Jumat, 23 April 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 159

OEY YONG berempat tiba di kaki gunung, lalu mereka mencari penginapan. Si nona benar-benar menepati janjinya, ia memasak berbagai hidangan lezat terutama untuk gurunya. Malamnya mereka beristirahat di dua kamar, Oey Yok Su bersama putrinya, dan Ang Cit Kong bersama Kwee Ceng. Keesokan paginya. Kwee Ceng tidak melihat gurunya. Di atas meja ia melihat tiga huruf yang terukir dalam:

"Aku telah pergi"

Jelas tulisan itu diukir dengan jari. la heran, lekas-lekas ia pergi ke kamar mertuanya untuk memberitahukan kepergian gurunya.

Oey Yok Su menghela napas. "Biarlah!" katanya. "Memang demikian sepak terjang Saudara Cit, seperti naga sakti yang kepala¬nya tampak tapi ekornya tidak...!" Kemudian ia melirik si pemuda dan anak gadisnya, lantas me¬neruskan berkata, "Anak Ceng, ibumu telah menutup mata, maka sekarang orang yang paling dekat denganmu tinggallah gurumu, Kwa Tin Ok, Maka sebaiknya kau turut aku pulang ke Pulau Persik, di sana kau mohon gurumu itu menjadi wali agar merampungkan pernikahanmu dengan Yongji."

Kwee Ceng sedih berbareng girang sampai tidak bisa bilang apa-apa, melainkan mengangguk berulang-ulang. Oey Yong hendak mengatai kekasihnya itu tolol, tapi batal karena ada ayahnya. Ia diam saja sambil melirik ayahnya.

Tiga orang ini memulai perjalanan pulang ke Pulau Persik. Sepanjang jalan mereka menggunakan kesempatan untuk menikmati keindahan alam. Me¬reka menuju tenggara. Suatu hari tibalah mereka di selatan jalan perbatasan antara timur dan barat Provinsi Ciatkang. Itu berarti Pulau Persik sudah tidak jauh lagi. Begitu sampai di situ mereka mendengar suara burung rajawali di udara, lantas terlihatlah sepasang burung itu terbang mendekat dari utara. Kwee Ceng girang sekali, lantas memanggil. Kedua burung itu menghampirinya lalu menclok di pundaknya.

Ketika meninggalkan Mongolia, anak muda ini tidak sempat membawa burung-burung itu, maka bisa dimengerti kegirangannya. Ia mengusap-usap kedua rajawali itu. Tiba-tiba ia melihat ada sesuatu di kaki burung yang jantan. Ternyata itu sehelai kulit yang digulung kecil sekali, la membuka simpul tali pengikatnya, lalu membeberkannya, hingga terlihat ukiran huruf-huruf berikut:

Angkatan perang kami berangkat berperang ke Selatan dan akan menyerang kota Siangyang. Berhubung dengan itu, karena aku tahu kau sangat setia pada negara, dengan menempuh bahaya aku menyampaikan kabar ini padamu. Aku telah menyebabkan kematian ibumu yang sangat menyedih¬kan, aku malu bertemu lagi denganmu, maka sekarang aku berangkat ke Barat, di daerah yang terasing, untuk tinggal bersama kakak sulungku. Seumur hidup aku tidak akan kembali ke negeriku. Kuharap kau menjaga diri baik-baik, semoga kau panjang umur!

Surat itu tanpa alamat dan tanpa tanda tangan, tetapi Kwee Ceng tahu itu surat Putri Gochin Baki. la menyalin surat itu untuk memberitahu Oey Yok Su dan Oey Yong, kemudian ia bertanya pada mertuanya, tindakan apa yang harus mereka ambil.

"Kita sekarang berada dekat dengan kota Lim¬an," kata Oey Yok Su. "Tapi jika kita menyampai¬kan berita pada pemerintah, artinya kita terlambat. Pemerintah pasti bertindak sangat pelan dan kota Siangyang terancam bahaya. Kuda merahmu ken-cang larinya, berangkatlah langsung ke Siangyang untuk menemui kepala perang di sana. Umpama dia mau mendengar nasihat, bantulah dia membela kota itu bersama. Sebaliknya, kalau dia menentang, hajar mampus dia, lantas gantikan dia. Kau bekerja sama dengan semua pasukan dan rakyat kota itu, melawan angkatan perang Mongolia. Aku akan pulang bersama Yongji, di Pujau Persik aku me¬nantimu."

Kwee Ceng menerima baik perkataan mertuanya. Oey Yong diam tetapi tampak tidak senang. Oey Yok Su melihat roman muka anak gadisnya, ia tertawa.

"Baiklah, Yongji, kau boleh pergi bersamanya!" ia berkata. "Begitu urusan beres, kau mesti lekas pulang. Jangan pedulikan seandainya pemerintah memberi ganjaran padamu."

Gadis itu girang sekali. "Itu pasti!" sahutnya.

Lantas sepasang muda-mudi ini berangkat ke barat, melarikan kuda mereka. Kwee Ceng tidak mau ayal-ayalan, ia khawatir musuh akan keburu sampai. Jika kota Siangyang pecah, celaka¬lah penduduk kota itu. Ia menginsafi kekejaman tentara Mongolia.

Suatu malam mereka singgah di dekat perbatasan selatan Liang-ciat dan barat Kanglam. Si pemuda duduk diam, pikirannya kusut. Ia teringat bunyi surat Putri Gochin, maka ia teringat juga saat ia dan putri itu masih sama-sama kecil, mereka hidup rukun hingga besar. Si nona membiarkan pemuda itu berpikir, ia sendiri duduk menjahit bajunya.

"Yongji," tiba-tiba si anak muda bertanya, "dia menulis bahwa ibuku mati mengenaskan dan dia tak punya muka menemuiku lagi. Kau tahu apa artinya itu?”

"Ayahnya memaksakan kematian ibumu, sudah tentu dia tak tega dan sedih karenanya," sahut si nona. "Tentu dia sangat menyesal."

Kwee Ceng diam, membayangkan kematian ibunya itu. Mendadak ia melompat bangun, tangannya menepuk meja keras sekali.

"Aku tahu sekarang!" serunya. "Kiranya demikian!"

Oey Yong terkejut, jarum yang dipegangnya menusuk jari hingga berdarah. "Eh, kau kenapa?" ia bertanya sambil tertawa.

"Sekarang aku mengerti duduk persoalannya," sahut si pemuda. "Ketika aku dan ibuku membuka surat rahasia dari Jenghis Khan hingga kami me¬mutuskan untuk pulang ke Selatan, di sana tak ada orang lain, tapi Jenghis Khan bisa tahu rencana itu, lantas memergoki dan menawan kami. Karena sudah putus asa, Ibu bunuh diri. Bagaimana rencana kami bisa bocor? Sekian lama aku memikirkannya, baru sekarang aku tahu. Jadi rupanya dialah yang membocorkan rencana kami pada ayahnya."

Oey Yong menggelengkan kepalanya. "Putri Gochin sangat mencintaimu, dia tak mung¬kin membocorkan rahasia itu hingga mencelakai¬mu," katanya.

"Tapi dia bukan hendak bikin celaka, dia cuma hendak mencegah keberangkatanku. Dia berada di luar tenda, mendengar pembicaraan kami berdua, terus melaporkan pada ayahnya. Dia yakin ayah¬nya tidak akan mengizinkan kami berangkat, siapa tahu akibatnya adalah bencana hebat...." Ia menghela napas.

"Karena dia berbuat tanpa sengaja, kau harus pergi ke Barat mencarinya!" kata Oey Yong.

Kwee Ceng menggeleng. "Aku dan dia seperti kakak dan adik saja," katanya. "Sekarang dia tinggal di wilayah Barat itu bersama kakaknya. Hidupnya mulia, buat apa aku pergi mencarinya?"




Oey Yong tertawa, hatinya girang. Besoknya perjalanan dilanjutkan terus sampai suatu hari mereka tiba di Kecamatan Bu-leng di Kawedanan Liong-hin. Mereka melintasi Ok-lim dan Tiang Nia, mereka melihat pemandangan alam seperti semasa mereka bertemu dengan Cin Lam Khim di tempat mereka menangkap burung hiat-niauw.

"Kakak Ceng," kata Oey Yong tertawa. "Di mana saja berada kau main asmara, dan sekarang kau kembali akan bertemu dengan sahabat lamamu...."

"Jangan ngaco. apa itu sahabat lama dan bukan sahabat lama!" kata si pemuda yang polos.

Oey Yong tetap tertawa. "Kalau umpama kembali turun hujan besar, dia pasti akan mengambil payung untuk memayungimu, bukannya aku!" ia menggoda.

Baru saja si nona menutup mulut, tiba-tiba ter¬dengar suara kedua burung mereka yang mengikuti sembari terbang. Kedua rajawali itu terdengar gusar, lalu menukik ke dalam rimba dan lenyap.

"Mari kita lihat!" ajak Kwee Ceng. Ia menduga sesuatu.

Si nona juga menduga demikian. Mereka melarikan kuda memutari rimba. Lantas mereka menampak kedua rajawali itu terus be¬terbangan, sedang bertarung dengan seseorang. Anehnya, hiat-niauw. si burung api. juga ada di situ dan turut membantu bertarung.

"Bagus!" seru Oey Yong. Ia girang bertemu burung yang sangat disayanginya itu.

Sekarang mereka melihat tegas, orang itu adalah Pheng Tianglo dari Kay Pang. Ia membela diri dengan memutar goloknya, maka ketiga burung tidak bisa mendekatinya. Tapi kemudian rajawali betina dapat menyambar ikat kepalanya dan me¬matuk kepala pengemis itu. Pheng Tianglo mem¬bacok, ia berhasil membabat bulu binatang itu hingga berhamburan.

Karena ikat kepala orang itu terlepas. Oey Yong dapat melihat sebagian kulit kepalanya yang tanpa rambut. Segera ia teringat, "Dulu burung ini ter¬panah dadanya dengan anak panah pendek, kiranya pengemis busuk inilah yang memanahnya. Ketika bertarung di Chee-liong-thoa, kedua burung ini membawa kulit kepala orang, jadi itu milik pengemis ini!

Oey Yong lantas memungut beberapa butir batu, berniat membantu burung-burungnya, tetapi belum sampai ia turun tangan sudah melihat burung api menyambar dan bacotnya yang panjang me¬matuk biji mata si pengemis. Orang itu sedang melindungi kepalanya, tidak tahu burung kecil ini menyambar dari bawah. Ia kesakitan bukan main hingga menjerit, ia melemparkan goloknya, terus berlari masuk ke gerombolan duri. Untuk menyelamatkan jiwanya ia tidak memedulikan duri me-nusuk sana-sini.

Ketiga burung tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hiat-niauw melihat si nona dan terbang meng¬hampiri. Kedua rajawali masih terbang berputaran di atas gerombolan duri itu.

"Sebelah matanya sudah buta, beri dia ampun!" kata Kwee Ceng pada kedua rajawalinya.

Setelah itu Kwee Ceng mendengar suara anak kecil beberapa kali. Ia heran hingga berseru ter¬tahan. Suara itu datangnya dari samping, tempat tumbuh rumput tinggi dan tebal. Langsung ia me¬lompat turun dari kuda, berlari ke rerumputan itu dan menyibakkannya. la menemukan seorang anak kecil sedang duduk sendirian, kedua tangannya memegangi seekor ular berbisa yang meronta-ronta tapi tidak dapat meloloskan diri.

Kwee Ceng kaget dan tercengang. Keheranannya semakin bertambah ketika ia melihat di samping anak itu terjulur sepasang kaki wanita. Maka ia menyibakkan rerumputan di sana hingga mendapati seorang wanita berbaju hijau sedang tergeletak pingsan. Ia segera mengenali wanita itu sebagai Nona Lam Khim.

Karena khawatir ular itu akan mencelakai si anak, Kwee Ceng mengulurkan tangannya untuk menarik, namun anak itu sudah melemparkan ular berbisa itu. Binatang itu bergerak-gerak sebentar, lantas terdiam mati, sebab ternyata telah dipencet anak itu. Pemuda ini semakin heran. Ia menduga anak itu belum berumur dua tahun. Ia membungkuk meme¬riksa Nona Lam Khim, lalu menekan hidungnya. Selang tidak lama, Lam Khim sadar. Waktu membuka mata dan melihat Kwee Ceng, ia me¬lengak, merasa seakan tengah bermimpi.

"Kau... kau kan Kakak Ceng...," katanya dengan suara bergetar.

"Ya, aku Kwee Ceng!" sahut si anak muda mendahului. "Nona Cin, apakah kau terluka?"

Nona itu bergerak akan bangun, namun roboh kembali. Ternyata tangan dan kakinya terikat. Oey Yong segera menghampiri dan memotong belenggu itu.

"Terima kasih." kata Lam Khim yang terus menggendong anaknya. Ia duduk diam.

"Sebenarnya, Nona, apa yang telah terjadi atas dirimu?" tanya Kwee Ceng.

Lama nona itu diam, akhirnya dengan likat ia menuturkan juga hal ihwal dirinya. Di puncak Tiat Ciang Hong, kehormatannya telah dicemarkan oleh Yo Kang, lantas ia hamil, la melahirkan anak di kampung halamannya. Karena tidak punya apa-apa lagi, ia tetap hidup sebagai pe¬nangkap ular. Ia terhibur dengan adanya anaknya yang cerdik sekali, anak itu seakan tahu ke¬sengsaraan sang ibu.

Hari itu Lam Khim membawa anaknya mencari kayu bakar. Kebetulan ia bertemu dengan Pheng Tianglo yang sedang lewat di situ. Nafsu binatang pengemis itu timbul melihat kecantikan Lam Khim. Si pengemis akan main gila. Lam Khim telah mempelajari ilmu yang diajarkan Kwee Ceng, tubuhnya menjadi sehat dan kuat. Sayang ia ber¬temu dengan Pheng Tianglo, salah satu di antara keempat pemimpin Kay Pang, ia dikalahkan dan diringkus.

Bersama Lam Khim ada hicu-niauw, si burung api. Sejak berpisah dari Kwee Ceng dan Oey Yong di Chee-liong-thoa, burung itu pulang ke kampungnya, tinggal bersama Nona Cin. Burung ini tahu si nona sedang dalam bahaya, maka ia menyerang Pheng Tianglo hingga keduanya jadi bertarung. Tidak lama kemudian datang bantuan kedua rajawali. Lantaran ini, pengemis itu tidak sempat melampiaskan nafsu binatangnya. Lam Khim sendiri lantas jatuh pingsan, karena melihat beberapa ular berbisa datang ke situ. Ia mengkha¬watirkan keselamatan anaknya. Ia tidak menyangka ketika sadar ia mendapati sepasang muda-mudi itu dan anaknya ternyata tidak kurang suatu apapun.

Malam itu Kwee Ceng dan Oey Yong singgah di rumah Nona Cin. Si pemuda senang melihat roman muka si anak kecil, yang mengingatkannya pada Yo Kang yang tersesat itu. Ia menghela napas.

"Kakak Kwee," kata Lam Kim kemudian, "coba tolong beri nama anak ini."

"Dengan ayahnya aku bersaudara angkat," kata Kwee Ceng. "Sayang ayahnya tersesat hingga hubungan kami berdua memburuk. Sebenarnya aku menyesal tak bisa melakukan kewajibanku sebagai sahabat. Kuharap setelah anak ini dewasa, sifatnya berbeda dari sifat ayahnya. Menurutku sebaiknya dia diberi nama Ko alias Kay Ci. Apakah kau setuju?"

"Ko" berarti salah atau kesalahan, dan "Kay" berarti mengubah atau mengubah kesalahan. Setelah besar, anak itu diharapkan dapat mengubah kesalahan ayahnya dan menjadi orang bijaksana.

"Terserah padamu, Kakak," sahut Lam Khim sambil meneteskan air mata. "Semoga dia menjadi orang baik-baik."

Harapan mereka ini di kemudian hari terkabul. (Sebagaimana kisahnya dapat dibaca dalam Sin Tiauw Hiap Lu - Rajawali Sahi dan Pasangan Pendekar, sambungan kisah ini.)

Kwee Ceng dan Oey Yong tidak bisa tinggal di rumah Lam Khim. Mereka mempunyai urusan yang sangat penting. Ketika mereka akan berangkat, Kwee Ceng memberikan uang emas seratus tail, sedangkan Oey Yong menghadiahkan serenceng mutiara. Oey Yong tidak mengajak hiat-niauw meskipun sangat menyukainya, karena burung itu lebih dibutuhkan untuk menemani Nona Cin.

Lam Khim merasa berat berpisah, teiapi tidak dapat menahan muda-mudi itu. Ia terharu dan menyesal, lalu mendoakan supaya mereka berhasil.

Kwee Ceng berdua menuju ke barat, lalu tiba di selatan Lian Ouw yang terletak di antara dua provinsi, yaitu Ouwlam dan Ouwpak. Mereka mem¬belok ke utara. Suatu hari tibalah mereka di tempat tujuan, kota Siangyang. Lega hati mereka, lernyata musuh belum sampai. Penduduk tenang, kota ramai, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahaya perang.

Kota Siangyang memegang peranan penting di Utara. Di zaman Lam Song, atau Song Selatan, di situ ditempatkan pembesar tinggi An-bu-su, komi¬saris keamanan, dengan pasukan tentaranya yang kuat untuk menjaga keselamatan kota, atau lebih tepatnya tapal batas.

Karena pentingnya urusan, tanpa menanti men¬cari penginapan lagi. Kwee Ceng mengajak Oey Yong segera pergi ke kantor An-bu-su untuk me¬nemui pembesar militer itu. Tentu saja tidak gam¬pang menemui pembesar itu. An-bu-su itu berpangkat tinggi. Meskipun di Mongolia Kwee Ceng menjadi panglima perang, di sini Kwee Ceng adalah rakyat jelata yang tidak dikenal.

Tapi Oey Yong tidak kurang akal. Ia menyerahkan uang emas satu tail kepada penjaga pintu, yang langsung bersikap ma¬nis, tapi masih berkeberatan untuk segera melapor-kan. Katanya, menurut kebiasaan, untuk bertemu dengan pembesar itu orang mesti menanti paling cepat setengah bulan. Apalagi biasanya yang diterima menghadap adalah pembesar, bukan orang semacam si pemuda.

Akhirnya Kwee Ceng mendongkol. "Ini adalah urusan tentara yang sangat penting, mana bisa aku menanti lama-lama!" katanya bengis.

Sebaliknya Oey Yong berpikir lain. Ia mengedip¬kan mata pada kekasihnya, menarik tangannya untuk mengajaknya minggir, dan berbisik,

"Nanti malam kita menyelundup masuk untuk menemuinya dengan paksa."

Kwee Ceng setuju, maka mereka mengundurkan diri untuk mencari tempat menginap lebih dulu. Begitu pukul dua dini hari tiba, mereka lantas menyatroni gedung pembesar itu. An-bu-su itu seorang bermarga Lu. Ketika Kwee Ceng dan Oey Yong masuk ke gedung, ia sedang bersenang-senang makan-minum sambil memeluk gundiknya.

"Hamba hendak melaporkan urusan militer pen¬ting!" kata Kwee Ceng sambil menjura.

Lu An-bu-su kaget sekali. "Ada pembunuh!" jeritnya sambil mendorong gundiknya. Ia sendiri menyelusup masuk ke kolong meja.

Kwee Ceng melangkah dan mencekal tubuh orang itu, lalu mengangkatnya. "An-bu, jangan takut!" katanya. "Hamba tidak berniat membikin celaka."

Ia mendorong tubuh si pembesar hingga terduduk lagi di tempatnya. Pembesar itu masih ketakutan, mukanya pucat, tubuhnya gemetaran. Segera muncul beberapa puluh serdadu pengiring yang hendak menolong atasan mereka, tetapi Oey Yong mengancam dada si pembesar dengan belati¬nya untuk menahan mereka maju. Para serdadu itu cuma bisa berteriak-teriak.

"Suruh mereka jangan bikin berisik!" perintah Oey Yong pada An-bu-su. "Mari kita bicara!"

Dengan bingung An-bu-su memerintahkan orang-¬orangnya supaya diam. Maka sunyilah ruangan itu. Kwee Ceng mengeluh dalam hati menyaksikan pembesar yang berpangkat tinggi dan memikul tanggung jawab besar ini ternyata cuma kantong nasi, tapi tidak mudah mengubah sikap orang itu. Ia lantas menyampaikan laporan tentang angkatan perang Mongolia yang bakal datang menyerang kota itu secara mendadak. Ia meminta pembesar ini segera mengambil tindakan memperkuat pen¬jagaan untuk menyambut musuh.

Lu An-bu-su tidak mempercayai laporan itu, tetapi menyahut, "Ya, ya!"

"Kau dengar tidak?" tanya Oey Yong yang melihat orang itu gemetar saja.

"Dengar, dengar...."

"Kau dengar apa?"

"Aku dengar bangsa Kim bakal menyerbu dan kami mesti bersiap sedia...."

"Bangsa Mongol, bukan bangsa Kim!" Oey Yong membetulkan.

Pembesar itu heran. "Bangsa Mongol? Tak mungkin!" katanya. "Bangsa Mongol telah berserikat dengan perdana menteri kita untuk bersama menyerang bangsa Kim! Mereka takkan bermaksud lain...."

Oey Yong sebal, matanya mendelik. "Aku bilang bangsa Mongol!" bentaknya. "Bangsa Mongol!"

Pembesar itu ketakutan. "Ya, bangsa Mongol, bangsa Mongol...," katanya seraya mengangguk-angguk.

Kwee Ceng lantas berkata dengan sabar tapi bersungguh-sungguh, "Kota ini dan penduduknya di bawah perlindungan Tuan, kota Siangyang ini juga merupakan tirai kerajaan Selatan kita, maka kuminta Tuan memperhatikannya baik-baik."

"Benar, yang Saudara bilang itu benar," kata pembesar itu. "Sekarang silakan!"

Kwee Ceng dan Oey Yong menghela napas, tanpa banyak omong lagi, mereka menyingkir dari gedung itu. Tapi mereka mendengar teriakan-teriak¬an di belakang mereka.

"Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!" Suara itu berisik dan kacau.

Mereka kembali ke tempat penginapan sambil menanti sepak terjang An-bu-su, tetapi dua hari lamanya penantian mereka sia-sia. Kota tetap te¬nang, tidak ada tindakan apa-apa dari pihak pembesar.

"Pembesar itu busuk!" kata Kwee Ceng. "Lebih baik kita bertindak seperti yang diajarkan ayahmu! Kita binasakan dia. lantas kita mengambil tindakan."

"Pembesar anjing itu memang pantas dibinasa¬kan, tak patut diselamatkan," kata Oey Yong. "Tapi musuh bakal sampai dalam beberapa hari ini, tentara dan rakyat tentulah kacau karena tak ada yang memimpin. Bagaimana musuh bisa dilawan?"

Kwee Ceng mengerutkan alisnya. "Benar, sulit...," katanya. "Bagaimana sekarang?"

Oey Yong berpikir, kemudian berkata, "Dalam kitab Co Toan ada dongeng yang mungkin dapat kita tiru, yaitu dongeng Hian Kho memberi hadiah pada tentaranya."

Kwee Ceng girang. "Yongji, manfaat membaca kitab memang tak ada habisnya," ia berkata. "Dongeng itu bagaimana? Coba kau ceritakan padaku. Mungkin kita dapat mencontohnya."

"Mencontoh tentu bisa. cuma itu tergantung padamu...."

Si pemuda heran. "Apa?" ia menegaskan.

Si nona tidak lantas menjawab, hanya tertawa. Kwee Ceng mengawasi, menanti cerita itu. Oey Yong berhenti tertawa, kemudian me¬mulai,

"Baiklah, akan kututurkan. Di zaman Cun Ciu. di Negeri The ada seorang saudagar bernama Hian Kho. Dia berdagang dengan merantau. Suatu kali, di tengah jalan dia bertemu dengan angkatan perang Negeri Cin. Angkatan perang itu akan menyerbu Negeri The. Negeri The tidak bersiap sedia. Kalau musuh tiba mendadak, pasti negeri itu bakal musnah. Walaupun saudagar, Hian Kho sangat mencintai negaranya, dia hendak menolong menyelamatkan negaranya. Apa akalnya? Dia lantas membawa dua belas ekor kerbau pada pasukan Negeri Cin itu, dia menemui kepala perangnya. Dia bilang diperintahkan Raja The untuk meng¬haturkan hadiah pada pasukan Cin. Di lain pihak, diam-diam dia mengirim kabar kilat kepada Raja The, memberitahukan kedatangan pasukan musuh. Panglima Negeri Cin mengira Negeri The sudah bersiap sedia, maka dia tak berani melanjut¬kan gerakannya untuk menyerbu Negeri The, bah¬kan menarik pulang pasukannya."

"Siasat itu bagus sekali," kata Kwee Ceng girang. "Tapi kenapa kau bilang siasat itu tergantung padaku?"

"Ya, aku hendak pinjam tubuhmu."

"Bagaimana caranya?"

"Bukankah tadi kukatakan ada dua belas ekor kerbau?" kata si nona tertawa. “Bukankah shio-mu Gu?”

Kwee Ceng melonjak. "Bagus, dengan jalan memutar kau mencaciku!" katanya.

Pemuda ini ber-shio Gu, kelahiran tahun Gu, dan Gu itu berarti kerbau. Maka ia mengulurkan tangan¬nya untuk menggelitiki si nona. Si nona lantas ber¬kelit sambil tertawa. Kwee Ceng pun turut tertawa.

"Sekarang begini rencanaku," kata si nona, se¬telah mereka berhenti bergurau. "Malam ini kita menyelundup masuk ke kantor An-bu-su, kita curi uang emas dan permatanya. Besok aku akan me¬nyamar sebagai pria, aku akan dandan sebagai pegawai negeri, lantas aku akan memapak angkatan perang Mongolia dan menghadiahkan barang-barang itu pada mereka. Kau sendiri mesti bekerja di dalam kota. mencoba menjalin kerja sama dengan tentara dan rakyat untuk mengatur penjagaan."

Kwee Ceng setuju, dengan girang ia bertepuk tangan. Malam itu mereka mulai bekerja. Lu An-bu-su punya banyak simpanan uang dan permata. Sampai terang tanah, tidak ada yang mengetahui pencurian yang mereka lakukan. Pagi hari Oey Yong melanjutkan rencananya, menyamar sebagai pegawai negeri pria. Dengan naik kuda merah dan membawa kantong besar, ia pergi ke luar kota utara, menyambut angkatan perang Mongolia.

Tengah hari kedua, Kwee Ceng menuju pintu kota utara untuk memandang jauh ke luar. Ia menanti kekasihnya. Segera ia melihat kuda merah menghampirinya, ia menyambutnya. Oey Yong me¬nahan kuda itu, roman mukanya tampak gelisah. Ketika berbicara, suaranya bergetar,

"Jumlah tentara Mongolia itu mungkin belasan laksa. Mana dapat kita melawan mereka?"

Kwee Ceng pun kaget. "Begitu banyak?" ia menegaskan.

"Kelihatannya Jenghis Khan ingin sekali me¬musnahkan Kerajaan Song," kata si nona. "Aku menemui punggawa terdepannya dan menyerahkan hadiah itu. Dia tak tahu kita sudah mendengar kabar mengenai kedatangan mereka. Dia mengata¬kan membawa pasukan perang itu untuk menyerang Negeri Kim, bukan Negeri Song. Waktu kubeberkan rahasianya, dia kaget, lantas menahan pasukan perangnya. Mungkin dia mau melapor dulu pada kepala perangnya."

"Kalau mereka terus pulang, itu bagus," kata Kwee Ceng. "Kalau mereka maju terus, aku kha¬watir...." Oey Yong mengerutkan alis.

"Aku telah berpikir sehari semalam, tapi belum juga mendapat akal," ia berkata. "Kakak Ceng, kalau kita bertempur satu lawan satu, cuma ada dua-tiga orang yang dapat melayani kita, tapi se¬karang kita mesti menghadapi belasan laksa orang, Bagaimana caranya?"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar