Sabtu, 01 Mei 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 003

Ketiga Piausu ini tadinya mengira orang sudi memberi pertolongan, tetapi sekarang mendengar tuan rumah mengusir mereka secara halus, maka mereka menjadi gugup dan bingung. Kata mereka serempak sambil berdiri:

“Liok-ya... Liok-ya... engkau....” perasaan gelisah dan cemas membuat mereka tak kuasa meneruskan kata-katanya.

Liok Lip-ting mengerut kening. Tiba-tiba ia masuk ke kamar dan mengeluarkan dua puluh tujuh batang jarum emas, setiap batang panjangnya sembilan inci. Tanpa menyuruh orang membuka pakaian, langsung dia tusukkan kedua puluh tujuh jarum itu pada badan ketiga Piausu, setiap orang sembilan batang. Gerak-geriknya sungguh cekatan, setiap tusukan jarum langsung menancap di Hiat-to penting dalam badan.

Belum lagi ketiga Piausu tahu apa yang terjadi tahu2 kedua puluh tujuh batang jarum itu telah menancap di badan mereka. Kejadiannya memang aneh, meski jarum2 itu menusuk masuk tujuh-delapan inci ke dalam badan mereka, tetapi karena semua Hiat-to itu sudah mati rasa, maka sedikit pun tidak terasakan sakit.

“Lekaslah kalian cari tempat yang sepi dan sembunyi atau menetaplah di rumah petani, tiga hari lagi boleh kemari. Bila jiwaku masih hidup, nanti aku memberi pengobatan lebih lanjut.”

Ketiga Piauthau itu amat kaget tanyanya: “Liok-ya bakal menghadapi bencana apa?”

Liok Lip-ting tidak sabar untuk bicara lebih banyak lagi sahutnya: “Kalian terkena Jik-sin-ciang, sebetulnya racun bakal menyerang dalam sepuluh hari dan kalian akan meninggal. Tapi kini aku sudah menusuk dengan jarum emas, kadar racun akan tertahan sementara, hawa merah itu tidak akan menjalar. Tiga hari lagi biar kuberi pertolongan lebih lanjut dan pasti tidak akan terlambat.”

“Kalau tiga hari lagi Liok-ya mengalami sesuatu, lalu bagaimana?” tanya Cu-piau-thau.

Sepasang mata Liok Lip-ting mendelik, jengeknya: “Kecuali aku tidak ada orang Iain yang mampu mengobati luka-luka Jik-lian-sin-ciang. Apa bila aku mati biarlah kalian mengiringi aku.”

Liong dan So masih berkukuh hendak mohon pengobatan selekasnya, tetapi Liok Lip-ting telah berkata pula:

“Kalian masih tunggu apa lagi? Orang yang mencari perkara denganku bukan lain adalah To-koh itu, sebentar lagi dia akan tiba di sini.”

Seketika ciut nyali ketiga piausu itu dan mereka tak berani tanya lagi, cepat mereka pamit dan mohon diri. Liok Lip-ting tidak mengantar tamu2nya, ia duduk di kursi sambil mengawasi ke sembilan tapak tangan di atas dinding itu. Entah berapa lama dia terlongong mengawasi tapak2 tangan itu, tiba-tiba dilihatnya A Kin jongos berlari masuk ter-gesa2 dan melapor

“Siauya, di luar datang seorang tamu.”

“Katakan aku tidak di rumah,” ujar Liok Lip-ting.

“Siauya, Toanio (nyonya) itu mengatakan tidak mencari kau, tetapi dia sedang menempuh perjalanan dan mohon menginap satu malam saja di sini,” kata si A Kin.

“Apa?! Jadi dia perempuan?” teriak Lip-ting kaget.

“Benar, Toanio itu malah membawa dua anak, mungil dan elok sekali.”

Mendengar tamu perempuan membawa anak, barulah Liok Lip-ting merasa lega, tanyanya menegas:

“Dia bukan seorang To-koh?”

“Bukan,” sahut A Kin menggeleng, “Pakaiannya bersih, kelihatannya dari keluarga baik-baik.”

“Baik, bawalah masuk ke kamar tamu, siapkan makanan dan sediakan ala kadarnya,” A Kin mengiakan sambil mengundurkan diri.

Liok Lip-ting berdiri. Baru saja dia hendak ke dalam, ternyata Liok-toanio sudah berada di luar ruangan. Katanya segera sambil mengerutkan alis:

“Lip-ting, dua bocah itu harus kita sembunyikan.”

“Kedua bocah itu pun masuk hitungan,” kata Liok Lip-ting sambil menuding tapak tangan di atas dinding, “Iblis itu sudah memberikan tanda darah ini, biar sampai ke ujung langit pun kau tidak akan lolos dari kekejamannya.”

Dengan termangu Liok-toanio mengamati ke sembilan tapak tangan darah di dinding itu, tapak-tapak tangan itu se-olah2 semakin besar, semakin merah dan se-akan2 menubruk ke arahnya. Tanpa terasa dia menjerit kaget dan memegangi sandaran kursi, katanya:

“Kenapa ada sembilan tapak tangan? Keluarga kita kan hanya tujuh orang saja?”

Sehabis berkata kaki dan tangannya terasa lemas tak bertenaga, dengan terlongong dia awasi suaminya, hampir saja dia mengucurkan air mata.

Lekas Liok Lip-ting memegang lengannya dan berkata: “Isteriku, bencana sudah di depan mata, takut pun tidak ada gunanya. Dua tapak teratas ditujukan kepada ayah dan ibu, dua di bawahnya terang untuk kita berdua. Dua lagi di baris ketiga ditujukan kepada Bu-siang dan Thia Eng, tiga yang lainnya adalah A Kin dan dua pelayan lain. He-he-he, inilah yang dinamakan banjir darah dalam keluarga, ayam dan anjing tidak ketinggalan.”

Bergidik Liok-toanio dibuatnya mendengar kata2 suaminya, “Ayah dan ibu?” dia menegas tak mengerti.

“Aku pun tidak tahu ada permusuhan apa antara gembong iblis ini dengan ayah dan ibu. Ayah bunda sudah lama wafat, dia suruh orang membongkar kuburan dan mengeluarkan jenazah mereka, mungkin setiap orang harus menerima satu kali pukulan baru dianggap selesai membalas sakit hati.”

“Kau kira orang gila itu adalah utusannya?”

“Sudah tentu.”

Baru mereka bicara dilihatnya A Kin berlari masuk dengan ber-sungut2, katanya: “Siauya, pintu besar kita entah kenapa tidak bisa dibuka, seperti terpantek dari luar.”

Berubah air muka Liok Lip-ting berdua, segera mereka memburu keluar. Tertampak daun pintu yang bercat hitam itu masih tertutup rapat. Kedua tangan Liok Lip-ting terus menangkap gelang tembaga pintu dan lantas ditariknya ke belakang. Terdengarlah suara berkereyot, daun pintu hanya bergoyang sedikit, namun tidak dapat dibuka.



Liok-hujin memberi isyarat, segera ia melompat ke atas tembok. Di luar sunyi senyap tak nampak bayangan manusia. Sambil melintangkan pedang ia melompat turun keluar pintu, seketika alisnya berdiri, makinya:

“Terlalu menghina orang!”

Ternyata daun pintu itu sudah terpantek oleh dua batang besi panjang yang dipaku di atas daun pintu. Di atas batang besi itu tergantung secarik kain yang berlepotan darah hingga kelihatannya amat mengerikan.

Waktu itu Liok Lip-ting pun sudah menyusul keluar. Melihat palang besi dan kain belacu (tanda duka cita) itu, ia tahu musuh semakin mendesak, dalam dua jam mendatang pasti gembong iblis itu akan menurunkan tangan jahatnya. Ia tertegun sebentar, rasa gusarnya mulai menipis, katanya:

“Niocu (isteriku), jika seluruh keluarga Liok kita hari ini harus mati bersama, biarlah kita mati tanpa merendahkan pamor ayah bunda.”

Liok-toanio manggut2, saking haru suaranya tertelan dalam tenggorokannya. Mereka melompati tembok kembali ke dalam rumah, langsung menuju ke belakang. Tiba2 terdengar suara di atas tembok sebelah timur, agaknya di atas sana ada orang.

Liok-Lip-ting memburu ke depan menghadang di depan isterinya. Waktu ia angkat kepala, dilihatnya di atas tembok sedang duduk seorang anak laki2, rambut kepalanya dikuncir dua menegang, bocah itu sedang memetik kembang di atas pohon. Lalu terdengar orang berteriak di sebelah bawah:

“Awas, jangan sampai terjatuh!”

Kiranya Thia Eng, Liok Bu-siang dan seorang anak laki-laki lain sedang menunggu di kaki tembok sana. Liok Lip-ting berpikir: “Kedua bocah ini minta menginap di rumahku, kenapa begini nakal?”

Anak laki-laki di atas tembok itu sedang memetik sekuntum bunga. Liok Bu-siang segera berteriak:

“Nah, berikan padaku, berikan kepadaku!”

Anak laki-laki itu tertawa, dia melempar bunga itu ke arah Thia Eng. Lekas Thia Eng menangkapnya, lalu diangsurkan kepada sang Piau-moay. Tapi Liok Bu-siang naik pitam, ia meraih kembang itu terus dibanting dan di-injak2.

Melihat keempat bocah ini bermain dengan riang gembira, sedikit pun tidak tahu bencana besar yang bakal menimpa mereka sekeluarga, Liok Lip-ting suami istri menghela napas, mereka masuk ke dalam kamar.

“Piaumoay, kenapa kau marah?” bujuk Thia Eng.

Liok Bu-siang merengut, katanya: “Aku tidak sudi, aku sendiri bisa memetik!”

Sekali kaki kanannya menutul tanah, badannya melejit ke atas lalu dia meraih akar rotan yang merambat di atas tembok. Sekali meminjam tenaga, seketika badannya melambung ke atas lagi beberapa kaki lalu melayang ke arah sebatang dahan pohon.

Anak laki-laki di atas tembok itu bersorak gembira, teriaknya: “Lekas kemari!”

Kedua tangan Liok Bu-siang menarik dahan pohon, di tengah udara ia jumpalitan dua kali, badannya mendadak melambung ke tengah udara, terus menubruk ke atas tembok. Dinilai dari Ginkang-nya, apa yang dilakukan Bu-siang tadi boleh dikata amat berbahaya. Namun hatinya sedang panas dan dongkol kepada si anak laki-laki yang melempar bunga kepada Piau-cinya tadi. Memang sifat pembawaan anak perempuan ini suka menangnya sendiri, maka tanpa hiraukan keselamatan dirinya ia telah main lompat di udara.

Anak laki2 itu menjadi kaget, teriaknya memperingatkan: “Awas! Hati-hati!” segera dia ulurkan tangan hendak menangkap tangan Bu-siang.

Kalau dia tidak mengulurkan tangan, sebetulnya Liok Bu-siang bisa saja mencapai pagar tembok, tapi ketika melihat anak laki2 itu hendak menarik dirinya, segera ia menghardik:

“Minggir!” badannya menyingkir ke samping hendak menghindari tarikan tangan orang.

Kepandaian jumpalitan di udara adalah ilmu Ginkang tingkat tinggi. Walau pun dia pernah melihat ayah bundanya memainkannya, dia sendiri belum pernah mempelajarinya. Dengan sedikit berkisar, jari2-nya sudah tidak dapat meraih tembok, di tengah teriakan kagetnya, badannya langsung jatuh ke bawah.

Melihat Bu-siang jatuh, anak laki-laki yang berada di kaki tembok segera memburu maju dan mengulurkan tangan memeluk badannya. Tetapi tembok itu setinggi beberapa tombak, meski badan Bu-siang kecil, tenaga luncuran setinggi itu jelas amat berat. Meski pun anak laki2 itu berhasil memeluk pinggangnya, tak tertahankan keduanya terbanting jatuh dengan keras. Terdengar suara “krak”, tulang kaki kiri Liok Bu-siang patah, demikian pula jidat anak laki-laki itu kebentur batu runcing, darah mengucur keluar,

Thia Eng dan anak laki2 di atas tembok itu memburu maju untuk menolong. Anak laki2 itu merangkak bangun sambil mendekap jidatnya yang bocor, sementara Liok Bu-siang jatuh semaput. Sambil memeluk Piaumoay-nya Thia Eng segera berteriak:

“lh-tio, Ah-i (paman, bibi), lekas datang!”

Mendengar teriakan, Liok-toanio segera memburu keluar. Tapi tiba-tiba terasa di atas kepalanya angin kencang menyamber, sesuatu benda berat menindih kepalanya. Sebat sekali Liok-toanio berkelit ke samping, dilihatnya yang dilempar ke arahnya itu ternyata mayat seseorang.

Tanpa sempat membawa goloknya segera ia melompat ke wuwungan rumah. Belum lagi dia berdiri tegak, dua sosok mayat tahu2 dilempar pula memapak mukanya. Ketika Liok-toanio membungkukkan tubuh, tahu2 kedua lututnya menjadi lemas sehingga tidak kuasa berdiri tegak. Kontan ia terjungkal jatuh ke pelataran.

Kebetulan Liok Lip-ting sedang memburu keluar. Melihat Liok-toanio terjungkal jatuh dari atas, segera ia lompat ke depan dengan ilmu Ginkang yang dia yakinkan selama berpuluh tahun. Biar pun jaraknya masih tiga tombak jauhnya, akan tetapi sekali lompat tubuhnya melesat seperti anak panah, telapak tangannya sempat menyanggah punggung istrinya, Karena tenaga sanggahan ini badan Liok-toanio terlempar naik, di waktu meluncur turun, Liok Lip-ting dengan ringan dapat menurunkan badan istrinya di atas tanah.

Tanpa sempat menanyakan keadaan istrinya, sekilas dilihatnya tidak apa-apa, segera ia melompat ke atas rumah, lalu matanya menjelajahi sekelilingnya. Tertampak bulan sabit tergantung tinggi di cakrawala, angin menghembus sepoi2, namun tak nampak bayangan seorang pun.

Liok Lip-ting segera kembangkan Ginkang. Dalam sekejap saja ia telah meronda keadaan rumahnya satu keliling, namun tidak menemukan apa-apa. Segera ia melompat turun ke bawah pelataran dan masuk ke dalam rumah.



MUSUH KARENA DENDAM ASMARA

Di situ terlihat seorang nyonya setengah baya sedang membopong Liok Bu-siang dan anak laki-laki tadi masuk ke ruang tengah. Tanpa menghiraukan kucuran darah anak laki-laki, si nyonya berusaha menyambung dulu tulang kaki Liok Bu-siang yang patah.

Liok Lip-ting semula menyangka puterinya telah dicelakai orang, kini melihat hanya tulang kaki yang patah, hatinya rada lega, bertanya kepada istrinya:

“Kau tidak apa-apa bukan?”

Liok-toanio menggeleng kepala. Dia sobek lengan bajunya untuk membalut jidat anak laki-laki yang terluka itu. Ia ingin memeriksa luka kaki puterinya, tak terduga baru saja melangkah, kaki sendiri terasa linu lemas, tanpa kuasa ia jatuh terduduk.

Nyonya setengah baya itu menotok Hiat-to Pek-hay-hiat dan Hwi-tiong-hiat di kedua paha Liok Bu-siang untuk menghilangkan rasa sakit, lalu kedua tangannya menekan pada kedua sisi tulang yang patah untuk menyambungnya.

Melihat gerak-gerik orang yang sangat cekatan, ilmu totoknya terang tingkat tinggi, makin curigalah Liok Lip-ting, serunya:

“Siapakah Toanio ini? Ada petunjuk apa berkunjung ke sini?”

Seluruh perhatian nyonya itu tumplek untuk menyambung tulang kaki Liok Bu-siang yang patah, sedikit pun tidak menghiraukan pertanyaannya. Diam-diam Liok Lip-ting perhatikan tangan kiri orang yang memegangi kaki puterinya, sementara tangan kanan diangkat dan diputar setengah lingkaran terus menotok turun pelan-pelan. Inilah gerakan It-yang-ci yang menurut cerita ayahnya merupakan kepandaian khas musuh besarnya, maka tanpa ragu2 lagi kedua telapak tangan Liok Lip-ting terus menghantam ke punggung orang.

Mendengar deru angin dari belakang, tangan kanan nyonya itu tetap menotok Pek-hay-hiat Liok Bu-siang, telapak tangan lain menepuk balik ke belakang menangkis pukulan Liok Lip-ting. Kontan Liok Lip-ting merasakan tenaga dahsyat mendorong ke arah dirinya, seketika dada terasa sesak, tanpa kuasa ia tergentak mundur dua langkah.

Karena menggunakan telapak tangan kiri, maka si nyonya tak dapat memegangi sebelah kaki Liok Bu-siang sehingga telunjuk jarinya yang menotok turun itu turut tergetar miring. Tulang kaki Liok Bu-siang yang patah kembali lepas, sekali menjerit seketika anak dara itu jatuh pingsan lagi.

Pada saat itulah dari atas genteng terdengar suara tertawa, serunya: “Aku hanya membunuh sembilan jiwa keluarga Liok, orang luar harap segera keluar!”

Pada saat Liok Lip-ting angkat kepala, dilihatnya di atap genteng berdiri seorang To-koh, di bawah sinar bulan yang remang2, jelas kelihatan parasnya yang elok, berusia delapan atau sembilan belas, kulitnya putih halus, sikapnya garang, dan di punggungnya terselip sepasang pedang. Liok Lip-ting cepat berseru lantang:

“Aku inilah Liok Lip-ting, apa Toyu datang dari Jik-lian-to?”

Si To-koh mendengus: “Baik sekali jika kau sudah tahu, lekas kau bunuh isteri dan puteri serta semua pembantumu, lalu kau bunuh diri pula supaya aku tidak perlu turun tangan!”

Sikapnya congkak, kata2-nya pedas, sedikit pun tidak pandang sebelah mata pada tuan rumah. Meski Liok Lip-ting tidak pernah angkat nama di kalangan Kangouw, betapa pun juga dia keturunan seorang pendekar besar, mana mandah dihina di hadapan orang luar, segera ia memburu keluar dan melompat ke atas seraya membentak:

“Biar kau kenal dulu kelihayanku!”

Sikap si To-koh acuh tak acuh. Di saat kedua kaki Liok Lip-ting sudah hampir menginjak genteng, badan masih terapung di udara, mendadak kedua pedangnya bergerak laksana bianglala, tahu-tahu sinar pedang lawan itu sudah mengurung seluruh badannya.

Serangan sepasang pedang ini amat lihay dan hebat sekali. Meski ilmu silat Liok Lip-ting amat tinggi, betapa pun dia kurang pengalaman menghadapi musuh tangguh, tahu2 hawa pedang musuh yang dingin itu sudah menyambar lehernya. Dalam keadaan begitu jelas dia tidak akan mampu menangkis atau menyelamatkan diri, terpaksa dia pejamkan mata menunggu ajal.

“Trangg…!”

Tiba-tiba seseorang telah menangkis pedang yang menyerang lehernya itu, waktu Lip-ting membuka mata, dia melihat nyonya setengah baya tadi sedang menempur si To-koh dengan bersenjatakan sebatang pedang panjang.

Nyonya itu berpakaian warna abu2, sementara si To-koh muda mengenakan jubah kuning. Tampak bayangan abu-abu dan kuning saling berputar menari di bawah cahaya bulan diselingi sambaran sinar kemilau yang berhawa dingin. Demikian sengit pertempuran itu, namun tidak terdengar suara benturan kedua senjata mereka.

Betapa pun juga Liok Lip-ting keturunan keluarga persilatan, meski pun gerak-gerik kedua orang yang bertempur itu sangat cepat, setiap jurus dan tipu serangan kedua pihak dapat diikutinya dengan jelas.

Tampak To-koh itu menyerang dan menjaga diri dengan rapat, ganti-berganti dia mainkan ilmu pedangnya yang amat hebat. Sebaliknya si Nyonya melayaninya dengan tenang dan mantap, setiap kesempatan pasti tidak disia-siakan untuk segera melancarkan serangan yang mematikan.

“Tringg…!”

Tiba-tiba terdengar suara, dua pedang beradu, pedang di tangan kiri si To-koh mencelat terbang ke udara. Sebat sekali dia melompat mundur dan keluar dari arena pertempuran, mukanya yang putih halus bersemu merah, matanya mendelik gusar, bentaknya:

“Aku mendapat perintah guru untuk membunuh habis keluarga Liok, apa sangkut pautnya dengan kau?”

Nyonya itu menjengek dingin: “Kalau gurumu berani dan punya kepandaian, seharusnya dia mencari Liok Tian-goan sendiri. Sekarang dia telah mati, tapi gurumu tidak tahu malu mencari perkara kepada keturunannya!”

Si To-koh kebutkan lengan bajunya, tiga batang jarum langsung menyambar, dua batang menyambar si nyonya, ada pun jarum ketiga menyerang Liok Lip-ting yang berdiri di pekarangan. Serangan mendadak dan cepat lagi. Lekas si nyonya ayunkan pedangnya menangkis, terdengar Liok Lip-ting menggerung gusar, dua jarinya dapat menjepit batang jarum yang menyerang tenggorokannya itu.

Si To-koh tersenyum dingin, dengan tangkas dia jumpalitan terus keluar. Tiba2 terdengar suitan panjang di kejauhan sana, kiranya dalam sekejap saja dia telah berlari puluhan tombak jauhnya.

Melihat Ginkang orang begitu hebat, nyonya itu pun rada tercengang, lekas dia melompat turun kembali ke dalam ruangan. Melihat Liok Lip-ting sedang memegang sebatang jarum, segera dia berseru:

“Lekas buang!”

Sekarang Liok Lip-ting tidak curiga lagi pada si nyonya, dia lemparkan jarum itu ke tanah. Cepat nyonya itu mengeluarkan seutas tali kain dari dalam bajunya terus mengikat pergelangan tangan Lip-ting dengan kencang.

Baru sekarang Liok Lip-ting dibuat kaget, serunya: “Jarum itu berbisa?”

“Ya, racun yang tiada bandingannya,” sahut nyonya itu, lalu dia keluarkan sebutir pil dan suruh Lip-ting menelannya.

Liok Lip-ting rasakan kedua jarinya sudah mati rasa, tak lama kemudian melepuh sebesar lebah. Lekas si nyonya bekerja mengirisnya dengan ujung pedang, segera mengalir keluar darah yang berwana hitam dan berbau busuk.

Sungguh Liok Lip-ting terkejut bukan kepalang, batinnya: “Jariku tidak lecet atau terluka, hanya tersentuh sedikit saja, tapi racun sudah bekerja sedemikian lihay. Kalau jariku kena tertusuk sedikit saja, jiwaku tentu sudah melayang!”

Baru sekarang nyonya itu sempat memayang Liok-toanio, lalu ia memeriksa luka-lukanya. Ternyata Hui-tiong-hiat di bagian lututnya masing2 terkena sambitan sebatang jarum, tapi jarum2 ini adalah jarum emas milik Liok Lip-ting yang biasanya untuk menolong orang.

Meski bencana belum berlalu, namun hati Liok Lip-ting rada bersyukur. Untuk sementara keluarganya masih dalam keadaan selamat. Waktu ia berpaling melihat ketiga mayat tadi, berkobar pula amarahnya di samping bergetar hatinya.

Ternyata tiga mayat itu tak lain dan tak bukan adalah Liong, So dan Cu-piauthau dari An-wan Piaukiok. Waktu ia periksa luka mereka bertiga, dilihatnya jarum2 yang dia gunakan kini sudah berpindah tempat. Semula tusukan jarumnya untuk menghilangkan rasa sakit, kini menusuk pada Hiat-to yang mematikan.

Cukup sebatang saja sudah sangat menderita, apa lagi tertusuk sembilan batang! Cuma tusukan jarum pada badan Liong-piauthau rada meleset, maka jiwanya belum melayang, sorot matanya memancarkan rasa belas kasihan, se-olah2 mohon pertolongan pada Liok Lip-ting.

Liok Lip-ting tidak tega, tapi melihat luka2-nya, meski ada obat dewa sekali pun tak akan dapat menolong jiwanya. Katanya sambil menghela napas:

“Liong-piauthau, berangkatlah dengan tenang.”

Liong-piauthau menarik napas panjang, dia angkat badan bagian atas, katanya tersendat:

“Liok... Liok-ya, aku tiada harapan lagi, lekaslah kau lari. Iblis itu berkata, di kolong langit ini hanya Liok Tian-goan yang boleh mengobati aku, putera tunggalnya pun tidak boleh... kau lekas lari, sebentar dia akan tiba!”

Beberapa patah kata terakhir diucapkan dengan suara lirih hampir tidak terdengar, dalam sekejap lain ia pun sudah menutup mata dan berhenti bernapas. Nyonya itu mendengus gusar:

“Hm, iblis keparat! Iblis keparat!”

Liok Lip-ting menjura serta bertanya: “Aku punya mata tapi tak bisa melihat, mohon tanya siapa she dan nama Toanio?”

“Suamiku she Bu,” sahut nyonya itu.

“Kiranya tepat dugaanku. Melihat kepandaian It-yang-ci Toanio tadi, sudah lantas kuduga pastilah anak murid It-teng Taysu dari Tayli di Hun-lam. Silahkan Toanio masuk ke dalam menikmati secangkir teh.”

Maka mereka lantas masuk ke dalam rumah. Liok Lip-ting membopong Bu-siang. Melihat mukanya pucat, namun sedapatnya menahan sakit, tidak menangis dan tidak mengeluh, timbul rasa kasih sayang Lip-ting yang tak terhingga kepada puteri tunggalnya ini.

Bu Sam-nio, nyonya tadi, berkata: “Begitu murid iblis itu pergi, gembong iblis itu segera akan datang sendiri. Liok-ya, bukan aku pandang rendah dirimu, tetapi kalau cuma tenaga kalian berdua suami isteri, meski ditambah aku seorang juga bukan tandingan iblis ganas itu. Kukira lari pun tak akan berguna, maka terpaksa kita pasrah nasib, biarlah kita tunggu kedatangannya di sini saja.”

Liok-toanio bertanya: “Sebetulnya orang macam apakah gembong iblis itu? Ada dendam permusuhan apa pula dengan keluarga kita?”

Bu Sam-nio melirik kepada Liok Lip-ting, katanya kemudian: “Memangnya Liok-ya belum pernah menjelaskan kepadamu?”

“Katanya persoalan menyangkut mertuaku yang telah meninggal. Sebagai putera yang berbakti, tidak enak membicarakan persoalan ayah bundanya. Dia sendiri pun tidak begitu jelas akan seluk-beluk persoalan ini,” tutur Liok-toanio.

“Di situlah soalnya,” ujar Bu Sam-nio menghela napas, “Aku orang luar, tak ada halangan jika kuterangkan. Mertuamu Liok Tian-goan, Liok-loenghiong, pada waktu mudanya adalah pemuda ganteng. Dia disebut pemuda romantis nomor satu di kalangan Bu-lim. Gembong iblis Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu...”






OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar