Kwee Ceng hendak menghibur, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Khan yang Agung menjepit perut kudanya, me¬larikan binatang tunggangannya itu ke utara. Kwee Ceng khawatir orang itu akan mendapat celaka, maka ia lantas menyusul. Kuda merahnya berlari kencang sekali, sebentar saja sudah berhasil mengejar dan mendahului kuda Khan. Jenghis Khan menahan kudanya, memandang ke empat penjuru.
"Anak Ceng." ia berkata, "Negara besar yang kubangun ini berzaman-zaman tidak ada bandingan¬nya! Dari tengah-tengah negaraku ini untuk sampai di daerah yang paling ujung, timur, selatan, barat, dan utara, membutuhkan waktu perjalanan setahun lamanya! Katakan, di antara pendekar-pendekar di zaman dulu hingga sekarang ini, siapakah yang dapat melawanku?”
Kwee Ceng berdiam sekian lama, lalu baru menyahut, "Dalam hal kegagahan, sejak dulu hing¬ga sekarang, tak ada orang dapat menandingi Khan; tapi karena keangkeran Khan, di kolong langit ini entah telah berapa banyak tulang yang bertumpuk, serta berapa banyak air mata anak-anak yatim dan janda yang telah mengalir...."
Sepasang alis Jenghis Khan berdiri, cambuknya menyambar ke pundak si pemuda. Kwee Ceng melihatnya, tapi tidak takut, ia diam saja. Cambuk itu berhenti di udara.
"Apa kau bilang?" bentak pendekar Mongolia itu.
Kwee Ceng berpikir, "Setelah hari ini dan selanjutnya, pasti aku dan Khan tak bakal bertemu lagi. Maka biarpun dia gusar sekali, apa yang kupikirkan mesti kuutarakan!" Maka ia menyahut dengan gagah,
"Khan yang Agung! Kau telah membesarkan dan mendidikku, tapi kau juga telah memaksakan kematian ibuku! Itu budi dan dendam pribadi, tak usahlah dibicarakan! Sekarang aku hendak menanyakan padamu satu pertanyaan saja: Kalau orang telah mati, berapa luas tanah yang diperlukan untuk menguburkannya?"
Jenghis Khan melengak, lalu mengayunkan cambuknya melingkar. "Kurang-lebih seluas ini," sahutnya.
"Benar," kata Kwee Ceng. "Hingga kini kau telah membinasakan demikian banyak orang, telah mengalirkan demikian banyak darah, juga telah merampas demikian banyak negara, akhirnya, apa gunanya semua itu?"
Khan Agung, pendekar besar Mongolia itu ter¬diam. Ia tidak sanggup membuka mulutnya.
Kwee Ceng berkata lagi, "Pendekar zaman dulu hingga sekarang, mereka yang dikagumi di kemudi¬an hari, mestilah orang yang telah membuat rakyat bahagia dan yang mencintai rakyatnya! Menurut pandanganku sendiri, orang yang membunuh ba¬nyak orang belum tentu pendekar!"
"Pendekar" yang dimaksudkan Kwee Ceng ialah eng hiong.
"Apakah seumur hidup aku belum pernah me¬lakukan perbuatan baik?" tanya Khan.
"Perbuatan baik itu pasti ada dan juga sering sekali," jawab Kwee Ceng. "Kau telah menyerang ke Selatan dan menyerbu ke Utara, kau telah menumpuk mayat setinggi gunung, apakah itu yang dinamakan jasa atau dosa, itu sukar dibilang...." Kwee Ceng jujur, maka apa yang ia pikirkan segera diutarakannya.
Jenghis Khan besar kepala, ia biasa puas akan dirinya sendiri. Sekarang di saat-saat hari akhirnya. ia mesti mendengar kata-kata tajam itu, ia ke¬habisan kata-kata untuk menjawab. Di benaknya lantas terbayang segala perbuatannya di masa lalu. Ia memandang sekelilingnya, seakan merasa ke¬hilangan sesuatu. Sesaat kemudian mendadak ia berseru, lalu memuntahkan darah segar.
Kwee Ceng kaget. Ia lantas sadar bahwa bicara¬nya terlalu tajam, la memayang pendekar itu.
"Kha Khan, mari kita pulang untuk beristirahat," katanya. "Barusan aku telah salah omong, harap dimaafkan."
Tapi Jenghis Khan tertawa, tawar tawanya, paras¬nya pun menjadi kuning pucat. "Orang di kiri-kananku," katanya, "tidak ada seorang pun yang bernyali besar seperti kau, yang berani omong padaku secara begini jujur."
Ia mengangkat alisnya hingga tampak jumawa. Ia berkata lantang, "Seumur hidup aku telah malang melintang di kolong langit ini, aku telah memukul musnah negara lain tak terhitung banyaknya, tapi menurutmu aku bukanlah pendekar! Hm, sungguh kata-kata seorang bocah!" Ia mencambuk kudanya, melarikannya pulang.
Malam itu Jenghis Khan berpulang ke alam lain dalam Kemah Emas-nya. Sesuai dengan pesan¬nya yang terakhir, Ogotai menggantikannya menjadi khan yang maha agung. Di saat napas terakhirnya, beberapa kali ia menyebut, "Pendekar... pendekar..." Rupanya ia sangat terpengaruh ucapan Kwee Ceng.
Kwee Ceng dan Oey Yong menanti sampai upacara pemakaman selesai. Hari itu juga mereka kembali ke Selatan. Di sepanjang jalan mereka terharu melihat banyaknya kerangka para korban bencana perang berserakan di sela-sela rerumputan tebal. Mereka mengangankan datangnya zaman aman dan damai hingga rakyat dapat hidup tenteram dan bahagia.
"Anak Ceng." ia berkata, "Negara besar yang kubangun ini berzaman-zaman tidak ada bandingan¬nya! Dari tengah-tengah negaraku ini untuk sampai di daerah yang paling ujung, timur, selatan, barat, dan utara, membutuhkan waktu perjalanan setahun lamanya! Katakan, di antara pendekar-pendekar di zaman dulu hingga sekarang ini, siapakah yang dapat melawanku?”
Kwee Ceng berdiam sekian lama, lalu baru menyahut, "Dalam hal kegagahan, sejak dulu hing¬ga sekarang, tak ada orang dapat menandingi Khan; tapi karena keangkeran Khan, di kolong langit ini entah telah berapa banyak tulang yang bertumpuk, serta berapa banyak air mata anak-anak yatim dan janda yang telah mengalir...."
Sepasang alis Jenghis Khan berdiri, cambuknya menyambar ke pundak si pemuda. Kwee Ceng melihatnya, tapi tidak takut, ia diam saja. Cambuk itu berhenti di udara.
"Apa kau bilang?" bentak pendekar Mongolia itu.
Kwee Ceng berpikir, "Setelah hari ini dan selanjutnya, pasti aku dan Khan tak bakal bertemu lagi. Maka biarpun dia gusar sekali, apa yang kupikirkan mesti kuutarakan!" Maka ia menyahut dengan gagah,
"Khan yang Agung! Kau telah membesarkan dan mendidikku, tapi kau juga telah memaksakan kematian ibuku! Itu budi dan dendam pribadi, tak usahlah dibicarakan! Sekarang aku hendak menanyakan padamu satu pertanyaan saja: Kalau orang telah mati, berapa luas tanah yang diperlukan untuk menguburkannya?"
Jenghis Khan melengak, lalu mengayunkan cambuknya melingkar. "Kurang-lebih seluas ini," sahutnya.
"Benar," kata Kwee Ceng. "Hingga kini kau telah membinasakan demikian banyak orang, telah mengalirkan demikian banyak darah, juga telah merampas demikian banyak negara, akhirnya, apa gunanya semua itu?"
Khan Agung, pendekar besar Mongolia itu ter¬diam. Ia tidak sanggup membuka mulutnya.
Kwee Ceng berkata lagi, "Pendekar zaman dulu hingga sekarang, mereka yang dikagumi di kemudi¬an hari, mestilah orang yang telah membuat rakyat bahagia dan yang mencintai rakyatnya! Menurut pandanganku sendiri, orang yang membunuh ba¬nyak orang belum tentu pendekar!"
"Pendekar" yang dimaksudkan Kwee Ceng ialah eng hiong.
"Apakah seumur hidup aku belum pernah me¬lakukan perbuatan baik?" tanya Khan.
"Perbuatan baik itu pasti ada dan juga sering sekali," jawab Kwee Ceng. "Kau telah menyerang ke Selatan dan menyerbu ke Utara, kau telah menumpuk mayat setinggi gunung, apakah itu yang dinamakan jasa atau dosa, itu sukar dibilang...." Kwee Ceng jujur, maka apa yang ia pikirkan segera diutarakannya.
Jenghis Khan besar kepala, ia biasa puas akan dirinya sendiri. Sekarang di saat-saat hari akhirnya. ia mesti mendengar kata-kata tajam itu, ia ke¬habisan kata-kata untuk menjawab. Di benaknya lantas terbayang segala perbuatannya di masa lalu. Ia memandang sekelilingnya, seakan merasa ke¬hilangan sesuatu. Sesaat kemudian mendadak ia berseru, lalu memuntahkan darah segar.
Kwee Ceng kaget. Ia lantas sadar bahwa bicara¬nya terlalu tajam, la memayang pendekar itu.
"Kha Khan, mari kita pulang untuk beristirahat," katanya. "Barusan aku telah salah omong, harap dimaafkan."
Tapi Jenghis Khan tertawa, tawar tawanya, paras¬nya pun menjadi kuning pucat. "Orang di kiri-kananku," katanya, "tidak ada seorang pun yang bernyali besar seperti kau, yang berani omong padaku secara begini jujur."
Ia mengangkat alisnya hingga tampak jumawa. Ia berkata lantang, "Seumur hidup aku telah malang melintang di kolong langit ini, aku telah memukul musnah negara lain tak terhitung banyaknya, tapi menurutmu aku bukanlah pendekar! Hm, sungguh kata-kata seorang bocah!" Ia mencambuk kudanya, melarikannya pulang.
Malam itu Jenghis Khan berpulang ke alam lain dalam Kemah Emas-nya. Sesuai dengan pesan¬nya yang terakhir, Ogotai menggantikannya menjadi khan yang maha agung. Di saat napas terakhirnya, beberapa kali ia menyebut, "Pendekar... pendekar..." Rupanya ia sangat terpengaruh ucapan Kwee Ceng.
Kwee Ceng dan Oey Yong menanti sampai upacara pemakaman selesai. Hari itu juga mereka kembali ke Selatan. Di sepanjang jalan mereka terharu melihat banyaknya kerangka para korban bencana perang berserakan di sela-sela rerumputan tebal. Mereka mengangankan datangnya zaman aman dan damai hingga rakyat dapat hidup tenteram dan bahagia.
T A M A T
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================



Tidak ada komentar:
Posting Komentar