Senin, 19 April 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 156

Waktu mengatakan itu, si nona tidak berpikir bahwa sudah wajar dengan bertambahnya usia manu¬sia berarti bertambah juga keruwetan hidupnya, bahwa kehidupan ini tidak ada hubungannya dengan pandai silat atau tidak. Kemudian ia berkata,

"Besok tiba saatnya pertemuan di Hoa San ini, untuk mengadu pedang. Ayah pasti akan ambil bagian. Karena kau tak berniat turut memperebutkan gelar jago itu, menurutmu bagaimana cara kita untuk membantu ayahku?"

"Yongji," kata si pemuda, "bukannya aku tak mau mendengar perkataanmu, tapi dalam hal ayah¬mu, sebagai manusia, dia kalah dari Ang Insu...."

Ang Insu berarti Guru Ang yang berbudi, yaitu Ang Cit Kong. Oey Yong sedang duduk bersender. Begitu ia mendengar Kwee Ceng mengatakan ayahnya kalah dari Cit Kong, artinya ayahnya bukan manusia baik-¬baik, mendadak ia menjadi gusar. Ia mendorong Kwee Ceng. Tentu saja Kwee Ceng melengak. Hanya sedetik, si nona lantas tertawa.

"Memang, memang Suhu Ang baik pada kita," katanya. "Sekarang begini saja. Kita tidak membantu pihak mana pun! Bagaimana menurutmu?"

"Ayahmu dan Suhu Ang sama-sama kesatria, jika kita membantu diam-diam, tentu mereka tak senang," kata Kwee Ceng.

"Apa? Diam-diam? Apa sangkamu aku orang jahat?" Lantas si nona memperlihatkan roman tidak senang.

Kwee Ceng heran. "Ah, aku salah omong...," katanya.

Si nona mengawasi, tiba-tiba ia tertawa lagi. "Sudahlah!" katanya. "Sebenarnya, asal kau tak menyia-nyiakan aku, kita masih bisa cukup lama berkumpul...."

Bukan main girangnya Kwee Ceng, ia mencekal keras tangan si nona. "Mana bisa aku menyia-nyiakanmu!" katanya.

"Ya, sebab si tuan putri tak menghendakimu lagi, baru kau menghendaki aku si budak hina...."

Kwee Ceng diam. Disebutnya nama Gochin membuat ia teringat kepada ibunya yang mati secara menyedihkan di gurun pasir. Cahaya rembulan menyinari muka anak muda ini. Oey Yong melihat muka itu pucat dan lesu, ia terkejut. Ia menyangka telah salah omong.

"Kakak Ceng," katanya lekas-lekas, "lebih baik kita jangan membicarakan lagi urusan yang sudah¬-sudah. Kita sekarang berkumpul, kita senang. Aku sebenarnya senang sekali. Bagaimana jika kubiarkan pipiku kau cium?"

Muka Kwee Ceng memerah. Ia tidak berani mencium.

Oey Yong tertawa, ia melengos. Ia likat sendiri. "Coba bilang, siapa yang bakal menang besok?" ia menyimpangkan pembicaraan.

"Itu sukar dibilang. Entah It Teng Taysu datang atau tidak...."

"Dia sudah menjadi orang suci, dia takkan be¬rebut nama kosong lagi."

"Aku pun menduga demikian. Ayahmu, Suhu Ang, Kakak Ciu, Kiu Cian Jin, dan Auwyang Hong mempunyai kepandaian masing-masing. Me¬ngenai Suhu Ang, aku tak tahu dia sudah sembuh atau belum dan entah bagaimana kepandaiannya...."

Waktu mengucapkan begitu, Kwee Ceng sedih.

"Menurut keadaan. Bocah Tua Nakal yang pa¬ling lihai," kata si nona. "Tapi kalau tidak meng¬gunakan Kiu Im Cin Keng, dia kalah dari empat orang yang lain...."

Kwee Ceng membenarkan dugaan itu. Mereka masih bicara sampai rasa kantuk si nona datang, maka tidak lama kemudian, ia pulas di dada si pemuda. Tidak lama setelah itu. Kwee Ceng pun ingin tidur, namun ketika baru layap-layap, mendadak mendengar langkah yang disusul dengan ber¬kelebatnya dua bayangan yang lari ke belakang jurang. Ia terkejut, samar-samar ia mengenali Pek Thong dan Cian Jin. Ia heran melihat Bocah Tua Nakal dikejar Cian Jin. Ia tidak tahu ketua Tiat Ciang Pang menggunakan ular berbisa. Bukankah tadinya Cian Jin yang dikejar-kejar Pek Thong? Pelan-pelan ia membangunkan si nona dan berkata,

"Lihat!"

Oey Yong bangun, mengangkat kepalanya. Ia lantas melihat Pek Thong yang lari berputar-putar di dekat mereka. Kemudian terdengar Bocah Tua Nakal berkata,

“Bangsat tua Kiu, di sini bersembunyi kawanku tukang menangkap ular ber¬bisa! Apa kau masih tak mau lekas-lekas kabur?"

Lalu Kiu Cian Jin menjawab sambil tertawa, "Apa kau sangka aku bocah umur tiga tahun?"

Ciu Pek Thong berteriak-teriak, "Saudara Kwee! Nona Oey! Lekas bantu aku!"

Kwee Ceng hendak membantu. Ketika ia mau melompat bangun, Oey Yong menariknya dan tetap merebahkan diri di dada si pemuda.

"Jangan bergerak!" kata si nona lirih.

Pek Thong terus lari berputar-putar, ia tidak juga melihat kemunculan kedua orang yang di¬teriakinya. Setelah mengulangi tapi tetap tidak ada yang memedulikannya, ia berteriak,

"Bocah busuk! Budak iblis! Kalau kau tetap tak mau keluar, nanti kucaci maki delapan belas leluhurmu!"

Oey Yong lantas muncul. Ia tertawa. "Aku tak mau keluar!" katanya. "Kalau kau bisa, makilah!"

Pek Thong tidak berani memaki. "Nona, bantulah aku," katanya. "Bagaimana kalau aku mencaci delapan belas leluhurku?"




Melihat munculnya sepasang muda-mudi itu, hati Kiu Cian Jin ciut. Ia lantas berniat kabur, sebab celakalah kalau ia dikepung mereka bertiga. Kalau besok, bertempur satu lawan satu. Ia tidak jeri. Lantas ia mengangkat ularnya, menyampokkan ke muka Pek Thong.

Bocah Tua Nakal kaget, ia berkelit. Mendadak ia merasakan sesuatu yang dingin di lehernya, ia kaget sekali. Ia menyangka itu ular berbisa.

"Mati aku! Mati aku!" teriaknya berulang-ulang. Binatang itu meronta-ronta di punggungnya. Ia pun tidak berani merogoh. Mendadak ia lemas, lantas tubuhnya roboh.

Oey Yong dan Kwee Ceng kaget, keduanya melompat menubruk untuk menolong. Kiu Cian Jin heran melihat robohnya Pek Thong, tapi karena ini kesempatan yang baik, ia hendak lari pergi. Belum ia mengangkat kaki, dari gerumbulan pohon muncul sesosok bayangan, lalu berkata dengan dingin,

"Bangsat tua Kiu, hari ini kau tak dapat lolos lagi!"

"Siapa kau?" bentak Cian Jin.

Orang itu berdiri membelakanginya, hingga Cian Jin tidak dapat melihat mukanya. Ia hanya bisa khawatir.

Pek Thong rebah di tanah, mengira dirinya sudah ada di alam baka. Tapi kupingnya mendengar,

"Tuan Ciu, jangan takut, itu bukan ular!" Ia pun ditolong bangun. Ia lantas melompat berdiri. Kembali ia merasakan sesuatu yang dingin di punggungnya, benda itu bergerak-gerak. Kembali ia kaget, hingga menjerit,

"Dia menggigitku! Ular! Ular!"

"Bukan ular. Hanya ikan emas!" kata orang itu lagi.

Sekarang Oey Yong dan Kwee Ceng melihat orang yang bicara itu, malahan mereka mengenalinya, si tukang pancing, murid ke¬pala It Teng Taysu. Orang itu pun lantas meng¬ambil ikan dari punggung Bocah Tua Nakal.

Si tukang pancing datang ke Gunung Hoa San, ia melihat sepasang ikan emas Kim-wawa, maka ia lantas menangkapnya. Entah bagaimana ia mem¬buat yang seekor terlepas, bahkan tepat sekali jatuh ke dalam baju Ciu Pek Thong. Tak heran Pek Thong kaget dan takut bukan main, sebab ia menyangka itu ular Kiu Cian Jin.

Begitu Pek Thong membuka mata dan meng¬awasi orang itu, ia bengong. Ia seperti mengenal orang, tetapi lupa siapa. Kemudian ia berpaling kepada Kiu Cian Jin, ketua Tiat Ciang Pang itu sedang mundur selangkah demi selangkah, sedang¬kan si bayangan maju selangkah demi selangkah juga. Ia mengawasi bayangan itu. Akhirnya ia kaget tak terkira, semangatnya seolah terbang tinggi. Bayangan itu ternyata Eng Kouw atau Lauw Kui-hui dari istana Negara Tali!

Kiu Cian Jin juga kaget bukan main. Ia datang ke Hoa San dengan harapan besar, sebab meski gagah Ciu Pek Thong bisa dipengaruhi ular. Ia sama sekali tidak menyangka sekarang Lauw Kui-hui muncul tiba-tiba. Selama di Chee¬liong-toa, ia telah menyaksikan selir itu mengamuk, maka sekarang hatinya jadi ciut. Justru itu ter-dengar si nyonya berkata,

"Kembalikan jiwa anakku...!"

Sebenarnya Cian Jin heran bagaimana nyonya ini mengenalinya, karena dulu ketika menyatroni istana Toan Hongya, ia menyamar. Dulu ia juga tidak berniat membinasakan anak itu. Sebab maksudnya ialah supaya Toan Hongya mengobati anaknya dan menjadi lelah karenanya.

"Eh, perempuan edan, buat apa kau mengganggu¬ku?" tanyanya sambil memaksakan diri tertawa.

"Pulangkan jiwa anakku!" jawab Eng Kouw.

"Buat apa kau menyebut-nyebut anakmu?" tanya Cian Jin. "Anakmu sudah mati, apa hubungannya denganku?”

"Sebab kaulah pembunuhnya! Malam itu aku tak melihat mukamu, tapi aku mendengar tawamu! Nah, coba kau tertawa lagi! Tertawa! Cepat!"

Kiu Cian Jin mundur lagi. Ia melihat wanita itu akan menerkamnya. Ketika nyonya itu benar-benar maju, ia menggeser sedikit ke samping, tangan kirinya menepuk tangan kanan, lalu tangan kanan¬nya itu meluncur ke perut si nyonya. Itulah jurus Imyang Kwi It, Bersatunya Im dan Yang, salah satu di antara ketiga belas jurus dari Tiat Ciang Kiat, silat Tangan Besi-nya yang lihai. Tenaga tangan kanannya dibantu dengan tangan kirinya.

Eng Kouw tahu hebatnya serangan itu. la hendak membebaskan diri dengan Ni Ciu Kang, ilmu Lindung-nya, tetapi di luar dugaan, gerakan Cian Jin sangat sebat. Ia menjadi nekat. Maka bukan menangkis atau berkelit, ia justru menubruk untuk memeluk musuh, supaya mereka sama-sama jatuh ke jurang.

Belum lagi kedua pihak mempertaruhkan jiwa mereka, Kiu Cian Jin merasakan sambaran angin di sampingnya, sedangkan matanya melihat bayang¬an berkelebat. Terpaksa ia menarik pulang serang¬annya untuk dipakai menangkis. Ia lantas melihat siapa yang telah merintanginya, ia gusar sekali.

"Ah, Bocah Tua Nakal, kau lagi!" serunya.

Memang Pek Thong-lah yang menolong Eng Kouw dari bahaya. Tiba-tiba saja datang rasa cinta si orang tua, bahkan ia menyerang dengan jurus dari Kiu Im Cin Keng. Meski menolong, Pek Thong tidak berani memandang langsung kekasihnya. Sembari membelakangi ia berkata,

"Eng Kouw, kau bukan tandingan tua bangka ini, lekas pergi! Aku pun mau pergi dari sini!"

Bocah Tua Nakal benar-benar mau angkat kaki. Tetapi Eng Kouw bertanya, "Ciu Pek Thong, kau hendak menuntut balas untuk anakmu atau tidak?"

"Apa? Anakku?" tanya Bocah Tua Nakal. Ia heran hingga melengak.

"Benar! Pembunuh anakmu adalah Kiu Cian Jin!" sahut Eng Kouw.

Pek Thong bingung, la tidak tahu bahwa hubung¬annya beberapa hari dengan Lauw Kui-hui telah menghasilkan anak. Selagi ia diam, datang beberapa orang lain, maka waktu mengangkat ke¬pala ia melihat It Teng Taysu serta keempat muridnya.

Kiu Cian Jin mendapati dirinya berada kurang tiga kaki dari jurang, artinya ia sudah terkurung dan terancam bahaya, sedangkan semua musuhnya lihai. Dalam keadaan seperti itu, ia menjadi nekat. Ia menepukkan kedua tangannya dan berkata angkuh,

“Aku mendaki Gunung Hoa San ini untuk memperebutkan gelar orang kosen nomor satu di kolong langit, tapi kalian berkumpul sekarang! Hm! Apakah kalian mengepungku hendak me¬nyingkirkan satu lawan lebih dulu? Dapatkah kalian melakukan perbuatan sehina ini?"

Menurut Ciu Pek Thong perkataan orang itu beralasan. "Biarlah besok, sehabis pertemuan adu silat, baru aku mengambil jiwamu yang busuk!"

"Baiklah!" kata Kiu Cian Jin.

"Tidak bisa!" teriak Eng Kouw. "Mana bisa aku menanti sampai besok!"

"Bocah Tua Nakal!" Oey Yong turut bicara. "Dengan orang terhormat kita bicara tentang ke¬hormatan, dengan manusia licik kita bicara secara licik."

Muka Kiu Cian Jin memucat, la mengerti sedang menghadapi bahaya. Tapi ia licik, ia mendapat akal.

"Kenapa kau hendak membunuhku?" tegurnya.

"Kau jahat sekali, setiap orang berhak mem¬bunuhmu!" jawab si pelajar.

Cian Jin tertawa terbahak sambil melengak.

"Kalian lebih banyak, aku bukan tandingan kalian!" ejeknya. "Tapi apa kalian kira aku takut? Barusan kalian bicara tentang kehormatan dan ke¬jahatan, baiklah! Sekarang aku bersedia melayani kalian! Nah, majulah siapa di antara kalian yang seumur hidup belum pernah membunuh manusia serta belum pernah berbuat jahat! Kalian boleh turun tangan, aku akan menyerahkan leher¬ku untuk dipenggal! Jika aku mengerutkan alis, aku bukan laki-laki!"

It Teng Taysu menghela napas. Ia lantas men¬dului mengundurkan diri untuk duduk bersila. Kata-kata Cian Jin berpengaruh sekali. Sekalipun si tukang pancing, tukang kayu, petani, dan pelajar pernah memangku pangkat, mereka semua pernah membunuh orang.

Ciu Pek Thong dan Eng Kouw saling memandang, keduanya teringat segala hal yang mereka alami bersama dulu.

Kwee Ceng dan Oey Yong turut diam. Kiu Cian Jin menggunakan kesempatan, la melangkah ke arah Kwee Ceng. Si pemuda minggir. Cian Jin mengerahkan tenaganya untuk lompat melewatinya, namun mendadak dari balik batu besar menyambar sebatang tongkat bambu ke mukanya. Ia terkejut tapi bisa menangkis untuk menangkap tongkat itu, berniat merampasnya. Di luar duga¬an, ia gagal, bahkan tiga kali beruntun tongkat itu menyerang. Ia kaget, ternyata setiap serangan adalah totokan ke jalan darah. Ia kewalahan, sedang¬kan di situ tidak ada jalan mundur. Terpaksa ia mundur ke tempat tadi, mendekati jurang. Segera setelah ia mundur, sesosok bayangan melompat ke depannya.

"Suhu!" teriak Oey Yong. Si nona mengenali sosok itu, yaitu Kiu Ci Sin Kay Ang Cit Kong!

"Hai, pengemis bau!" Kiu Cian Jin mencaci. "Kenapa kau usil? Sekarang masih belum tiba waktunya pertemuan untuk beradu ilmu pedang!"

"Aku datang untuk menyingkirkan kejahatan!" jawab Ang Cit Kong. "Siapa mau rapat beradu pedang denganmu!"

"Bagus, orang gagah, pendekar!" teriak Kiu Cian Jin. "Ya, aku si orang jahat, kau sendiri si manusia baik yang belum pernah melakukan perbuatan busuk!"

"Memang!" jawab Cit Kong lagi. "Aku si penge¬mis tua telah membinasakan 531 orang yang se¬muanya jahat, pembesar rakus, hartawan, jago jahat, atau manusia tak berbudi! Benar, aku si pengemis tua sangat kemaruk hidangan lezat; tapi seumur hidupku belum pernah aku membunuh orang baik-¬baik! Kiu Cian Jin, kaulah orang ke-532 yang akan kubunuh!"

Mendengar itu Cian Jin tersentak.

"Kiu Cian Jin," Ang Cit Kong berkata lagi, "Ketua Siangkoan Kiam Lam dari Tiat Ciang Pang adalah orang gagah perkasa, seumur hidup dia setia pada negara, tak pernah berubah pikiran. Tapi kau, sama-sama menjadi ketua, bersekongkol dengan bangsa Kim, berkhianat, menjual negara! Kalau nanti kau mati, apakah kau punya muka untuk bertemu dengan Ketua Siangkoan? Sekarang kau mendaki Gunung Hoa San ini, kau berniat gila mengharapkan kehormatan sebagai orang kosen nomor satu di kolong langit! Jangan kata ilmu silatmu tak mampu menandingi orang-orang gagah lain, umpama kata kau benar tiada tandingan, di kolong langit ini, orang gagah mana yang sudi takluk pada pengkhianat penjual negara!"

Kiu Cian Jin berdiri menjublek. Hebat kata-kata itu. Teringatlah ia akan kejadian-kejadian beberapa puluh tahun lampau ketika pertama kali me¬nerima kedudukan sebagai ketua Tiat Ciang Pang. Waktu itu Siangkoan Kiam Lam, ketua yang lama, sambil rebah sakit di pembaringan, telah meninggal¬kan pesan, menjelaskan pada Kiu Cian Jin tentang aturan suci Tiat Ciang Pang, berpesan supaya mencintai negara dan menyayangi rakyat. Kiu Cian Jin ingat, semakin menanjak usia, semakin ting¬gi kepandaiannya, sepak terjangnya semakin ber¬tentangan dengan cita-cita partainya.

Semua anggotanya yang jujur dan setia mengundurkan diri; sedangkan yang buruk tetap berkumpul ber¬samanya, hingga kemudian Tiat Ciang Pang yang suci murni itu telah berubah menjadi kotor, menjadi sarang penjahat. Ia mengangkat kepalanya, melihat rembulan bersinar terang. Sepasang mata Ang Cit Kong bersinar tajam mengawasinya. Mendadak ia menginsafi semua perbuatannya dulu bertentangan dengan Thian. Tanpa sadar peluh membasahi se¬luruh tubuhnya.

"Ketua Ang, kau benar!" katanya akhirnya. Ia memutar tubuh untuk melompat ke jurang.

Cit Kong kaget. Ia memegang tongkatnya untuk menjaga diri. Ia khawatir, karena gusarnya, Kiu Cian Jin akan menerjang. Ia tahu ketua Tiat Ciang Pang itu lihai. Maka ia tidak menyangka orang menjadi nekat hendak bunuh diri. Ia tercengang. Selagi ia tidak berdaya, orang lain telah mencelat maju ke lepi jurang.

Orang itu adalah It Teng Tay.su yang sejak tadi duduk bersila saja. Pendeta ini melompat tidak dengan kakinya, namun dengan tubuh melayang. Ia masih dalam posisi bersila. Tangan kirinya terulur, ia menyambar kaki Kiu Cian Jin dan menariknya keras-keras, sambil memuji,

"Siancay! Siancay! Laut keseng¬saraan tidak ada batas pinggirnya. Siapa yang menoleh, melihat tepian! Kau telah insaf, kau telah menyesal, maka bagimu masih belum terlambat untuk kembali menjadi manusia benar! Pergilah kau mengurus dirimu baik-baik!"

Kiu Cian Jin menangis menggerung-gerung, ber¬lutut di depan si pendeta, pikirannya pepat. Tidak dapat ia mengatakan sesuatu.

Eng Kouw melihat orang itu berlutut membe¬lakanginya. Melihat kesempatan itu, ia menghunus belatinya, menikam punggung musuhnya.

"Tahan!" seru Ciu Pek Thong seraya menahan tangan si nyonya.

"Kau mau apa?" bentak Eng Kouw gusar.

Bocah Tua Nakal memang tidak mau berurusan dengan si nyonya, maka dibentak begitu ia ber¬teriak, lantas memutar tubuhnya untuk lari kabur.

"Ke mana kau mau pergi?" bentak Eng Kouw lalu mengejar.

"Perutku sakit, aku hendak buang kotoran!" sahut Pek Thong sambil lari terus.

Sejenak Eng Kouw tergugu, lantas ia mengejar lagi. Ia tidak memedulikan kata-kata orang itu. Pek Thong berteriak-teriak lagi,

"Celaka! Celaka! Celanaku penuh kotoran bau sekali, jangan dekat-¬dekat aku!"

Eng Kouw tidak memedulikannya, ia terus me¬ngejar. Sudah dua puluh tahun ia mencari, kalau sekarang membiarkan orang itu lolos lagi, lain kali sukar mencarinya hingga ketemu. Ia lari kencang.

Bocah Tua Nakal mendengar langkah kakinya, ia kaget. Sekarang ia benar-benar terkejut. Kalau tadi ia mengatakan hendak buang air besar hanya untuk menggertak Eng Kouw. Sekarang ia benar¬-benar hendak melakukannya....

Kwee Ceng dan Oey Yong tersenyum melihat lagak Pek Thong, yang bersama Eng Kouw lenyap dengan cepat. Kemudian mereka menoleh, memandang lt Teng Taysu. Pendeta itu bicara berbisik kepada Kiu Cian Jin, dan ketua Tiat Ciang Pang itu mengangguk¬-angguk. Kemudian Toan Hongya yang sudah "mati" itu bangkit.

"Mari berangkat!" katanya.

Sampai di situ Kwee Ceng dan si nona meng¬hampiri untuk memberi hormat. Mereka pun mem¬beri hormat pada si tukang pancing berempat.

It Teng mengusap-usap kepala sepasang muda¬-mudi itu. Ia tersenyum, kelihatan nyata pada roman¬nya bahwa ia mengasihi mereka. Ia menoleh kepada Ang Cit Kong dan berkata.

"Saudara Cit, kau sehat walafiat, lebih gagah daripada dulu! Kau pun telah menerima dua murid yang baik sekali, selamat padamu!"

Ang Cit Kong menjura. "Hongya juga baik!" katanya.

It Teng tertawa. "Sekarang aku bukan hongya lagi!" katanya. Ia menolak sebutan hongya atau raja. "Saudara Cit, gunung itu tinggi, air itu panjang. Sampai bertemu lagi!" la merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat, lantas membalikkan tubuh beranjak pergi.

"Eh, eh," kata Cit Kong, "besok pertemuan berlangsung. Kenapa Toan Hongya pergi sekarang?" Karena telah jadi kebiasaan, ia tidak dapat meng¬ubah panggilan Toan Hongya itu.

It Teng berbalik. la tertawa. "Aku dari kalangan lain, tak berani be¬rebutan dengan orang-orang gagah di kolong la-ngit," sahutnya. "Kedatanganku hari ini hanya un¬tuk menyelesaikan keruwetan dari dua puluh tahun lampau. Maka aku bersyukur maksudku telah ter¬capai. Saudara Cit, sekarang siapa lagi orang gagah itu kalau bukannya kau. Janganlah merendahkan diri!"

Lagi-lagi pendeta ini memberi hormat, lantas pergi dengan menggandeng Kiu Cian Jin. Si tukang pancing berempat menghormat pada Ang Cit Kong, kemudian mengikuti guru mereka. Si pelajar lewat di dekat Oey Yong, melihat muka si nona bercahaya, ia tertawa dan menggoda dengan bersenandung,

"Di lanah rendah ada pohon yang toh, cabangnya halus dan lemas."

Oey Yong membalas sindiran itu, "Sang ayam menclok di para-paranya, hari sudah jadi malam...."

Si pelajar tertawa lebar, ia menjura dan melanjut¬kan perjalanan. Kwee Ceng heran, ia tidak mengerti. Ia menduga mereka main teka-teki.

"Yongji, apakah itu kata-kata Sanskerta?" tanyanya.

Si nona tertawa. "Bukan. Itu syair dari Kitab Syair"

Kedua syair si pelajar dan Oey Yong itu masih ada sambungannya tetapi mereka sengaja menyebut permulaannya saja. Si pelajar mengatakan si nona belum menikah tapi sudah kegirangan, sedangkan Oey Yong mengumpamakan si pelajar sebagai bi-natang. Sementara itu Kwee Ceng, yang telah mendengar teguran Ang Cit Kong kepada Kiu Cian Jin, turut tersadar. Ia seperti mendapat petunjuk untuk mengatasi keruwetannya selama ini.

Gurunya itu telah membunuh banyak orang, tapi semuanya orang jahat. Tindakan gurunya itu tidak dapat dikatakan tidak pantas. Guru itu bukannya jahat, bahkan, sebaliknya, gurunya orang baik. Sebab ia menindas kejahatan. Karena itu semestinya ia tidak melupakan atau membuang ilmu silatnya.

Lantai muda-mudi ini menghampiri guru mereka untuk memberi hormat, kemudian mereka pasang omong tentang segala hal yang terjadi sejak per¬pisahan mereka yang terakhir.

Ang Cit Kong ikut Oey Yok Su ke Pulau Persik. Di sana ia dapat menyembuhkan diri dengan memahami Kiu im Cin Keng. Dengan melatih ilmu tenaga dalamnya untuk memperlancar jalan per¬napasan dan jalan darahnya. Dalam waktu satu tahun ia sembuh, lalu dalam waktu setengah lahun berikutnya ia berhasil memulihkan kepandaian silat¬nya, la sudah sembuh, tetapi ia meninggalkan Pulau Persik sesudah Oey Yok Su, yang pergi lebih dulu untuk mencari anak daranya yang selalu dipikirkan dan dirindukannya. Oey Yok Su bertolak ke utara. Cit Kong bertemu dengan Lou Yu Kiak, maka ia tahu tentang kedua muridnya itu, kecuali hal-hal yang terjadi setelah rombongan Yu Kiak meninggalkan Mongolia.

"Suhu, sekarang silakan Suhu beristirahat," Kwee Ceng mempersilakan. "Sang fajar bakal lekas tiba, sebentar lagi tiba waktunya beradu kepandaian. Suhu mesti menggunakan banyak tenaga."

Cit Kong tertawa dan berkata, "Usiaku telah lanjut, tapi kegemaranku akan menang pun ber¬tambah. Tapi mengingat yang bakal kuhadapi Sesat Timur dan Racun Barat, hatiku kurang tenteram. Selama ini, Yongji, kepandaian ayahmu maju pesat sekali. Coba tebak, siapa yang akan lebih kuat atau lebih lemah di antara ayahmu dan gurumu?"

"Sebenarnya kepandaian Suhu dan kepandaian Ayah berimbang," sahut Oey Yong. "Tapi sekarang Suhu telah mewarisi Yang Ci dari lt Teng Taysu dan Suhu sendiri telah meyakinkan Kiu Im Cm Keng, maka tentu ayahku bukan tandingan Suhu lagi. Aku akan omong dengan ayahku, supaya Ayah tak usah melawan Suhu lagi, lebih baik lekas-lekas pulang ke Pulau Persik."







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar