Jumat, 30 April 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 002

Mendadak kakek itu mengempit lagi kedua anak dara itu dan dibawa lari ke arah pohon yang ditunjuk. Dia lari lurus ke depan tanpa peduli rintangan apa pun, kalau terhalang oleh sungai kecil, sekali lompat saja lantas dilintasinya. Biasanya Liok Bu-siang sangat kagum terhadap Ginkang ayah-ibunya ketika mengikuti latihan, tetapi kini kecepatan berlari si kakek dengan mengempit dua anak dara ternyata jauh lebih hebat dari pada ayah-ibu Bu-siang.

Hanya sekejap saja mereka sudah sampai di bawah kedua pohon besar tadi. Kakek aneh ini melepaskan Thia Eng berdua, lalu berlari ke depan kuburan. Tertampak dua kuburan berjajar, pada tiap kuburan terdapat sebuah batu nisan dengan pahatan huruf-huruf yang diberi cat kuning yang kelihatan masih baru. Rumput di atas kuburan juga masih jarang-jarang, suatu tanda kedua kuburan itu memang belum lama didirikan.

Air mata si kakek berlinang-linang sambil memandang kedua batu nisan kuburan, jelas terbaca tulisan di atas batu-batu nisan itu menyebut kuburan Liok Tian-goan dan isterinya: Ho Wan-kun.

Sampai sekian lamanya kakek itu hanya berdiri terpaku di depan kuburan. Mendadak pandangannya terasa kabur, dua batu nisan seperti berubah menjadi dua sosok bayangan manusia, yang satu adalah gadis jelita yang sedang tersenyum manis dan yang lainnya adalah pemuda tampan romantis.

Dengan mata mendelik si kakek mendadak membentak: “Bagus, celana wanita ini aku kembalikan kepadamu!”

Berbareng ia melangkah maju, sebelah tangannya menghantam dada pemuda itu.

“Plak”, bubuk batu lantas bertaburan ketika pukulannya mengenai batu nisan, sedangkan bayangan pemuda telah lenyap.

“Mau lari ke mana?!” bentak pula si kakek, tangan Iain lantas menghantam sekalian.

“Plak-plak!” batu nisan itu sampai rompal sebagian, betapa hebat tenaga pukulan si kakek. Semakin memukul semakin mengamuk, tenaga pukulannya semakin hebat, sampai pukulan ke sembilan, kedua tangannya menghantam sekaligus.

“Blang!” batu nisan itu patah menjadi dua.

Sambil terbahak-bahak dia berteriak: “Nah, kau sudah mampus sekarang, untuk apa lagi aku memakai celana perempuan?”

Sesudah itu ia lantas merobek-robek celana wanita bersulam kupu-kupu yang dipakainya hingga hancur, lantas dilemparkan ke atas kuburan. Maka tampaklah celana pendek dari kain belacu yang dipakainya di bagian dalam.

Selagi tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba saja suara tertawanya berhenti, setelah tertegun sejenak, segera ia berteriak lagi:

“Harus kulihat mukamu, harus kulihat mukamu!”

Ketika kedua tangannya menjojoh, serentak sepuluh jarinya menancap ke dalam kuburan Ho Wan-kun, waktu ia tarik kembali tangannya, dua gumpal tanah ikut tergali keluar. Begitulah kedua tangan si kakek terus bekerja dengan cepat laksana cangkul saja, tanah bergumpal-gumpal tergali sehingga sebentar lagi peti mati pasti akan kelihatan.

Thia Eng dan Bu-siang menjadi ketakutan, tanpa terasa mereka terus putar tubuh dan lari bersama. Karena asyik menggali kuburan, kakek aneh itu tidak memperhatikan kaburnya kedua anak dara itu.

Setelah berlari-lari dan membelok ke sana ke sini beberapa kali dan tidak nampak dikejar si kakek barulah kedua anak dara itu merasa lega. Mereka tidak mengenal jalanan di situ, maka terpaksa bertanya kepada orang kampung, karena itulah sampai hari sudah gelap baru mereka tiba kembali di rumah.

“Wah, celaka, celaka! Ayah, ibu, lekas kemari ada orang yang menggali kuburan nenek!” begitulah Bu-siang berteriak sambil berlari menerobos ke dalam rumah.

Setiba di ruangan tamu, dilihatnya sang ayah sedang bicara dengan tiga orang tamu yang tidak dikenalnya. Ayah Bu-siang bernama Liok Lip-ting, baik Iwekang mau pun Gwakang sudah mencapai tingkatan yang cukup sempurna, hanya saja sejak kecil kedua orang tua mengawasinya dengan sangat ketat dan melarang berkecimpung di dunia Kangouw, maka namanya sama sekali tidak terkenal di dunia persilatan sungguh pun ilmu silatnya tergolong kelas tinggi.

Pada hari itu dia sedang duduk iseng di ruang tamu dan mengenangkan ayah-bunda yang telah wafat. Tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda di luar, tiga penunggang kuda berhenti di halaman luar dan seorang di antaranya lantas berseru:

“Wanpwe mohon bertemu dengan Liok-locianpwe!”

Di daerah Kanglam pada umumnya orang jarang naik kuda karena jalanan sangat sempit, banyak sungai dan kali yang bersimpang siur, maka hati Liok Lip-ting tergerak ketika mendengar suara ringkik kuda tadi. Demi mendengar suara seruan, cepat dia memapak keluar. Dilihatnya tiga lelaki baju hijau dengan penuh debu sudah berdiri di luar pintu. Melihat Liok Lip-ting, ketiga orang itu lantas memberi hormat dan berkata:

“Kami datang dari jauh dan mohon bertemu dengan Liok-locianpwe.”

Mata Liok Lip-ting menjadi merah, jawabnya: “Sungguh menyesal, ayah sudah wafat tiga bulan yang lalu. Mohon tanya nama tuan-tuan yang terhormat.”

Semenjak berhadapan tadi sikap ketiga orang itu sudah kelihatan gelisah dan kuatir, demi mendengar jawaban Liok Lip-ting, air muka mereka seketika menjadi pucat seperti mayat dan saling pandang dengan melenggong,

Lalu Liok Lip-ting bertanya lagi: “Entah ada keperluan apakah Tuan-tuan ingin bertemu dengan ayah?”

Ketiga orang itu tetap tidak menjawab, salah seorang di antaranya menghela napas dan menggumam:

“Sudahlah, biarlah kita terima nasib saja!”

Mereka lantas memberi hormat pula kepada Liok Lip-ting, lalu hendak mencemplak kuda masing-masing. Namun seorang di antaranya tiba-tiba berkata:



“Liok-locianpwe ternyata sudah wafat, biarlah kita memberi hormat di depan layonnya.”

Liok Lip-ting menyatakan terima kasih dan menganggap tidak perlu maksud orang itu, tapi ketiga orang itu memohon dengan sangat sehingga terpaksa Liok Lip-ting menyilakan mereka masuk.

Lebih dulu ketiga orang itu mengebut debu di atas tubuh agar bersih, lalu ikut Liok Lip-ting ke ruangan belakang untuk memberi hormat di depan abu layon Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun, isterinya. Seperti lazimnya, Liok Lip-ting berlutut di samping meja sembahyang itu untuk membalas hormat.

Selesai menjalankan penghormatan, waktu ketiga orang itu berbangkit, tanpa tertahankan lagi mereka menangis dengan sedih. Karena tangisan mereka ini, Liok Lip-ting menjadi berduka juga, maka ia pun menangis keras-keras. Yang bertubuh gemuk pendek di antara ketiga orang itu berkata kepada kawannya yang mengucurkan air mata:

“Cu-hiante, marilah kita mohon diri kepada tuan rumah!”

Orang she Cu itu mengusap air matanya. Dia memberi hormat kepada Liok Lip-ting dan lantas mohon diri. Melihat gerak-gerik ketiga orang itu amat tangkas dan gesit, jelas memiliki ilmu silat yang lumayan. Entah mengapa mereka datang terburu-buru dan berangkat pula tergesa-gesa. Tapi Liok Lip-ting tidak enak untuk bertanya, maka terpaksa ia mengantar keberangkatan mereka.



SEMBILAN CAP TAPAK DARAH

CATATAN :
TO-KOH = wanita yang menjadi imam (pendeta) agama To (Tao)
TOKOH = orang penting atau orang yang tinggi tingkatannya


Setiba di luar, ketiga orang itu memberi salam perpisahan, lalu mencemplak ke atas kuda masing-masing. Ketika orang she Cu itu naik ke atas kudanya, lengan bajunya agak tergulung sedikit sehingga tampak sebagian lengannya berwarna merah hangus.

Liok Lip-ting terkejut bukan main. Dilihatnya kedua orang di bagian depan telah melarikan kudanya, tanpa pikir ia terus melayang ke sana dan menghadang di depan kuda. Tentu saja kedua ekor kuda itu lalu berjingkrak kaget dan meringkik. Syukur kedua orang itu mahir menguasai kudanya sehingga tidak sampai terperosot jatuh.

“Apakah Cu-heng ini terkenal Jik-lian-sin-ciang?” tanya Liok Lip-ting.

Mendengar disebutnya ‘Jik-lian-sin-ciang’ (pukulan sakti ular belang berbisa), pula terlihat gerakan Liok Lip-ting yang hebat, serentak ketiga orang itu melompat turun dari kudanya kemudian menyembah, kata mereka:

“Mata kami benar-benar lamur sehingga tidak kenal kesaktian Liok-tayhiap, mohon Liok-tayhiap sudi menolong jiwa kami.”

“Ahh, jangan sungkan,” jawab Liok Lip-ting sambil membangunkan tiga orang itu. “Silakan masuk ke dalam untuk bicara lagi.”

Begitulah maka Liok Lip-ting lantas menyilakan ketiga tamunya masuk ke rumah pula dan baru saja berduduk, belum sempat bertanya lebih lanjut, pada saat itu pula Liok Bu-siang berlari-lari masuk sambil berteriak-teriak. Dia tidak mendengar jelas apa yang diteriakkan anak perempuannya, tetapi ia lantas membentaknya:

“Anak perempuan tidak tahu aturan, hayo ribut apa? Lekas masuk sana!”

Tapi Bu-siang lantas berteriak pula: “Ayah, orang itu sedang menggali kuburan nenek!”

Barulah Liok Lip-ting terkejut, serentak dia melonjak bangun dan membentak: “Apa katamu? Ngaco-belo!”

“Memang betul, paman,” pada saat itu pula Thia Eng juga sudah masuk.

Liok Lip-ting tahu anak perempuannya sendiri amat nakal dan jahil, tapi Thia Eng tidak pernah berdusta, maka ia lantas tanya lebih jelas apa yang telah terjadi. Dengan terputus-putus dan tidak teratur Liok Bu-siang menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya tadi. Tidak kepalang terkejut dan gusar Liok Lip-ting, segera dia sambar golok yang tergantung di dinding. Dia minta maaf kepada ketiga tamunya, kemudian berlari menuju makam ayah-bundanya. Ketiga tetamunya juga lantas menyusulnya ke sana,

Setibanya di depan makam, tak terperikan pedih hati Liok Lip-ting, hampir saja ia jatuh pingsan, Ternyata makam ayah-ibunya telah dibongkar orang, malah kedua rangka peti mati juga sudah terbuka, jenazah di dalam peti mati lenyap, benda-benda yang biasanya disertakan di dalam peti juga berserakan tak keruan.

Sedapatnya Liok Lip-ting menenangkan diri, dilihatnya tutup peti mati meninggalkan bekas lima kuku jari yang dalam, jelas bangsat pencuri mayat itu telah mencongkel tutup peti mati secara paksa dengan tenaga jarinya yang sangat hebat. Padahal kedua peti mati itu terbuat dari kayu yang keras, diberi pantek dan dipaku sehingga amat kuat, tetapi orang itu mampu membongkarnya dengan tangan kosong saja, maka betapa hebat ilmu silatnya sungguh sukar diukur.

Tidak keruan rasa hati Liok Lip-ting, sedih, marah, terkejut, sangsi, tetapi tadi dia tidak mendengarkan cerita Bu-siang secara jelas sehingga tak diketahui bangsat pencuri mayat ini ada permusuhan kesumat apa dengan ayah-bundanya sehingga sesudah kedua orang tua itu meninggal masih dirasakan perlu merusak kuburannya serta memusnahkan mayatnya.

Sejenak dia terlongong di depan kuburan. Segera dia mengejar, tapi hanya beberapa langkah, ia ragu2. Ia memeriksa tapak kaki di sekitar kuburan, tetapi jejak yang dicarinya tak diketemukan. Ia bertambah heran, pikirnya: “Seorang diri dia membawa jenazah ayah bunda-ku, betapa pun tinggi Ginkang-nya pasti meninggalkan tapak kaki.”

Biasanya dia cukup cermat, namun mengalami kejadian yang tidak terduga ini, pikirannya kacau balau, tidak sempat lagi ia memeriksa dengan teliti, segera ia lari mengejar mengikuti jalan raya. Ketiga tamu tadi kuatir akan keselamatannya, mereka pun mengintil dengan kencang. Begitu Liok Lip-ting mengerahkan Ginkang, larinya secepat kuda membedal, mana dapat ketiga orang itu menyusulnya? Sekejap saja sudah kehilangan bayangannya!

Liok Lip-ting berlari memutar beberapa kali, cuaca pun sudah gelap, terpaksa dia kembali ke kuburan, dilihatnya ketiga tamu itu berdiri menunggu di pinggir kuburan. Liok Lip-ting berlutut di depan kuburan, dia memeluk peti mati ibunya lantas menangis.

Setelah orang puas menangis, barulah ketiga laki-laki itu maju membujuk: “Liok-ya, harap tenangkan hati dan berpikir dengan jernih. Mungkin kami bisa memberi sedikit keterangan latar belakang kejadian ini.”

Melotot kedua mata Liok Lip-ting, teriaknya: “Siapa bangsat keparat itu?! Di mana dia?! Lekas katakan!”

Kata salah seorang itu: “Cukup panjang cerita ini, tak perlu Liok-ya gugup, marilah pulang dulu nanti kita rundingkan persoalan ini.”

Liok Lip-ting anggap omongan orang memang benar, katanya: “Aku terlalu gugup sampai berlaku kurang hormat.”

“Ah, kenapa Liok-ya berkata demikian,” sahut ketiga tamu itu.

Maka mereka kembali ke rumah Liok Lip-ting. Sesudah menghaturkan teh kepada tamu-tamunya, tanpa sempat tanya nama para tamunya, Liok Lip-ting lantas masuk ke dalam hendak memberi-tahukan isterinya. Tidak tahunya sang isteri sudah mendapat laporan Bu-siang lalu keluar mengejar bangsat itu dan hingga sekarang belum kembali. Bertambah pula kekuatiran Liok Lip-ting, terpaksa ia kembali ke ruang tamu dan bicara dengan ketiga tamunya.

Ketiga tamunya lantas memperkenalkan diri, kiranya mereka adalah para Piausu An-wan Piaukiok dari Ki-lam di Soatang, seorang she Liong, she So dan she Cu.

Mendengar mereka hanyalah sekawanan Piausu, seketika berubah dingin sikap Liok Lip-ting, hatinya kurang senang, katanya:

“Selamanya aku tidak pernah berhubungan dengan Piausu, hari ini kalian kemari, entah ada keperluan apa?”

Ketiga orang itu saling pandang kemudian serentak berlutut, serunya: “Harap Liok-ya suka menolong jiwa kami!”

Liok Lip-ting sudah bisa meraba beberapa bagian, katanya tawar: “Berdirilah kalian, Entah cara bagaimana Cu-ya sampai terkena Jit-lian-sin-ciang?”

Liong-piausu dan So-piausu berkata berbareng: “Kami berdua pun terkena juga.”

Sembari berdiri mereka menyingkap lengan baju, tampak keempat lengan mereka berwarna merah darah dan mengerikan.

Liok Lip-ting terkejut, katanya ragu2: “Tiga orang semua kena? Siapakah yang menyerang kalian? Dari mana pula kalian mendapat tahu ayahku bisa menolong?”

“Tujuh hari yang lalu kami bertiga membawa sejumlah barang kawalan menuju Hok-kian-wat Yangciu. Di jalan hawa amat panas, kami berteduh di sebuah gardu minum di pinggir jalan. Kami bersyukur sepanjang jalan ini tidak terjadi apa-apa, agaknya barang kawalan akan tiba di tempat tujuan dengan selamat,” demikian tutur Liong-piausu.

“Pada saat itulah dari jalan raya sana berlari mendatangi seekor keledai berbulu loreng dengan langkah cepat. Penunggangnya seorang To-koh (wanita pendeta agama To) setengah umur berjubah kuning. Ia turun dari keledai dan masuk ke dalam gardu pula. Cu-hiante memang masih muda, suka iseng. Melihat orang berparas elok, ia lalu cengar-cengir dan main mata.

To-koh itu pun balas tersenyum manis. Cu-hiante kira orang ada maksud, segera dia menghampiri dan meraba pakaian orang, katanya tertawa: ‘Seorang diri menempuh perjalanan, apa tidak takut kalau diculik perampok dan dijadikan isteri muda?’ To-koh itu tertawa, ujarnya: ‘Aku tidak takut perampok, hanya takut pada Piausu.’ Sembari bicara ia pun menepuk ringan di pundaknya. Mendadak Cu-hiante seperti kesetrom, seluruh badan bergetar hebat, gigi berkerutukan.

Sudah tentu aku dan So-hiante sangat terkejut. Lekas aku memburu maju memayang Cu-hiante, sementara So-hiante segera menjambret si To-koh dan bentaknya: ‘Kau gunakan ilmu sihir apa?‘. To-koh itu hanya tersenyum saja, ia menepuk pula sekali di pundak kami berdua, dan seketika seluruh badan terasa panas seperti dipanggang, panasnya sukar tertahan, namun sekejap lain terasa seperti jatuh ke dalam sumur es, tak tertahan seluruh badan menggigil kedinginan. Para Piaukiok yang lain mana berani maju?

Si To-koh tertawa, ujarnya: ‘Kepandaian sebegini saja berani mengibarkan bendera Piaukiok, huh, bikin malu saja, sungguh besar nyali kalian, Kalau tidak kupandang muka kalian yang tebal, pastilah kupersen beberapa kali tamparan lagi’. Kupikir sekali tepuk saja sudah tak tertahankan, apa lagi ditambah beberapa kali pukulan lagi, tentulah jiwa kami melayang.

To-koh itu tertawa pula: ‘Kalian mau tunduk tidak padaku? Masih berani main gila di jalan raya?’ Lekas aku menyahut: ‘Kami menyerah! Tidak berani lagi!’. Si To-koh lalu mengetuk sekali belakang leherku dengan gagang kebutan, seketika rasa dingin di badanku hilang, namun masih terasa kaku dan gatal, tetapi sudah tentu jauh lebih mending dari pada semula.

Lekas aku menjura: ‘Kami punya mata tetapi lamur sehingga berbuat salah kepada Sian-koh. Harap Sian-koh tidak pikirkan lagi kesalahan kami ini dan sukalah memberi ampun kepada kedua saudaraku.

To-koh itu tersenyum: ‘Dulu guruku hanya mengajarkan cara memukul orang, tak pernah mendidik aku cara menolong orang. Tadi kalian telah merasakan sekali tepukanku, kalau badan kalian kuat, rasanya dapat bertahan sepuluh malam. Apa bila hawa merah sudah merembes sampai ke dada, tibalah saatnya kalian pulang ke neraka.’ lalu ia pun tertawa cekikikan, dengan kebutnya ia bersihkan kotoran pada jubahnya terus keluar dan cemplak keledainya pergi.

Sudah tentu kejutku bukan kepalang. Tanpa menghiraukan pamor segala, lekas aku memburu maju dan berlutut di depannya serta berteriak memohon: ‘Harap Sian-koh bermurah hati, sudilah memberi ampun dan menolong jiwa kami!’...

Mendengar sampai di sini Liok Lip-ting mengerutkan kening. Liong-piausu tahu perbuatannya terlalu rendah dan hina, segera ia menambahkan:

“Liok-ya, kami datang untuk mohon pertolonganmu, maka apa yang terjadi waktu itu harus kami ceritakan, sedikit pun kami tidak merahasiakannya kepadamu.”

“O, ya, teruskan ceritamu,” ujar Liok Lip-ting.

Tutur Liong-piausu lebih lanjut: “To-koh itu hanya tersenyum saja, sesaat kemudian berkata: ‘Baiklah, akan kuberi petunjuk kepadamu. Ia sudi menolong tidak terserah pada keberuntunganmu sendiri. Nah, lekas kalian pergi ke Ling-ok-tin di Oh-ciu dan mintalah pertolongan kepada Liok Tian-goan, Liok-lo-enghiong. Di dunia ini hanya dia seorang yang bisa mengobati luka-luka ini. Katakan pula kepadanya, dalam waktu dekat aku pun akan menemui dia.’...”

Tersentak hati Liok Lip-ting, teriaknya kaget: “Apakah orang yang mencuri jenazah ayah bundaku itu ada sangkut pautnya dengan persoalan ini? Ini... wah... sulit!”

“Begitulah Cayhe berpikir,” kata Liong-piausu “Sesudah mendengar kata2nya aku masih ingin memohon kepadanya, tetapi dia lantas menukas: ‘Perjalanan ke Oh-ciu cukup jauh, apa kalian hendak membuang-buang waktu?’ Tanpa terlihat dia angkat kakinya, entah bagaimana tahu2 badannya sudah melayang ke punggung keledainya. Cepat sekali keledai itu mencongklang pergi, dikejar pun tak keburu lagi. Aku melongo sekian lama, kulihat So dan Cu-hiante masih gemetar, terpaksa kupayang mereka ke atas kereta.

Begitu tiba di kota segera kupanggil tabib terpandai, tetapi para tabib itu mana sanggup mengobati? Waktu kami buka baju, pada pundak kami ada tapak tangan merah darah yang menyolok sekali. Sampai besok paginya, rasa dingin kedua saudaraku baru hilang dan tidak gemetar lagi, namun warna merah tapak tangan itu semakin membesar.

Aku ingat pesan si To-koh, bila hawa merah ini merembes sampai ke dada dan ujung jari, jiwa kami bertiga tak tertolong lagi, maka kami tidak pedulikan lagi barang kawalan itu, selama beberapa hari ini siang-malam kami memburu kemari, namun siapa tahu Liok-loenghiong ternyata sudah wafat. Memang Cayhe terlalu gegabah, kami hanya ingat kata-kata si To-koh, tak tahunya Liok-ya telah mendapat ajaran warisan leluhur, engkaulah yang menjadi harapan sebagai tuan penolong jiwa kami.”

Dasar banyak pengalaman dan pandai bicara, belum Liok Lip-ting memberi jawaban, dia sudah menyebut orang sebagai tuan penolong jiwa mereka, maksudnya supaya orang tidak enak menolak.

Liok Lip-ting tersenyum, katanya: “Sejak kecil aku mendapat didikan keluarga, tetapi tidak berani berkelana di dunia Kangouw, maka jika kalian tidak kenal namaku yang rendah, ini pun tak perlu dibuat heran.”

Lahirnya dia bersikap merendah, sebetulnya amat tinggi hati. Perlahan ia angkat kepala, mendadak ia melonjak dan berteriak kaget:

“Apa itu?!”

Di bawah cahaya pelita, jelas sekali kelihatan pada bagian atas dinding tembok putih itu berderet sembilan tapak tangan darah.

Mereka berempat terlongong mengawasi sembilan tapak tangan merah itu, hingga sesaat lamanya tidak mampu bicara seperti orang tersihir dan linglung. Para Piausu dari An-wan Piaukiok tidak tahu asal-usul tapak tangan darah itu, namun melihat Liok Lip-ting begitu terkejut, serta merta mereka merasa ke sembilan tapak tangan itu pasti berlatar belakang.




Ke sembilan tapak tangan itu berjajar tinggi di atas tembok dekat atap rumah, dua yang paling atas berjajar, demikian terus menurun ke bawah masing2 berjajar dua, paling bawah berjarak rada jauh berjumlah tiga. Tiga tapak yang terbawah ini pun tingginya kira-kira tiga meter lebih, kalau tidak naik tangga, tidak mungkin dapat menjajarkan cap2 tangan itu sedemikian rapi.

“lblis itu… untuk apa iblis itu mencari aku…?” demikian gumam Liok Lip-ting.

Dasar orang kasar, Cu-piauthau langsung bertanya: “Liok-ya, apa maksud ke sembilan tapak tangan darah ini?”

Hati sedang gundah, ditambah menguatirkan keselamatan istrinya, maka Liok Lip-ting tidak hiraukan pertanyaan. Dia keluar rumah dan melihat isterinya, Liok-toanio, sedang mendatangi sambil menggandeng Thia Eng dan Liok-Bu-siang. Begitu berhadapan dengan sang suami, nyonya itu hanya menggeleng kepala saja.

Supaya sang istri tidak kuatir, Liok Lip-ting tidak menyinggung tapak tangan darah di atas dinding itu, segera dia iringi masuk ke kamar di belakang, lantas dia tuturkan ketiga Piau-thau yang terkena pukulan Ji-lian-sin-ciang dan minta diobati

“Lip-ting,” ujar Liok-toanio, “malam ini jangan kita tidur di rumah, bagaimana pendapatmu?”

“Kenapa?” Liok Lip-ting menegas.

Liok-toanio menyuruh Thia Eng dan Liok Bu-siang keluar. Setelah tutup pintu dia berkata lirih:

“Kejadian hari ini amat ganjil, ayam dan anjing kita ini sudah tidak ada satu pun yang hidup.”

“Apa?!” teriak Liok Lip-ting kaget.

“Tiga ekor anjing penjaga pintu, empat ekor kucing, tujuh ekor babi, puluhan itik dan dua puluhan ayam, semuanya mati.”

Belum lagi habis istrinya menutur, Liok Lip-ting sudah berlari keluar langsung ke belakang. Kim-seng, jongos tuanya menyapa:

“Siauya!” saking sedih hampir saja ia mengucurkan air mata.

Tampak oleh Liok Lip-ting anjing, kucing, ayam dan itik terkapar di atas tanah, semuanya sudah mati kaku tak bergerak lagi. Perlahan-lahan Liok Lip-ting berjongkok di dekat anjing kesayangannya, didapatinya batok kepala binatang telah hancur, terang bukan terkena pukulan atau hantaman benda keras, se-olah2 seperti dipukul dengan benda kecil yang lemas. Namun apakah mungkin hal itu terjadi?

Sedikit merenung, tiba-tiba Liok Lip-ting teringat akan penuturan Liong-piauthau, si To-koh itu memegang sebuah kebutan, terang binatang itu mati dibawah pukulan kebutnya. Tapi kebutan itu terbuat dari barang lemas, cuma dengan sekali kebut orang dapat membunuh anjing dan babi, malah batok kepalanya hancur luluh, kekuatan lwekang orang itu sangat tinggi dan mengejutkan.

“Ayam anjing tidak ketinggalan... ayam anjing tidak ketinggalan...!” tanpa terasa mulutnya menggumam, pikirnya: “Semenjak kecil aku tak pernah berkecimpung di Kangouw, mana mungkin aku mengikat permusuhan? Orang ini menyerang secara keji, tentu tujuannya hendak membikin perhitungan dengan ayah bunda.”

Segera ia masuk ke kamar tamu, katanya kepada ketiga Piauthau: “Bukan aku tidak suka menahan kalian, soalnya keluarga kami bakal tertimpa bencana, harap kalian suka segera pergi saja supaya tidak terembet.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar