Sabtu, 17 April 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 155

Ilmu itu aneh, pantas Auwyang Hong berlatih di tempat sepi. Kalau keliru cara mempelajarinya, barangkali ilmu ini bakal membuat orang sesat dan membahayakan keselamatan dirinya sendiri. Namun aneh, kenapa yang dipilihnya justru Gunung Hoa San ini, tempat pertemuan? Bukankah di sini bakal segera berkumpul banyak orang? Kenapa ia seperti tidak menjaga diri? Tidakkah dalam keadaan seperti ini Racun Barat gampang di¬bokong? Mungkin orang yang tidak mengerti ilmu silat pun dapat dengan gampang merobohkannya....

Tiba-tiba pemuda ini ingat sakit hatinya. Meng¬apa ia tidak mau menuntut balas? Bukankah ini kesempatan baik? Namun karena baru saja membinasakan Nio Cu Ong, ia jadi sangsi. Ia tidak lantas turun tangan.

Auwyang Hong tetap tidak memedulikan si anak muda. Setelah berlatih sekian lama, kembali ter¬dengar bunyi nyaring kepalanya. Ia kembali ke tempat dari mana tadi ia muncul. Bukan main herannya Kwee Ceng. Ia menjadi ingin tahu, maka diam-diam ia melangkah mengikuti.

Auwyang Hong berjalan dengan kepala tetapi tidak kalah cepat dari orang yang berjalan biasa dengan kaki. Yang lebih heran lagi. ia juga dapat mendaki gunung, makin lama makin tinggi.

Kwee Ceng mengikuti terus sampai di depan gua. Di situ ia berhenti, bersembunyi di balik batu besar. Tepat di depan gua Auwyang Hong berhenti. Mendadak ia berkata bengis,

"Haphouvvbun-poat¬eng sengji-kit-kin, si-kouw-ji! Tidak, tak tepat penjelasanmu ini! Tak sempurna aku melatihnya."

Kwee Ceng terkejut. Itu bunyi kitab Kit Im Cin Keng palsu yang ditulisnya selama di atas perahu di tengah laut ketika ia dipaksa si Racun Barat. Dengan siapa si Bisa Bangkotan sedang bicara?

Lantas dari dalam gua terdengar jawaban seorang wanita. "Latihanmu belum sempurna, pasti kau tak mem¬peroleh hasil," demikian suara nona itu. "Kapan aku salah membacakannya?"

Kwee Ceng terkejut berbareng girang, ia hampir berteriak. Itu suara Oey Yong, yang dipikirkannya siang-malam! Jadi. mungkinkah nona itu tak binasa di gurun pasir? Apakah ia tengah bermimpi? Atau, apakah ia salah mendengar atau salah mengenal?

"Aku berlatih menurut penjelasanmu, tak mung¬kin salah!" kata Auwyang Hong. "Sekarang aku merasakan otot jim-wi dan yang-wi-ku tak tersalur dengan betul."

"Aku sudah bilang, latihannya masih kurang," si nona pun berkeras. "Kalau kau paksakan. percuma saja."

Sekarang Kwee Ceng mendengar jelas sekali. Tidak salah, itulah Oey Yong, Yongji-nya. Saking girangnya, tubuhnya terhuyung, hampir ia pingsan. Ia menguatkan hati, maka luka di lehernya pecah hingga berdarah, merembesi balutannya. Tapi ia seperti tidak merasakannya.

Auwyang Hong terdengar berkata lagi, suaranya menyatakan ia gusar sekali. "Besok tengah hari tepat adalah saat pertemuan berlangsung, mana dapat aku berlatih asal-asalan!" katanya bengis. "Lekas terjemahkan se¬luruh isi kitab itu, jangan coba-coba main gila!"

Sekarang Kwee Ceng mengerti betul bahwa orang itu sedang mempelajari Kiu Im Cin Keng. Ia akan memakai ilmu itu untuk mengadu kepandaian dalam pertemuan, supaya menjadi orang kosen nomor satu. Pantas Racun Barat gelisah.

Dari dalam terdengar tawa Oey Yong. "Kau telah berjanji pada Kakak Ceng-ku, dia sudah mengampuni jiwamu sampai tiga kali," kata si nona. "Karena itu, kau tak dapat memaksaku, kau mesti menyerah, menanti sampai hatiku senang untuk mengajarimu...."

Kwee Ceng senang mendengar gadis itu me¬nyebutnya Kakak Ceng-ku. Ia nyaris tidak dapat mengendalikan diri lagi, hampir ia melompat sambil berseru dan berlari menghampiri si nona manis.

Auwyang Hong tertawa dingin. "Waktunya sudah mendesak, meskipun ada, janji itu sekarang mesti ditangguhkan!" katanya sengit. Lantas ia menggerakkan tubuhnya, dalam sekejap ia telah berdiri dengan kakinya. Terus ia melangkah lebar-lebar ke gua itu.

"Tak tahu malu!" seru Oey Yong. "Tidak, aku tak mau mengajarimu!"

Auwyang Hong kembali memperdengarkan tawa dinginnya lagi hingga beberapa kali. "Aku mau lihat, kau mengajariku atau tidak!" katanya, kali ini perlahan.

MENDADAK terdengar jeritan Oey Yong, disusul bunyi robeknya baju. Di saat seperti itu, Kwee Ceng lupa akan ke¬ruwetan persoalannya sendiri, yaitu pantas atau tidak ia menggunakan ilmu silatnya untuk melawan. Ia berteriak,

"Yongji, aku akan membantumu!"

Ia lantas melompat berlari ke dalam gua. Tepat saat itu ia melihat Auwyang Hong memegang tongkat si nona dengan tangan kirinya, tangan kanannya akan dipakai untuk mencekuk lengan kiri nona itu. Untuk mengatasi itu Oey Yong menggunakan jurus Menyontek Anjing Buduk. Dengan menolak dan terus menarik, ia dapat meloloskan tongkatnya, hingga berbareng dengan itu tangan kirinya pun terbebas.

"Bagus!" Auwyang Hong memuji.

Ia hendak menyerang lagi ketika mendengar suara Kwee Ceng dari luar gua. Mendadak mukanya memerah. Bukankah ia telah memberikan janjinya? Mana dapat ia menyangkal janji itu? Ia berbuat begini pun karena terpaksa. Ia malu pada dirinya sendiri. Maka langsung ia mengundurkan diri dengan berkelit melompat keluar gua, menutupi mukanya dengan lengan baju¬nya. Dalam sekelebatan saja, ia telah menyingkir ke luar gua dan lenyap.

Kwee Ceng tidak peduli orang itu kabur. Ia lari menghampiri Oey Yong, langsung mencekal keras kedua tangan si nona.

"Yongji!" serunya. "Kau bikin aku hampir mati memikirkanmu!"

Begitu kencang debar hatinya, hingga tubuhnya bergetar. Oey Yong melepaskan tangannya.

"Kau siapa?" tanyanya dingin. "Mau apa kau me¬megangiku ?”

Pemuda itu tercengang. "Aku Kwee Ceng," sahutnya. "Kau baik-baik saja?"

"Aku tak kenal kau!" kata si nona seraya terus melangkah keluar.

Kwee Ceng menyusul mendului, lalu berulang-¬ulang menjura. "Yongji!" panggilnya. "Yongji, dengarkan aku...!"

"Hm! Apa kau kira kau dapat menyebut nama Yongji?" kata si nona. "Kau siapa?"




Kwee Ceng celangap, tidak dapat mengeluarkan suara. Nona itu mengawasi, maka sekarang ia melihat muka si pemuda yang pucat dan kucel, tubuhnya pun agak kurus. Sesaat timbul rasa kasihannya, rasa tidak tega. Tapi begitu ingat berulang kali ia telah disia-siakan, hatinya jadi panas lagi.

"Fuih!" Ia meludah, lalu melangkah cepat.

Kwee Ceng cemas, ia menyambar ujung baju si nona dan menariknya. "Dengarkan dulu perkataanku...!" katanya.

"Bicaralah!"

"Di embal pasir aku menemukan gelang rambut dan bajumu, kusangka kau...."

"Kau ingin aku mendengarkan perkataanmu, se¬karang aku sudah mendengarkannya!" potong si nona. Ia menarik lepas bajunya, terus berjalan.

Kembali Kwee Ceng bengong, pikirannya bi¬ngung. Ia tidak pandai bicara, maka tidak tahu mesti mengatakan apa. Ia khawatir si nona nanti lenyap lagi, maka ia lantas mengikuti.

Oey Yong berjalan terus dengan pikiran kusut. Ia pulang dari Barat dengan hati tawar. Di Tionggoan, ia sebatang kara. Ia ingin pulang ke Pulau Persik untuk mencari ayahnya. Apa lacur, tiba di Shoatang ia menderita sakit berat. Celaka¬nya, tidak ada orang yang merawatnya. Selagi rebah di pembaringan, ia sakit hati teringat sikap Kwee Ceng yang ia anggap tipis budi pekertinya. Kalau ingat nasibnya yang buruk, ia menyesal telah dilahirkan di dunia. Syukurlah, ia dapat sem¬buh dari sakit, tapi belum bebas dari penderitaan. Di Shoatang Selatan ia bersampokan dengan Auwyang Hong yang memaksanya turut pergi ke Hoa San. Ia dipaksa untuk menjelaskan isi kitab Kiu Im Cin Keng. Kalau tidak ada si pemuda, entah apa yang akan diperbuat Auwyang Hong pada dirinya. Dengan sedih ia berjalan terus.

Kwee Ceng terus mengintil. Kalau si nona berjalan cepat, ia pun mempercepat langkahnya. Kalau si nona pelan, ia ikut pelan. Sesudah berjalan sekian lama, mendadak si nona menoleh ke belakang.

"Mau apa kau mengikutiku ?” tegurnya sinis.

"Aku akan mengikutimu selamanya...," sahut si pemuda. "Seumur hidup aku tak mau berpisah darimu...."

Oey Yong tertawa dingin. "Kau menantu Jenghis Khan! Buat apa kau mengikuti budak melarat?"

"Jenghis Khan menyebabkan kematian ibuku, mana dapat aku menjadi menantunya?" Kwee Ceng menjawab.

Muka si nona memerah. "Bagus!" serunya. "Kukira kau masih ingat sedikit padaku, rupanya kau telah didepak Jenghis Khan! Setelah tak dapat menjadi huma, kau sekarang mencariku si budak melarat! Apa kau sangka aku manusia hina-dina yang dapat kau hina sesukamu ?”

Si nona lantas menangis, air matanya bercucuran. Kwee Ceng terharu, tetapi ia bingung. Apa yang mesti diperbuatnya? Apa yang mesti dikatakannya...?

"Yongji...," katanya kemudian, selagi nona itu sesenggukan. "Aku ada di sini, jika kau hendak membunuhku, silahkan, terserah padamu...."

"Buat apa aku membunuhmu?" tanya si nona, suaranya pilu. "Anggap saja perkenalan kita sia-sia belaka.... Kumohon, janganlah kau mengikutiku...."

Muka Kwee Ceng bertambah pucat. "Apa yang harus kulakukan supaya kau percaya padaku?" tanyanya.

"Sekarang kau baik denganku," kata si nona. "Kalau besok kau bertemu dengan Adik Gochinmu, kembali kau akan melupakanku, kau bakal menyia-nyiakanku.... Sekarang ini. asal kau mati di depanku, baru aku percaya padamu..-"

Darah Kwee Ceng meluap, ia mengangguk. Kemudian ia memutar tubuhnya dan melangkah ke jurang. Kebetulan saat itu ia berada di tepi Sia Sin Gay, Jurang Mengorbankan Diri. Kalau ia terjun di situ, pastilah tubuhnya hancur lebur.

Oey Yong tahu hati pemuda itu keras, ia melompat menyusul, tangannya terulur menyambar punggung si pemuda. Ia menarik keras, tubuhnya mencelat, maka sekejap kemudian justru dialah yang berada di tepi jurang. Ia mencucurkan air mata. hatinya tegang.

"Bagus ya, sedikit pun kau tak kasihan padaku!" katanya. "Aku baru mengeluarkan sepatah kata karena panas hatiku, kau langsung tak mau melewatkannya! Aku bilang padamu, jangan marahi aku, cukup asal kau jangan bertemu lagi denganku..." Muka Oey Yong pucat, tubuhnya gemetar.

"Yongji, kemarilah," kata Kwee Ceng. Tadi mau bunuh diri, sekarang ia khawatir si nona yang akan terjun.

Oey Yong mendengar suara pemuda itu bergetar. Ia tahu si pemuda masih mencintainya, ia sangat sedih. Sembari menangis, ia berkata,

"Aku tahu kau pura-pura saja berkata begini. Ketika aku sakit di Shoatang, tak seorang pun memedulikanku.... Apakah waktu itu kau datang menjengukku? Aku dikekang Auwyang Hong, aku tak dapat meloloskan diri, apakah kau datang menolongku? Ibuku tak menyayangiku, dia pergi mati sendiri saja. Ayah pun tak menghendakiku, dia tak mencariku.... Apalagi kau, lebih-lebih tak menginginkanku! Di dunia ini, tak seorang pun menyayangiku, mengasihaniku...." Ia menangis terus, sambil membanting-banting kaki.

Kwee Ceng diam. Ia masih tidak tahu mesti bilang apa. [a bisa merasakan panasnya hati si nona. Ia cuma bisa mengawasi. Sunyi di antara mereka, cuma terdengar embusan sang angin.

Rupanya si nona merasa kedinginan, tubuhnya menggigil. Kwee Ceng membuka baju luarnya, berniat mengerobongi tubuh nona itu. Selagi ia akan melakukannya, mendadak ada bentakan dari ujung jurang,

"Siapa yang nyalinya begitu besar berani menghina Nona Oey-ku?"

Kwee Ceng girang sekali. Ia langsung mendongak, melihat seorang tua dengan rambut pendek dan kumis putih, dialah Ciu Pek Thong si Bocah Tua Nakal.

"Kakak Ciu!" panggil Kwee Ceng.

Oey Yong pun memperdengarkan suaranya dengan agak mendongkol. "Eh. Bocah Tua Nakal! Aku menitahkanmu untuk membunuh Kiu Cian Jin! Mana kepalanya?"

Ciu Pek Thong menghampiri mereka, ia tidak menjawab, hanya tertawa haha-hihi. "Nona Oey, siapa yang mengganggumu?" ia bertanya. "Nanti Bocah Tua Nakal membikinmu puas!"

"Siapa lagi kalau bukan dia!" sahut si nona seraya menunjuk Kwee Ceng.

Untuk menyenangkan si nona, si Bocah Tua Nakal bertindak sejadinya saja. Tahu-tahu Kwee Ceng telah digaploknya dua kali hingga kelabakan. Kwee Ceng sama sekali tidak menyangka. Karena itu, bengaplah pipi kiri dan kanannya. Ketika baru dihajar, matanya juga berkunang-kunang.

"Nona Oey, cukupkah?" tanya Bocah Tua Nakal. "Jika belum cukup, nanti kuhajar lagi dia."

Menampak muka si pemuda merah dan bengap, di pipinya tampak bekas tapak tangan dengan lima jari, kedongkolan Oey Yong mereda, lantas timbul rasa kasihannya. Ia berbalik jadi mendongkol kepada si tua tukang guyon itu. "Aku marah sendiri, tak ada hubungannya denganmu!" ia tegur orang tua itu. "Kenapa kau lancang memukulnya? Kuperintahkan kau membunuh Kiu Cian Jin, mengapa kau tak dengar perintahku?' Pek Thong menjulurkan lidahnya panjang-panjang. Ia tidak dapat menjawab. Ketika itu, jauh di belakang jurang, terdengar bunyi beradunya senjata. Pek Thong mendengarnya, ia segera mendapat akal.

"Pastilah si tua bangka Kiu sudah datang, aku akan mendatanginya!" katanya seraya terus memutar tubuh untuk lari ke belakang jurang itu.

Tentu saja Bocah Tua Nakal bukan mau mencari Kiu Cian Jin, bahkan sebaliknya ia jeri dengan ketua Tiat Ciang Pang itu. Di antara kedua jago ini, keadaan seperti jungkir balik.

Di rumah batu, tempat Kwee Ceng dan Auwyang Hong berlalu saling susul, Pek Thong dan Cian Jin bertempur tidak lama. Cian Jin bisa lolos dan kabur, ia dikejar Pek Thong, ke mana pun lari ia disusul, hingga akhirnya ia mendongkol berbareng putus asa. Ia berpikir, ia toh jago dan ketua partai, mengapa sekarang ia begini sial menghadapi Ciu Pek Thong yang lihai itu? la merasa sangat terhina. Karena putus asa, ia menjadi nekat. Daripada kena bekuk, lebih baik ia bunuh diri. Kebetulan ia melihat seekor ular berbisa di sela batu, ia me¬nangkap ular itu. la berniat memagutkan ular itu ke dirinya sendiri. Dengan memegangi ular itu, ia berkala pada Ciu Pek Thong,

"Eh, Pek Thong, bangsat, lihat ini!"

Sebenarnya Cian Jin hendak menempelkan mulut ular itu ke lengannya, tapi mendadak Ciu Pek Thong menjerit, lalu memutar tubuhnya dan lari kabur. Cian Jin menjadi heran. Namun sejenak kemudian ia lantas dapat menduga, tentulah Bocah Tua Nakal takut ular. Maka ia sekarang berbesar hati, ia membatalkan niatnya bunuh diri, lantas mengejar si tua bangka berandalan itu. Lebih dari itu ia menangkap seekor ular lain, hingga tangan kiri dan kanannya masing-masing mencekal binatang berbisa itu. Sembari mengejar, ia berteriak-¬teriak mengancam musuhnya.

Pek Thong ketakutan, ia lari ngacir. Kiu Cian Jin mempunyai julukan Sui-siang¬piauw, yang berarti larinya sangat pesat. Seandainya tidak jeri, ia tentu sudah dapat menangkap Pek Thong. Maka mereka cuma main kejar-kejaran. Dari siang mereka berlari-lari sampai hari gelap, setelah itu barulah Pek Thong bisa lolos. Dalam hati Cian Jin tertawa. Ia mengejar hanya untuk menggertak. Sekarang ia pun bebas dari ancaman si tua berandalan itu.

Oey Yong melihat orang tua itu pergi, ia melirik Kwee Ceng. Ia menghela napas lantas menunduk.

"Yongji!" panggil Kwee Ceng.

Nona itu menyahut lirih. Kwee Ceng hendak berbicara tetapi tidak tahu mesti mengatakan apa, ia berdiri diam. Karena si nona pun terus membungkam, keduanya berdiri bagaikan patung, tubuh mereka disampoki angin. Tidak lama kemudian Oey Yong bangkis akibat terlalu banyak kena angin.

Kwee Ceng ingat bajunya, ia lantas menghampiri untuk menutupi tubuh si nona dengan bajunya. Tadi ia diganggu oleh Ciu Pek Thong, sekarang tidak ada rintangan lagi. Oey Yong diam saja, menunduk terus. Dalam kesunyian itu. kuping mereka mendengar tawa nyaring Ciu Pek Thong yang terus berseru memuji,

"Bagus! Bagus”

Mendadak si nona mengulurkan tangannya, mencekal tangan Kwee Ceng seraya berkata pelan.

"Kakak Ceng, ayo kita lihat!"

Kwee Ceng mengikuti. Ia tidak bisa menyahut. Kali ini saking girangnya ia mencucurkan air mata. Dengan ujung bajunya Oey Yong mengusap air mata si pemuda.

"Di mukamu ada air mata dan bekas tapak tangan. Kalau orang tak tahu, dia bisa menyangka akulah yang menamparmu...."

Dengan tertawanya si nona, berarti mereka berdua sudah akur lagi. Dengan bergandengan mereka lari melintasi jurang, pergi ke tempat asal datangnya tawa Ciu Pek Thong. Di sana mereka melihat banyak orang dengan sikap yang aneh-aneh.

Pek Thong terlihat girang bukan main. Ia me¬megangi perutnya sambil terbungkuk-bungkuk. Ia tertawa puas sekali. Di dekatnya tampak Khu Ci Kee berdiri diam dengan pedang di tangan. Di antara mereka masih ada empat orang lagi, See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti, dan Hauw Thong Hay. Sikap keempat orang itu luar biasa. Mereka memegang senjata, ada yang sedang menyerang, ada yang sedang berkelit atau mundur. Sikap tubuh mereka tetap begitu, sebab mereka tidak dapat bergerak bagaikan patung. Sebab mereka korban totokan si Bocah Tua Nakal yang kekanak-kanakan.

"Waktu itu aku membuat obat pulung dari lumpur tubuhku," kata Ciu Pek Thong kepada See Thong Thian berempat. "Aku menitahkan kalian untuk menelannya. Kemudian kalian kawanan bang¬sat cerdik juga, kalian tahu itu bukan obat penawar racun, lantas kalian tak mau dengar kata-kata kakekmu ini. Hm! Bagaimana sekarang.”

Pek Thong mengatakan demikian sebab meski berhasil membekuk mereka, ia tidak tahu bagaimana harus menghukum mereka. Tapi begitu melihat Oey Yong dan Kwee Ceng, ia lantas mendapat pikiran. Katanya,

"Nona, empat bangsat bau ini kuserahkan padamu!"

"Apa gunanya mereka buatku?" tanya si nona. "Kau main gila, ya? Kau tak mau membunuh tapi juga tak mau melepaskan mereka! Kau telah me¬nangkap mereka tapi tak berdaya mengurus! Lekas kau panggil aku kakak yang baik tiga kali, nanti kau kuajari..!"

Pek Thong tidak mau banyak pikir, ia juga tidak peduli dengan segalanya, maka tanpa sangsi sedikit pun ia memanggil

"Kakak yang baik!" tiga kali. Bahkan ditambah dengan menjura dalam-dalam.

Oey Yong tersenyum. "Geledah dia!" kata si nona seraya menunjuk Pheng Lian Houw.

Pek Thong menurut. Dari tubuh Lian Houw ia mendapatkan cincin dengan jarum beracun dan dua peles kay-yok, obat pemunah racun. Kata si nona,

"Dia pernah menusuk Ma Giok, kemenakan seperguruanmu dengan jarumnya ini. Sekarang tusuklah dia .beberapa kali, juga ketiga kawannya!"

Lian Houw semua mendengar perkataan si nona, mereka kaget dan takut bukan main, tetapi mereka masih tertotok, tidak dapat lari ataupun meronta. Maka mereka mesti merasakan sakitnya ditusuk Pek Thong beberapa kali.

"Obatnya ada di tanganmu," kata si nona lagi kepada Bocah Tua Nakal. "Sekarang kau dapat menitahkan mereka untuk melakukan apa pun yang kau kehendaki. Coba lihat mereka berani mem¬bangkang atau tidak!"

Pek Thong girang. Ia lantas mengasah otak. Ia tidak usah membuang waktu untuk mendapatkan akal. Ia membuat obat lagi dari kotoran, namun kali ini kotoran itu dicampur dengan kay-yok, dipulung menjadi butiran-butiran kecil, kemudian diserahkan¬nya kepada Khu Ci Kee sambil berkata,

"Sekarang kau giring kawanan bangsat bau ini ke Kuil Tiong Yang Kiong di Ciong Lam San. Penjarakan mereka selama dua puluh tahun. Jika selama dalam perjalanan mereka menurut kata-katamu, beri mereka masing-¬masing sebutir pil mustajabku ini. Tapi kalau sebaliknya, biarkan saja, biar mereka tahu rasa! Mereka berbuat, mereka mesti bertanggung jawab, jangan sekali-kali kasihan pada mereka!"

Khu Ci Kee menerima obat itu sambil menjura. Ia menghaturkan terima kasih seraya memberikan janjinya. Oey Yong tertawa dan berkata pada Pek Thong,

"Bocah Tua Nakal, kata-katamu ini tepat sekali, sangat pantas! Tak kusangka, baru setahun kita tak bertemu kau telah maju begini pesat!"

Pek Thong puas sekali, ia tertawa senang. Se¬sudah itu ia membebaskan totokan keempat orang itu. Katanya pada mereka,

"Sekarang kalian mesti pergi ke Tiong Yang Kiong, tinggallah di sana baik-baik selama dua puluh tahun. Jika kalian benar-benar hendak bertobat, di belakang hari kalian masih dapat menjadi orang baik. Tapi jika kalian masih tetap jahat... hm! Hm! Perlu kalian ketahui, kami para imam dari Coan Cin Kauw bukan orang yang dapat dibuat permainan, kami ahli membetot otot tanpa mengerutkan alis! Maka, empat bangsat bau. berhati-hatilah kalian!"

Lian Houw berempat tidak berani banyak omong, mereka cuma mengangguk. Khu Ci Kee menahan tawa melihat sikap paman gurunya yang lucu itu. la kembali menjura, lantas menggiring pergi keempat tawanannya turun gu¬nung, untuk pulang ke gunungnya sendiri.

"Eh, Bocah Tua Nakal," kata Oey Yong tertawa. "Sejak kapan kau belajar mendidik orang? Kata-¬katamu yang bagian depan masuk akal, tapi yang belakangan lantas jadi tak keruan...."

Pek Thong tidak menjawab, ia hanya tertawa sambil melengak. Saat itu ia melihat sinar putih berkelebat di puncak kiri, lalu lenyap, la yakin itu sinar senjata tajam.

"Eh, apa itu?" tanyanya heran.

Oey Yong dan Kwee Ceng mengangkat kepala, tapi sinar itu sudah lenyap. Pek Thong takut Oey Yong akan menanyakan Kiu Cian Jin lagi, maka ia lantas menggunakan alasan.

"Biar kulihat!" katanya. Terus ia lari pergi.

Oey Yong berdua Kwee Ceng membiarkan orang tua itu pergi, sebab banyak yang hendak mereka bicarakan. Mereka mencari tempat untuk duduk, lalu saling menuturkan pengalaman masing-masing dan saling mengutarakan isi hati. Sampai matahari sudah turun ke barat, mereka masih belum berhenti pasang omong.

Kwee Ceng berbekal ransum kering. Ia mengeluarkannya untuk mereka santap bersama-sama. Sembari makan, Oey Yong berkata,

"Bangsat tua Auwyang Hong memaksaku menjelaskan isi Kiu lm Citi Keng. Bukankah kitab tulisanmu yang kau berikan padanya kacau-balau? Nah, aku pun tak keruan menjelaskannya! Tapi dia percaya, maka dia bersengsara selama beberapa bulan ini untuk mempelajari ilmu itu. Kubilang dia mesti berlatih terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, dia menurut. Dia sungguh hebat, dapat membuat jalan darahnya tersalur secara bertentangan, yaitu jalan darah im-wu yang-wi. im-kiauw dan yang-kiauw. Entah bagaimana andai kata dia membalik semua jalan darahnya."

Kwee Ceng tertawa. "Pantas aku melihat dia jalan meloncat-loncat dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kiranya dia sedang kau permainkan!" katanya. Memang sulit untuk berlatih dengan cara demikian.

Oey Yong tersenyum. "Kau datang kemari, apa kau juga hendak turut berebut gelar orang gagah nomor satu di kolong langit?" tanyanya.

"Ah, Yongji, kau menggodaku," sahut si pemuda. "Aku datang ke gunung ini buat mencari Kakak Ciu supaya diajari ilmu untuk melenyapkan ilmu silatku...." Kwee Ceng lantas menjelaskan alasan mengapa ia sampai mendapat pikiran demikian.

Oey Yong memiringkan kepalanya, berpikir. "Ya, melupakan itu pun baik juga," katanya kemudian. "Memang, semakin kita pandai, pikiran kita semakin tak tenang. Lebih baik seperti waktu masih kecil, kita tak bisa segala-galanya, tak ada yang kita pikirkan, tak ada yang menyusahkan kita...."







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar