Selasa, 20 April 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 157

Ang Cit Kong memikirkan perkataan si murid yang nada suaranya berbeda, ia lantas menduga isi hati gadis itu. Ia tertawa lebar dan berkata,

"Tak usah kau bicara berputar-putar. Yang Ci kepunyaan Toan Hongya dan Kiu Im Cin Keng kepunyaan kalian berdua, maka tak usah kalian sebut lagi. Aku si pengemis tua tidak bakal menebalkan muka menggunakannya. Kalau nanti tiba saatnya pibu, aku akan menggunakan kepandaian asliku."

Memang itulah maksud Oey Yong, maka ia tertawa.

"Suhu," katanya, "jika kalah dari ayahku, kau akan kumasakkan seratus macam masakan untuk berpesta pora. Bagaimana, akur?"

Air liur Cit Kong langsung terbit. "Eh, bocah cilik, hatimu tak bagus!" kalanya. "Sudah membakar hatiku, kau menyogok juga! Kau sangat licik, berharap supaya ayahmulah yang menang!"

Oey Yong tertawa. Belum lagi ia menyahut, mendadak Cit Kong bangun berdiri dan sambil menunjuk ke belakang berkata,

"Bisa Bangkot¬an, kau datang begini pagi!"

Kwee Ceng dan si nona melompat bangun, lantas menoleh, berdiri di samping guru mereka. Mereka segera melihat Auwyang Hong yang tinggi besar sedang berdiri. Racun Barat datang secara diam-diam, hingga muda-mudi itu tidak tahu. Me¬reka heran dan terkejut.

"Datang lebih pagi. Pibu lebih pagi!" sahut Auwyang Hong. "Datang siang, pibu siang. Eh. pengemis tua, hari ini kita bakal bertempur. Kata¬kan, kita bakal bertempur untuk mencari kemenang¬an yang memutuskan atau untuk mengadu jiwa?"

"Karena kita bertaruh untuk kalah dan menang, itu berarti hidup dan mati," jawab Ang Cit Kong. "Maka kalau kau menurunkan tangan, tak usah kau main kasihan-kasihan lagi!"

"Baik!" kata Auwyang Hong. Ia lantas meng¬gerakkan tangan kirinya, yang tadi ditaruh di belakangnya. Ternyata ia telah menyiapkan tongkatnya. Ia menotok batu seraya berkata lagi, "Di sini saja atau di tempat lain yang lebih lebar?"

Cit Kong belum menyahut, tapi sudah didului Oey Yong. "Tidak bagus Gunung Hoa San ini dipakai se¬bagai tempat pibul" kata si nona. "Lebih baik kita pergi ke perahu!"

Pengemis Utara melengak. "Apa kau bilang?" ia bertanya menegaskan.

"Dengan bertempur di perahu, kita dapat mem¬berikan kesempatan sekali lagi pada Paman Auwyang untuk membalas kebaikan dengan ke¬jahatan!" si nona menjelaskan. "Biarlah dia men¬dapat kesempatan untuk membokong lagi!"

Ang Cit Kong tertawa terbahak. "Dulu kita terpedaya satu kali, maka satu kali juga kita belajar pintar!" katanya. "Jangan harap si pengemis bangkotan akan memberi ampun lagi!"

Racun Barat merasakan sindiran si nona, air mukanya tidak berubah sama sekali, namun tanpa bilang apa-apa ia lantas menekuk kedua dengkul¬nya, menongkrong, sedangkan tongkatnya berpindah ke tangan kiri. Tangan kirinya itu lantas dipakai untuk mengerahkan ilmu silat istimewanya, Kap¬mo-kang.

Melihat demikian. Oey Yong segera menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang kepada gurunya.

"Suhu!" katanya. "Lawan bangsat licik ini de¬ngan Tah-kauw-pang dan Yang O! Terhadap dia kau jangan pakai lagi segala aturan atau kemurahan hati!"

Cit Kong lantas berpikir, "Dengan kepandaianku sendiri, belum tentu aku dapat mengalahkan dia, sedangkan sebentar lagi aku mesti melayani Oey Yok Su. Kalau aku sudah letih, mana bisa aku melayani Sesat Timur."

Ia menyambut tongkat keramat partainya. lalu bergerak dalam sikap Mengeprak Rumput Membikin Ular Kaget dan Membiak Rumput Men¬cari Ular. Tongkatnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Sudah beberapa kali Auwyang Hong bertempur melawan Pengemis Utara, namun belum pernah ia melihat orang menggunakan tongkatnya, yang pernah disaksikannya adalah ilmu tongkat Oey Yong, yang kurang diperhatikannya.

Sekarang untuk pertama kalinya ia melihat, ia kagum. Gerakan Cit Kong pulang-pergi, mengembuskan angin keras. Karena itu tanpa ayal lagi ia maju menyerang ke liong-kiong-tengah. Waktu hari ketika Cit Kong dibokong Auwyang Hong, jiwanya nyaris melayang, sehingga ia mesti berobat dan merawat diri hampir dua tahun, setelah itu barulah kesehatannya pulih dan kepandaiannya kembali, maka hari ini ia tidak mau berkelahi secara sembarangan. Kekalahannya dulu adalah kekalahan besar yang belum pernah dialami seumur hidupnya, juga bahaya yang belum pernah dihadapinya. Sekarang, berhubung merupa¬kan saat penentuan kehormatan dan kehinaan, atau hidup dan mati, ia tidak main sungkan lagi.

AUWYANG HONG bertubuh tinggi besar, meskipun telah sedikit menekuk kedua kakinya untuk menjalankan ilmu Kodoknya, ia masih lebih tinggi daripada Ang Cit Kong. Ia sekarang menggunakan tongkat yang ketiga, yang baru dibikinnya, sebab dua tongkat ularnya yang pertama telah lenyap. Tongkatnya ini, di bagian ujungnya berukiran kepala manusia, tetapi aneh dan mengerikan. Di situ dililit¬kan dua ekor ular berbisa, tapi kedua ular ini baru, kurang lincah dibandingkan dua ularnya yang dulu. Di samping itu, ia sekarang bertempur melawan Pengemis Utara untuk keempat kalinya, maka caranya berbeda.

Pertama kali melawan Cit Kong di Gunung Hoa San ini, dan itu juga untuk memperebutkan kehormatan dan Kiu Im Cin Keng. Yang kedua terjadi di Pulau Persik, yaitu untuk membela Auwyang Kongcu yang berebut jodoh dengan Kwee Ceng. Yang ketiga ialah pertempuran di laut.

Usia kedua pihak semakin lanjut, tetapi ber¬bareng dengan itu, ilmu silat mereka juga semakin maju, maka pertarungan menjadi hebat. Inilah pibu untuk nama baik, menyangkut hidup atau mati. Siapa yang alpa atau kurang gesit, ia harus me¬nerima nasibnya. Dalam sekejap seratus jurus lebih telah dilewatkan.

Mendadak sang putri malam menghilang. Lang¬sung suasana menjadi gelap. Perubahan seketika itu terjadi karena pergantian waktu, sang malam telah lewat dan akan digantikan sang fajar. Suasana akan menjadi terang. Namun sekarang kedua pihak sukar melihat satu sama lain dengan jelas. Mereka saling menyerang dengan lebih ba¬nyak menutup diri.

Kwee Ceng dan Oey Yong menonton dengan perhatian tertumpah sepenuhnya. Bagaimanapun, mereka mengkhawatirkan gurunya. Mereka maju beberapa langkah, supaya kalau perlu bisa menolong guru mereka.

Mata Kwee Ceng mengawasi tajam tapi hatinya berpikir, "Mereka jago-jago nomor satu di zaman ini, hanya bedanya yang satu orang gagah dengan hati mulia; yang lain berhati buruk, meng¬ganas karena mengandalkan kekosenannya. Jadi, ilmu silat tidak mengenal baik dan jahat, hanya terbawa oleh orang yang bersangkutan. Siapa baik, ilmu silatnya menambah kebaikan; siapa jahat, ilmu silatnya menambah kejahatan." la cemas ketika mendengar Racun Barat dan gurunya bergantian berseru, tanda hebatnya pertarungan mereka.

"Suhu telah terluka parah, itu artinya dia telah menyia-nyiakan waktu hampir dua tahun," anak muda ini berpikir lagi, hatinya berdebar-debar. "Memang ilmu silat mereka seimbang, tapi kalau Suhu terhalang begitu, mungkin Racun Barat mem-punyai kepandaian lebih. Pertarungan ini berarti hanya dengan satu langkah maju dan satu langkah mundur. Kalau Suhu kalah? Ah, sayang aku telah memberi ampun hingga tiga kali pada jago dari Barai ini...."

Kwee Ceng kembali ingat ajaran Khu Ci Kee bahwa kepercayaan dan kebajikan besar haruslah dibedakan dari kepercayaan dan kebajikan kecil; kalau karena kepercayaan dan kebajikan kecil orang roboh, itu bukan lagi kepercayaan dan kebajikan. Singkatnya, itu bukanlah kehormatan.

"Racun Barat mengatakan untuk berkelahi satu lawan satu, dengan cara terhormat," anak muda ini berpikir lebih jauh. "Habis bagaimana kalau dia tetap bertindak curang? Bagaimana kalau dia lantas mengganas dengan lebih hebat lagi? Berapa banyak korban jatuh karenanya? Dulu-dulu aku tak dapat membedakan arti kepercayaan dan kebajikan ini, jadi aku telah melakukan banyak ketololan...."




Karena berpikir begini, Kwee Ceng lantas ber¬ketetapan membantu gurunya. Tapi belum lagi ia maju, didengarnya suara Oey Yong.

"Auwyang Hong, dengar!" demikian si nona. "Kakak Ceng telah berjanji padamu, hendak mem¬beri ampun jiwamu tiga kali. Siapa tahu ternyata kau mengandalkan kekosenanmu, tetap menghinaku. Untuk menjadi orang kecil tak ternama dari Rimba Persilatan, kau tak surup, bagaimana mungkin kau hendak memperebutkan gelar jago nomor satu di kolong langit ini?"

Racun Barat telah melakukan kejahatan yang tidak terhitung banyaknya, namun ia orang yang selalu menepati janji, belum pernah menyangkal kata-kata atau janjinya. Ia juga sangat jumawa. Ia memaksa Oey Yong karena sangat terpaksa, sebab ia ingin sekali si nona menjelaskan isi kitab itu padanya. Sekarang selagi hebatnya ia bertarung melawan Ang Cit Kong, nona itu mengungkit¬-ungkit kesalahannya. Kupingnya panas, karena itu gerakan tangannya terlambat, hampir kena sodok tongkat si pengemis.

"Kau dinamakan Racun Barat," kata Oey Yong lagi, "Maka tak bisa dikatakan apa-apa mengenai segala perbuatan busukmu, tapi kau diberi ampun sampai tiga kali oleh orang muda. Sungguh kau telah kehilangan muka! Bagaimana dapat kau me¬nelan kata-katamu sendiri terhadap orang muda? Sungguh kau menyebabkan orang-orang gagah kaum kangouw tertawa hingga mulut mereka men¬cong! Auwyang Hong, Auwyang Hong! Ada satu hal pada dirimu yang tak dapat dikalahkan siapa pun di kolong langit ini, kau orang nomor satu yang tak tahu malu!"

Racun Barat gusar bukan kepalang, tetapi ia tahu maksud si nona yang hendak membangkitkan amarahnya, supaya perhatiannya terpecah, supaya ia tidak dapat mengutamakan pertempuran dengan Ang Cit Kong - tegasnya, supaya ia kalah. Karena itu, sebagai orang licik, ia tidak mau dirinya kena bakar. Ia tidak menghiraukan ocehan itu.

Tapi Oey Yong sangat cerdik, ia tidak mau berhenti mengoceh, bahkan menyebutkan kebusukan yang sebenarnya belum pernah dilakukan Auwyang Hong. Ia sengaja supaya Racun Barat dipandang sebagai manusia terjahat di dunia ini. Mulanya Racun Barat dapat bersabar, namun akhirnya ter¬bakar juga, ia lantas membela diri, menyangkal tuduhan si nona. Inilah yang diharapkan Oey Yong, ia lantas mengoceh lebih jauh. Maka Racun Barat berkelahi di dua kalangan. Melawan Pengemis Utara, ia bersilat dengan kaki dan tangannya; me¬layani Oey Yong, ia bersilat dengan lidahnya. Sedangkan dalam hal bersilat lidah. Oey Yong lebih pandai daripada Cit Kong.

Lewat sekian lama, Auwyang Hong merasa ter¬desak. Saat itu ia teringat, "Pengemis tua ini tentu¬ tak mengerti Kiu Im Ciu Keng, maka, untuk merebut kemenangan, aku mesti menggunakan ilmu ini."

Ia lantas menggunakan ilmunya itu. Tidak peduli yang didapatnya ajaran sesat, ia lihai dan ber¬bakat baik sekali, hingga ia memperoleh kemajuan juga. Dengan begitu berubahlah gerakan tongkatnya.

Ang Cit Kong terkejut. Ia mesti melayani dengan memasang mata tajam luar biasa, dengan kegesitan yang bertambah.

Oey Yong dapat melihat perubahan di kedua pihak, ia kini berkata nyaring, "Goansu-engji, pasi-palok-pou, soaliok-bunpeng!"

Auwyang Hong mendengar itu dan terperanjat. "Apa arti kata-kata Sanskerta itu?" pikirnya.

Ia tidak tahu si nona cuma asal mengoceh, kata-kata itu tidak ada artinya. Oey Yong tidak berhenti bicara, ia menambahkan kata-kata yang lain lagi. la juga berseru-seru dan menghela napas bergantian, beberapa kali nadanya seperti bertanya.

"Apa yang kau katakan?" akhirnya Racun Barat bertanya.

Oey Yong menyahut dengan kata-kata Sanskerta ngawur, hingga jago dari See Hek itu makin bi¬ngung. Mendadak Ang Cit Kong berseru,

"Kena!"

Pengemis Utara tahu perhatian Racun Barat telah dikacaukan, Ia menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, tongkatnya menghajar ke batok kepala lawannya yang tangguh itu. Auwyang Hong kaget melihat datangnya serang¬an itu, ia menjerit sambil berkelit, terus menyeret tongkatnya dan berlari pergi.

"Ke mana kau hendak pergi?" bentak Kwee Ceng sambil meloncat untuk mengejar, tetapi ia tidak dapat menyusul. Auwyang Hong lari dan melompat berjumpalitan tiga kali, lalu bergulingan dan lenyap di balik jurang.

Ang Cit Kong bengong, demikian juga Oey Yong. Hanya sebentar, lantas keduanya saling me¬mandang dan tertawa. Kwee Ceng ikut tertawa.

"Yongji," kata si pengemis sesaat kemudian, "kali ini aku berhasil mengalahkan si Bisa Bangkotan, semua ini karena jasamu...." Ia menghera napas.

Oey Yong tersenyum. "Tapi, Suhu," kata si nona. "Bukankah itu ke¬pandaian ajaranmu sendiri?"

"Sebenarnya itu bakatmu sendiri!" Cit Kong ter¬tawa. "Dengan adanya tua bangka yang licin seperti ayahmu, muncullah anak perempuan yang licin seperti kau!"

"Bagus ya!" tiba-tiba terdengar seruan di belakang mereka. "Di belakang kau omong jelek tentang orang lain! Pengemis Bangkotan, kau malu atau tidak?"

"Ayah!" Oey Yong berteriak seraya melompat maju, lalu berlari-lari ke arah dari mana suara itu datang.

Sekarang sang matahari sudah menyingsing. Maka terlihat kemunculan seorang dengan jubah hijau yang melangkah dengan tenang. Orang itu tidak lain adalah pemilik Pulau Persik. Oey Yok Su. Oey Yong menubruk ayahnya, merangkulnya. Sang ayah balas merangkulnya.

Ayah itu mengawasi putrinya. Ia melihat anaknya telah berubah, sifat kekanak-kanakannya berkurang, sekarang romannya mirip dengan mendiang istrinya. Oey Yok Su bahagia sekaligus sedih.

"Sesat Tua." kata Ang Cit Kong, "kau ingat tidak apa yang kubilang padamu di Pulau Persik, bahwa anakmu sangat cerdik dan banyak akalnya, orang lain dapat dikelabuinya tapi ia sendiri tak bakal dapat teperdaya, bahwa kau tak usah meng-khawatirkannya? Nah, sekarang katakan, benar atau tidak perkataan si Pengemis Tual"

Oey Yok Su tersenyum, sembari menarik tangan anaknya ia mendekati Pengemis Utara.

"Aku memberi selamat padamu yang telah mem¬bikin si Tua Bangka Berbisa kabur!" katanya. "Dengan kekalahannya itu, legalah hatimu dan hatiku.”

Ang Cit Kong tersenyum. "Jago di kolong langit ini adalah kau dan aku si Pengemis Tua," katanya. "Tapi melihat anakmu ini, cacing dalam perutku langsung mengamuk tak keruan, liurku pun meleleh. Mari kita lekas-lekas bertempur! Bagiku sama bagusnya baik kau mau¬pun aku yang jadi jago, aku hanya menunggu menyikat habis hidangan yang lezat-lezat!"

"Ingat!" seru Oey Yong. "Kalau kau kalah, baru aku akan masak untukmu!"

"Fui.. tak tahu malu!" Cit Kong membentak. "Jadi kau hendak menggencetku, ya?"

Oey Yok Su beradat tinggi, katanya, "Pengemis Tua,'setelah lerluka kau menyia-nyiakan waktumu selama dua tahun, maka sekarang aku khawatir kau bukan tandinganku! Yongji, aku tak peduli siapa menang siapa kalah, kau mesti memasak dan mengundang gurumu bersantap!"

"Benar begitu!" puji Cit Kong. "Itu baru kata-¬kata guru besar! Pemilik Pulau Persik mana boleh berpandangan cupet seperti anak gadisnya! Se¬karang mari kita mulai, tak usah menanti sampai tepat tengah hari!" Sehabis berkata. Cit Kong mengangkat tongkat¬nya lalu maju menyerang.

Oey Yok Su menggelengkan kepalanya. "Baru saja kau bertempur cukup lama melawan Racun Barat," katanya. "Meski benar kau tak letih, tapi kau toh telah mengeluarkan banyak tenaga. Mana dapat aku Oey Yok Su mau menang waktu! Baik¬lah kita tunggu sampai tengah hari tepat, supaya kau sekalian bisa menghimpun tenagamu kembali!"

Cit Kong tahu itu benar dan pantas sekali, tetapi ia tidak dapat menahan sabar, maka ia mendesak untuk mulai bertempur saja. Oey Yok Su sebaliknya, ia duduk di batu tidak memedulikan si Pengemis Tua.

Melihat kedua orang tua itu berkutat, Oey Yong menengahi. "Ayah, Suhu, aku punya cara." katanya. "Dengan caraku ini kalian bisa langsung bertempur tanpa ada yang menang waktu."

"Bagus!" kata Cit Kong dan Yok Su berbarengan. "Bagaimana caranya?"

"Ayah dan Suhu adalah sahabat kekal, siapa menang siapa kalah akhirnya toh persahabatan di antara kedua belah pihak akan terganggu juga," jawab Oey Yong. "Pibu hari ini adalah pibu yang menghendaki menang atau kalah, bukan?"

Cit Kong dan Yok Su telah berpikir serupa, maka mereka mengiyakan. Lantas keduanya ber¬tanya bagaimana cara si anak atau si murid.

"Caraku begini," kata Oey Yong. "Mula-mula Ayah bertempur melawan Kakak Ceng. Coba lihat, dalam berapa jurus Ayah dapat mengalahkannya. Setelah itu Suhu bertempur melawan Kakak Ceng. Umpama dalam 99 jurus Ayah dapat mengalahkan Kakak Ceng sedangkan Suhu mesti menggunakan seratus jurus, maka Ayahlah yang menang. Sebalik¬nya kalau Suhu menang dalam 98 jurus, Ayahlah yang kalah."

"Bagus, bagus!" Cit Kong memuji.

"Kakak Ceng bertempur lebih dulu melawan Ayah." Oey Yong berkala lagi. "Kedua pihak masih segar dan bertenaga cukup. Kalau nanti Kakak Ceng melawan Suhu, mereka sama-sama bekas bertempur, jadi seimbang. Tidakkah itu adil?"

Oey Yok Su mengangguk. "Cara ini bajk." katanya. "Anak Ceng, mari maju. Kau pakai senjata atau tidak?"

"Terserah!" jawab Kwee Ceng. Ia setuju dengan cara sama tengah itu. Ia lantas akan melangkah maju.

"Perlahan dulu!" Oey Yong mencegah. "Masih ada yang harus dijelaskan. Bagaimana umpama dalam tiga ratus jurus Ayah dan Suhu masih belum sanggup mengalahkan Kakak Ceng?"

Ang Cit Kong tertawa tergelak. "Sesat Tua," katanya, "mulanya aku sangat me¬ngagumi putrimu yang pandai sekali membela ayah¬nya, ha, siapa tahu dia toh tetap wanita, dia akhirnya membela pihak luar juga! Tapi ini wajar! Sebenarnya dia ingin sekali supaya si tolol ini yang memperoleh gelar orang gagah nomor satu di kolong langit."

Sesat Timur bertabiat sangat aneh. Setelah men¬dengar ucapan putrinya dan si Pengemis Utara, ia memutuskan, "Biarlah kubikin tercapai keinginan anakku ini." Ia lantas berkata.

"Apa yang dikatakan Yongji benar adanya. Kita dua tua bangka, kalau kita tak dapat mengalahkan Anak Ceng dalam tiga ratus jurus, mana kita punya muka untuk terhitung sebagai orang-orang nomor satu?"

Namun, setelah berkata begitu, ia berbalik pikir lagi, "Aku bisa saja mengalah, membiarkan dia sanggup melayani¬ku sampai tiga ratus jurus; tapi jika si Pengemis Tua tak sudi mengalah, tentu dia bakal dapat mengalahkan Anak Ceng dalam tiga ratus jurus itu! Dengan demikian, aku jadi bukan mengalah pada Anak Ceng, melainkan pada si Pengemis Tua...," Ia jadi ragu-ragu.

Ang Cit Kong langsung menolak tubuh muridnya. "Lekas mulai!" katanya. "Mau tunggu apa lagi?"

Kwee Ceng terhuyung ke depan Oey Yok Su, yang terpaksa mengambil keputusan segera. Ia berkata dalam hati, "Baiklah, sekarang aku men¬coba dulu tenaga dalamnya, sebentar akan kupikir¬kan lagi." Tangan kirinya bergerak ke arah pundak si anak muda.

"Jurus pertama!" serunya.

Kalau Oey Yok Su berpendirian tidak tetap, demikian juga Kwee Ceng. Pemuda ini berpikir. "Sudah pasti aku tak dapat menjadi orang kosen nomor satu di dunia ini, tapi manakah yang akan kubiarkan menang, ayah Yongji atau Suhu?"

Te¬ngah ia ragu-ragu, tangan Oey Yok Su menyambar. Tangan kanannya terangkat untuk me¬nangkis. Karena ia belum sempat memperbaiki diri, dengan bentroknya tangan mereka, ia terpental hingga hampir jatuh. Lantas ia mendapat pikiran baru, "Aku gila! Kenapa mesti kupikirkan soal mengalah atau tidak? Biarpun kukeluarkan semua kepandaianku, mana bisa aku melawan sampai tiga ratus jurus?"

Maka ketika serangan kedua Oey Yok Su tiba. Ia berniat melawan. Ia akan membiarkan mereka berdua menggunakan kepandai¬an mereka untuk mengalahkannya, terserah siapa lebih dulu dan siapa ketinggalan, ia sendiri tidak mau berat sebelah.

Selelah jurusnya yang kedua dapat dihindari, Oey Yok Su melanjutkan serangannya lebih jauh. Baru beberapa jurus ia sudah heran sekali hingga bertanya dalam hati, "Baru setahun lebih berlalu, kenapa anak tolol ini sudah maju begini rupa? Kalau aku mengalah, kecuali tiga ratus jurus yang disebutkan itu, mungkin aku terkalahkan olehnya...."

Dalam beberapa jurus itu, lantaran ia mengalah dan cuma memakai tujuh bagian tenaganya, Oey Yok Su berada di bawah angin, itu sebabnya ia heran. Maka selanjutnya ia bersilat dengan ilmu Lok Eng Ciang.

Kwee Ceng sekarang benar-benar bukan Kwee Ceng yang dulu. Yok Su telah mencoba belasan jurus, namun pemuda itu belum bisa diunggulinya. Ia menukar dengan belasan macam jurus lagi, tetapi masih belum berhasil juga. Demikianlah puluhan jurus telah dilewatkan.

Setelah seratus jurus lebih, Kwee Ceng yang jujur bertindak alpa, ia nyaris kena tending kaki kiri lawan. Syukurlah ia keburu melompat mundur, tapi karena itu kedudukan kedua pihak jadi se¬imbang.

Oey Yok Su menarik napas lega. "Hebat," pikir¬nya. Baru setelah menggunakan tipu ia bisa meng¬ubah keadaan, tapi untuk menang di atas angin ia mesti bekerja lebih keras lagi. Setelah pengalaman pertamanya itu Kwee Ceng memasang kedudukan kokoh teguh, biar diserang bagaimana juga, ia tetap membela diri. la telah mengambil sikap, walaupun tidak menang asal jangan sampai kalah.

"Dua ratus tiga!" Oey Yong menghitung. "Dua ratus empat!"

Oey Yok Su menjadi bingung juga. "Tangan si Pengemis Tua lihai, bagaimana kalau dia dapat merobohkan muridnya dalam waktu se¬ratus jurus?" pikirnya. "Di mana aku mesti me¬naruh mukaku?” Maka kembali ia bekerja keras untuk menyerang hebat.

Baru sekarang Kwee Ceng terdesak, malahan ia hampir sukar bernapas. Ia merasa seperti tertindih gunung, matanya mulai kabur. Oey Yok Su menyerang hebat sekali, cepat serangannya, tetapi sang wasit, putrinya sendiri, juga cepat sekali hitungannya. Saat Kwee Ceng merasa bibir dan lidahnya kering, kaki dan tangan¬nya lemas, hingga ia akan berseru menyerah kalah. Mendadak terdengar suara nyaring si nona,

"Tiga ratus!"

Segera muka Oey Yok Su memucat, ia melompat mundur. Kwee Ceng menderita hebat sekali. Matanya kabur, kepalanya pusing, kaki dan tangannya ke¬hilangan tenaga. Pertempuran telah berhenti, tapi ia belum berhenti bergerak, ia berputar-putar dan terhuyung-huyung, hampir ia roboh ketika sadar bahaya yang mengancam dirinya.

Mendadak ia menancapkan kaki kirinya dengan tipu Cian Kin Twi, Berat Seribu Kati. Baru sekarang ia dapat berdiri tegak. Untuk memulihkan kesegarannya, tangan kanannya bergerak; dengan ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang ia menyerang sepuluh kali. Otaknya lantas menjadi jernih. Ia diam sejenak, terus berkata,

"Tuan Oey, beberapa jurus lagi pastilah aku roboh...!"

Sesat Timur malu dan sedih, ia sedikit men¬dongkol, tetapi menyaksikan ketangguhan anak muda itu ia berbalik menjadi girang. Luar biasa pemuda ini dapat bertahan dari serangannya dengan tipu silat Ki-bun Ngo-coan, yang telah dipahaminya selama belasan tahun. Dengan ilmu itu ia biasa membikin letih lawannya.

"Pengemis Tua," katanya pada Ang Cit Kong, "aku tak berguna, kaulah yang mendapatkan gelar orang gagah nomor satu di kolong langit ini!" Ia memberi hormat, terus memutar tubuh untuk berlalu.

"Tunggu dulu, tunggu dulu!" kata Cit Kong. "Segala di dunia bagaikan catur, perubahannya tak dapat diterka...." Ia lantas menghampiri Kwee Ceng, melemparkan tongkatnya, lalu dari pinggangnya ia menghunus sebilah pedang yang diserahkannya pada Kwee Ceng. Ia berkata, "Kau menggunakan senjata, aku akan melawanmu dengan tangan ko¬song!"

Kwee Ceng melengak. "Suhu...." katanya, "mana..."

"Ilmu silat tangan kosongmu aku yang meng¬ajarkan. Kalau kau menggunakan kepalanmu, apa itu namanya pibu kata si orang tua.

"Majulah!"

Kata-kata ini disusul dengan sambaran tangan kiri untuk merampas pedang Kwee Ceng. Kwee Ceng tidak dapat menerka maksud gurunya, ia melepaskan pedangnya, tidak melawan.

"Anak tolol!" damprat Cit Kong. "Kita sedang pibu, tahu!" Ia menyerahkan kembali pedang itu dengan tangan kirinya, tapi tangan kanannya merampas lagi. Kali ini Kwee Ceng menghindarkan pedang itu hingga tidak terampas.

"Satu!" Oey Yong lantas menghitung.

Ang Cit Kong langsung menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang. Tentu saja ia hebat luar biasa. Sambaran-sambaran anginnya sedemikian rupa, hingga meskipun bersenjatakan pedang Kwee Ceng tidak dapat mendekati lawannya. Sebenarnya si anak muda tidak biasa menggunakan senjata, tapi setelah didesak Auwyang Hong di rumah batu, ia jadi pandai menggunakannya. Tapi berbeda dari orang¬-orang lain, ia menggunakan kepandaian senjatanya delapan bagian untuk pembelaan diri, dua bagian untuk penyerangan.

Dari Kanglam Cit Koay ia memperoleh apa yang dinamakan "kepandai¬an kasar". Setelah mendapatkan Kiu Im Cin Keng baru ia memperoleh kemajuan yang berarti, sekarang ditambah dengan kepandaiannya dalam menggunakan senjata. Menghadapi Auwyang Hong, ia membela diri dari serangan tombak kayu, sekarang ia membela diri dari serangan tangan kosong.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar