Jumat, 30 April 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 001




KAKEK BERPAKAIAN ANEH

Zaman pemerintahan Song-li-cong pada dinasti Song, di daerah Oh-ciu, daerah Kanglam, ada sebuah kota kecil, namanya Leng-oh-tin.

Waktu itu dekat pertengahan musim rontok, daun teratai mulai kering, teratai padat. Di sungai kecil pinggir kota kecil itu lima gadis cilik berada di sebuah perahu kecil sedang bernyanyi dan bersenda gurau dengan asyiknya sambil mendayung perahu mereka untuk memetik biji teratai.




Di antara kelima gadis cilik itu usia tiga orang kurang lebih lima belasan, dua orang lagi hanya berusia delapan atau sembilan tahun saja. Kedua dara cilik itu adalah saudara misan, Piauci (kakak misan) bernama Thia Eng, sedangkan Piaumoay (adik misan) she Liok bernama Bu-siang, umur keduanya hanya selisih setengah tahun saja, namun Thia Eng lebih pendiam dan lemah lembut, sebaliknya Liok Bu-siang sangat lincah, perangai keduanya sama sekali berbeda.

Tiga gadis yang lebih tua-an masih terus saja bernyanyi sambil tetap mendayung perahu menyusuri semak daun teratai itu.

“Ehh Piaumoay, lihatlah, paman aneh itu berada di situ!” seru Thia Eng sambil menuding orang yang sedang duduk di bawah pohon tepi sungai sana.

Orang yang dimaksud berambut kusut masai tetapi kaku, kumis serta jenggotnya juga semrawut dan kaku seperti duri landak, tetapi rambut mau pun jenggot dan kumisnya masih hitam mengkilap. Mesti usianya belum begitu lanjut, akan tetapi mukanya penuh keriput dan cekung sehingga nampak seperti kakek berusia 70-80 tahun.

Yang sangat aneh dan lucu adalah pakaiannya. Bajunya yang menyerupai kaos oblong adalah sebuah karung goni yang sudah compang-camping, sedangkan celananya terbuat dari satin dan masih baru, malahan bagian bawah bersulamkan kupu-kupu yang berwarna warni.

Tangan kanannya memegang sebuah kelentungan (kelontong) mainan kanak-kanak, tiada hentinya di putar sehingga menimbulkan bunyi kelentang-keluntung, tapi kedua mata kakek itu menatap kaku ke depan seperti orang kehilangan ingatan.

“Orang gila ini sudah berduduk selama tiga hari di sini, mengapa dia tidak lapar?” kata Liok Bu-siang.

“He, jangan panggil dia orang gila, kalau dengar nanti dia marah,” ujar Thia Eng.

“Kalau dia marah akan tambah menarik,” kata Liok Bu-siang sambil menjumput sebuah ubi teratai terus dilemparkan ke arah kakek aneh itu.

Jarak antara perahu kecil dengan si kakek aneh ada belasan meter jauhnya, namun biar pun usianya masih kecil ternyata tenaga Bu-siang tidak lemah. Lemparannya pun sangat jitu, ubi teratai itu menyambar ke muka si kakek aneh

“Jangan, Piaumoay!” Thia Eng berseru mencegah namun sudah terlambat, ubi teratai itu sudah terlanjur menyambar ke sana.

Akan tetapi keajaiban segera terjadi. Tiba-tiba kakek aneh itu menengadah, dengan tepat ubi teratai tergigit olehnya. Dia pun tidak menggunakan tangan, hanya lidahnya yang bekerja, ubi teratai dimakannya dengan lahap.

Padahal biji teratai mentah itu rasanya pahit, apa lagi kulitnya juga tidak dikupas, tetapi kakek aneh itu sama sekali tidak ambil pusing, Melihat cara makan orang aneh itu, ketiga gadis yang agak besaran menjadi geli dan mengikik tertawa.

Liok Bu-siang juga merasa senang, serunya: “Ini makan satu lagi!” Segera dia lemparkan pula sebuah ubi teratai kepada si kakek

Waktu itu separuh dari pada umbi teratai yang pertama masih belum habis termakan dan tergigit di mulutnya. Tiba-tiba kakek itu memapak ubi teratai kedua yang dilemparkan Bu-siang dengan ubi teratai yang tergigit di mulutnya itu, sedikit mencungkit, ubi teratai kedua lantas mencelat ke atas, jatuhnya ke bawah dan tepat hinggap di atas kepalanya. Rambut si kakek semrawut kaku sehingga ubi teratai itu dapat tertahan di atas kepalanya tanpa bergoyang sedikit pun. Serentak kelima gadis cilik itu bersorak gembira.

“Ini masih ada!“ seru Bu siang lagi, kembali melemparkan sebuah ubi teratai

Lagi-lagi kakek aneh itu mencungkit dengan ubi teratai yang ada di mulutnya seperti tadi dan kembali ubi teratai itu mencelat ke atas lalu jatuh persis menumpuk di atas ubi teratai yang duluan.

Melihat permainan akrobat itu, kelima gadis bertambah senang, tangan Liok Bu-siang juga bekerja berulang-ulang, dalam sekejap saja di atas kepala kakek aneh itu sudah bersusun belasan ubi teratai sehingga tingginya hampir satu meter.

Setelah ubi teratai pertama tadi habis termakan, si kakek sedikit miringkan kepalanya dan ubi teratai yang paling atas tiba-tiba menggelinding ke bawah, tepat jatuh di mulut si kakek. Sebentar saja ubi teratai ini pun dimakan habis, kemudian ubi teratai yang lainnya menggelinding jatuh lalu dimakan lagi. Dalam waktu singkat saja ubi teratai yang tersunggi di atas kepalanya hanya tersisa dua saja.

Senang dan heran Liok Bu-siang serta Thia Eng melihat permainan kakek aneh itu, maka segera mereka mendayung perahunya ke tepian dan mendarat.

Thia Eng berhati welas asih dan berbudi halus, dia mendekati si kakek dan menarik-narik bajunya serta berkata:

“Empek (paman) tua, caramu makan begitu tidak enak!”

Kemudian dia mengambil sebuah ubi teratai, kulitnya dikupas, bijinya dibuang, sumbu ubi yang pahit juga diambilnya, dan akhirnya diberikan kepada kakek aneh itu.

Kakek itu pun tidak menolak. Ubi teratai dimakannya dan terasa lebih gurih dan enak dari pada yang tadi. Tiba-tiba saja ia menyeringai kepada Thia Eng dan manggut-manggut. Aneh juga, kedua ubi teratai yang masih bersusun di atas kepalanya cuma bergoyang sedikit saja dan tidak jatuh.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara mengkuiknya anjing kecil di seberang sungai sana terseling suara teriakan dan bentakan anak-anak kecil yang riuh ramai.



Waktu Thia Eng menoleh ke sana, tampak seekor anjing kecil budukan sambil mencawat ekornya tengah berlari-lari ketakutan melalui jembatan kecil, di belakang anjing budukan mengejar tujuh atau delapan anak-anak nakal, ada yang memegang bambu, ada pula yang menyambit dengan batu disertai suara bentakan.

Anjing kecil itu memang sudah jelek karena kulitnya budukan, kini dihajar pula sehingga babak belur oleh kawanan anak nakal itu, tentu saja keadaannya bertambah konyol.

Biasanya Thia Eng merasa kasihan kepada anjing kecil ini dan sering memberi sisa makanan. Rupanya anjing kecil itu melihat Thia Eng dari kejauhan, maka dengan mati-matian ia lari menghampiri, lalu sembunyi di belakang Thia Eng.

Ketika kawanan anak nakal yang mengejar itu tiba dan hendak menghajar anjing kecil itu, cepat Thia Eng mencegahnya sambil berseru:

“He, jangan memukulnya, jangan memukulnya!”

“Anak perempuan, minggir! Bukan urusanmu!” damprat seorang anak yang paling nakal, berbareng tangannya mendorong tubuh Thia Eng.

Tetapi dengan sedikit mengegos saja Thia Eng dapat menghindar. Melihat anak nakal itu kurang ajar, Bu-siang yang berdiri di sebelah Piauci langsung menjegal dengan sebelah kakinya sambil menahan perlahan bahu anak itu. Tanpa ampun anak nakal itu jatuh tersungkur mencium tanah, bahkan dua gigi depan copot semuanya, saking kesakitan anak itu pun menjerit menangis.

Bu-siang bertepuk senang, sedangkan Thia Eng merasa kasihan. Ia membangunkan anak itu lantas menghiburnya:

“Jangan menangis! Apakah sakit?” Melihat mulut anak itu penuh darah, ia menjadi gugup dan mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap darahnya.

Tapi anak nakal itu mendorongnya sambil memaki: “Tidak perlu kau mengusap. Kau budak busuk yang tidak punya ayah ibu!”

Kuatir dihajar lagi oleh Bu-siang, anak nakal itu berlari menyingkir sambil mencaci maki. Setelah agak jauh ia terus menjemput batu kecil dan menyambiti kawanan gadis itu.

Dengan gesit Thia Eng dan Bu-siang bisa menghindari. Akan tetapi ketiga gadis yang agak besaran tidak bisa ilmu silat, mereka menjadi kesakitan tertimpuk oleh batu-batu kecil itu. Beberapa potong batu itu pun mengenai badan si kakek aneh, tetapi orang tua itu tidak menjadi gusar, juga tidak menghindar seperti tidak berasa apa-apa.

Melihat itu, kawanan anak nakal itu menjadi heran dan merasa tertarik. Segera mereka mengambil batu dan ikut menyambit kakek itu lagi. Semua batu tepat mengenai badan si kakek, bahkan ada beberapa batu yang mengenai kepalanya, akan tetapi kakek aneh itu tetap makan ubi tanpa mengacuhkan batu-batu itu.

“Hei, jangan lempar batu! Jangan lempar lagi!” Thia Eng berteriak, namun sia-sia.

Begitu potongan ubi terakhir telah memasuki mulutnya, kakek itu lantas berdiri, mulutnya menyeringai, lalu dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya menangkap tubuh Thia Eng dan Bu-siang yang kemudian dipanggulnya pada bahu kanan dan kiri.

Belum sempat berkata apa pun, segera Thia Eng dan Bu-siang merasa seakan tubuhnya dibawa terbang dengan pesat meninggalkan tempat itu, juga meninggalkan kawanan anak nakal dan tiga orang gadis yang hanya dapat berdiri melongo.

Mula-mula kedua anak dara itu masih dapat melihat permukaan tanah dan pohon-pohon yang seolah berkelebatan, tetapi lama kelamaan pandang mata mereka menjadi kabur, dan akhirnya terpejam setelah mata mereka perih tertimpa angin yang terasa seperti jarum menusuk.

Keduanya baru berani membuka mata setelah merasa kakek itu berhenti ‘terbang’, akan tetapi baru saja mata terpentang, “bluk”, tubuh mereka jatuh di atas tanah.

Muka Thia Eng sudah berubah pucat pasi, sebaliknya wajah Bu-siang tampak merah padam, Waktu mereka memandang sekelilingnya, tempat itu adalah tanah pekuburan. Kedua anak dara itu belum pernah mendatangi tempat sesunyi itu, mau tidak mau hati mereka menjadi berdebar.

“Kongkong (kakek)”, kata Thia Eng dengan lemah lembut, “kami ingin pulang, tidak mau lagi bermain dengan kau.”

Tapi kakek aneh itu menatapnya dengan tajam tanpa menjawab. Melihat sinar mata si kakek memancarkan semacam perasaan sedih dan memilukan, biar pun masih kecil dan tidak paham akan seluk-beluk kehidupan manusia, tapi secara naluri timbul rasa simpatiknya terhadap orang tua ini, katanya kemudian dengan halus:

“Apa bila engkau tidak punya teman bermain, besok saja engkau datang ke tepi sungai sana, nanti akan aku kupaskan ubi teratai lagi untukmu.”

Tiba-tiba kakek aneh itu menghela napas kemudian berkata: “Ya, sudah 40 tahun, selama 40 tahun ini tiada orang menemani aku bermain.” Sampai di sini mendadak sorot matanya berubah menjadi beringas, tanyanya dengan suara bengis: “Di mana Ho Wan-kun? Kau pernah apa dengan Ho Wan-kun?”

Thia Eng menjadi takut melihat perubahan sikap kakek aneh itu, jawabnya dengan suara gemetar:

“Aku... aku...”

Mendadak si kakek mencengkeram lengannya, lantas menggoyang-goyangkan tubuhnya beberapa kali sambil bertanya lagi dengan suara parau:

“Mana Ho Wan-kun?”

Hampir saja Thia Eng menangis, air matanya berlinang di dalam kelopak matanya, tapi tidak sampai menetes.

“Hayo menangis! Menangis!” mendadak kakek aneh itu menghardik sambil mengertak gigi “Mengapa tidak menangis? Hm, beginilah kau pada 40 tahun yang lalu, Kau mengatakan menikah dengan dia secara terpaksa, tetapi mengapa kau tidak mau minggat bersamaku? Ya, kau anggap aku miskin, anggap aku berwajah jelek. Jika benar kau berduka mengapa kau tidak menangis?”

Dengan gemas si kakek memandang Thia Eng, tapi aneh juga, meski ketakutan, namun air mata Thia Eng tetap tidak menetes, Ketika kakek itu menyuruhnya menangis sambil menggentak-gentak tubuhnya, Thia Eng bahkan menggigit bibir dan berkata di dalam hati:

“Tidak, aku pasti tidak menangis!”

“Hm, jadi kau tidak mau meneteskan setetes air mata bagiku? Setetes air mata saja kau tidak sudi? Lantas untuk apa aku hidup lagi?” mendadak kakek itu melepaskan Thia Eng, lalu dengan setengah berjongkok ia membenturkan kepalanya ke batu nisan yang berada di sampingnya,

Batu nisan itu terbuat dari batu hijau dan tertanam kuat di dalam tanah. Karena benturan keras itu, batu nisan mencelat keluar dari tanah dan jatuh agak jauh dengan mengeluarkan suara keras, sedang si kakek juga lantas menggeletak pingsan,

“Lekas lari, Piauci!” seru Bu-siang. Segera dia menarik tangan Thia Eng dan mengajaknya kabur.

Thia Eng ikut berlari beberapa langkah, tetapi ketika menoleh dan melihat kepala si kakek mengucurkan darah, ia menjadi tidak tega, katanya:

“Jangan-jangan paman tua itu sudah terbentur mati, mari kita memeriksanya.”

“Kalau mati kan jadi setan?” ujar Bu-siang.

Thia Eng terkejut, ia takut si kakek akan menjadi setan, ia pun takut kalau si kakek tiba-tiba siuman kemudian mencengkeramnya lagi sambil mengucapkan perkataan yang sama sekali tidak dipahami apa maksudnya. Akan tetapi dia pun tidak tega dan merasa kasihan melihat muka si kakek penuh darah, ia coba menghibur dirinya sendiri: “Tidak, kakek aneh itu bukan setan, aku tidak takut, ia pun takkan mencengkeram aku lagi.”

Segera ia lepaskan pegangan tangan Bu-siang dan mendekati si kakek sambil berseru: “Kong-kong, apakah kau kesakitan?”

Terdengar orang aneh itu merintih satu kali, tapi tidak menjawab. Thia Eng menjadi sedikit tabah. Dia keluarkan sapu tangan untuk menutupi luka si kakek. Tetapi luka itu agaknya cukup hebat, hanya sekejap saja sapu tangan Thia Eng sudah basah kuyup oleh darah yang terus mengucur keluar. Dia berpikir sejenak, kemudian tiba-tiba ia merobek ujung bajunya sendiri untuk menggantikan sapu tangan yang penuh darah.

“He, kalau pulang nanti tentu kau akan dimarahi ayah,” ujar Bu-siang.

“Betapa pun juga tetap akan dimarahi, biar saja,” kata Thia Eng. Dia tekan luka si kakek sehingga darah tidak merembes lagi.

Selang tak lama, perlahan-lahan kakek itu membuka matanya. Melihat Thia Eng duduk di sampingnya, katanya sambil menghela napas:

“Buat apa kau menolong aku? Lebih baik aku mati saja.”

Thia Eng gembira melihat si kakek sudah siuman, dengan suara lembut ia pun bertanya: “Kepalamu sakit tidak?”

“Kepala tidak sakit, hati yang sakit,” jawab si kakek dengan suara pedih.

Thia Eng menjadi heran. Sungguh aneh, luka pada kepala separah itu katanya tidak sakit, tapi malah hatinya yang dikatakan sakit. Dia pun tidak bertanya lagi, kembali dia merobek sepotong kain bajunya untuk membalut lukanya.

Si kakek menghela napas lagi kemudian bangkit, katanya: “Kau tak mau bertemu lagi dengan aku, apakah kita akan berpisah dengan begini saja? Satu titik air mata saja tidak mau kau teteskan bagiku?”

Mendengar suara sedemikian memilukan, sedemikian berduka, dilihatnya pula wajah si kakek yang jelek itu penuh darah, tetapi sorot matanya memancarkan perasaan memohon dengan sangat, tanpa terasa hati Thia Eng menjadi terharu dan turut berduka, air matanya pun bercucuran tanpa tertahankan, bahkan tanpa kuasa dia terus merangkul si kakek, tiba-tiba ia merasa orang tua aneh ini seperti orang yang paling dekat dan paling rapat dengan dirinya.

Menyaksikan mereka tanpa sebab saling rangkul dan menangis dengan lucu itu, Liok Bu-siang menjadi geli, tak tertahan ia tertawa terbahak-bahak

Mendengar suara tertawanya, mendadak orang aneh itu melepaskan Thia Eng, ia berlari ke depan Bu-siang dan menatapnya tajam, tiba-tiba ia menengadah dan berkata dengan gegetun:

“Ya, kau sering kasihan kepadaku, tetapi juga selalu mengejek aku, kau sudah menyiksa diriku sedemikian rupa.”

Habis menggumam, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ia memandang Bu-siang lagi dengan teliti, lalu memandang Thia Eng, kemudian berkata:

“Tidak, tidak... kau bukan dia, kau masih kecil. Pernah apa Ho Wan-kun dengan kalian? Mengapa kalian sedemikian mirip dia?”

Usia Thia Eng dan Bu-siang memang sebaya, tetapi gerak-gerik mereka dan sifat masing-masing boleh dikatakan berlawanan sama sekali, bahkan wajah mereka pun tidak sama. Raut muka Thia Eng berbentuk bulat telur, kulit badannya putih mulus, sedangkan muka Bu-siang berbentuk daun sirih, kulitnya hitam manis, meski usianya lebih muda setengah tahun, tapi perawakannya ramping semampai sehingga malah lebih tinggi dari pada sang Piauci.

Karena merasa bingung atas kata-kata si kakek, Bu-siang lantas menanggapi: “Aku tidak tahu siapa yang kau tanyakan, cuma aku dan Piauci sama sekali tidak mirip, mana bisa menyerupai seseorang?”

Kakek itu mengamat-amati lagi kedua anak dara itu, mendadak ia mengetok kepalanya sendiri dan berkata:

“Ya, aku benar-benar goblok. Kau she Liok bukan?”

“Ya, dari mana kau tahu?” jawab Bu-siang.

Orang tua itu tidak menjawab, malah ia bertanya lagi: “Kakekmu bernama Liok Tian-goan bukan?”

“Benar,” jawab Bu-siang sambil mengangguk

Untuk sejenak kakek itu termenung, sekonyong-konyong dia pegang bahu Thia Eng terus diangkat tinggi-tinggi ke atas, katanya dengan suara halus:

“Anak dara yang baik, kau she apa? Cara bagaimana kau memanggil Liok Tian-goan?”

Kini Thia Eng tidak punya rasa takut lagi, jawabnya: “Aku she Thia, Gwakong (kakek luar) she Liok, ibuku juga she Liok.”

“Ya, ya, kini tahulah aku. Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun melahirkan seorang putera dan seorang puteri,” kata orang aneh itu. Lalu ia tuding Bu-siang dan melanjutkan: “Puteranya adalah ayah-mu.” Kemudian dia menurunkan Thia Eng dan berkata sambil menudingnya: “Dan puterinya ialah ibumu, Pantas kalian berdua menyerupai Ho Wan-kun hanya separo-separo, yang satu pendiam, yang lain nakal, yang satu welas asih, yang lain kejam.”

Thia Eng tidak tahu bahwa nenek-luarnya bernama Ho Wan-kun, juga Bu-siang tak kenal nama neneknya, hanya di dalam hati samar-samar ia merasakan si kakek aneh ini pasti mempunyai hubungan yang erat dengan leluhurnya. Dengan melenggong mereka memandangi kakek aneh itu.

“Mana Gwakongmu? Maukah kau membawa aku menemuinya?” kata si kakek pula.

“Gwakong sudah tidak ada lagi,” jawab Thia Eng.

“Tidak ada lagi? Mengapa tidak ada, kami sudah berjanji akan bertemu besok lusa,” tukas kakek itu dengan melengak.

“Sudah beberapa bulan Gwakong meninggal dunia,” jawab Thia Eng. “Lihatlah, bukankah kami berkabung semua?”

Benar juga. Si kakek melihat pada kuncir rambut dua anak dara itu sama terikat oleh pita putih sebagai tanda berkabung, seketika hati si kakek menjadi limbung, dia menggumam sendiri:

“Dia telah paksa aku memakai celana wanita selama 40 tahun dan kini dia tinggal pergi begitu saja? Hm, hmm..., ketekunan belajarku selama 40 tahun ini jadi sia-sia.”

Habis berkata mendadak dia menengadah dan tertawa terbahak-bahak, suara tertawanya berkumandang hingga jauh dan penuh mengandung perasaan sesal dan penasaran yang tak terhingga.

Sementara itu hari telah menjelang magrib, suasana sudah remang-remang. Kini Liok Bu-siang menjadi rada takut, ia tarik lengan baju sang Piauci lantas berkata:

“Piauci, marilah kita pulang saja!”

Mendadak si kakek berkata pula: “Jika begitu tentu Wan-kun juga sangat berduka dan kesepian, “Ehh, anak dara yang baik, bawalah aku menemui nenek-luarmu.”

“Tidak ada, nenek-luar juga sudah tidak ada,” jawab Thia Eng.

“Apa katamu?” mendadak kakek itu melonjak tinggi sekali sambil berteriak menggeledek: “Di mana nenek-luarmu?”

Muka Thia Eng menjadi pucat, jawabnya dengan gemetar: “Nenek juga tidak... tidak ada, nenek dan kakek meninggal ber... bersama, Kongkong, janganlah kau menakuti aku, ak... aku takut!”

“Dia sudah mati? Jadi dia sudah mati!” mendadak kakek aneh itu memukul-mukul dada sendiri “Tidak, tidak! Dia belum bertemu dengan aku dan mohon diri padaku, dia tak boleh mati. Dia telah berjanji padaku pasti akan bertemu sekali lagi.”

Kakek itu berteriak-teriak sambil berjingkrak seperti orang gila. Tiba-tiba sebelah kakinya menyapu, “krak”, sebatang pohon kecil tersapu patah menjadi dua. Memang kakek ini sudah angin-anginan, sekarang dia mengamuk, tampaknya menjadi tambah gila dan amat menakutkan.

Thia Eng menggandeng tangan Bu-siang dan menyingkir jauh ke sana, mereka ketakutan dan tak berani mendekat.

Si kakek mendadak merangkul sebatang pohon Liu dan digoyang-goyangkan sekuatnya, Tetapi pohon Liu itu cukup besar sehingga si kakek tidak mampu membetotnya keluar, ia menjadi murka dan berteriak:

“Kau sendiri sudah berjanji, apakah kau sudah lupa? Kau mengatakan akan bertemu lagi dengan aku!”

Dia berteriak semakin keras, akhirnya suaranya menjadi parau dan masih terus berusaha membetot keluar pohon Liu tadi. Mendadak ia berjongkok kemudian mengerahkan segenap tenaganya sambil membentak:

“Keluar!”

Namun pohon Liu itu tetap sukar terbetot keluar, sebaliknya tertarik oleh tenaga si kakek yang maha kuat, pohon itu menjadi patah bagian tengah. Sambil merangkul patahan pohon Liu kakek itu termangu sejenak, tiba-tiba ia bergumam pula:

“Dia sudah meninggal, sudah meninggal!”

Ketika dia ayun potongan pohon itu terus dilemparkan, bagaikan payung raksasa saja pohon Liu itu terlempar jauh dan jatuh ke tanah. Sejenak kemudian air muka si kakek tampak berubah menjadi tenang, dengan ramah dia mendekati Thia Eng berdua dan berkata dengan tersenyum:

“Kongkong sudah menakuti kalian ya? Di manakah kuburan kakek dan nenekmu? bawalah aku ke sana.”

Bu-siang meremas tangan sang Piauci, maksudnya supaya Thia Eng jangan memberi-tahu, tetapi dalam hati Thia Eng merasa sangat kasihan kepada kakek aneh itu. Tanpa pikir ia terus menuding pada dua pohon besar di kejauhan sambil berkata:

“Itu, berada di bawah kedua pohon itu!”






OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar