Kamis, 08 April 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 149

Kwee Ceng mengawasi sampai ketiga tianglo itu tiba di pinggang gunung, baru ia memandang puncak. Ia melihat suatu pemandangan, yang sangat mengagumkan, yang membikin pikirannya terbuka. Itulah wilayah es, yang merupakan kaca. Ada es yang seperti bunga, rumput, binatang kaki empat atau burung, ada pula yang berdiri bagaikan rebung, bagaikan pohon. Ia menjadi tersengsem. Ia tentu tercengang terus kalau tidak mendengar suara tertawa halus di sebelah belakangnya, ia berpaling dengan segera. Di sana ia melihat seorang nona dengan pakaian putih lagi mengawasi, wajah si nona seperti lagi tertawa. Ia menjublak mengawasi. Orang itu bukan lain daripada oey Yong. Yong-jie yang ia cari, yang membuat pikirannya setiap detik.

Sekian lama mereka saling memandang, lantas sama-sama bertindak menghampiri. Mereka girang dan berduka, selagi saling mendekati, tanpa merasa, kaki si nona terpeleset. si pemuda kaget, dia berlompat, untuk menolong. Karena itu, mereka jadi saling rangkul, tubuh mereka rebah bersama.

Sampai sekian lama barulah oey Yong melepaskan diri, duduk di atas satu gundukan es yang mirip sepotong batu besar.

"Jikalau bukan kau sangat memikirkan aku, tidak mau aku menemui kau," katanya.

Kwee Ceng mengawasi, bengong mulutnya tertutup. si nona pun, habis mengatakan begitu, terus berdiam.

"Yong-jie" kata si pemuda akhirnya.

"Engko Ceng" si nona menyahut.

"Yong-jie" kata pula si pemuda, girangnya bukan kepalang.

"Ah, apakah masih belum cukup kau memanggil namaku?" si pemudi tertawa. "Bukankah meski aku tidak berada di sampingmu, setiap hari kau telah menyebut-nyebut namaku puluhan kali?"

"Bagaimana kau ketahui itu?" Kwee Ceng heran.

Oey Yong tertawa. "Kau tidak melihat aku, aku sering melihat kau" jawabnya.

"Sampai sebegitu jauh kau berada di dalam pasukanku, kenapa kau tidak membiarkan aku melihatmu? "

"Hm, masih kau ada muka menanya? satu kali kau ketahui aku tidak kurang suatu apapun, tentu kau bakal menikah dengan putri Gochinmu. Maka aku lebih suka tidak memberitahukan tentang di mana adanya aku. Apakah kau kira aku tolol?"

Mendengar disebutnya nama Gochin Baki, kegembiraan Kwee Ceng lenyap separuhnya, lantas ia menjadi masgul.

"Pemandangan di sana indah, mari kita pergi ke sana" mengajak oey Yong yang melihat air muka orang, tangannya menunjuk. "Mari kita berbicara sambil duduk."

Kwee Ceng berpaling ke tempat yang ditunjuk. Di sana ada sebuah gua es, karena sinarnya rembulan, gua itu mengasih lihat wujud mirip istana. Ia mengangguk. Dengan berpegangan tangan, keduanya menghampiri gua itu. Mereka mengambil tempat duduk.

"Jikalau aku ingat perlakuanmu terhadapku selama di Tho Hoa To, kau bilang, pantas atau tidak aku memberi ampun padamu?" tanya si nona kemudian.

Kwee Ceng berbangkit. "Akan aku berlutut dan mengangguk padamu," ia kata. Benar-benar ia menekuk lututnya.

"Sudahlah" kata si pemudi tertawa. "Jikalau aku telah tidak memberi ampun padamu, meski kau kutungi seratus kepalanya Lou Yoe Kiak, tidak kesudian aku merayap naik ke atas puncak ini."

"Yong-jie, sungguh kau baik"

"Apakah bicara tentang baik atau tidak baik? Mulanya aku menduga kau cuma mengingat sakit hati guru-gurumu dan hendak menuntut balas untuk itu, bahwa di matamu, separuh dari bayanganku juga tidak ada, adalah setelah mengetahui perjanjianmu dengan Auwyang Hong, untukku. Kau suka memberi ampun tiga kali kepadanya, baru aku tahu kau sebenarnya masih memikirkan aku"

Si anak muda menggeleng kepala. "Baru sekarang kau mengetahui hatiku," ujarnya.

Oey Yong bersenyum. "Kau lihat, apakah yang aku pakai?"

Ditanya begitu, bagaikan baru sadar, Kwee Ceng mengawasi. Ia lantas mengenali baju putih si nona, baju bulu yang dulu dia mengasihkannya di Thio-kee-kauw. Ia lantas menggenggam tangan orang. Berdua mereka duduk saling menyender.

"Yong-jie," kata pula Kwee Ceng kemudian, "Dari suhu aku mendengar bagaimana kau di Tiat ciang Bio telah dipaksa Auwyang Hong untuk mengikutinya. Bagaimana kemudian kau lolos dari tangan iblis itu?"

Oey Yong menghela napas. "sayang karena itu maka musnahlah Kwie-in-chung yang indah kepunyaan Liok suko," ia berkata masgul. "Ketika itu si bisa bangkotan memaksaku menjelaskan artinya Kiu Im cin-keng. Aku bilangi, menjelaskan kitab itu tidak sukar tetapi aku membutuhkan tempat yang bersih dan tenang. Dia bilang mengerti, dia hendak mencari sebuah kuil. Aku menolak kuil, aku berkata sebal sama hweeshio dan aku pun tidak suka dahar sayur saja. Lantas dia bertanya, bagaimana mauku. Aku lantas membilang di Kwie-in-chung di Thay ouw, kataku tempatnya bagus, makanannya lengkap dan lezat. Si bisa bangkotan setuju, dia menyatakan suka menuruti kehendakku."

"Kenapa dia tidak bercuriga?" tanya Kwee Ceng.

"Dia menduga aku kenal pemilik dari Kwie-in¬chung akan tetapi dia tidak takut. Dia orang yang besar kepala, tidak melihat mata kepada orang lain. Dia bilang tidak perduli berapa banyak sahabatku di Kwie-in-chung, dia sanggup melayaninya. Ketika sampai di sana, Liok suko ayah dan anaknya tidak ada di rumah, mereka lagi pergi menjenguk nona Thia di Poo-eng, Kangpak. Kau tahu sendiri, Kwie-in-chung itu diatur menurut Tho Hoa To. Begitu tiba di sana, si bisa bangkotan lantas merasa tidak wajar, sedang aku, dengan jalan berliku-liku, lantas menghilang. Ketika dia tidak dapat mencariku, bangkitlah kemarahannya, dia lantas melepas api membakar rumah itu."

Kwee Ceng kaget, ia mengeluarkan seruan tertahan.




"Aku telah menduga si bisa bangkotan bakal membakar rumah, aku telah memberi kisikan pada sekalian penghuninya untuk menyingkirkan diri siang-¬siang." Oey Yong melanjutkan. "Bisa bangkotan itu lihay sekali, habis membakar, dia pergi ke jalanan yang menuju Tho Hoa To, guna memegat aku. Begitulah beberapa kali hampir aku tercekuk. Akhirnya aku berangkat ke Mongolia. Nyatanya dia mengintil terus, Engko tolol, syukur kau tolol, jikalau kau sama licinnya seperti si bisa bangkotan dan kau mencari aku seperti dia mencarinya, pastilah aku bakal kena terkepung, tak tahu aku mesti bersembunyi di mana"

Mendengar itu, Kwee Ceng tertawa.

"Tapi akhirnya ternyata kau pintar juga," berkata oey Yong, "Kau mengerti bahwa dengan mendesak Lou Yoe Kiak pasti bakal ada akal"

"Yong-jie, kaulah yang mengajar. Aku belajar dalam impian." Pemuda ini lantas menutur tentang impiannya.

Oey Yong tidak tertawa, tapi ia bersyukur. "Orang dulu membilang kesujutan dapat membuka emas dan batu, itu benar," katanya. "Karena kau sangat memikirkan aku, sudah selayaknya siang-¬siang aku menemukan kau."

"Yong-jie, baikkah kalau kemudian kau tidak berpisah lagi dari aku untuk selama-lamanya? "

Nona itu tidak menyahut, ia hanya memandang awan yang mengitari puncak. "Engko Ceng, aku merasa dingin," katanya.

Dengan sebat Kwee Ceng mengerebongi si nona dengan baju kulitnya. "Marilah kita turun," katanya.

"Baiklah. Besok malam kita berkumpul lagi di sini, nanti aku menjelaskan artinya Kin Im Cin-keng."

"Apa?" menanya Kwee Ceng heran.

Semenjak tadi tangan kanan si nona memegang tangan kiri si pemuda, sekarang ia menggenggamnya erat-erat.

"Ayahku telah menterjemahkan bagian paling belakang, besok aku akan menjelaskannya kepadamu," bilangnya.

Kwee Ceng berpikir. Ia heran. Bagian itu telah dijelaskan it Teng Taysu, mengapa sekarang nona ini menyebut ayahnya? Ia masih hendak menanya tegas ketika si nona memencet tangannya, maka ia membatalkannya. Ia tahu mesti ada sebabnya untuk tingkah aneh pemudi ini.

"Baiklah," katanya.

Sampai di situ, mereka turun dari puncak. untuk pulang ke kemah mereka. Oey Yong berbisik:

"Auwyang Hong juga telah naik ke puncak. Selagi kita bicara, dia mencuri dengar di belakang kita."

Pemuda itu terperanjat. "Ah, mengapa aku tidak tahu?"

"Dia bersembunyi di belakang sebuah batu es yang besar. Bisa bangkotan itu sangat licin tetapi kali ini dia lupa satu hal. Meskipun es besar tetapi es terang bagaikan gelas, tidak dapat dia pakai bersembunyi. Dengan bantuan sinar rembulan aku dapat melihat samar-samar tubuhnya."

Kwee Ceng sadar sekarang. "Maka itu kau sengaja menyebut-nyebut Kin im Cin¬keng," ia berkata.

"Ya. Aku hendak memancing dia naik ke puncak, setelah itu kita rusak tangga kaki kambing itu, supaya dia tinggal menetap sebagai dewa hidup,” berkata si nona.

Kwee Ceng memuji bagus. Ia bersorak. Besok paginya Jenghiz Khan menyerang lagi kota, tanpa hasil, hanya dia meninggalkan korban seribu jiwa lebih.

Kwee Ceng sementara itu telah bersiap sedia. Untuk merusak tangga kaki kambing, ia minta bantuan ketiga tianglo. Auwyang Hong lihay sekali. Malam itu ia muncul, tetapi ia memasang mata dari jauh-jauh. Sebelum oey Yong dan Kwee Ceng naik, ia terus bersembunyi.

Melihat akalnya tidak berjalan, oey Yong memikir akal lain. ia memerintahkan menyiapkan beberapa lembar dadung panjang, dadung itu direndam dulu di minyak tanah. Di Khoresm itu, di mana-mana terdapat sumber minyak tanah, dimana oleh rakyat dipakai untuk masak nasi dan lainnya. Menurut kitab Yuan shih, ketika Jenghiz Khan menyerang kota Urungya, ibukota lama dari Khoresm, ia telah menggunakan minyak tanah membakar rumah-rumah hingga kota menjadi pecah karenanya.

Dengan membawa dadung itu, Kwee Ceng berdua oey Yong naik ke atas puncak, di dalam gua es, mereka duduk memasang omong. Kali ini si pemuda pun turut memasang mata secara diam-diam. Tidak lama maka mereka melihat bayangan See Tok yang bersembunyi di belakang es besar. Karena lihaynya, dia tidak mendatangkan suara apapun juga. Dia rupanya menduga kedua orang tidak melihat atau mengetahui kedatangannya.

Oey Yong berlagak pilon, ia menjelaskan terus bunyi kitab Kiu Im Cin-keng kepada Kwee Ceng, dan si anak muda pun bersandiwara dengan menanya ini dan itu Tentu saja mereka merundingkan isi kitab yang asli hingga membuat Auwyang Hong girang tidak terkira. See Tok pikir "Kalau aku paksa budak itu, tidak akan bicara begini rupa. Sekarang dengan mencuri dengar, aku dapat mendengar dengan jelas."

Oey Yong berbicara perlahan, ia baru menjelaskan tiga baris kata-kata, mendadak di kaki puncak terdengar suara terompet, nyaring dan cepat. Kwee Ceng berlompat berdiri seraya berkata:

"Jenghiz Khan menghimpun panglimanya, aku mesti lantas turun"

"Kalau begitu, besok saja kita datang lagi ke mari," berkata si nona.

"Tidak berhentinya kita mendaki puncak. Tidakkah itu sukar dan membuang waktu?" Kwee Ceng tanya. "Apa tidak bisa kita bicara saja dalam kemah?"

"Tidak" menyahut si nona. "Tua bangka Auwyang Hong terus-terusan mencari aku. Tua bangka itu sangat licin, sulit untuk menyingkir darinya, tetapi meski kelicinannya itu, tidak akan dia dapat menduga kita membuat pertemuan di atas puncak ini."

Auwyang Hong mendengar itu, dengan sangat puas ia kata dalam hati: "Jangan kata baru puncak sekecil ini, kau kabur ke ujung langitpun akan kukejar"

"Kalau begitu, kau tunggulah di sini," kata Kwee Ceng. "Dalam waktu setengah jam aku akan kembali."

"Baiklah," si nona mengangguk.

Pemuda itu turun dari puncak dengan hati tidak tentram. Bukankah oey Yong ditinggal seorang diri? Tapi mengingat See Tok sangat menginginkan artinya kitab, ia percaya si nona tidak dalam bahaya langsung. Maka dapat ia melegakan hatinya.

Oey Yong menanti hingga si anak muda turun dan selesai dengan tugasnya, ia berbangkit seraya mengoceh seorang diri:

"Entah di puncak ini ada setannya atau tidak. Kalau aku ingat kepada Yo Kang dan enci Liam Cu, sungguh aku takut. Baiklah aku turun sebentar, sebentar kemudian aku kembali bersama-sama engko Ceng."

Auwyang Hong dapat mendengar ocehan orang, tetapi dia tidak berani berkutik dari tempat sembunyinya, dia khawatir si nona akan melihat atau mendengarnya. Maka leluasalah Oey Yong pergi turun.

Kwee Ceng bersama ketiga tianglo menanti di kaki puncak. Begitu oey Yong turun, mereka menyalakan api, membakar dadung yang telah dilibatkan si anak muda di setiap undakan tangga kaki kambing. Dadung itu telah direndam minyak, maka api lantas menyala, membakar dari bawah terus ke atas. Setiap kaki kambing jatuh ke bawah setelah api bekerja melumerkan es yang melekat dan membekukannya kuat sekali. Api itu pun memperlihatkan pemandangan yang bagus, bagaikan cacing melapai naik, sebab waktu itu cuaca gelap dan es berkilau.

Oey Yong bertepuk tangan memuji bagus. Katanya: "Engko Ceng, bilanglah Kali ini kau masih hendak memberi ampun atau tidak kepadanya?"

"Ini untuk ketiga kalinya, tidak dapat melanggar janji," menyahut si anak muda.

Oey Yong tertawa. "Aku mempunyai akal," katanya. "Tanpa menyalahi janji, aku bisa membinasakan dia untuk membalaskan sakit hati semua gurumu."

Kwee ceng girang sekali. "Yong-jie" katanya. "Benar-benar di dalam dirimu terdapat seluruh tipu daya. Apakah akalmu itu?"

"Akalnya gampang saja," menyahut si nona. "Kita membiarkan si bisa bangkotan makan angin barat daya selama sepuluh hari dan sepuluh malam, biar dia kelaparan dan kedinginan, hingga habis tenaganya, baru kita memasang lagi tangga kambing ini untuk menolongi dia. setelah dia ditolong turun dari sini, bukankah itu berarti dia telah diberi ampun hingga tiga kali?"

"Benar," Kwee Ceng menyahut.

"Karena dia telah diberi ampun tiga kali, kita tidak usah sungkan-sungkan lagi," berkata si nona. "Kita menanti, begitu dia turun, kita lantas turun tangan menyerang. Kita dibantu ketiga tianglo, berlima menyerang seorang yang sudah setengah mampus, mustahil kita tidak bakal menang?"

"Tentu saja kita bakal menang," terkata Kwee Ceng, tapi dia menggeleng kepala. "Dengan membunuh secara demikian, aku anggap bukan cara laki-laki sejati"

"Hm, dengan manusia sejahat dia kita masih bicara tentang kehormatan?" berkata si nona dingin. "Ketika dia membinasakan gurumu yang nomor dua dan nomor empat, adakah dia ingat akan cara terhormat itu?"

Kwee Ceng gusar sekali diperingatkan akan kebinasaan guru-gurunya, matanya sampai terbuka mendelik. Ia pun ingat, Auwyang Hong demikian lihay, kalau dia diberi ampun, lain kali tidak ada lagi kesempatan sebaik ini membalaskan sakit hati sekalian gurunya. Maka ia menggertak gigi.

"Baiklah, begitu kita bekerja" bilangnya, menyatakan setuju.

Segera setibanya di dalam kemah, muda mudi ini lantas duduk berbicara lebih jauh. Kali ini benar-¬benar mereka berunding tentang Kin im Cin-keng. Keduanya merasa senang sekali, sebab ternyata selama satu tahun, mereka memperoleh kemajuan pesat.

"Yong-jie," berkata Kwee Ceng kemudian. "Jahanam Wanyen Lieh berada di kota musuh ini, kita dapat melihat dia tetapi tidak berdaya membekuknya, bisakah kau memikirkan suatu akal yang sempurna untuk memukul pecah kota?"

"Selama beberapa hari ini aku terus memikirkannya," menyahut si nona, "Sampai saat ini aku belum peroleh daya yang dapat digunakan."

"Saudara-saudara Kay Pang ada belasan yang cukup baik ilmu meringankan tubuhnya," kata si anak muda, "Kalau mereka ditambah kita berdua, dapatkah kita secara diam-diam mendaki tembok kota?"

"Tembok kota terjaga kuat sekali, setiap tombak ada penjagaan belasan tukang panah," berkata si nona. "Sulit melewati mereka semua. Lagiyan di dalam kota ada puluhan laksa serdadu, apa yang kita belasan orang dapat kerjakan? Untuk memaksa membuka pintu kota pun sukar."

Kwee Ceng berdiam. Demikian malam itu dilewatkan. Besoknya Jenghiz Khan mencoba menyerang lagi, ia gagal. Kegagalan itu berlangsung selama tiga hari terus-menerus. Di hari keempat turun salju besar.

"Mungkin tidak sampai sepuluh hari, Auwyang Hong bakal setengah mati karena kedinginan," berkata Kwee Ceng sambil mengawasi ke puncak gunung.

"Dia sempurna ilmu tenaga dalamnya, dia dapat bertahan sepuluh hari," kata oey Yong. Tapi baru habis ia menutup mulutnya, mereka berdua terkejut melihat dari atas puncak ada benda yang jatuh. Kemudian si nona bertepuk tangan dan berkata kegirangan: "Si bisa bangkotan tidak tahan, dia membunuh diri"

Tapi Auwyang Hong tidak jatuh cepat dan meluncur langsung, tubuhnya memain, melayang-¬layang bagaikan layangan. Menyaksikan itu, kedua muda mudi ini heran. Mereka mengawasi terus. Mestinya orang jatuh langsung dan tubuhnya hancur luluh. Kenapa sekarang tubuh See Tok turun perlahan-lahan? Adakah dia mengerti ilmu siluman?

Ketika Auwyang Hong sudah turun semakin ke bawah, baru terlihat apa yang benar. Dia bertelanjang seluruh tubuhnya, di atasan kepalanya nampak dua buah benda seperti bola bundar yang besar.

"sayang-sayang" kata si nona setelah ia melihat tegas. Ia lantas mengerti duduknya hal.

Auwyang Hong itu terserang hebat hawa dingin dan lapar. Dia berotak kuat, lantas dia dapat memikirkan akal. Bukankah tidak ada tangga untuk turun dan dia tidak dapat lompat turun? Maka dia menggunakan akalnya. Terpaksa dia membuka baju dan celananya, kemudian membuat dua buah buntalan seperti karung bulat, seperti bola. Dengan menggertak gigi, kedua buah karung diikatkan di pinggangnya, dia lompat turun. Dia membuang diri tetapi ini daya semata-mata untuk menolong jiwanya. Karung itu terkena angin, yang masuk ke dalamnya, lalu menjadi kembung dan bulat, maka dengan bantuan bola istimewa itu, tubuhnya tertahan, turunnya perlahan-lahan. Saking mahirnya tenaga dalamnya, dia dapat melawan hawa dingin, meskipun kedua tangannya hampir beku.

Turunnya Auwyang Hong dari atas puncak dapat dilihat oleh tentara dari kedua pihak, mereka heran sekali, lantas ada yang menduga dewa, maka banyak serdadu yang bertakhyul pada berlutut dan memuji.

Kwee Ceng mengawasi. Karena Auwyang Hong terbawa angin, mungkin dia bakal turun ke dalam kota. Ia lantas menyiapkan panahnya, menunggu sampai Auwyang Hong terpisah dari tanah beberapa puluh tombak. la melepaskan panah berantainya. Ia mengharap mengenai sedikitnya payung bola si Bisa dari Barat, supaya dia jatuh dengan terluka parah. Tapi See Tok lihay, dia melihat datangnya anak panah, dia menangkis dengan kakinya. Menyaksikan kejadian yang luar biasa itu, tentara bersorak memuji.

Jenghiz Khan yang telah menerima laporan dari Kwee Ceng, juga menitahkan tentaranya melepaskan anak panah, maka hebatlah datangnya serangan.

Auwyang Hong melihat ancaman bahaya, dia menjadi nekat. Dia melepaskan kedua tangannya, lantas saja dia jatuh dengan kepala terlebih dulu. Kembali puluhan ribu serdadu bersorak riuh.

Auwyang Hong turun tepat di dalam kota, ke betulan ada sebuah bendera besar. Dia menyambar dengan kedua tangannya, memegang keras kain bendera. Dia bertubuh berat, kain bendera robek. Karena dia menjambret, tubuhnya sedikit tertahan, kedua kakinya pun menyambar ke arah tiang bendera, maka dilain saat lenyaplah dia di dalam kota.

Tentara di kedua pihak heran, mereka bicarakan urusan itu hingga melupakan peperangan.

"Kali ini dia terhitung tidak diberi ampun," berpikir Kwee Ceng, yang segera menyesal sekali, "Dia jadi masih mempunyai kesempatan satu kali lagi. Tentunya oey Yong masgul sekali" Ketika ia berpaling kepada si nona, nona itu justru nampak girang, dia bersenyum. Ia menjadi heran. "Yong-jie, mengapa kau bergembira?" tanyanya.

si nona bertepuk tangan, dia tertawa. "Aku hendak mempersembahkan hadiah besar kepadamu, kau senang atau tidak?" dia balik menanya.

"Apakah itu?"

"Kota samarkand" Kwee Ceng tercengang.

"Si bisa bangkotan barusan mengajari aku tipu daya memecahkan kota," berkata si nona. "Pergi kau menyiapkan pasukan perangmu, sebentar malam kau bakal berhasil"

Selagi pemuda itu masih belum mengerti, nona ini berbisik di kupingnya. Baru setelah mendengar, dia juga girang hingga dia bertepuk-tepuk tangan.

Siang itu Kwee Ceng memberi titah rahasia kepada semua serdadunya, untuk mereka memotong tenda masing-masing, guna membikin sebuah payung kecil, yang ukurannya ia berikan, payung mesti diikatkan tambang. Titah itu diberi batas waktu, semua payung harus rampung dalam waktu setengah jam. Ia membutuhkan selaksa buah. Semua serdadu menjadi heran. Pula, di waktu hawa begitu dingin, tanpa tenda, bagaimana mereka bisa melindungi diri? Tapi titah tetaplah titah. Maka bekerjalah mereka.

Masih ada titah lainnya dari Kwee Ceng. Pertama-¬tama mengumpulkan kerbau dan kambing di kaki puncak, di mana orang menanti titah lebih jauh untuk bekerja. Selaksa serdadu diperintah pergi ke tempat tigapuluh lie di luar pintu kota utara, di sana mereka mempersiapkan diri dalam empat barisan Thian-hok. Tee-cay, Hong-yang dan In-sui. Mereka mesti menanti waktu untuk membekuk musuh.

Selaksa serdadu lagi diperintah mengambil tempat di kiri dan kanan pintu utara, mereka mesti mengatur diri dalam empat barisan Liong-hui, Houw-ek. Niauw¬siang dan coa-poan. Tugas mereka ialah mendesak musuh masuk ke dalam empat barisan yang lainnya. Kemudian, selaksa serdadu yang ketiga diperintah siap sedia untuk tugas yang akan diberikan lebih jauh.

Demikian malam itu, setelah bersantap, empat laksa serdadu diberangkatkan. Lebih dulu dua laksa jiwa dikirim ke pintu kota, lalu yang selaksa ke kaki puncak dan yang selaksa lagi bersiap sedia.

Kwee Ceng menitahkan satu serdadu pengiringnya pergi pada jenghiz Khan untuk memberitahukan kota musuh bakal terpukul pecah, dari itu junjungan diminta menyiapkan barisannya untuk menyerbu.

Jenghiz Khan heran, ia bersangsi. Maka ia memerintahkan si serdadu pergi memanggil Kwee Ceng datang, untuk ditanya tegas, tetapi serdadu itu membilang:

"sekarang ini Kim Too Huma tentu sudah memimpin pasukan perangnya menyerang musuh, ia hanya menantikan Kha Khan membantunya."

Benar juga, disana sudah lantas terdengar tentara Kwee Ceng membunyikan terompet perang. Di sana seribu lebih serdadu telah bekerja menyembelih kerbau dan kambing untuk membuat tangga istimewa, pekerjaan dilakukan oleh orang-orang Kay Pang yang dapat bergerak dengan cepat dan gesit. Maka dengan lekas telah terampungkan seratus lebih tangga istimewa. Setelah itu, Kwee Ceng sendiri yang mulai, yang mengasih contoh mendaki tangga, untuk naik ke atas puncak gundul. Ia ditiru oleh selaksa serdadu.

Mereka ini hanya dibantu dadung yang diikat di pinggang, perlahan mereka merayap naik. Atas titah yang keras, mereka dilarang bersuara.

Puncak tidak luas, selaksa serdadu tidak bisa ditempatkan di situ, maka Kwee Ceng lantas menitahkan rombongan pertama mengikat payung di pinggang dan memegang golok di tanah, setelah memberi tanda dengan tepukan tangan, mereka pada berlompat ke arah kota musuh, ke pintu kota selatan guna mulai dengan penyerangan. Pula ia sendirilah yang memberi contoh dengan berlompat paling dulu.

Semua serdadu telah melihat tadi siang bagaimana Auwyang Hong lompat turun dari puncak, maka dengan berani mereka meniru perbuatan kepala perang mereka. Maka sekejab saja, udara seperti penuh dengan payung manusia. Rombongan demi rombongan tentara pada menerjunkan diri

Oey Yong menanti di batu es, senang ia menyaksikan rampungnya tindakan permulaan itu. Ia berkata di dalam hatinya: "Jenghiz Khan berhasil atau tidak, itu tidak ada hubungannya sama aku, hanya kalau Engko Ceng menuruti perkataanku, artinya dia telah melakukan sesuatu yang besar."







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar