Jumat, 16 April 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 154

Sekarang terlihat jelas ternyata pasukan itu membawa bendera Pangeran Keempat, malahan seorang penunggang kuda segera bergegas menghampiri di antara pasukan itu. Orang itu adalah Tuli yang sedang menunggang kuda merah Kwee Ceng, tidak heran kalau ia datang cepat sekali. Begitu tiba di depan Kwee Ceng, pangeran itu melompat turun dari kudanya.

"Anda, apakah kau tak terluka?" demikian pertanyaannya yang pertama.

"Tidak," jawab Kwee Ceng. "Guru Jebe hendak menawan dan membawaku menghadap Kha Khan!" Sengaja Kwee Ceng bicara begitu untuk mencegah gurunya dicurigai.

Tuli melirik Jebe. lalu berkata pada Kwee Ceng, "Anda, naiklah ke kuda merahmu ini dan lekaslah pergi!" Ia meletakkan bungkusan di atas kuda merah itu dan menambahkan, "Ini uang emas seribu tail. Di belakang hari kita akan bertemu lagi!"

Kwee Ceng mengerti, ia lantas melompat naik ke kuda merahnya. Ia berkata kepada saudara angkatnya itu,

"Tolong sampaikan pada Adik Gochin agar dia merawat diri baik-baik! Biarlah dia menikah dengan orang lain, jangan memikirkan diriku lagi...."

Tuli menghela napas. "Selamanya Adik Gochin tak mau menikah dengan orang lain," ia berkata. "Kurasa dia bakal pergi ke Selatan untuk mencarimu. Kalau itu sampai terjadi, aku nanti mengatur orang untuk mengantarkannya."

"Jangan, jangan mencariku," kata Kwee Ceng. "Jangan kata di dalam negara yang luas sulit mencariku, umpama kita akhirnya dapat bertemu, cuma akan menambah keruwetan!"

Tuli diam, Kwee Ceng diam juga. "Jalanlah, akan kuantar kau serintasan!" kata si pangeran kemudian.

Kwee Ceng menurut, ia menyuruh kudanya berjalan. Tuli naik kuda yang lain, mereka berjalan berendeng.

"Anda," kata Kwee Ceng setelah mereka berjalan sekitar tiga puluh li. "Silakan kau kembali. Ada yang bilang, meski mengantar sampai seribu li, akhirnya mesti berpisah juga."

"Aku akan mengantarmu serintasan lagi," kata Tuli.

Maka berjalanlah mereka sampai sepuluh li lebih. Di sini keduanya turun dari kuda masing-masing untuk saling menjura, kemudian sama-sama mengucurkan air mata, mereka berpisahan. Tuli mengawasi Kwee Ceng hingga tampak kecil sekali lalu lenyap, barulah ia memutar kudanya untuk kembali. Ia masygul bukan main.

Kwee Ceng melarikan kudanya selama beberap hari, akhirnya ia keluar dari daerah yang berbahaya. Sekarang ia langsung menuju Selatan. Di sepanjang jalan, ia menyaksikan bekas-bekas peperangan, terutama rumah-rumah rusak dan tulang-tulang berserakan. Pemandangan yang menggiriskan. Ia sedih sekali.

Akhirnya sampai juga Kwee Ceng di Tionggoan. Ia merasa dirinya seperti orang asing, sebab tidak tahu mesti pergi ke mana. la tidak mempunyai rumah dan sanak saudara. Dalam setahun, ia kehilangan ibunya. Oey Yong, dan guru-gurunya, la ingat Auwyang Hong dan timbul niatnya untuk membalaskan dendam Oey Yong, tetapi begitu ingat keadaan yang menyedihkan sekali di Khoresm, hatinya menjadi tawar, la berhasil membalaskan sakit hati ayahnya, namun demikian banyak jiwa manusia yang melayang dalam keadaan memilukan. la jadi sangsi, jangan-jangan balas dendam itu bukan cara yang tepat untuknya.

"Seumur hidup aku belajar ilmu silat, sekarang beginilah kepandaianku," ia berpikir. "Tapi aku tak bisa membela kekasihku dan ibuku, maka apa gunanya aku belajar silat? Tujuan hidupku adalah jadi orang baik-baik, bagaimana sekarang? Siapa yang memperoleh kesenangan karenanya? Ibu dan Yongji binasa gara-gara aku.... Karena aku, seumur hidup Adik Gochin takkan senang... Ya, banyak orang yang telah kubikin celaka...."

Ia berhenti berpikir sebentar, terus melamun lagi. "Wanyen Lieh dan Raja Khoresm memang orang-¬orang busuk, tapi bagaimana dengan Jenghis Khan? Dia membunuh Wanyen Lieh, dia orang baik. Dia telah memelihara ibuku dan aku selama dua puluh tahun, tapi dia menitahkanku untuk menyerang Pemerintah Song, dan sekarang dia memaksakan kematian ibuku. Dengan Yo Kang aku saling mengangkat saudara, tapi hatinya tidak lurus. Adik Liam Cu orang baik, mengapa dia mencintai Yo Kang mati-matian? Anda Tuli baik sekali padaku, kalau nanti dia menyerang ke Selatan, haruskah aku menghadapinya di medan perang untuk bertempur hidup-mati? Tidak, tidak! Setiap orang punya ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan susah payah merawatnya hingga besar, maka mana bisa aku membunuh anak orang hingga ibunya bakal jadi susah?"

Ia diam, berpikir lagi. "Belajar silat adalah untuk menghajar orang, membunuh orang...," ia melamun lebih jauh. "Kelihatannya hidupku selama dua puluh tahun salah semuanya. Dengan rajin dan susah payah aku belajar silat, akhirnya cuma untuk mencelakai orang.... Kalau tahu begini, lebih baik aku tak mengerti silat sama sekali! Tapi kalau tak belajar silat, aku mesti mengerjakan apa? Sebenarnya untuk apa aku hidup di dunia? Setelah beberapa puluh tahun nanti, bagaimana lagi? Bukankah lebih baik mati siang-¬siang? Kalau aku hidup terus, bukankah akan lebih banyak keruwetan? Tapi kalau aku mati siang-siang, untuk apa ibuku melahirkan aku? Kenapa Ibu mesti bercapek lelah merawatku hingga besar?"

Semakin lama pikirannya menjadi semakin ruwet. Selama beberapa hari Kwee Ceng merasa tidak karuan, makan tidak bernafsu, tidur pun kurang. la mondar-mandir di tegalan, memikirkan semua pertanyaannya itu.

"Ibuku dan semua guruku mengajariku supaya memegang kepercayaan," kemudian ia berpikir lagi. "Sekarang timbul urusan Yongji. Aku sangat mencintainya. Tapi di sana ada putri Jenghis Khan. Dapatkah aku menolak putri itu? Kesudahannya perjodohanku itu menyebabkan kematian ibuku dan Yongji, dan karenanya Khan yang Agung, Tuli, dan Adik Gochin jadi bersusah hati.... Ketujuh guruku dari Kanglam dan Suhu Ang adalah orang-orang gagah dan mulia hatinya, tapi tak ada satu pun yang selamat. Sebaliknya Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin jahat, kenapa mereka hidup merdeka dan senang? Sebenarnya di dunia ini ada hukum Thian atau tidak...?"

Suatu hari tibalah anak muda ini di sebuah dusun di kota Cee-Iam, Shoatang. la singgah di rumah makan, la duduk seorang diri menenggak arak, pikirannya pepat. Ketika ia baru minum tiga cawan, mendadak seorang laki-laki menghampirinya, sambil menuding dan mendamprat.

"Hai, Tartar bangsat, kau telah memusnahkan rumahku dan membinasakan keluargaku, sekarang aku hendak mengadu jiwa denganmu!"

Kata-kata itu disusul dengan tinjunya. Kwee Ceng terkejut, heran. Langsung ia menangkis sambil menangkap, ketika ia menarik pelan saja, orang itu jatuh ngusruk. Jelas orang itu tidak mengerti ilmu silat. Kepalanya mengenai lantai dan darahnya mengucur.

"Saudara, apakah kau salah lihat orang?" tanyanya seraya menolong orang itu bangun, la merasa tidak enak hati tanpa sengaja melukai. Orang itu gusar sekali.

"Tartar bangsat! Tartar bangsat!" cacinya berulang-ulang.




Dari luar rumah makan lantas menerobos masuk belasan orang. Tanpa banyak omong mereka menyerbu Kwee Ceng. Tentu saja anak muda ini menjadi repot. Ia main berkelit, karena tidak mau melukai orang lain. Tapi ia repot, sebab serangan makin seru, sedangkan ruangan sempit. Tiba-tiba dari balik pintu terdengar suara nyaring,

“Anak Ceng, kau bikin apa di sini?"

Kwee Ceng lantas menoleh, untuk melihat orang yang menegurnya, la mendapati imam dengan kumis putih panjang, romannya suci dan berwibawa. Ia mengenali Khu Ci Kee, maka ia girang bukan main.

"Tootiang!" jawabnya. "Tak keruan orang-orang ini mengepungku!"

Khu Ci Kee lantas masuk, mendorong setiap orang, kemudian menarik tangan si anak muda, mengajaknya berlalu. Mereka disusul oleh banyak orang yang gusar, tapi setibanya di luar, setelah Kwee Ceng memanggil kuda merahnya, dengan cepat mereka menghilang. Setelah mereka tinggal berdua, Kwee Ceng mengulangi keterangan bahwa ia dikeroyok tanpa sebab.

Khu Ci Kee tertawa. "Kau berdandan sebagai orang Mongolia, maka mereka salah menyangkamu," katanya.

Di wilayah Provinsi Shoatang ini, orang Mongolia telah bertempur hebat dengan orang Kim. Penduduk Shoatang sangat menderita karena bangsa Kim, maka mereka membantu bangsa Mongol. Siapa tahu, ternyata bangsa Mongol sama kejamnya dengan bangsa Kim. Setelah bangsa Kim dikalahkan, mereka pun menindas rakyat. Maka rakyat sangat gusar dan benci. Sudah biasa terjadi, apabila ada pasukan tentara Mongolia lewat dan salah satu serdadu atau opsirnya tertinggal, orang itu lantas dibunuh rakyat.

"Kenapa kau membiarkan dirimu ditinju dan ditendangi?" tanya Ci Kee kemudian. "Lihat, kau jadi tak keruan, tubuhmu bengkak dan bengep...."

Kwee Ceng menghela napas. "Aku tak berniat melayani mereka," sahutnya sedih. Ia lantas menceritakan tentang ibunya yang seperti dipaksa bunuh diri oleh Jenghis Khan.dan bahwa selama ini pikirannya kacau.

Khu Ci Kee terkejut. "Kalau Jenghis Khan bemiat menyerang Kerajaan Song, mari kita lekas berangkat ke Selatan," katanya. "Pemerintah mesti diberi kisikan supaya siap sedia menyambut musuh!"

"Apa gunanya?" tanya si pemuda sambil menggelengkan kepala. "Kesudahannya kedua pihak bakal berperang hingga mayat-mayat bakal bertumpuk setinggi gunung, rumah rakyat akan musnah, dan nyawa rakyat akan lenyap...."

"Kalau Kerajaan Song dimusnahkan bangsa Mongol, rakyat bakal lebih menderita," Tiang Cun Cu memberi pengertian. "Penderitaan itu tiada taranya."

"Tootiang," kata si anak muda, "Ada banyak soal yang tak kumengerti, tolong Tootiang jelaskan."

Khu Ci Kee menggandeng anak muda itu, mengajaknya ke bawah pohon, lalu mereka duduk bersama.

"Bicaralah!" katanya.

Kwee Ceng mengutarakan keruwetan dalam hatinya. Kemudian menghela napas dan menambahkan,

"Sekarang aku memutuskan tak berniat bentrok dengan siapa pun. Aku menyesal tak dapat melupakan ilmu silatku. Tadipun tanpa sengaja aku melukai orang itu hingga berdarah...."

"Anak Ceng, pandanganmu salah," kata Tiang Cun Cu sambil menggeleng. "Beberapa puluh tahun lalu ketika muncul kitab mestika Kiu Im Cin Keng, orang-¬orang gagah kacau, memperebutkannya dengan saling bunuh, sampai kemudian ada keputusan dalam rapat di Gunung Hoa San, tempat orang melakukan pertempuran terakhir. Di sana guruku, Ong Tiong Yang, telah keluar sebagai pemenang, berhasil mendapatkan kitab itu. Mulanya guruku juga berpikir akan memusnahkan kitab itu, tapi kemudian mengubah niatnya. Dia ingat bahwa air dapat membuat perahu berlayar, tapi juga dapat mengaramkannya. Keberuntungan dan bencana tergantung pada masing-masing orang. Maka ia mempertahankan dan menyimpan kitab itu. Kepandaian manusia, sipil maupun militer, tentara kuat, serta senjata tajam, semuanya bisa membuat manusia beruntung, tapi juga bisa membikin manusia celaka. Kau tahu, asal orang berniat baik, makin gagah dia makin baik. Karena itu, mengapa kau ingin melupakan ilmu silatmu?"

Kwee Ceng berpikir. Ia berkata, "Tootiang benar, tapi... sekarang kaum kangouw rata-rata menyebut Sesat Timur, Racun Barat, Raja Selatan, dan Pengemis Utara sebagai orang-orang yang paling gagah. Untuk menyamai kepandaian mereka, sukar bukan buatan. Tapi lihatlah, apa gunanya kepandaian mereka itu? Kulihat tak ada faedahnya bagi manusia."

Ditanya begitu, Khu Ci Kee melengak. Selang sejenak, ia berkata, "Oey Yok Su aneh, pasti ada sebabnya yang tak dapat dilampiaskan. Dia sekarang berbuat sesuka hatinya, tak pernah me¬mikirkan orang lain, maka aku tak mau mengambil perbuatannya sebagai teladan. Auwyang Hong jahat, dia tak usah dibicarakan lagi. Toan Hongya baik hati, kalau tetap menjadi raja, dia bisa berbuat banyak untuk rakyat. Sayang karena satu urusan kecil, hatinya jadi tawar hingga sekarang dia bersembunyi. Lain halnya dengan Ang Cit Kong. Dia tetap bekerja untuk orang banyak, padanya aku kagum dan takluk sekali. Akan segera tiba saatnya pertemuan di Hoa San. Meski ada orang yang dapat melebihi kegagahannya. Aku percaya orang banyak bakal mengangkat dia jadi orang nomor satu di Rimba Persilatan."

Mendengar disebutnya pertemuan orang gagah di Gunung Hoa San, Kwee Ceng lantas ingat gurunya.

"Apakah luka guruku sudah sembuh?" tanyanya. "Benarkah guruku bakal turut ambil bagian dalam pertemuan di Hoa San itu?"

"Sejak aku kembali dari Barat, belum pernah aku bertemu dengan Ketua Ang," sahut Ci Kee. "Tapi aku percaya, bagaimanapun dia tentu bakal pergi ke Hoa San. Sekarang aku sedang dalam perjalanan ke Hoa San, bagaimana kalau kau turut aku pergi ke sana untuk melihat-lihat?"

Kwee Ceng menggeleng. Hatinya telah tawar dan kepalanya pusing kalau ingat soal pergulatan itu. Ia menjawab,

"Maaf, Tootiang, aku tak bisa turut Tootiang pergi ke sana."

"Habis kau hendak pergi ke mana?"

"Aku tidak tahu. Aku pergi ke mana saja kakiku melangkah...."

Imam itu sedih. Menurut penglihatannya, pemuda itu seperti baru sembuh dari sakit berat. Ia mencoba membujuknya, tetapi anak muda itu tetap meng¬goyangkan kepala. Ia berpikir, Kwee Ceng biasanya menuruti kata-kata Ang Cit Kong, ada baiknya kalau pemuda ini mau pergi ke Hoa San untuk bertemu dengan gurunya. Bagaimana ia mesti membujuknya?

"Anak Ceng," katanya kemudian. "Kau ingin melupakan ilmu silatmu, untuk itu ada jalan," katanya kemudian.

"Benarkah itu, Tootiang?" Mendadak pemuda ini tertarik.

"Ya," sahut Ci Kee. "Ada seseorang yang di luar tahunya telah meyakini ilmu yang mahir dari Kiu lm Cm Keng, kemudian dia merasa pelajaran itu menyalahi janji, dia menyia-nyiakan pesan seseorang, maka dia ingin melupakan ilmu itu.

“Dia lalu mencoba sebisa-bisanya. Kalau kau hendak mencontohnya, kau mesti mencari dia untuk minta diajari."

Kwee Ceng melompat bangun. "Benar!" katanya. "Orang itu Kakak Ciu Pek Thong!"

Mendadak muka pemuda ini memerah, la likat sendiri, ingat bahwa Ciu Pek Thong adalah paman guru Ci Kee dan ia memanggilnya "Kakak" saja.

Khu Ci Kee dapat menerka penyebab jengahnya pemuda itu. la tersenyum dan berkata.

"Paman Guru Ciu memang biasanya tidak membedakan derajat, maka kau dapat memanggil sesukamu."

"Sekarang dia ada di mana?"

"Dia bakal menghadiri pertemuan Hoa San. Dia tentu akan pergi ke sana."

"Baiklah, aku akan ikut Tootiang” kata Kwee Ceng akhirnya.

Ci Kee puas, ia lantas mengajak anak muda itu berangkat. Mereka berjalan bersama. Di dusun pertama, Kwee Ceng membelikan si imam seekor kuda, untuk mempercepat perjalanan mereka. Tujuan mereka adalah Barat. Suatu hari, tibalah mereka di kaki Gunung Hoa San di sebelah selatan. Mereka lantas singgah di perhentian San-sun-teng. Di samping tempat itu tumbuh dua belas batang pohon rotan yang dinamakan "rotan naga", karena batang¬nya panjang dan berbentuk mirip naga.

"Hoa San merupakan gunung suci bagi kami kaum Too Kauw," kata Khu Ci Kee. "Menurut cerita, dua belas batang pohon rotan ini dulunya ditanam oleh Hi I Sianseng Tan Pok Loocouw."

"Tan Pok Loocouw? Bukankah dia dewa yang tidur selama genap setahun tanpa bangun sama sekali?"

"Tan Pok Loocouw lahir di akhir zaman Tong. Sepanjang lima pemerintahan, setiap kali men¬dengar penguasa kerajaan berganti, selalu dia tidak puas, maka dia mengunci pintu rumahnya, terus tidur. Orang bilang dia tidur setahun suntuk tanpa bangun. Yang benar ialah, karena jengkel meng¬ingat nasib rakyat, dia tak suka memunculkan diri. Yang terakhir, ketika mendengar Song Thay-couw naik takhta, dia baru dapat tertawa lebar dan mengatakan bahwa mulai saat itu negara bakal aman sentosa."

"Kalau Tan Pok Loocouw lahir di zaman se¬karang, dia pasti bakal tidur lagi berbulan-bulan dan bertahun-tahun!" kata Kwee Ceng.

Khu Ci Kee menghela napas. "Bangsa Mongol menjagoi wilayah Utara, me¬reka hendak menerjang ke Selatan. Sebaliknya Raja Song dan menteri-menterinya bangsa dogol semua, maka negara bakal kacau," katanya. "Kita adalah laki-laki, meski tahu kita tak bakal bisa apa-apa, kita perlu bangun untuk melawannya. Sebab aku pun tak setuju dengan sikap Tan Pok Loocouw yang main mengunci pintu dan tidur saja."

Sampai di situ mereka menghentikan pembicara¬an, menitipkan kuda di kaki gunung, lantas mendaki. Mereka melintasi Toh-hoa-peng, Hi I Ap, dan See-bong-peng. Makin tinggi jalanan ma¬kin sukar. Setibanya di See-hian-bun, mereka naik dengan berpegangan pada rantai besi. Bagi mereka, perjalanan memanjat itu tidak sulit. Kira-kira tujuh li kemudian, tibalah mereka di Ceng-peng, Tanah Datar Hijau. Lalu mereka menemukan batu-batu yang berdiri tajam, di sebelah utaranya ada sebuah batu yang memegat jalan.

"Inilah batu yang diberi nama Hwee-sim-cio," kata Ci Kee.

Pelancong yang tiba di sini dapat balik kembali. Hwee-sim-cio berarti Hati Berbalik Pulang. Maju lebih jauh adalah tempat-tempat yang ber¬nama Cian-cio-kiap dan Pek-cio-kiap, celah yang lebarnya tidak ada setengah kaki, hingga orang mesti berjalan miring.

Kwee Ceng langsung ingat, "Kalau ada musuh memegat dan menyerang di sini, orang yang sangat lihai pun sukar melawan...." Baru saja ia berpikir begitu, dari depan terdengar bentakan,

"Khu Ci Kee, di Yan I Lauw kami telah mengampuni jiwamu, apa perlunya kau sekarang mendaki Gunung Hoa San ini?"

Khu Ci Kee mendengar suara itu, dengan segera ia mempercepat langkahnya, hingga sampai di sam¬ping gua. Ia mengangkat kepala melihat ke depan. Di sana, yang merupakan ujung jalan terakhir, terlihat lima orang, yaitu See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti, Nio Cu Ong, dan Hauw Thong Hay, yang memegat jalan. Melihat mereka itu, ia heran. Ia menyangka akan menemui Auwyang Hong, Kiu Cian Jin, Ciu Pek Thong, dan Ang Cit Kong, tidak tahunya, di sini ada rombongan pengkhianat itu. Tentu saja ia mengerti bahaya yang mengancam, sebab ia dan Kwee Ceng di tempat yang letaknya buruk. Begitu ter¬desak, mereka berdua bakalan terjerumus ke dalam jurang. Karena itu. ia menghunus pedangnya, lantas mendului melompat maju. Ia menyerang Hauw Thong Hay, bukan saja karena orang itu yang terlemah, tapi karena ia yang jaraknya paling dekat.

Thong Hay menangkis serangan, la lantas di¬bantu Pheng Lian Houw dan Lama Leng Ti yang menggencet musuh dengan senjata masing-masing, poankoan-pit dan cecer, bermaksud mendesak Khu Ci Kee sampai terjatuh ke jurang.

Khu Ci Kee tahu apa yang mesti diperbuat. Setelah menikam Thong Hay, ia menjejak dengan kedua kakinya untuk melompat tinggi melewati kepala Hauw Thong Hay. Selain bebas dari gencet¬an, ia pun tiba di tempat yang lega. Senjata Leng Ti dan Lian Houw mengenai batu, hingga lelatu bepercikan.

Selama di Tiat Ciang Bio, See Thong Thian telah kehilangan sebelah tangannya, namun ia tetap gagah. Menampak adik seperguruannya gagal me¬megat Khu Ci Kee. Ia melompat maju guna membantu. Tapi, karena lihainya Tiang Cun Cu, yang merampas kedudukan, ia juga bisa dilewati. Ia lantas mengejar, disusul oleh Lian Houw.

Ci Kee tidak lari terus, ia melawan dua musuh¬nya, yang segera dibantu Lama Leng Ti, hingga ia jadi dikepung tiga orang.

Selama pertempuran itu berjalan, Kwee Ceng tidak membantu Khu Ci Kee, padahal sepantasnya ia turun tangan di pihak imam itu. Hatinya tawar, ia jemu dengan pertarungan. Bukan saja ia tidak sudi membantu, melihat pun tidak. Untuk naik terus, ia mengambil jalan lain, dengan ber¬pegangan pada oyot rotan. Toh ia terganggu satu pertanyaan yang berkutat dalam hatinya, "Bantu atau jangan? Bantu atau jangan...?” "Bagaimana kalau Khu Tootiang mereka binasa¬kan? Bukankah itu salahku? Kalau aku membantu dan mereka mati, perbuatanku itu benar atau sa¬lah?" Pikirannya terus-menerus terganggu, sedang¬kan ia tidak menunda jalannya, hingga kupingnya tidak mendengar lagi bunyi senjata beradu. Seka¬rang ia berhenti menyender pada batu. Ia bengong.

Tiba-tiba ada bunyi di sampingnya, di belakang pohon cemara. Ia segera menoleh. Ia melihat se¬orang bermuka merah dan berambut putih, Nio Cu Ong. Orang ini tahu Kwee Ceng lihai, ia takut, maka ia bersembunyi. Namun Kwee Ceng tidak peduli, ia terus merenung, mulutnya kemak-kemik.

Nio Cu Ong heran. Ia menduga si pemuda tidak melihatnya. "Aneh kelakuan bocah ini," pikirnya. "Baiklah kucoba-coba." Ia tidak berani mendekat, ia me¬mungut batu, lalu menimpukkannya ke punggung si pemuda.

Mendengar bunyi sambaran angin, Kwee Ceng berkelit, tapi ia masih diam saja. Som Siam Lao Koay merasa lega. Ia meng¬hampiri beberapa langkah.

"Menghajar orang adalah perbuatan yang sangat busuk, itu tidak pantas." katanya.

"Oh. kau pun berpikir demikian?" tanya si anak muda "Sungguh aku ingin dapat melupakan ilmu silatku...."

Mata Nio Cu Ong bersinar tajam. Kebenciannya jadi bertambah begitu ia ingat pemuda ini telah mengisap darah ularnya. Ia mendekati Kwee Ceng dari belakang, tapi berkata pelan,

"Aku juga sedang berpikir untuk melupakan ilmu silatku. Bagaimana kalau aku membantumu?"

Kwee Ceng jujur, pikirannya sedang bimbang, ia lupa akan kelicikan orang. "Baik," jawabnya. "Bagaimana caranya?"

"Aku tahu caranya," jawab Cu Ong, lalu men¬dadak mencekuk dua jalan darah thian-cu di leher belakang dan sin-tong di punggung Kwee Ceng.

Kwee Ceng terkejut, tubuhnya langsung terasa kaku, ia tidak dapat bergerak. Cu Ong memegang kuat-kuat, kemudian meng¬gigit leher pemuda itu untuk mengisap darahnya. la mau ganti menyedot darah pemuda itu. Bukankah ular yang sudah dipeliharanya susah-susah menjadi korban si pemuda?

Kwee Ceng sangat kesakitan, sampai kedua mata¬nya kabur. la berontak, tapi dua jalan darahnya telah ditekan, tenaganya habis, la melihat roman Cu Ong yang sangat bengis dan menakutkan, la merasa se¬makin sakit, sebab gigitan orang itu keras. Bukankah ia akan binasa kalau tenggorokannya putus? Dalam kagetnya, mendadak ia berontak lagi. Kali ini ia menggunakan tipu yang didapatnya dari Kin Toan Kut Piant dan tenaganya juga terkerah pada kedua jalan darah yang ditekan itu.

Nio Cu Ong sedang menekan ketika ia merasa ada tenaga menolak yang keras, lantas telapak tangannya sakit, tekanannya pun terus meleset, seperti berada di tempat licin.

Kwee Ceng menunduk, lalu tenaganya di ping¬gang bekerja. Begitu anak muda ini membungkuk, tubuh Cu Ong terangkat, lalu terlempar dari punggung si anak muda. Ia menjerit ngeri, karena tubuhnya terlempar ke arah jurang. Menyusul itu dari dalam jurang terdengar jeritan yang lebih hebat lagi, menyayat hati, berkumandang ke segala penjuru lembah, membuat bulu roma berdiri.

Kwee Ceng menjublek karena kejadian itu. Ia mengusap-usap lehernya yang luka tergigit, lalu sadar bahwa dengan ilmu silatnya ia kembali telah membunuh. Pikirnya, "Kalau aku tak membunuh¬nya, dia akan membunuhku. Kalau dengan mem-bunuhnya aku berbuat tak pantas, lalu bagaimana dengan dia yang hendak membunuhku, perbuat¬annya pantas atau tidak?" Ia melongok ke jurang yang sangat dalam. Ia tidak melihat apa pun, maka tak tahulah ia, di bagian mana Nio Cu Ong terjatuh.... Sambil duduk di batu, Kwee Ceng membalut lukanya.

Selang sekian lama, mendadak terdengar bunyi seperti langkah kaki, namun kadang-kadang ter¬putus. Segera terlihat seorang aneh muncul dari tikungan. Ia terkejut tapi mengawasi. Orang itu berkelakuan aneh, berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangannya diulurkan lem¬peng ke samping tubuhnya. Karena jalannya ber¬lompatan, terdengar bunyi luar biasa dari batok kepala yang membentur bebatuan gunung. Kemudi¬an ia lebih heran lagi. Setelah mengawasi, ia mendapati orang itu adalah si Racun Barat Auwyang Hong.

Kwee Ceng baru saja diperdaya orang. Ia men¬duga Racun Barat pun sedang pasang siasat, maka ia lantas mundur dua langkah. Ia pasang mata sambil siaga. Auwyang Hong aneh. Ia melompat naik ke batu, tidak ambil mumet pada si anak muda. Dia berdiri tegar dengan kepalanya seperti mayat hidup.

"Paman Auwyang, kau sedang apa?" akhirnya Kwee Ceng bertanya.

Si Racun Barat tetap tidak memedulikannya, ia seperti tidak mendengar pertanyaan pemuda itu. Kwee Ceng mundur lagi beberapa langkah supaya berdiri agak jauh. Ia memasang tangan kiri di dadanya, sebab khawatir jago dari Barat itu menyerang mendadak. Tetapi Auwyang Hong tetap berdiri dengan cara aneh itu, dan Kwee Ceng terus memperhatikan.

Selang sesaat, karena penasaran dan ingin tahu, Kwee Ceng mengawasi muka orang tua itu sambil membungkuk dan menempelkan kepalanya ke tanah. Ia melihat lewat selangkangannya dengan mementangkan kedua kakinya. Baru sekarang ia melihat dengan tegas. Kepala Auwyang Hong bermandikan peluh, mukanya meringis.

Kwee Ceng menduga orang itu tentu sedang melatih suatu ilmu. Ia pun lantas melihat Racun Barat mementang kedua tangan, tubuhnya di¬tekuk sedikit hingga mirip keong besar. Tangannya digerakkan, makin lama makin cepat.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar