Rabu, 14 April 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 153

Untuk sejenak, hati raja ini menjadi tawar sendiri karena menyesalnya Kwee Ceng sendiri, sekeluarnya dari kemah, sudah lantas menuju langsung ke kemah ibunya. saking repot sama tugasnya, sudah beberapa hari ia tidak dapat kesempatan menjenguk orang tuanya. Besok ia mau berangkat perang ke selatan, guna membalas sakit hati negara, jadi hari itu perlulah ia menemani ibunya.

Ketika sampai di kemah, ia mendapat sebuah kemah kosong, segalanya sudah dibawa pergi. Cuma seorang serdadu tua yang menjaga di situ. Atas pertanyaan, serdadu itu memberitahukan bahwa atas perintah khan agung, ibunya sudah pindah ke lain kemah. Setelah menanya jelas, ia pergi terus ke kemah yang disebutkan. Ia mendapatkan sebuah kemah besar, yang beberapa lipat lebih besar dari kemah yang lama. Dan begitu menyingkap pintu, ia terbengong. Di situ terlihat banyak barang berharga yang gemerlapan, yang tentara Mongolia dapat merampas dari musuh. Putri Gochin juga berada di situ tengah menemani ibunya, yang lagi menutur hal ikhwal ia sendiri di waktu masih kecil. Menampak si anak muda, putri itu bangkit menyambut sambil bersenyum.

"ibu" Kwee Ceng memanggil. "Dari mana semua ini?"

"Khan agung membilang selama berperang di Barat, kau berjasa besar, maka semua ini hadiah untukmu," sahut sang ibu. "sebenarnya kita sudah terlalu biasa dengan penghidupan kecil, semua ini tidak ada gunanya untuk kita"

Di kemah itu tambah delapan budak. untuk merawat Lie Peng. Semua budak-budak asal rampasan, maka bisa dimengerti kalau mereka dari kalangan bangsawan.

Ketiganya lantas duduk memasang omong. Tidak lama, putri Gochin mengundurkan diri Ia tahu, anak itu tentu mau bicara banyak sama ibunya, ia tidak mau mengganggu. Hanya, lama ia menantikan di luar, ia tidak melihat si anak muda keluar.

"Anak Ceng," berkata Lie Peng. "Putri menantikan kau di luar, pergilah bicara sama dia."

Kwee Ceng menyahut “ya”, tetapi ia tidak bergerak dari tempat duduknya.

Lie Peng menghela napas, ia berkata "Sudah dua puluh tahun kita tinggal di Utara ini, meski benar khan agung sangat memperhatikan kita, tapi aku ingin sekali pulang, maka itu semoga kau berhasil memusnahkan negara Kim, supaya kita berdua bisa lekas kembali ke kampung halaman. Kita tinggal tetap di Gu-kee-cun, di tempat kediaman lama dari ayahmu. Kau bukan seorang yang kemaruk harta dunia dan keagungan, jadi tak usahlah kau datang lagi ke sini. Hanya urusan putri sulit"

“TENTANG perjodohanku " kata Kwee Ceng, "aku pernah membicarakannya dengan Putri. Kalau Yongji mati, aku takkan menikah untuk selamanya."

Li Peng menghela napas lagi. "Mungkin Putri sendiri mau mengerti, tapi bagaimana dengan Khan Agung? Aku khawatir...”

"Kenapa Khan Agung?"

"Beberapa hari ini Khan luar biasa baik padaku. Lihatlah hadiah ini, emas, perak, dan permata. Memang benar katanya hadiah ini untuk jasamu berperang di Barat, tapi aku sudah dua puluh tahun tinggal di sini, kurasa aku telah mengenal baik sifatnya. Aku yakin ada alasan lain!"

"Ibu, menurut Ibu apa alasan itu?"

"Aku wanita, pendapatku tidak luhur," sahut sang ibu. "Tapi setelah aku melihat dan memikirkan semua ini, mungkin Khan hendak memaksa kita melakukan sesuatu...."

“Tentu dia menghendaki aku menikah dengan putrinya," kata Kwee Ceng.

"Menikah itu urusan baik," kata sang ibu lagi. "Khan tidak tahu kau tak setuju dengan pernikahan itu, dia tak bisa memaksakannya. Tapi, menurut penglihatanku, kau mengepalai sepasukan tentara besar, kau pun berperang ke Selatan, maka aku khawatir Khan mencurigai kau akan mendapat pikiran untuk memberontak..."

Kwee Ceng menggeleng. "Aku tidak mempunyai minat untuk kekayaan dan keagungan, Khan tahu hal ini dengan baik," katanya. "Buat apa aku memberontak?"

"Kalau begitu, aku ingat satu cara." kata Li Peng. "Mungkin ini dapat dipakai untuk mengetahui apa yang dipikirkan Khan. Pergilah kau melaporkan pada Khan, bilang aku kangen pada kampung halaman, aku ingin pulang bersamamu. Coba dengar apa katanya."

Kwee Ceng girang mendengar pikiran ibunya itu. "Oh, Ibu, mengapa Ibu tidak mengatakannya dari siang-siang?" katanya. "Kita pulang bersama, betapa senangnya! Pasti Khan Agung akan memperkenankannya." Pemuda ini lantas keluar dari kemah. Ia tidak melihat Gochin. Mungkin karena menanti terlalu lama, putri itu habis sabar dan berlalu dengan kecewa. Ia lantas menuju markas besar. Ia pergi sekian lama, ketika kembali pada ibunya, ia menunduk lesu.

"Khan tidak memperkenankannya, bukan?" Li Peng bertanya,

"Anakmu tidak mengerti. Ibu " sahut Kwee Ceng. "Apa perlunya Khan menghendaki Ibu tetap berdiam di sini?"

Sang ibu diam.

"Khan bilang," Kwee Ceng menjelaskan, "Sesudah Negara Kim dihancurkan, barulah kita bisa berangkat pulang. Katanya waktu itu kita akan pulang dengan kehormatan besar. Aku bilang Ibu sangat kangen dan ingin lekas pulang, lantas Khan tampaknya gusar. Dia menggeleng dan tetap menolak."

"Apa lagi kata Khan padamu?"

Kwee Ceng memberitahu bahwa dalam rapat tentara, ia diberi tugas serta dibekali dengan kim-long.




"Ah." desah sang ibu masygul, "kalau suhu keduamu dan Yongji berada di sini, mereka pasti dapat menerka maksud Khan. Aku merasa tidak enak memikirkan ini, tapi entah apa sebabnya, aku tak tahu...." Kwee Ceng mengeluarkan kim-long-nya, mempermainkan dengan tangannya. "Ketika Khan menyerahkan ini, kulihat air mukanya beda sekali," katanya. "Maka aku khawatir jangan-¬jangan sikapnya berhubungan dengan surat rahasia ini."

Li Peng mengambil kim-long itu, mengawasinya dengan teliti, kemudian menyuruh para pelayannya menyingkir.

"Kita buka dan lihat saja," katanya kemudian.

Kwee Ceng terkejut. "Tidak bisa!" katanya. "Surat ini dicap. Kalau membukanya berarti akan mendapat hukuman mati...."

Li Peng tertawa. "Kau tahu kepandaian menyulam dari kota Lim-an sangat tersohor di seluruh negara?" katanya. "Ibumu ini orang Lim-an. Sedari kecil aku telah mempelajari kepandaian itu. Tanpa merusak, aku dapat membuka kantong bersulam ini dan aku dapat menjahitnya kembali seperti semula."

Kwee Ceng percaya pada ibunya, ia jadi girang sekali. Li Peng lantas mengambil jarum halus, dengan itu ia mulai membuka sulaman kantong wasiat. Pekerjaannya rapi. Surat itu lantas dibeber untuk dibaca bersama. Segera keduanya tersentak, tubuh mereka langsung terasa dingin tidak keruan. Surat itu berisi titah rahasia Jenghis Khan untuk Ogotai, Tuli, dan Kwee Ceng. Begitu mereka dapat mengalahkan bangsa Kim, mereka harus maju ke Selatan secepat kilat menyerang kota Lim-an dan memusnahkan Kerajaan Song, supaya Mongolia dapat mempersatukan dunia. Dalam perintah rahasia itu ada tambahan: Kalau Kwee Ceng berhasil berjasa besar, ia harus diangkat jadi raja muda dan dihadiahi besar-besaran; tapi kalau hatinya berubah, Ogotai dan Tuli diperintahkan untuk segera menjatuhkan hukuman mati, ibunyapun harus ikut dihukum picis.

"Ibu," kata Kwee Ceng setelah diam sekian lama, "Iika Ibu tadi tidak membuka kim-long ini, jiwa kita berdua tentulah celaka. Kita adalah orang Song, mana bisa kita menjual negara kita sendiri?”

"Sekarang bagaimana?" Li Peng bertanya.

"Ah, Ibu, biarlah kita tanggung penderitaan ini," kata sang anak masygul. "Sekarang juga kita lari pulang ke Selatan."

"Baik!" sahut ibunya. "Pergilah kau bersiap-siap. Jagalah supaya rahasia ini jangan terbongkar."

Kwee Ceng mengangguk. Ia kembali ke kemahnya untuk berbenah seperlunya. Selain kuda merahnya, ia akan membawa tiga ekor kuda lain. Bagaimanapun, setelah berdiam belasan tahun di gurun pasir ini, ia merasa sedikit berat untuk meninggalkannya. Sebagai kepala perang, Kwee Ceng dapat bergerak dengan leluasa. Juga ketika itu, rombongan Lou Yu Kiak sudah tidak ada bersamanya, mereka sudah pulang lebih dulu ke Selatan.

Semua hadiah dari Khan ia tinggalkan. Paling akhir ia membuka seragamnya, dengan pakaian biasa, ia kembali ke kemah ibunya. Begitu menyingkap tenda, ia terkesiap. Ibunya tidak ada, yang ada hanya dua bungkusan yang menggeletak di tanah.

"Ibu!" panggilnya. Tidak ada jawaban, la khawatir dan curiga.

Ketika hendak keluar, tenda tersingkap dari luar, lantas cahaya api terlihat terang benderang. Chilaun dengan seribu serdadu sudah mengurung tenda itu.

"Khan Agung memanggil-menghadap!" demikian ia mendengar.

Kwee Ceng kaget dan bingung. Ia mesti segera mengambil keputusan. Kalau ia mau menggunakan kekerasan, Chilaun tidak bakal dapat merintanginya. Tapi ibunya telah ditawan, mana bisa ia kabur seorang diri? Akhirnya ia menyerah, membiarkan Chilaun menggiringnya ke markas besar. Di kemah Khan, telah berkumpul barisan pengiring Khan yang terdiri atas dua ribu jiwa. Mereka orang-¬orang Mongolia pilihan, semua bersenjatakan tombak panjang dan menjaga rapat. Kwee Ceng berjalan masuk dengan langkah lebar.

Jenghis Khan terlihat bengis sekali. Ia menggebrak meja. "Kuperlakukan kau dengan baik sekali, dari kecil kau kurawat hingga besar, putriku juga kuserahkan padamu!" bentaknya. "Eh, bangsat kecil, kenapa kau berani memberontak terhadapku?"

Kwee Ceng melihat kim-long yang dibuka ibunya ada di atas meja, maka tahulah ia bahwa jiwanya sudah sukar ditolong lagi. Ia menjadi berani. Ia mendongakkan kepalanya.

"Aku rakyat Kerajaan Song, mana bisa aku tunduk pada titahmu?" katanya gagah. "Mana bisa aku menyerang negaraku sendiri?"

Jenghis Khan bertambah gusar melihat sikap melawan pemuda itu. "Seret dia keluar! Hukum mati dia!" titahnya.

Kwee Ceng tidak dapat melawan. Ia telah dibelenggu kuat sekali dan delapan algojo mendampinginya. Tapi ia tetap tidak takut. Ia berkata nyaring,

"Kau telah berserikat dengan Kerajaan Song untuk memukul bangsa Kim, di tengah jalan kau mengingkari janjimu. Apakah itu perbuatan pendekar?”

Jenghis Khan makin gusar. Ia mendepak meja. "Sesudah Negara Kim hancur, selesai sudah perjanjianku dengan pihak Song!" katanya "Kalau kemudian aku menyerang Selatan, mana bisa dibilang melanggar janji? Lekas hukum mati dia!"

Banyak panglima mengenal baik Kwee Ceng, tetapi saat itu tidak ada yang berani buka suara. Khan sedang marah besar. Kwee Ceng tidak bilang apa-apa lagi, dengan langkah lebar ia berjalan keluar. Segera terlihat Tuli berlari mendatanginya dari padang rumput.

"Tahan! Tahan!'' teriaknya berulang-ulang. Ia bertelanjang dada dan cuma mengenakan celana kulit. Jelas ia baru terbangun dari tidurnya. Ia langsung memasuki kemah ayahnya dan berseru, "Ayah, Kwee Ceng besar jasanya, dia juga pernah menolong jiwaku, biarpun berdosa, jangan hukum mati dia!"

Jenghis Khan terpengaruh kata-kata putranya itu. "Bawa dia kembali!" ia memberikan perintah.

Kwee Ceng lantas dibawa kembali. "Kau memberatkan Kerajaan Song, apa ada untungnya?" Khan bertanya. "Kau pernah bicara tentang Gak Hui. Dia begitu setia dan berjasa, tapi akhirnya dia dihukum mati juga! Lebih baik kau membantuku merobohkan Kerajaan Song, aku berjanji padamu, setelah berhasil akan mengangkatmu menjadi raja Song!"

"Aku bukannya berontak terhadapmu!" Kwee Ceng menyahut. "Tapi kalau kau menghendaki aku menjual negara untuk kehidupan mewah dan agung, biar tubuhku dicincang, tak dapat aku menerima baik permintaanmu ini!"

"Bawa ibunya kemari!" perintah Jenghis Khan.

Lantas dua serdadu menggiring Li Peng keluar dari kemah belakang.

"Ibu!" Kwee Ceng memanggil, la mendekati ibunya, tapi dihalangi dua serdadu. Ia lantas bertanya dalam hati, "Urusanku ini cuma Ibu dan aku yang tahu. Siapa yang membocorkannya?"

Jenghis Khan tidak memberinya kesempatan untuk berpikir, katanya, "Jika kau menerima baik kata-¬kataku, kalian berdua ibu dan anak akan hidup agung dan berbahagia. Jika tidak, lebih dulu aku akan membunuh ibumu! Itu artinya kau yang membunuh ibumu, dan kau menjadi anak put-hauw"

Kaget Kwee Ceng mendengar perkataan Khan, terutama kata put-hauw tidak berbakti. Ia menunduk.

"Anda," kata Tuli, "Dari kecil tinggal di Mongolia, kau tak ada bedanya dari bangsa Mongolia. Sebaliknya pembesar-pembesar Kerajaan Song sombong sekali, mereka bersekongkol juga dengan bangsa Kim, bahkan mereka telah membunuh ayahmu dan membikin ibumu tak punya tempat untuk pulang. Kalau tidak ada ayahku, dapatkah kau hidup seperti sekarang ini? Kita sudah seperti saudara, tak dapat aku membiarkanmu menjadi anak tak berbakti. Maka kuminta sukalah kau memikirkannya lagi baik-baik."

Kwee Ceng menoleh pada ibunya. Sebenarnya ia ingin menerima baik nasihat Tuli itu, tetapi ia segera ingat akan ajaran ibunya. Ia juga ingat dan tahu betul nasib negara-negara di Barat yang ditaklukkan Mongolia, akhirnya rakyat mereka hidup sengsara. Maka ia diam terus.

Dengan matanya yang tajam, Jenghis Khan mengawasi anak muda itu. Ia menantikan jawaban. Seluruh kemah menjadi sangat sunyi,

"Aku..." kata Kwee Ceng. Ia telah maju selangkah, lantas berhenti lagi, tidak melanjutkan kata-katanya.

"Khan yang Agung," mendadak Li Peng berkata, "aku khawatir anak ini kurang mengerti. Bagaimana kalau kucoba membujuk dan menasihatinya?"

Jenghis Khan girang sekali. "Bagus!" katanya. "Nasihati dia!"

Li Peng mendekati anaknya, menarik lengan pemuda itu. lalu membawanya ke salah satu sudut kemah. Di sana mereka berdua duduk. Karena sikap rajanya sudah mulai sabar, algojo tidak menghalangi Kwee Ceng. Li Peng memeluk putranya.

"Dua puluh tahun lalu di Gu-kee-cun. Lim-an, aku telah mengandungmu, Nak," katanya pelan. "Suatu hari ketika turun hujan salju lebat, Khu Ci Kee, Khu Tootiang, berkenalan dengan ayahmu. Dia memberikan dua bilah belati, yang satu untuk ayahmu, yang lain untuk Paman Yo...."

Sembari bicara, sang ibu mengeluarkan belati itu dari saku anaknya. Ia menunjuk ukiran dua huruf yang berbunyi "Kwee Ceng" pada belati itu, lalu melanjutkan,

"Khu Tootiang telah memberi nama Ceng padamu dan Kang pada anak Paman Yo. Tahukah kau apa artinya?"

"Khu Tootiang menghendaki aku tidak melupakan peristiwa Ceng Kong yang memalukan," sahut sang anak.

"Benar, Anak Paman Yo itu mengakui musuh sebagai ayah, maka runtuhlah nama dan tubuhnya. Tentang anak itu, tak usahlah disebut-sebut lagi. Tapi kasihan Paman Yo yang gagah itu, kehormatannya dirusak anaknya sendiri...." la menghela napas, tapi lalu melanjutkan, "Dulu aku menahan malu dan menderita, tapi aku tetap terus merawat dan membesarkanmu. Tahukah kau, untuk apa perbuatanku itu? Mustahil aku hendak memelihara pengkhianat penjual negara hingga ayahmu di alam baka menjadi malu dan menderita!"

"Ibu!" kata Kwee Ceng, lantas ia menangis.

Li Peng bicara dalam bahasa Tionghoa, Jenghis Khan semua tidak mengerti, tetapi mereka melihat air mata si anak muda, maka mereka menduga si nyonya takut mati dan telah berhasil membujuk anaknya. Diam-diam mereka girang.

"Ada orang berkata, 'Hidup manusia hanya seratus tahun, waktu itu lewat dalam sekejap,'" Li Peng berkata lagi. Ia memang wanita, tetapi ia wanita sejati. "Maka. apalah artinya hidup atau mati? Selama hidup manusia, yang diharap adalah jangan melakukan sesuatu yang membuatnya terhina! Kalau orang lain menyia-nyiakan kita, biarlah, tak usah kita ingat kejahatannya. Ingatlah perkataanku ini!" la menatap wajah anaknya, air mukanya sabar sekali. Kemudian ia menambahkan, "Nak, jagalah dirimu baik-¬baik...!" Perkataan ini disusul dengan bekerjanya belati itu memutuskan dadung belenggu putranya. Setelah itu ia memutar tubuhnya untuk menikam dadanya sendiri.

Kwee Ceng menyingkirkan dadung belenggunya, menyambar ibunya, tetapi sudah kasip. Belati itu sudah menancap di dada, terbenam sebatas gagangnya.

Jenghis Khan melihat itu, ia kaget tidak terkira. "Tangkap!" ia menitahkan.

Kedelapan algojo itu tidak berani melukai huma mereka. Setelah melemparkan senjata masing-¬masing, barulah mereka berlompatan menubruk Kwee Ceng.

Kwee Ceng sangat bersedih. Dengan hati terluka ia memeluk tubuh ibunya. Begitu melihat orang-orang itu menyerbunya, sambil memondong ibunya, ia menyambut dengan sapuan kaki. Dua algojo tersepak. kaki mereka patah. Salah satu algojo disodok dengan sikut kirinya, tepat mengenai dada, hingga algojo itu roboh dengan tulang iga patah juga.

Menampak begitu, beberapa perwira terkejut, lantas maju. Kwee Ceng melompat ke belakang tenda, tangan kirinya membetot, maka separo kemah emas Jenghis Khan roboh menutupi semua perwira. Dalam kekacauan itu, ia berlari dengan membawa kabur ibunya. Segera terdengar bunyi trompet riuh, para perwira berlarian ke kuda masing-masing, menaikinya, lantas mengejar pemuda itu.

"Ibu!" panggil Kwee Ceng sambil menangis. Ia tidak mendapat jawaban.

Ketika memeriksa hidung ibunya, ia tidak lagi merasakan embusan napas. Ibunya sudah berpulang ke alam lain menyusul arwah ayahnya. Bukan main mencelosnya hati Kwee Ceng. Namun ia sedang terancam bahaya. Dalam kegelapan, ia berlari terus menyingkir dari bahaya. Kupingnya mendengar orang bergerak di empat penjuru, matanya melihat obor menyala. Ia kabur tanpa memilih jalan lagi. Ia bingung, dengan memondong ibunya, mana bisa melawan demikian banyak orang? Kalau menunggang kuda merahnya, ia mempunyai harapan. Tetapi sekarang ia Cuma berjalan kaki.

Pemuda ini berhenti menangis. Tanpa bersuara ia berlari terus. Ia ingin lekas-lekas tiba di gunung, di sana ia bisa menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk mendaki lereng. Asalkan ia dapat merayap naik, bebaslah ia. Di atas gunung, ia dapat diam sementara waktu.

Sekonyong-konyong di depannya muncul sepasukan serdadu yang dipimpin panglima bermuka merah dan berkumis putih. Di bawah sinar api, panglima itu tampak sangat berwibawa. Kwee Ceng mengenali salah satu panglima andalan Jenghis Khan, Chilaun. Panglima itu memegat dan membacok si pemuda. Kwee Ceng berkelit membebaskan diri. Setelah itu, bukannya berlari kembali, ia justru melompat menerjang pasukan Mongolia itu. Semua serdadu kaget hingga berseru.

Kwee Ceng menyambar seorang serdadu berpangkat siphu-tio yang menghalang di depannya. Selagi membetot kaki orang, kaki kanan Kwee Ceng menjejak tanah untuk melompat, maka tubuhnya mencelat naik ke punggung kuda serdadu itu. Begitu meletakkan tubuh ibunya, Kwee Ceng menolak, serdadu itu terguling jatuh. Sebelumnya Kwee Ceng sempat merampas tombak. Sekarang ia bergerak dengan cepat dan hebat. Ia membuka jalan, merobohkan setiap serdadu di depan atau di sampingnya. Ia berhasil kabur, maka Chilaun dan barisannya mengejar pemuda itu.

Dengan cara ini, Kwee Ceng tidak jadi menuju gunung, melainkan ke arah bertentangan, semakin menjauh dari gunung. Namun ia masih berpikir akan langsung menuju Selatan atau mampir ke gunung. Sementara itu Borchu pun menyusul dengan barisannya.

Jenghis Khan gusar luar biasa, tetapi ia masih ingat untuk menitahkan menangkap hidup-hidup Kwee Ceng. Para serdadunya menyusul untuk mengurung pemuda itu. Bahkan ada pasukan berkuda yang mendahului ke Selatan untuk mencegat.

Kwee Ceng bertindak nekat, la berhasil menerobos pasukan Borchu. Sekarang pakaian dan kudanya telah berlepotan darah. Ia meraba tubuh ibunya, terasa dingin. Ia sedih bukan main, tetapi ia menguatkan hati. Dilarikan kudanya ke Selatan. Ia berhasil meninggalkan semua pengejarnya jauh di belakang, namun sementara itu hari sudah mulai terang, sang fajar telah menyingsing. Ia masih berada di daerah musuh, bahkan di pusatnya...

Masih ada ribuan li untuk sampai di Tionggoan. Bisakah ia seorang diri, dengan membawa-bawa jenazah ibunya, meloloskan diri?

Tengah berlari. Kwee Ceng melihat debu mengepul di depannya. Itu pasti pasukan berkuda. Ia memutar kudanya untuk kabur ke timur. Mendadak kaki depan kuda itu tertekuk, binatang itu tidak dapat bangun lagi.

Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini tidak mau menyerah. Ia memondong tubuh ibunya, sambil mencekal keras tombak, la maju untuk menyerbu pasukan itu. Tiba-tiba ia terkejut. Sebatang anak panah menyambar, tepat mengenai ujung tombaknya. Ia merasakan getaran akibat bentrokan itu. Celaka untuknya, ujung tombak itu patah. Menyusul sebatang anak panah lain menyambar ke dadanya. Ia melemparkan tombaknya, menangkap anak panah itu. Ketika mengamati anak panah, ia melengak. Ujung anak panah yang tajam itu tidak ada. Ia tidak bisa diam saja. Ia mendongak memandang ke depan.

Terlihat olehnya perwira yang mengepalai pasukan berkuda di depan itu menahan barisannya. Sang perwira maju menghampiri seorang diri. Kwee Ceng mengenali Jebe, jago panah yang menjadi gurunya dalam ilmu memanah.

"Guru, apakah Guru hendak menangkapku?" tanya Kwee Ceng.

"Ya," sahut Jebe.

Kwee Ceng berpikir cepat, "Kelihatannya aku tak bakalan bisa lolos. Daripada ditangkap orang lain, biarlah aku menyerahkan diri pada guruku ini." Maka ia lantas berkata,

"Baiklah! Tapi aku mau menguburkan ibuku dulu!" Ia melihat ke sekitarnya.

Di kirinya ada bukit kecil. Ia membawa jenazah ibunya ke sana. Dengan tombak buntungnya ia menggali tanah. Setelah berhasil membuat liang, ia meletakkan tubuh ibunya di situ, la tidak tega mencabut belati di dada ibunya. Ia lantas berlutut untuk paykui, kemudian menguruk liang itu. Ia sedih bukan main mengingat budi serta kesengsaraan ibunya, sampai-sampai tidak sanggup menangis lagi.

Jebe melompat turun dari kudanya. Ia paykui empat kali di depan kuburan Li Peng, kemudian menyerahkan kantong anak panah, busur, dan tombaknya kepada si pemuda. Terakhir ia menyerahkan kudanya sendiri, tali lesnya dijejalkan ke tangan si murid. Ia berkata,

"Pergilah! Mungkin kita tak bakal bertemu lagi...."

Kwee Ceng tercengang. "Guru!" katanya.

"Dulu kau bersedia berkorban menolongku " kata Jebe. "Apakah kau sangka aku bukan laki-laki hingga aku pun tak bisa berkorban menolongmu?"

"Tapi, Guru, kau melanggar titah Khan, kau bisa terancam bahaya...."

"Aku telah berperang ke timur dan ke barat. jasaku bukannya sedikit," kata Jebe. "Maka kalau Khan mempersalahkanku, paling juga aku dirangket, kepalaku tak bakal dipenggal. Maka lekaslah kau pergi!"

Kwee Ceng masih ragu-ragu.

"Aku khawatir pasukanku tidak mentaati perintah, maka yang kubawa ini bekas pasukanmu yang berperang di Barat." Jebe menambahkan. "Tanyailah mereka, apakah mereka serakah akan jasa dan akan menawanmu...."

Kwee Ceng menuntun kuda menghampiri pasukan itu. Serentak semua serdadu turun dari kuda mereka, lantas berlutut di tanah. Mereka berkata,

"Kami mengantar Ciangkun pulang ke Selatan!"

Kwee Ceng mengawasi. Mereka memang bekas pasukannya yang pernah menantang bahaya bersamanya, maka ia menjadi sangat terharu, la berkata,

"Aku bersalah pada Khan yang Agung. Berat hukumanku. Sekarang kalian melepaskan aku, jika Khan Agung tahu hal ini, besar risiko yang harus kalian pikul..."

"Ciangkun baik sekali pada kami, budi itu sebesar gunung, kami tak berani melupakannya." sahut semua serdadu.

Pemuda itu menghela napas, lantas menjura kepada mereka. Sesudah itu dengan memegang tombak ia melompat naik ke kudanya. Tepat saat akan melarikan kudanya, ia melihat debu mengepul di depannya. Kembali sepasukan serdadu berkuda mendatanginya, la terkejut, demikian juga Jebe.

“Aku telah bersalah melepaskan Kwee Ceng, kalau aku melawan pasukan ini, terang aku memberontak," pikir Jebe. Tapi ia tidak mengubah putusannya, ia berkata pada si anak muda, "Anak Ceng, lekas lari!"

Hampir berbareng dengan itu, terdengar teriakan para serdadu yang baru datang, "Jangan ganggu Huma! Jangan ganggu Huma!"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar