah tentu membuat Kwe Ceng dan Oey Yong sangat senang, maka mereka menahan beliau supaya menetap saja di pulau itu, betapa pun mereka tidak mengijinkan Tin-ok meninggalkan mereka lagi. Di sana Kwa Tin-ok menganggur tak punya pekerjaan, maka ia menjadi teman bermain Kwe Hu yang paling setia, satu tua satu anak, ternyata mereka dapat bergaul rukun dan menjadi sahabat kental.

Hari itu Oey Yong merasa kangen kepada sang ayah, maka esok harinya ia meninggalkan pulau bersama Kwe Ceng untuk mencari ayahnya. Sebelum berangkat ia sudah berpesan kepada Kwa Tin-ok untuk tinggal di rumah saja menemani puterinya.

Siapa tahu meski pun usia Kwe Hu masih kecil tetapi dia telah mewarisi watak pemberani dan tidak takut tingginya langit dan tebalnya bumi. Setelah ayah bundanya pergi, segera ia merengek2 kepada Kwa Tin-ok agar mengajaknya keluar untuk mencari kakeknya, Oey Yok-su. Keruan Kwa Tin-ok kaget, ia goyang tangan dan berteriak:

“Tidak boleh jadi! Tidak boleh jadi...!”

Kalau ada ayah bundanya Kwe Hu tak akan berani mengumbar adat. Setelah ayah ibunya pergi, tiada yang perlu dia takuti lagi. Segera ia lari ke pinggir laut lalu terjun ke dalam air, teriaknya:

“Baiklah Kwa-kongkong, biar aku berenang saja ke sana sendiri!”

Kwa Tik-ok tidak bisa berenang. Mendengar deburan ombak yang besar itu, dia menjadi gugup sendiri, kuatir Kwe Hu ketimpa malang, lekas ia berteriak:

“Kembali, lekas kembali! Dari sini ke daratan sana ratusan li jauhnya, mana bisa kau berenang ke sana?”

“Aku tidak peduli. Kalau aku mati tenggelam, kaulah penyebabnya!” seru Kwe Hu.

Saking gugupnya Kwa Tin-ok garuk-garuk kepala tak berdaya, terpaksa teriaknya pula: “Lekas kau naik sini, marilah berunding dulu.”

“Kalau kau berjanji mau bawa aku pergi mencari Gwakong, baru aku mau naik ke atas.”

Kwa Tin-ok kewalahan, terpaksa ia berkata: “Baiklah, kululusi permintaanmu.”

Kwe Hu menirukan cara-cata orang dewasa, serunya: “Seorang Kuncu (laki2 sejati) hanya sepatah kata!”

Tanpa terasa Kwa Tin-ok segera menyambung: “Kuda lari sekali pecut!”

Sebagai seorang kawakan Kangouw yang pernah malang melintang puluhan tahun, sekali Kwa Tin-ok mengeluarkan janjinya, selama hidup tak akan menyesal. Dulu dia pernah bertaruh dengan Khu Ju-ki, hingga selama delapan belas tahun menyekap diri di padang pasir yang berhawa panas dingin itu, tidak lain juga hanya untuk memenuhi janji kedua kalimat yang diucapkannya itu.

Begitulah Kwe Hu lantas naik ke daratan, sebaliknya Kwa Tin-ok berulang kali menghela napas, terpaksa mereka berkemas dan menunggang kedua ekor rajawali terbang ke barat menuju ke daratan besar.

Hari itu mereka tiba di kabupaten Ouwciu. Kwa Tin-ok lalu mengajak Kwe Hu bermalam di rumah seorang petani. Maklum sudah tua, dia gampang capai sehingga tidurnya teramat nyenyak.

Di luar tahunya pagi-pagi benar Kwe Hu telah membawa kedua ekor rajawalinya keluyuran di luar. Memang kebetulan juga, secara tak terduga ia berhasil menolong Bu Siu-bun dari terkaman harimau buas.

Demikianlah, setelah beberapa gebrakan melawan Li Bok-chiu, tahulah Kwa Tin-ok bahwa dirinya bukan tandingan orang, segera dia kembangkan ilmu permainan tongkat, Hok-mo-tiang-hoat, dengan rapat mempertahankan diri.

Diam2 Li Bok-chiu memuji dalam hati: “Tua bangka ini dikenal sebagai pentolan Kang-lam chit-koay, kiranya tidak bernama kosong. Biar pun matanya buta kakinya pincang, sudah tua dan tenaga lemah lagi, namun masih kuat melawan puluhan jurus seranganku.” Didengarnya Liok Lip-ting dan isterinya ber-kaok2 sedang memburu datang bersama Bu Sam-nio, diam2 dia berkeputusan: “Kabarnya tua bangka ini guru Kwe Ceng, Kwe-tayhiap, jangan sampai aku melukainya. Apa bila Kwe Ceng suami isteri sampai mencari perkara padaku, tentu akan serba menyulitkan, biarlah hari ini aku memberi kelonggaran kepadanya.”

Segera kebutnya digerakkan, mendadak tegak kaku seperti ujung sebuah tombak terus didorong menusuk ke dada Kwa Tin-ok. Meski kebut itu terdiri dan benda2 lemas, namun dengan Iwekang-nya yang hebat, daya tusukan ini sungguh luar biasa.

Lekas Kwa Tin-ok ketukkan tongkat besinya ke tanah, tubuhnya lantas tertolak mundur ke belakang beberapa langkah. Li Bok-chiu maju setapak, agaknya seperti hendak mengejar dan menyerang, siapa tahu se-konyong2 badannya mendorong ke belakang, pinggangnya lemas gemulai se-olah2 tidak bertulang, tahu2 pundaknya hanya terpaut satu dua kaki di depan Bu Sam-nio.

Keruan Bu Sam-nio kaget. Lekas lancarkan ilmu It-yang-ci, menotok ke jidat orang. Tetapi sayang ilmunya belum mencapai tingkat tinggi, gerak geriknya kurang cekatan dan cepat, begitu pinggang Li Bok-chiu meliuk, se-olah2 setangkai bunga teratai yang tertiup angin, tahu-tahu ia sudah menggeliat ke samping, bahkan “plak”, tahu2 perut Liok-toanio terkena sekali gablokannya.

Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah termasyhur dan menggetarkan jago-jago persilatan, kontan Liok-toanio roboh terguling. Liok Lip-ting tidak lagi menghiraukan keselamatan jiwanya, goloknya segera ia timpukan ke arah Li Bok-chiu, berbareng pentangkan kedua tangannya menubruk maju hendak memeluk pinggang orang untuk mengadu jiwa.

Sebagai perawan suci bersih karena patah hati, perangai Li Bok-chiu berubah sadis dan tidak kenal kasihan lagi, terutama dia amat membenci hubungan asmara muda mudi. Kini melihat Liok Lip-ting hendak memeluk badannya, terlihat raut mukanya lapat2 rada mirip ayahnya di waktu muda dulu, rasa bencinya lantas makin berkobar. Setelah ia pukul jatuh golok orang dengan kebutnya, sekali ayun pula, “sret”, telak sekali kebutnya memukul batok kepala Liok Lip-ting.

Sungguh kasihan Liok Lip-ting yang membekal ilmu silat warisan keluarga yang tinggi. Selama hidup tidak pernah menanam permusuhan dengan orang lain, tak nyana hari ini dia terjungkal habis-habisan.

Beruntun Li Bok-chiu melukai Liok Lip-ting suami istri, kejadian berlangsung dalam waktu yang amat pendek. Kwa Tin-ok dan Bu Sam-nio berusaha menolong, namun terlambat, keduanya sudah terguling oleh sambaran kebutan Li Bok-chiu, serunya:

“Di mana kedua bocah perempuan itu?”

Tanpa menunggu jawaban bayangan Li Bok-chiu sudah berkelebat, langsung melesat ke dalarn perkampungan dan dalam sekejap saja sudah periksa setiap pelosok rumah, namun tidak kelihatan bayangan Thia Eng dan Liok Bu-siang. Dari tungku di dapur dia mengambil api terus menyulutnya di gudang kayu bakar, tak lama kemudian sudah berlari keluar pula, katanya dengan tersenyum:

“Dengan Tho-hoa-to dan It-teng Taysu aku tidak bermusuhan. Kalian silakan pergi saja!”

Kwa Tin-ok dan Bu Sam-nio terhitung golongan pendekar, kini mereka menyaksikan orang mengganas tanpa dapat berbuat banyak, keruan mereka marah bukan kepalang, sebatang tongkat dan sebilah pedang serempak menubruk maju pula.

Li Bok-chiu bergerak lincah seperti kupu2 menari, ia cepat miringkan badan menghindari sambaran tongkat besi, sementara kebutannya sudah terayun membelit pedang Bu Sam-nio, tenaga dalam tersalur melalui ujung kebutnya, sekali tarik dan dorong, terdengar “pletak!”, pedang itu patah menjadi dua potong, ujung pedang melesat ke arah Bu Sam-nio, sementara gagang pedang menyamber ke muka Kwa Tin-ok.

Bahwa pedangnya terkebut lawan, Bu Sam-nio sudah sangat kaget. Di luar dugaan orang mampu mematahkan pedangnya dengan kebut yang lemas saja untuk menyerang dirinya pula.

Kutungan pedang itu melesat cepat. Lekas ia menundukkan kepala untuk berkelit, kepala terasa dingin dan silir, ujung pedang menyambar lewat setelah memotong sebagian gelungan rambutnya.

Di lain pihak, begitu mendengar sambaran angin keras, ujung tongkat Kwa Tin-ok segera disapukan ke depan untuk menyampuk gagang pedang itu ke samping. Didengarnya Bu Sam-nio menjerit kaget dan ketakutan, maka lekas dia putar tongkatnya hingga menderu kencang dan merangsak maju.

Sebetulnya tangan kirinya sudah menggenggam senjata rahasia, tetapi dia tahu Ping-pok-ciam milik Jik-lian-sian-cu sangat ganas dan keji, lagi pula matanya tidak bisa melihat, jangan2 malah memancing orang mengeluarkan jarumnya yang berbisa itu, sudah tentu dirinya tidak akan mampu melawan. Oleh karena itu meski situasi sangat gawat, dia tidak berani sembarangan menimpukkan senjata rahasianya.

Sejak mula Li Bok-chiu selalu memberi kelonggaran kepadanya, pikirnya: “Jika aku tidak unjuk kelihaianku yang sejati, tua bangka ini tentu tidak tahu kalau aku sengaja mengalah kepadanya.”

Ujung kebutnya segera membelit ujung tongkat orang. Maka Kwa Tin-ok kontan merasa segulung tenaga hebat membetot tongkatnya. Lekas dia kerahkan tenaga menarik balik, tapi siapa tahu baru saja tenaganya tersalur ke ujung tongkat, mendadak kekuatan betotan kebut musuh sirna tanpa bekas dan seketika dia merasakan kaki tangan menjadi lemas se-olah2 kosong melompong tak kuasa mengerahkan tenaga lagi.

Dengan sedikit menggerakkan tangan kirinya Li Bok-chiu menyendal tongkat kakek itu ke samping, telapak tangannya hanya satu dua dim saja di depan dada Kwa Tin-ok, katanya tertawa:

“Kwa-loyacu, Jik-lian-sin-ciang sudah terusap di depan dadamu!”

Dada Kwa Tin-ok terbuka lebar dan tidak mampu menangkis atau membela diri, namun ia lantas memaki dengan gusar:

“Perempuan keparat, tepukkan saja ke dadaku, mengapa kau malah cerewet?”

Melihat gelagat yang jelek ini Bu Sam-nio kaget dan memburu hendak menolong. Tangkas sekali Li Bok-chiu sudah melejit ke udara, saat badannya masih terapung di udara, telapak tangannya sempat mengusap sekali di muka Bu Sam-nio. Katanya tertawa:

“Kau berani mengggebah muridku, nyalimu cukup besar juga!”

Habis berkata dia tertawa cekikikan, sekali lompat badannya melayang jauh dan sekejap saja sudah tidak kelihatan lagi.

Terasa oleh Bu Sam-nio jari orang yang meraba mukanya sedemikian halus dan licin, kulit mukanya terasa dingin nyaman, lalu dilihatnya bayangan orang berkelebat ke dalam hutan dan menghilang, Hanya beberapa jurus saja ia melabraknya, namun gebrakan yang berlangsung tadi boleh dikata berbahaya sekali. Dia telah kerahkan seluruh kekuatannya, akhirnya roboh dan tak mampu bergerak.

Tadi pun Kwa Tin-ok merasa dadanya seperti ditindih batu besar ribuan kati, napas sesak terasa mual. Segera ia menarik napas dalam2 beberapa kali, barulah pernapasannya bisa lancar kembali.

Dengan susah payah Bu Sam-nio merangkak bangun. Didengarnya suara gemuruh dan angin menderu, hawa terasa sangat panas, ternyata Liok-keh-ceng sudah tertelan jago merah yang membara. Dengan Kwa Tin-ok mereka mengangkat tubuh Liok Lip-ting suami isteri, tampak kedua orang itu sudah kempas kempis, terang tinggal menunggu ajal saja, pikirnya:

“Jika memindahkan mereka, tentu ajalnya akan tiba lebih cepat, namun tak mungkin pula kubiarkan mereka di sini, bagaimana baiknya?”

Di saat serba susah itulah tiba2 dari jauh terdengar seseorang berteriak: “Niocu, apa kau selamat?” Itulah suara Bu Sam-thong.

Girang dan dongkol pula Bu Sam-nio. Pikirnya, kau si gila ini entah berbuat apa saja dan sekarang baru datang. Dilihatnya pakaian sang suami sudah robek dan penuh tambalan, sedang berlari cepat mendatangi sambil ber-kaok2. Selamanya Bu Sam-nio belum pernah menghadapi sikap suaminya yang begitu mesra, hatinya menjadi senang, sahutnya lantang:

“Aku di sini!”

Cepat sekali Bu Sam-thong meluncur tiba, dia meraih badan Liok Lip-ting berdua terus dibawa pergi sambil berteriak:

“Lekas ikut aku!”

Kwa Tin-ok belum saling memperkenalkan diri, namun ia yakin orang adalah sekaum dari golongan pendekar, maka segera dia mengikuti jejak orang, sekaligus mereka lari sejauh beberapa li. Bu Sam-thong menjinjing dua orang dan Kwa Tin-ok berjalan pincang dengan menggunakan tongkat, namun malah Bu Sam-nio yang ketinggalan paling jauh.






OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar