Minggu, 25 April 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 160

Kwee Ceng menghela napas. "Sebenarnya rakyat Song jauh lebih banyak dari¬pada rakyat Mongolia," katanya kemudian. "Di antara para tentara dan rakyat itu, masih ada yang setia pada negara. Kalau mereka bisa bersatu, kita tak usah takut menghadapi tentara Mongolia. Sayang banyak pembesar negeri ini yang tolol dan bernyali kecil, cuma bisa memeras dan menyiksa rakyat, tanpa sadar mereka mencelakakan negara."

"Kalau terpaksa, biarlah kita coba melabrak pasukan Mongolia itu," kata Oey Yong. "Kita bisa mengandalkan kuda merah kita...."

"Yongji, sikapmu keliru," kata Kwee Ceng sungguh-sungguh. "Kita telah mempelajari kitab perang Gak Bu Bok, kenapa kita tak mau meniru kegagahannya dalam membela negara dengan ber¬bekalkan kesetiaan kita? Kalau kita berkorban untuk negara, kita takkan mengecewakan orangtua yang telah merawat kita dan guru yang telah mendidik kita!"

Si nona menghela napas. "Aku memang telah menduga pasti hal seperti ini akan terjadi," katanya. "Baiklah, mati atau hidup kita tetap bersama!"

Setelah berpikir demikian, mereka menjadi se¬dikit lega. Lantas mereka kembali ke penginapan. Kali ini hubungan mereka semakin erat. Mereka minum arak sampai pukul dua. Saat akan berangkat tidur, mereka dikagetkan bunyi riuh dari luar kota.

"Mereka tiba!" kata si nona.

"Ya!" sahut si pemuda.

Keduanya berlari keluar, terus menuju tembok kota. Mereka menyaksikan rakyat negeri, tua-muda, pria-wanita, berduyun-duyun dan berkumpul di balik tembok kota hendak masuk kota, namun mereka dihalangi. Pintu kota dikunci rapat. Ke¬mudian datang pasukan yang dikirim Lu An-bu-su yang siap dengan panah. Mereka memerintahkan rakyat menyingkir menjauh.

"Tentara Mongolia datang menyerang! Lekas buka pintu, biarkan kami masuk!" rakyat berteriak-teriak.

Pintu kota tetap tertutup. Saking takutnya, rakyat berteriak-teriak makin hebat, banyak pula yang menangis.

Kwee Ceng berdua memandang ke tempat jauh, mereka melihat cahaya api berlugat-legot bagaikan naga api sedang mendekat. Itulah pasukan depan angkatan perang Mongolia. Jelas mereka tidak kem¬bali ke negara mereka, melainkan maju terus, berarti rakyat dan tentara pembela kota bakal bertempur.

Dalam keadaan seperti itu, mendadak pemuda ini mengambil keputusan. Tiba-tiba ia berseru-seru,

"Kalau kota Siangyang pecah, tak seorang pun bakal hidup! Siapa yang merasa laki-laki sejati, turut aku menerjang musuh!"

Punggawa di pintu kota itu orang kepercayaan Lu An-bu-su, ia gusar sekali melihat perbuatan Kwee Ceng. Ia berteriak menitahkan,

"Tangkap orang itu! Dia mengacaukan rakyat!"

Tapi Kwee Ceng sudah bertindak. Ia melompat turun, menyambar dada punggawa itu, mengangkat tubuhnya, maka sekejap kemudian ia menggantikan duduk di punggung kuda si punggawa.

Di antara para tentara itu banyak yang gagah dan mencintai negara. Mereka tidak tega menyaksi¬kan rakyat di balik tembok berteriak-teriak dan menangis minta dibukakan pintu kota. Mereka me¬nyambut sepak terjang Kwee Ceng, tidak meng¬ambil mumet titah punggawa mereka.

Kwee Ceng senang melihat sikap pasukan itu. "Lekas perintahkan membuka pintu kota!" pe¬rintahnya.

Si punggawa masih menyayangi jiwanya, ter¬paksa ia menurut. Begitu pintu kota dibuka, bagaikan banjir yang meluap rakyat berlomba masuk.

Kwee Ceng menyuruh Oey Yong menjaga si punggawa, sedangkan ia sendiri menuju ke luar kota dengan menunggang kuda dan membawa tombak.

"Baik." sahut si nona. Ia menyuruh si punggawa melepaskan baju perangnya untuk dipakai Kwee Ceng. Setelah itu ia berbisik pada kekasihnya, "Dengan memakai perintah palsu, pergilah kau membawa tentara ke luar kota."

Kwee Ceng girang. Siasat itu baik sekali. Maka ia maju dan segera berseru, "Atas perintah Sri Baginda Raja, An-bu-su kota Siangyang, yang tolol dan memandang enteng musuh, dipecat dari jabat¬annya! Para tentara semua, ayo ikuti aku meng¬hadang musuh!"

Dengan bantuan tenaga dalamnya, Kwee Ceng bersuara keras hingga terdengar sampai jauh, walaupun di balik tembok suasana sangat berisik. Semua serdadu mendengarnya dengan nyata. Ba¬nyak serdadu yang menyangsikan titah yang datang¬nya mendadak. Tetapi banyak juga yang tahu bahwa an-bu-su mereka memang tolol dan mereka mengerti pentingnya melawan musuh itu, maka segera terdengar seruan sambutan yang riuh.

Sebentar saja Kwee Ceng sudah berada di luar tembok kota bersama sekitar tiga ribu serdadu, la menyesal melihat tentara itu tidak tertib. Mana bisa mereka diajak berperang melawan musuh yang berjumlah besar? Ia ingin menerapkan siasat Gak Hui, saat terjepit, lebih baik menggunakan akal muslihat, la memerintahkan seribu serdadu pergi ke balik gunung sebelah timur untuk bersembunyi. Mereka dipesan, kalau mendengar tanda letusan meriam, mereka mesti bersorak-sorai sambil me-lambai-lambaikan bendera tapi jangan keluar ber¬perang. Seribu serdadu lebih lainnya diperintahkan¬ sembunyi di balik gunung barat dengan tugas serupa.

Sampai fajar tiba, barulah semua rakyat berhasil masuk kota dengan selamat. Sebagai ganti mereka, segera terlihat kedatangan para musuh. Bunyi tetabuhan perang serta langkah kaki pasukan musuh berisik sekali. Debu mengepul tinggi.

Selagi musuh berdatangan, Oey Yong menotok punggawa yang diserahkan padanya. Ia melemparkan orang itu ke luar pintu kota, lantas meminta kuda dan tombak dari salah satu serdadu untuk menyusul Kwee Ceng.

"Pentang keempat pintu kota." Kwee Ceng mem¬berikan perintahnya lagi. "Semua rakyat harus sem¬bunyi di dalam rumah. Siapa yang lancang keluar akan dihukum penggal!"

Perintah itu ditaati terutama oleh rakyat, tanpa titah itu pun mereka tidak akan berani muncul di luar rumah. Di dalam gedungnya, An-bu-su bersembunyi di bawah kasur dengan tubuh gemetaran.

Pasukan Mongolia telah sampai dengan cepat. Mereka melihat pintu-pintu kota terpentang dan kota dalam keadaan sepi. Di muka jembatan gan¬tung bersiaga sepasang pria dan wanita yang me¬nunggang kuda dan bersenjatakan tombak. Punggawa yang memimpin pasukan depan itu seorang cianhu-tio. Ia heran, maka ia lantas melapor pada kepalanya, seorang banhu~rio. Orang ini pun tidak kurang herannya. Ia langsung maju untuk me¬nyaksikan sendiri,

Banhu-tw ini terkejut ketika mengenali Kwee Ceng. Selama berperang ke Barat, Kim Too Huma itulah yang paling berakal dan gagah, sehingga tentara berpayungnya berhasil merampas kota Samarkand. Ia curiga melihat pintu kota dipentang dan kota kosong. Cepat-cepat ia menghampiri Kwee Ceng, lalu turun dari kudanya dan memberi hormat. Ia memanggil,

"Kim Too Huma yang mulia!"

Kwee Ceng membalas hormat, tanpa bilang apa-apa. Segera banhu-tio itu mengundurkan diri sembari mengundurkan pasukannya. Segera ia mengirim kabar kepada kepala perangnya. Sejam kemudian muncul pasukan dengan bendera besar, dipimpin oleh seorang panglima muda yang diiringi banyak punggawa. Ia adalah Pangeran Ke¬empat, Tuli. Si pangeran langsung melarikan kuda¬nya keluar dari barisan dan maju.

"Anda Kwee Ceng!" serunya. "Kau baik-baik saja?"

Kwee Ceng melarikan kudanya untuk menyambut. "Anda Tuli!" serunya. "Kiranya kau!"

Biasanya kalau bertemu, mereka berdua saling merangkul, namun sekarang mereka tidak terlalu mendekat, melainkan sama-sama menahan kuda masing-masing.

"Anda," Kwee Ceng bertanya, "kau mengepalai pasukan perang untuk menyerang Negeri Song, bukan ?”

"Aku menerima titah ayahku, aku tidak merdeka," sahut Tuli. "Kuminta kau mau memaafkanku."

Kwee Ceng memandang pasukan musuh yang entah berapa laksa jumlahnya."Kalau pasukan berkuda itu menyerbu, hari ini habislah jiwaku...," pikirnya. Lantas ia menghadap pada pangeran Mongolia itu lagi dan berkata,

"Baiklah! Nah. ambillah jiwaku."

Tuli terperanjat, ia pun segera berpikir, "Dia sangat pandai mengatur tentara, aku bukan tanding¬annya. Lagi pula. kami bagaikan saudara kandung, mana bisa aku merusak persaudaraan ini...?" Oleh karena itu. ia menjadi ragu-ragu.

Oey Yong menyaksikan semua itu. Ia lantas berpaling ke arah kota, melambaikan tangan kanannya. Tentara di dalam kota melihat isyarat itu, mereka langsung menyulut meriam. Maka bergemalah bunyi ledakan, disusul dengan sambutan tentara yang bersembunyi di balik gunung timur. Mereka ber¬sorak-sorai dan melambai-lambaikan bendera.

Tuli kaget hingga air mukanya berubah. Ledakan meriam yang pertama disusul dengan yang kedua dan disusul lagi dengan sambutan tentara yang bersembunyi di balik gunung barat.

"Celaka, aku terjebak!" pikir pangeran ini kaget.

Tanpa membuang waktu lagi ia menitahkan pasukan perangnya mundur sampai tiga puluh li. Untuk ini, tentaranya cuma perlu membalik tubuh, maka lantas pasukan belakang menjadi pasukan depan dan pasukan depan sendiri menjadi pasukan belakang. Tuli tidak tahu berapa besar pasukan musuh, tetapi karena ia sudah jeri terlebih dulu terhadap Kwee Ceng, mundur adalah jalan yang paling aman baginya.

Melihat mundurnya musuh, Kwee Ceng berpaling pada Oey Yong dan tertawa, si nona me¬nyambutnya sambil tertawa juga,

"Kakak Ceng, aku memberimu selamat untuk Khong Shia Kee ini!" si nona memuji.

Khong Shia Kee adalah akal muslihat mengosong¬kan kota untuk menggertak musuh. Siasat itu juga dapat dipakai untuk menjebak musuh agar masuk ke kota dan kemudian dikepung.




Sehabis tertawa, Kwee Ceng memperlihatkan roman berduka. "Tuli itu gagah dan ulet," katanya. "Sekarang dia memang mundur, tapi besok dia pasti bakal datang lagi. Bagaimana kita melawannya?"

Oey Yong menginsafi itu, ia lantas berpikir. "Aku punya satu cara, tapi aku khawatir lantaran kau mengingat persaudaraan dengannya, kau takkan sudi turun tangan melakukannya." katanya kemudian.

Kwee Ceng terkesiap. "Kau menghendaki aku pergi membunuhnya diam-diam?" tanyanya.

"Dia putra kesayangan Jenghis Khan," kata si nona. "Dia juga berbeda dari panglima-panglima perang lainnya, satu kali dia mati, pasti musuh mundur dengan sendirinya!"

Kwee Ceng tertunduk diam. Mereka kembali ke dalam kota. Semua tentara ditarik pulang, semua pintu kota ditutup rapat dan dijaga. Untuk sesaat kota tampak kacau. Setelah mendapat laporan bagaimana dengan omong sedikit saja Kwee Ceng berdua dapat meng¬undurkan musuh. Lu An-bu-su sendiri pergi me¬nemui muda-mudi itu untuk menghaturkan terima kasih. Kwee Ceng menggunakan kesempatan itu untuk membicarakan soal pembelaan kota.

An-bu-su menjadi berkecil hati dan tubuhnya lemas begitu mendengar bahwa musuh akan datang lagi besok, sampai-sampai ia tidak dapat buka suara, kemudian berulang-ulang menitahkan,

"Siap¬kan joli, pulang!" la telah memutuskan untuk kabur meninggalkan kota.

Kwee Ceng berduka. Meski Oey Yong telah memasak sayur lezat, ia tidak bernafsu makan. Apalagi ketika malam datang dan sang jagat gelap gulita, di sana-sini terdengar tangis rakyat yang ketakutan. Ia membayangkan besok siang tentu bakal tidak ada lagi tentara atau rakyat, semuanya bakal terbasmi habis oleh tentara Mongolia yang ganas itu. Di depan matanya berkelebat peristiwa dahsyat, kejam, dan menyedihkan di kota Samarkand.

"Yongji." katanya, mendadak tangan kirinya menggebrak meja. "Di zaman dulu. demi negara orang dapat membunuh sanak atau temannya sen¬diri, maka sekarang mana bisa aku memberatkan saudara angkat lagi!"

Oey Yong menarik napas panjang. "Memang urusan kita ini sulit sekali," katanya.

Kwee Ceng telah memutuskan, maka ia lantas berganti pakaian, lalu bersama Oey Yong ia me¬nunggang kuda merahnya menuju ke utara. Setelah mendekati kubu tentara Mongolia, mereka menambatkan kuda mereka di kaki gunung, lalu de¬ngan berjalan kaki mereka menghampiri musuh untuk mencari kemah Tuli. Tidak sulit mereka menemukannya.

Mula-mula Kwee Ceng membekuk dua serdadu ronda dengan menotok mereka. Sesudah mereka tidak berdaya, ia merampas seragamnya untuk dipakainya bersama Oey Yong. Dengan begini me¬reka bisa berkeliaran dengan lebih leluasa. Ia me¬ngerti bahasa Mongol, juga segala peraturan ke¬tentaraannya, maka dengan cepat mereka berdua tiba di kemah Tuli. Karena langit gelap, mereka berhasil menyelinap ke belakang tenda dan ber¬sembunyi sambil mengintai.

Tuli belum beristirahat, bahkan masih mondar-¬mandir dengan gelisah. Lalu ia berkata, “Kwee Ceng, Anda! Anda Kwee Ceng!"

Kwee Ceng terkejut, ia menyangka Tuli sudah mengetahui kedatangannya hingga ia nyaris me¬nyahut. Oey Yong melihat gelagat itu, maka buru-buru ia membekap mulut si pemuda.

"Ah...!" pikir Kwee Ceng tersadar.Ia sedih. Dalam hati ia memaki ketololannya.

Oey Yong menghunus belatinya sambil berbisik di kuping kekasihnya, "Lekas turun tangan! Seorang laki-laki mesti tegas, tak boleh ragu!"

Berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar derap langkah kuda, lantas tampak seorang pe¬nunggang kuda mendatangi kemah besar itu. Kwee Ceng tahu, itu berarti ada urusan penting.

“Tunggu dulu," bisik si nona. "Kita dengar dulu apa kabar penting ini."

Penunggang kuda itu seorang pesuruh berseragam kuning, la melompat turun dari kuda, lalu berlari ke dalam kemah, setelah menghormat pada Tuli, ia berkata,

"Tuan Pangeran, ada titah dari Khan yang Agung!"

"Apa kata Kha Khan?" tanya Tuli.

Bangsa Mongol belum lama mempunyai bahasa tulis, apalagi Jenghis Khan tidak dapat membaca dan menulis, maka apabila mengeluarkan perintah, ia memberikannya secara lisan. Supaya tidak lupa, si pesuruh disuruhnya menghafalkan titahnya dulu hingga mengingat dengan baik. Titah itu dilagukan. Demikian juga utusan ini, sambil berlutut ia me¬nyanyikan titah Khan Agung yang telah dihafalnya di luar kepala. Orang itu baru menyanyikan tiga baris kata-¬kata, namun Kwee Ceng sudah terkejut sekali, sedangkan Tuli mencucurkan air mata.

Jenghis Khan sudah berusia lanjut, belakangan ini kesehatannya sering terganggu. Karena mendapat firasat bahwa mungkin ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, ia mengeluarkan titah untuk memanggil Tuli supaya segera pulang dan bertemu dengannya.

Dalam penutup titah itu, Khan juga memberitahukan bahwa ia merindukan Kwee Ceng. Maka ia berpesan, kalau di Selatan putranya itu bertemu dengan Kwee Ceng, ia meminta supaya pemuda itu diajak pergi bersama ke Utara, agar Khan yang Agung dapat melihatnya untuk yang terakhir kalinya....

Sampai di situ tanpa sadar Kwee Ceng meng¬gurat tenda dengan belati di tangannya, la me¬lompat masuk.

"Anda Tuli, aku akan pergi bersamamu!" serunya.

Tuli kaget bukan main, tetapi setelah mengenali pemuda itu, ia girang bukan buatan. Keduanya lantas saling merangkul. Si utusan juga mengenali Kwee Ceng, ia mem¬beri hormat sambil terus berlutut, lalu berkata.

"Kim Too Huma, Khan yang Agung menitahkan supaya Huma yang Mulia pergi ke Kemah Emas untuk menemuinya!"

Hati Kwee Ceng tercekat mendengar ia tetap dipanggil Kim Too Huma. Tentu saja ia khawatir Oey Yong curiga. Maka ia lari ke luar tenda, meng¬hampiri si nona, lantas menariknya seraya berkata,

"Yongji, mari kita pergi dan nanti pulang bersama!"

Nona itu diam.

"Yongji, kau percaya aku atau tidak?” Kwee Ceng bertanya.

Tiba-tiba nona itu tertawa dan berkata. "Jika kau berniat untuk menjadi huma atau hugu, akan kupenggal kepalamu!"

Huma berarti menantu raja, huruf ma berani kuda, maka Oey Yong menambahkan dan menyebut hugu untuk menggoda. Huruf gu berarti kerbau. Kwee Ceng mempertemukan si nona dengan Tuli, sedangkan Tuli langsung memerintahkan tentaranya untuk bersiap sedia berangkat pulang ke Utara keesokan paginya.

Kwee Ceng bersama Oey Yong pulang lebih dulu untuk mengambil kuda dan burung mereka. Pagi berikutnya mereka kembali bergabung dengan pasukan perang Mongolia untuk berangkat ke Utara.

Tuli khawatir mereka tidak sempat bertemu de¬ngan ayahnya, maka ia menyerahkan pimpinan pasukan kepada wakilnya, sedangkan ia sendiri bersama Kwee Ceng dan Oey Yong berangkat lebih dulu dengan memacu kuda mereka. Maka sebelum sebulan lewat, mereka bertiga telah sampai di Kemah Emas Jenghis Khan.

Dari jauh Tuli telah melihat bendera di kemah ayahnya masih terpancang seperti biasanya. Hatinya sedikit lega, namun toh berdebaran juga. Ia me¬larikan kuda sekencangnya supaya cepat sampai di kemah itu.

Kwee Ceng menahan kudanya, pikirannya be¬kerja keras, la ingat budi Khan Agung, yang sudah menolong ia dan ibunya, sebaliknya ia juga ingat kematian ibunya yang mengenaskan. Jadi Khan adalah penolong sekaligus musuh besarnya! la menyayangi sekaligus membencinya! Bagaimana sekarang? Selama di Siangyang dan di tengah jalan, ia ingin sekali menemui sang penolong, tetapi kini ia ragu. Ia tercenung sambil menunduk.

Tidak lama kemudian terdengar bunyi trompet, lalu di muka markas terlihat munculnya dua baris serdadu pengiring. Setelah itu Jenghis Khan keluar dengan berkerobong baju bulu hitam, sebelah ta¬ngannya memegangi pundak Tuli. Langkahnya masih lebar, namun tubuhnya sedikit gemetar.

Kwee Ceng maju untuk berlutut di tanah. "Bangun, bangun!" katanya. "Setiap hari aku memikirkanmu...!"

Kwee Ceng bangkit. Ia melihat muka Khan keriput dan kedua pipinya celong. Ia yakin orang tua itu tidak bakal hidup lebih lama lagi. Panas hatinya sedikit mereda.

Jenghis Khan memegangi pundak Kwee Ceng dan pundak Tuli dengan kedua tangannya. Ia pun mengawasi mereka bergantian. Kemudian ia me¬narik napas panjang, matanya memandang jauh ke depan, ke gurun yang besar dan luas. Ia termenung.

Kwee Ceng dan Tuli tidak dapat menerka isi hatinya, keduanya diam. Sesudah sekian lama diam saja. Jenghis Khan menghela napas.

"Dulu mulanya aku bekerja sama dengan Anda Jamukha," ia berkata. "Siapa tahu akhirnya mau tak mau aku harus membunuh saudara angkatku itu. Aku menjadi khan yang maha agung, tapi dia telah terbinasa di tanganku. Beberapa hari lagi aku sama dengan dia, pulang ke tanah kuning. Siapa berhasil, siapa runtuh, bukankah itu akhirnya tak ada bedanya?" Ia menepuk-nepuk pundak kedua anak muda itu.

"Maka mulai hari ini hingga akhir nanti, kalian berdua mesti hidup rukun bersama," ia berkata. "Sekali-kali janganlah kalian saling bunuh. Anda Jamukha telah mati, kuanggap persoalannya sudah beres, tapi setiap kali aku ingat dia, mataku sukar kupejamkan."

Dalam benak Kwee Ceng dan Tuli lantas terbayang peristiwa yang baru saja terjadi di antara mereka di Siangyang. Bukankah mereka bakal saling membunuh? Maka itu mereka malu pada diri sendiri.

Setelah berdiri sekian lama. Jenghis Khan merasa kakinya lemas, ia hendak kembali ke dalam markas. Sebelum ia mengajak Tuli dan Kwee Ceng masuk. datanglah sebarisan kecil serdadu berkuda yang dipimpin seseorang yang mengenakan pakaian perang putih dan ikal pinggang emas. Dari dandanannya sudah bisa diketahui bahwa ia orang Kim. Melihat musuh, semangat Jenghis Khan terbangun.

Orang Kim itu menghentikan barisannya walau¬pun masih jauh. la melompat turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri pendekar Mongolia itu, tetapi tidak berani sampai dekat sekali. Di tempat yang agak jauh ia sudah berlutut untuk memberi hormat.

"Utusan Negeri Kim menghadap Khan yang Agung!" demikian lapornya.

"Negeri Kim tak sudi takluk, malahan mengirim utusan, untuk apa?" tanya Jenghis Khan gusar.

Sambil terus berlutut, utusan Kim itu berkata, "Negara kami yang rendah mengetahui kami telah berlaku kurang ajar terhadap Khan yang Agung, dosa kami tak terampuni, karena itu sekarang hamba diutus untuk menghaturkan seribu butir mutiara dengan permohonan agar Khan yang Agung tidak gusar lagi dan sudi memberi ampun. Ini mutiara pusaka negara kami, hamba mohon sudilah kiranya Khan yang Agung menerimanya."

Sehabis berbicara, utusan itu menurunkan bung¬kusan dari punggungnya, membukanya, lalu me¬ngeluarkan sebuah nampan kemala. Dari kantong bersulamnya ia menuang keluar butiran mutiara banyak sekali, lalu menaruhnya di atas nampan itu. Akhirnya kedua tangannya menghaturkan bing¬kisan itu.

Jenghis Khan melirik. Ia melihat mutiara-mutiara sebesar jari telunjuk mengitari sebutir yang sebesar jempol tangan. Harga sebutir mutiara itu saja sudah mahal, apalagi seribu butir. Semuanya berkilauan. Dulu Jenghis Khan pasti girang bukan main melihat mutiara-mutiara itu, namun sekarang ia hanya mengerutkan alis beberapa kali.

"Simpanlah!" katanya pada pengiringnya.

Si pengiring menyambut nampan berharga besar itu. Utusan Kim itu girang bukan main melihat bingkisannya diterima, ia lantas menghaturkan terima kasih. Ia berkata bahwa raja serta rakyat negerinya sangat bersyukur dan akan mengingat baik-baik budi Khan yang Agung, karena menerima baik permintaan mereka untuk akur dan bersahabat.

"Siapa bilang bersahabat?" tanya Jenghis Khan tiba-tiba. "Sebentar lagi aku akan menggerakkan angkatan perangku untuk menghajar anjing-anjing Kim! Tangkap dia!" Sejumlah serdadu pengiring lantas maju men¬cekuk utusan itu.

Tapi Jenghis Khan menghela napas dan berkata, "Seribu butir mutiara pun takkan bisa membikin hidupku lebih lama satu hari lagi...."

Ia mengambil nampan dari tangan pengiringnya, lantas melempar¬kannya hingga semua butiran mutiara itu ber¬hamburan. Semua orang kaget dan heran, semuanya bungkam. Para serdadu Mongolia memunguti butiran mutia¬ra itu, namun masih banyak yang terpendam di antara rerumputan, maka beberapa ratus tahun ke¬mudian ada juga penggembala yang beruntung menemukannya.

Dengan masygul Khan yang Agung kembali ke markas. Senja hari ia meminta Kwee Ceng seorang diri menemaninya menunggang kuda, berjalan-jalan di padang rumput sejauh beberapa puluh li sampai di tepi jurang.

Kwee Ceng teringat akan masa kecilnya ketika ia bertemu dengan Kanglam Cit Koay, bagaimana suatu malam ia menghajar mampus Tong Si Tan Hian Hong si Mayat Perunggu, bagaimana Ma Giok mengajarinya ilmu tenaga dalam. Mengenang semuanya itu ia merasa bersyukur dan terharu. Tengah ia merenung, kupingnya mendengar suara burung rajawali di udara. Itulah burungnya yang terbang berputar-putar di atas jurang. Rupanya kedua burungnya juga mengenali kampung hala¬man mereka.

Sekonyong-konyong Jenghis Khan mengambil busurnya dan segera membidik kedua rajawali itu. Kwee Ceng kaget sekali, dengan gugup ia ber¬seru,

"Kha Khan, jangan panah!"

Meski tenaganya sudah berkurang, Jenghis Khan masih cukup kuat, waktu si pemuda berseru, anak panahnya sudah melesat. Maka pemuda itu me¬ngeluh, menyesal bukan main. la tahu pendekar Mongolia ini pun jago memanah. Ia sangat men-cemaskan kedua burungnya.

Ternyata rajawali betinalah yang dibidik Jenghis Khan. Burung itu melihat datangnya anak panah, ia berkelit menyampok dengan sayap kirinya hingga anak panah itu jatuh. Rajawali yang jantan menjadi gusar. Ia bersuara nyaring, terbang menukik menyambar ke arah Khan yang Agung.

Kwee Ceng terkejut tetapi ia membentak, "Hei, kau mau mampus?" Bentakan itu dibarengi dengan menyambarnya cambuk.

Burung itu mengenali majikannya , ia batal menyerang. Setelah bersuara beberapa kali ia terbang ke atas, bersama si betina ia melayang jauh....

Paras Jenghis Khan menjadi guram, dengan lesu ia melemparkan busurnya. "Selama beberapa puluh tahun, baru kali ini aku gagal memanah rajawali...,” katanya. "Rupanya memang benar telah tiba saat kematianku..."







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar