Rabu, 05 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 004

Mendengar nama Li Bok-chiu disebut, Liok Lip-ting seketika merinding seperti dipagut ular berbisa. Bu Sam-nio melihat perubahan air muka orang, katanya lebih lanjut:

“Sekarang kaum persilatan bila menyinggung nama Jik-lian-sian-ci pasti langsung gemetar ketakutan, tapi puluhan tahun yang lampau dia adalah gadis rupawan yang halus budi dan lemah lembut. Mungkin memang sudah takdir, begitu bertemu dengan mertuamu, hatinya lantas jatuh cinta. Tapi belakangan, setelah mengalami berbagai rintangan, perubahan dan pertikaian, akhirnya mertuamu itu menikah dengan Ho Wan-kun, yaitu mertua perempuan sekarang. Bicara tentang mertua perempuanmu, mau tidak mau aku harus menyinggung suamiku juga. Soal ini cukup memalukan bila dituturkan, tapi keadaan hari ini sudah amat mendesak, terpaksa aku tidak perlu menyimpan rahasia lagi.”

Sejak kecil Liok Lip-ting sudah mendengar penuturan ayah bundanya bahwa selama hidup mereka mempunyai dua musuh besar yang paling tangguh. Seorang adalah Jik-lian-sian-cu, seorang lain adalah Bu Sam-thong, salah seorang murid kesayangan It-teng Taysu dari negeri Tayli di Hun-lam. Semula It-teng Taysu adalah raja negeri Tayli, akan tetapi ia meninggalkan takhta dan mencukur rambut menjadi Hwesio, lalu menerima empat murid, satu di antaranya ialah Bu Sam-thong!

Pada waktu mudanya Bu Sam Thong menjabat pangkat yang tinggi di negeri Tayli. Cuma bagaimana Liok Tian-goan suami isteri sampai bisa mengikat permusuhan dengan dia tak pernah dituturkan kepada puteranya. Maka sewaktu melihat Bu Sam-nio menggunakan It-yang-ci menyambung tulang kaki puterinya yang patah tadi, tentu saja Liok Lip-ting kaget dan curiga. Tak nyana Bu Sam-nio malah membantu menghalau murid Jik Lian-sian-cu dan menolong jiwanya, hal ini sungguh di luar dugaannya.

Bu Sam-nio mengelus pundak anak laki-laki yang terluka jidatnya itu, matanya mendelong mengawasi api lilin:

“Suamiku dan mertuamu sejak kecil bertentangan, hubungan mereka sangat intim, meski sifat2 mereka tidak cocok namun suamiku amat mencintainya. Siapa tahu akhirnya dia menikah dengan mertuamu. Saking gusar suamiku lantas minggat jauh ke Tayli, menjabat panglima pemimpin tentara, menjadi anak buah Toan-hongya. Pernah suamiku bertemu dengan mertuamu, lantas terjadilah perang tanding yang seru. Suamiku memang berangasan dan terlalu mengumbar nafsu karena patah hati. Akhirnya dia bukan tandingan mertuamu, sejak itu tindak tanduknya agak sinting, baik sahabat karibnya atau aku sendiri tak dapat menyadarkan dia, Dulu dia pernah berjanji dengan mertuamu bahwa lima belas tahun kemudian akan bertanding lagi, siapa tahu kedatangannya kali ini, kedua mertuamu sudah meninggal.”

Liok Lip-ting amat gusar, serunya sambil menggablok meja: “Kalau dia punya kepandaian, mengapa tidak datang sejak dulu, kini setelah tahu ayahku sudah almarhum baru meluruk datang dan menculik jenazahnya, terhitung perbuatan orang gagah macam apa?”

“Omelan Liok-ya memang benar,” ujar Bu Sam-nio. “Suamiku memang sudah kehilangan kesadarannya, tingkah laku dan tutur katanya sudah tidak genah lagi. Hari ini sengaja aku membawa kedua anakku ini kemari, bukan lain adalah hendak mencegah perbuatannya yang tidak karuan. Di dunia sekarang ini, mungkin hanya aku seorang saja yang rada ditakutinya.”

Sampai di sini segera ia berkata kepada dua puteranya: ”Lekas menyembah kepada Liok-ya dan Liok-toanio.”

Kedua anak laki2 itu segera berlutut dan menyembah. Liok-toanio cepat membimbingnya bangun dan menanyakan nama mereka. Yang jidatnya terluka bernama Bu Tun-ji, usianya dua belas tahun, adiknya bernama Bu Siu-bun, satu tahun lebih muda.

“Sungguh tak nyana suamiku tidak kunjung tiba, malah Jik-lian-sian-pu keburu membuat perkara di rumahmu... ai,” demikian kata Bu Sam-nio lebih lanjut, “Dua pihak sama2 tidak dapat melupakan cinta masa lalu, cuma yang satu lelaki dan yang lain perempuan.”

Baru saja dia bicara sampai di sini, mendadak di atas rumah ada orang berteriak: “Anak Ji, anak Bun, ayo keluar!”

Suara ini datangnya tiba-tiba, sedikit pun tidak terdengar suara langkah di atas genteng, mendadak suaranya berkumandang di tengah malam buta, maka keruan Liok Lip-ting suami istri sangat kaget. Mereka tahu Bu Sam-thong telah tiba, Thia Eng dan Liok Bu-siang pun kenal suara si orang gila yang mereka temui siang tadi.

Tampak sesosok bayangan berkelebat. Bu Sam-thong melompat turun, seorang satu tangan, ia angkat kedua puteranya terus lari secepat angin, sebentar saja ia sudah tiba di hutan pohon Liu. Tiba-tiba ia menurunkan Bu Siu-bun, dengan hanya membawa Bu Tun-ji bayangannya lantas lenyap dalam sekejap mata, putera kecilnya dia tinggal begitu saja di hutan itu.

Bu Siu-bun berteriak2: “Ayah…! Ayah…!”

Tapi Bu Sam-thong sudah menghilang, terdengar suaranya berkumandang dari kejauhan:

“Kau tunggu di situ, sebentar aku kembali menjemput kau.”

Bu Siu-bun tahu tindak tanduk ayahnya rada sinting, maka dia tidak heran. Tetapi seorang diri berada dalam hutan yang gelap, hatinya rada takut, namun jika teringat sebentar lagi sang ayah akan kembali, maka dengan termenung ia duduk saja di bawah pohon.

Duduk punya duduk, teringat olehnya akan kata-kata ibunya bahwa ada musuh lihay yang hendak menuntut balas, dan belum tentu sang ibu bisa menandingi lawan. Meski usianya masih kecil, tapi Siu-bun sudah tahu berkuatir akan keselamatan ibunya. Setelah menanti sekian lama dan sang ayah tidak kunjung datang juga, akhirnya dia bergumam sendiri: “Biar aku pulang mencari ibu saja!” lalu ia menggeremet dan meraba-raba menuju ke arah datangnya tadi.



Bocah kecil berada di hutan seorang diri, apa lagi malam sangat pekat, mana bisa menentukan arah dan tujuan? Semakin jalan ia justru menuju ke arah hutan belukar yang makin dalam. Akhirnya sampailah dia di sebuah lekukan gunung, di bawah adalah selokan setinggi tujuh delapan tombak, selayang pandang sekelilingnya tampak hitam melulu. Saking gugup dan ketakutan Bu Siu-bun lantas berteriak:

“Ayah, ayah...! Ibu, ibu...!”

Terdengar gema suaranya berkumandang di lembah pegunungan. Di saat hatinya cemas dan gundah itulah tiba-tiba hidungnya mengendus bau amis yang memualkan disusul hembusan angin kencang. Di tengah kegelapan tampak dua titik sinar seperti pelita minyak bergerak ke arahnya.

Bu Siu-bun heran. Mendadak didengarnya suara gerengan yang keras, kedua titik terang seperti sinar pelita itu memburu cepat ke arahnya. Sungguh kaget bukan kepalang, teriaknya:

“Harimau!”

Tanpa banyak pikir segera dia melompat ke atas menangkap dahan pohon terus merayap naik dengan mengerahkan segenap tenaganya. Terasa pantatnya se-o!ah2 kena terpukul oleh sesuatu, segera kaki tangan bekerja sekuat tenaga merambat ke puncak pohon.

Didengarnya binatang buas itu menggerung2 sambil berputar2 mengitari pohon. Melihat binatang itu tidak dapat naik ke atas pohon, barulah hati Siu-bun sedikit lega. Tiba2 terasa pantatnya pedas dan perih, waktu ia merabanya, ternyata celananya telah robek tercakar kaki harimau, dasar bocah nakal, segera teringat olehnya akan cerita ibunya bahwa harimau tidak bisa naik pohon, maka sambil menuding ke bawah ia lantas memaki kalang kabut:

“Harimau keparat, harimau brengsek, harimau busuk!”

Mendengar suara manusia, harimau itu menggerung semakin keras. Begitulah satu sama lain bertahan di atas dan berputar di bawah pohon, meski Bu Siu-bun sangat mengantuk dan letih, mana dia berani tidur? Sebentar lagi hari akan terang tanah, maka pandangan keadaan sekelilingnya mulai jelas.

Semula dia tidak berani langsung mengawasi harimau di bawahnya, namun akhirnya dia membesarkan nyali menunduk ke bawah. Saking terkejutnya hampir saja dia terjungkal jatuh dari atas pohon. Ternyata harimau loreng di bawah itu kira-kira sebesar anak sapi, duduk menengadah sambil menyeringai buas, matanya menatap dengan penuh nafsu, mulutnya melelehkan liur kental.

Memang harimau itu sedang sangat kelaparan. Menunggu semalam suntuk tanpa dapat mencaplok mangsa di depan mata, maka rasa laparnya makin menambah kebuasannya. Mendadak dia menggerung sekeras-kerasnya terus menerjang ke atas. Lompatan ini satu tombak lebih tingginya, cakar depannya berhasil mencapai batang pohon sehingga sesaat lamanya badannya tergantung di tengah udara. Harimau ini cukup besar dan rada gemuk, berat badannya tak kurang dari dua ratus kati, sudah tentu batang pohon itu tak kuat menahan berat badannya.

“Pletak!”

Sekali membal dahan pohon itu patah dan jatuh ke bawah. Bu Siu-bun ikut terpental dan terjungkal ke bawah. Sejak kecil dia dididik ilmu silat oleh ayah bundanya, maka waktu meluncur ke bawah dia bisa kendalikan badan lantas menggelinding ke samping, sedikit pun tidak terluka. Begitu merangkak bangun segera dia lari sipat kuping. Tanpa hiraukan rasa sakitnya, harimau itu segera mengejar dengan kencang.

Walau Bu Siu-bun sudah punya dasar latihan Ginkang, tetapi usianya masih kecil, lagi pula kakinya pendek, maka langkahnya tidak bisa cepat dan jauh, mana bisa menandingi kecepatan lari seekor harimau.

Terpaksa dia lari berputar-putar mengitari pohon. Dia bermain petak umpet dengan pengejarnya, Kalau lari lurus harimau itu memang sangat cepat dan gesit, tetapi untuk putar-putar dan main menyelinap kian kemari gerak geriknya menjadi lamban. Maka gerungannya makin keras, ia menubruk membabi buta, debu pasir dan dedaunan beterbangan.

Melihat harimau itu tidak bisa berbuat apa2 terhadap dirinya, Bu Siu-bun menjadi senang. Sambil memaki kalang kabut dia berlari lagi berputar mengelilingi pohon dan batu. Saking senangnya sehingga kurang ber-hati2 dan menginjak sebutir batu bundar, kontan ia tergelincir dan jatuh, Tanpa ayal harimau itu lantas menubruk ke arahnya. Bu Siu-bun berteriak:

“Ibu, ibu…!”

Sekonyong-konyong dua gulung bayangan hitam meluncur dari angkasa menubruk ke arah dirinya, tahu2 harimau itu terangkat naik ke udara, menyusul badan sendiripun ikut terapung ke angkasa.

Kaget dan takut pula Bu Siu-bun. Waktu dia membuka mata, pohon di bawah tampak menjadi kecil, dirinya sedang terbang di-awang2. Waktu dia menengadah ternyata seekor burung besar mencengkeram punggung bajunya sedang terbang dengan pentang sayap yang lebar.

Semula hatinya amat takut, tetapi tak lama kemudian dia merasa burung raksasa itu tidak bermaksud jahat. Tiba-tiba didengarnya gerungan keras di sebelah belakang. Ia berpaling, tampak harimau besar itu dicengkeram oleh seekor burung raksasa lainnya dan dibawa terbang juga, kakinya mencak-mencak sambil menggerung keras, cakar burung raksasa itu mencengkeram kuduk dan pangkal ekornya hingga tergantung di udara.

Sekali mengembangkan kedua sayap, burung raksasa di belakang itu terbang lebih tinggi memasuki awan, lalu tiba2 cengkeraman kedua cakarnya dilepaskan. Kontan harimau itu meluncur jatuh ke bawah dari ketinggian ratusan tombak dan akhirnya terbanting hancur lebur.

Melihat adegan yang sangat mengerikan ini, seketika Bu Siu-bun berteriak kaget, teringat olehnya: “Kalau burung besar ini pun melepaskan diriku, mustahil aku tidak akan hancur lebur?” Karena takut cepat ia memeluk ujung kaki burung besar itu.

Se-konyong2 terdengar lengking suitan panjang di bawah, suaranya nyaring dan merdu, terang suitan dari mulut perempuan. Kedua ekor burung besar itu perlahan terbang turun, lalu meletakkan Bu Siu-bun di atas tanah.

Gesit sekali Siu-bun melompat bangun. Tampak sekelilingnya pohon Liu melulu, bumi seperti ditabur bunga yang mekar beraneka warna, sungguh suatu tempat yang indah dan permai. Dari balik pohon berlenggang keluar seorang anak perempuan, sekilas dia melirik kepada Bu Siu-bun, lalu dia tepuk2 kedua paha burung besar tadi, katanya:

“Tiau-ji elok, Tiau-ji bagus!”

Bu Siu-bun membatin: “Kiranya kedua burung ini bernama ‘Tiau-ji’ (rajawali).”

Dilihatnya kedua burung itu berdiri gagah dan angker, jauh lebih besar dan tinggi dari pada anak perempuan itu. Usia Bu Siu-bun masih kecil, belum paham berterima kasih, katanya sambil mendekat anak perempuan itu:

“Apakah kedua ekor Tiau-ji ini peliharaanmu?”

Anak perempuan itu mencibirkan bibir, sikapnya memandang hina, jengeknya: “Aku tidak kenal kau, tidak sudi bermain dengan kau!”

Bu Siu-bun tak peduli akan sikap kasar orang, ia mengulur tangan mengelus kaki burung besar itu. Mendadak anak perempuan itu bersiul ringan, sayap burung besar itu langsung terpentang dan menyapu dengan ringan, kontan Bu Siu-bun tersabet sehingga jumpalitan dan terguling di tanah, kemudian kedua ekor burung itu segera terbang rendah menubruk ke arah mayat harimau tadi dan mulai berpesta pora.

Cepat Bu Siu-bun melompat bangun lantas mengawasi kedua rajawali itu, hatinya sangat tertarik, katanya:

“Sepasang burung ini amat bagus, mau mendengarkan perintahmu, jika pulang nanti biar aku pun minta ayah menangkapnya sepasang untukku!”

Anak perempuan itu mendengus: “Hm, memangnya ayahmu mampu menangkapnya?”

Sesudah berulang-ulang menghadapi sikap yang kurang simpatik, kini barulah Bu Siu-bun sempat mengamati anak perempuan di hadapannya ini. Anak ini mengenakan pakaian yang sangat mewah, lehernya mengenakan kalung mutiara sebesar kelengkeng, kulit mukanya halus putih seperti air susu, biji matanya jeli, mulutnya kecil mungil.

Sepasang biji mata anak perempuan itu pun sedang mengawasi seluruh badan Bu Siu-bun, tanyanya:

“Siapa namamu? Mengapa keluar bermain seorang diri, tidak takut digigit harimau?”

“Aku bernama Bu Siu-bun, sedang menunggu ayahku. Dan siapa namamu?”

Anak perempuan itu mencibirkan bibir, katanya: “Aku tidak bermain dengan anak liar!” lalu dia putar badan tinggal pergi.

Bu Siu-bun tertegun, “Aku bukan anak liar!” teriaknya sambil mengintil,

Melihat usia anak perempuan itu dua-tiga tahun lebih muda, badan rendah kaki pendek, ia pikir untuk mengejar tentu tidak sukar, tapi siapa tahu, baru saja ia kembangkan ginkang, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya anak perempuan itu sudah lari tujuh-delapan tombak jauhnya, sehingga dirinya ketinggalan jauh di belakang.

Setelah lari beberapa langkah lagi, tiba-tiba anak perempuan itu berhenti. Katanya sambil berpaling:

”Hm, kau mampu mengejarku?”

Sambil berlari Bu Siu-bun menyahut: “Tentu bisa!”


3. TOKOH JUBAH PUTIH YANG CANTIK

Anak perempuan itu putar badan terus lari kencang lagi, tiba-tiba ia menyelinap ke depan dan bersembunyi di belakang pohon. Tidak lama kemudian Bu Siu-bun sudah menyusul, sesudah dekat, tiba2 kaki kiri anak dara itu diulur keluar menjegal kaki orang.

Bu Siu-bun tidak berjaga-jaga, kontan badannya doyong ke depan. Cepat ia gunakan cara mengendalikan keseimbangan badan, tapi tahu-tahu kaki kanan anak perempuan itu telah mendepak sekali lagi pada pantatnya. Tanpa ampun Bu Siu-bun jatuh terjungkal sehingga hidungnya menerjang sepotong batu runcing. Darah segera membasahi pakaiannya.

Melihat darah bercucuran, anak perempuan itu menjadi gugup juga. Tiba-tiba didengarnya orang membentak di belakangnya:

“Hu-ji, kau nakal lagi dan menganiaya orang ya?”

Anak perempuan itu tak berpaling, sahutnya: “Siapa bilang? Dia jatuh sendiri, peduli amat dengan aku? Jangan kau sembarangan lapor kepada ayah lho!”

Bu Siu-bun meraba hidung, sebetulnya tidak sakit, namun melihat dua tangan berlepotan darah, hatinya gugup juga. Mendengar anak perempuan itu bicara dengan orang, segera ia angkat kepala. Dilihatnya seorang kakek pincang dan bertongkat, rambut sudah jarang2 dan jenggot pun sudah ubanan, badannya kurus kerempeng, namun semangatnya masih menyala-nyala. Terdengar orang tua itu mendengus:

“Jangan kau sangka mataku buta tidak bisa melihat, apa yang terjadi dapat kudengar dengan jelas. Kau budak kecil ini sekarang sudah begini nakal, kelak kalau sudah besar pasti lebih nakal lagi.”

Anak perempuan itu maju menghampiri serta menarik lengan si kakek, katanya memohon dan merengek:

“Kongkong, jangan kau katakan kepada ayah ya? Hidungnya keluar darah, lekas kau mengobatinya!”

Kakek pincang itu maju setapak, sekali raih dia tangkap lengan Bu-siau-bun, lalu memijat beberapa kali di Bun-hiang-hiat di samping hidungnva, hanya sekali urut dan usap, darah kontan berhenti mengalir. Terasa oleh Bu Siu-bun jari2 tangan orang seperti jepitan besi mencengkeram lengannya, hatinya menjadi takut, ia meronta, tetapi sedikit pun tak dapat bergeming.

Perlahan tangannya ditarik lalu diputar. Dia lancarkan Siau-kim-na-jiu-hiat yang diajarkan oleh ibunya, telapak tangannya ikut berputar setengah lingkaran, terus melintir dari dalam untuk melepaskan pegangan si kakek.

Kakek itu tidak menduga dan berjaga-jaga, sungguh tak nyana bocah sekecil ini ternyata membekal ilmu silat selincah itu. Karena gerakan ronta membalik itu, pegangannya terlepas. Sambil bersuara heran tangannya menyambar lagi menangkap tangan orang. Bu Siu-bun kerahkan sepenuh tenaganya berusaha membebaskan diri, namun pegangan orang tak bergeming lagi.

“Adik kecil, jangan takut,” kata kakek itu, “Aku tidak melukai kau, kau she apa?”

“Aku she Bu,” jawab Siu-bun.

Kakek itu menengadah seperti mengingat-ingat sesuatu, lalu katanya menegas: “She Bu? Ayahmu murid It-teng Taysu bukan?”

Bu Siu-bun berjingkrak girang, “Ya, apa kau kenal Hong-ya kami? Kau pernah melihatnya tidak? Aku sendiri tidak pernah melihatnya.”

“Di manakah ayah bundamu? Mengapa kau kelayapan seorang diri di sini?” kata si kakek sambil melepaskan tangannya.

Bu Siu-bun mewek-mewek ingin menangis teringat pada kejadian semalam dan terkenang kepada ayah ibunya.

Anak perempuan itu lantas mengolok-olok: “Cis, tidak tahu malu, sudah besar masih suka menangis.”

Bu Siu-bun tegakkan kepala dan berkata: “Hm, siapa bilang aku menangis.”

Lalu dia ceritakan bahwa ibunya sedang menunggu kedatangan musuh di Liok-keh-cheng. Ayah entah pergi kemana membawa kakaknya, lantas dirinya kepergok harimau buas itu. Karena gugup dan pikiran tidak tenang, ceritanya putar balik tak teratur, namun kakek itu dapat memahami sebagian besar, tanyanya:

“Tahukah kau siapa musuh yang di tunggu ayah bundamu?”

“Sepertinya bernama Jik-lian-coa apa, pakai Chiu apa lagi,” tutur Siu-bun.

Kakek itu menengadah pula, mulutnya menggumam: “Jik-lian-coa apa?” lalu mendadak ia ketuk tongkat besinya di atas tanah, teriaknya keras: “Pastilah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu adanya!”

“Betul, betul!” Bu Siu-bun bersorak gembira, “Memang Jik-lian-sian-cu.”

Karena tebakan si kakek yang tepat itu, maka ia kegirangan, tapi si kakek ternyata amat tegang, katanya:

“Kalian berdua boleh bermain di sini, setapak pun jangan meninggalkan tempat ini, biar kutengok kesana!”

“Kongkong, aku ikut kau!” rengek anak perempuan tadi.

Kakek itu menjadi gugup: “Ai, ai, tidak boleh! Iblis perempuan itu sangat jahat, aku sendiri bukan tandingannya. Soalnya tahu teman baik sedang menghadapi bahaya, terpaksa aku harus menyusul kesana, Kalian harus menurut kataku.” Habis berkata segera dia berlalu dengan langkah terincang-incut.

Meski pincang, tapi dengan bantuan tongkat besi segera ia kembangkan Ginkang, larinya amat cepat, tidak kalah dari pada tokoh2 silat kelas tinggi.


**** 004 ****






OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar