Kamis, 11 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 133

Oey Yong tidak takut, bahkan dia tertawa terus. Ketika menyambut kedua guru silat itu, sebentar saja ia dapat merobohkan mereka, terus ia menyerbu, merampas senjata belasan pengikut itu, hingga ruang pesta jadi sangat kacau.

Tuan rumah jadi takut, dia hendak lari, tetapi dia dicekuk si nona, jenggotnya ditarik, lehernya diancam dengan golok. Dalam takutnya dia menekuk lutut, dengan suara gemetaran dan tidak lancar dia kata:

"Lie-tay-ong…… oh, nona…… kau ingin uang, nanti aku sediakan, asal kau ampuni jiwaku……"

"Siapa menghendaki uangmu?" kata Oey Yong tertawa. "Mari temani aku minum!"

Tuan rumah itu ditarik jenggotnya, ia ketakutan, iadiam saja.

"Mari duduk," kata si nona, yang juga menarik tangan Kwee Ceng. Ia mengajaknya duduk di meja bersama tuan rumah itu. "Kamu juga duduk!" ia kata pada orang banyak, yang berkumpul di pojokan, bingung dan khawatir. "Eh, kenapa kamu tidak mau duduk?" Ia lantas menancap golok di meja, golok itu berkilauan.

Semua tetamu itu ketakutan, dengan saling desak, mereka berebut maju, hingga kursi pada terlanggar terbalik.

"Kamu toh bukan bocah-bocah umur tiga tahun!" si nona menegur. "Apa kamu tidak dapat duduk dengan rapi?"

Semua tetamu itu takut, mereka lantas berlaku tenang. Oey Yong minum araknya dengan gembira.

"Perlu apa kau membikin pesta?" ia tanya tuan rumah. "Apakah kau kematian anggota keluargamu?"

"Sebenarnya aku tambah anak," kata tuan rumah. Sekarang tak terlalu takut lagi. “Hari ini adalah hari ulang tahun satu bulan anakku dan aku mengundang sahabat dan tetangga-tetanggaku……"

"Bagus!" kata si nona tertawa. "Coba kau bawa keluar anakmu itu!"

Tuan rumah kaget, mukanya pucat. Ia takut anaknya dibunuh. Dengan membelalak, ia mengawasi pisau yang masih nancap di meja. Tapi karena takut, ia terpaksa menyuruh orang membawa keluar anaknya.

Oey Yong menggendong bayi itu, ia mengawasi muka orang. Ia pun memandang muka tuan rumah.

"Tidak mirip-miripnya," katanya. "Jangan-jangan ini bukan anakmu sendiri."

Tuan rumah itu likat berbareng berkhawatir, kedua tangannya bergemetaran. Semua tetamu merasa lucu tetapi tidak ada yang berani tertawa.

Oey Yong mengeluarkan sepotong uang emas beratnya kira-kira lima tail, ia serahkan itu kepada si babu pengasuh berikut bayinya seraya berkata:

"Ini tidak berarti, hitung saja sebagai tanda mata dari nenek luarnya."

Semua orang merasa heran dan lucu. Dia orang luar dan menyebut dirinya nenek luar sedang dialah satu nona remaja. Tuan rumah nampaknya girang.

"Mari! Aku beri kau selamat satu mangkok!" kata Oey Yong. Dan ia mengambil satu mangkok besar, ia isikan arak, ia tolak itu ke depan tuan rumahnya.

"Aku tidak kuat minum, maaf," kata tuan rumah.

Mendadak si nona mengasih lihat roman bengis, tangannya pun menyambar jenggot. "Kau minum atau tidak?" dia tanya keras.

Tuan rumah ketakutan, terpaksa ia menenggak arak itu.

"Nah, ini baru bagus!" kata si nona. "Mari, sekarang kita main teka-teki!"

Semua orang takut, maka apa yang si nona inginkan, lantas kejadian. Tapi mereka bangsa saudagar atau hartawan, tidak ada yang pandai main teka-teki, si nona jadi sebal.

"Sudahlah!" katanya.

Sementara itu tuan rumah roboh menggabruk. Dia tidak kuat minum tetapi mesti minum banyak arak…… Si nona tertawa, ia dahar, Kwee Ceng menemaninya. Akhirnya terdengar tanda jam satu malam, si nona mengajak kawannya pulang, tuan rumah dan tetamunya dibiarkan dalam bingung……

"Bagus tidak, engko Ceng?" Oey Yong tanya setibanya di pondokan.

"Ah, tidak karu-karuan kau membikin orang ketakutan," kata si anak muda.

"Sekarang ini aku mencari kesenangan untukku, aku tidak perduli orang lain ketakutan," kata si nona.

Pemuda itu heran. Kata-kata itu mesti mengandung arti tetapi ia tidak sanggup menangkapnya.

"Aku hendak pergi jalan-jalan, kau turut tidak?" kemudian Oey Yong tanya.

"Di waktu begini mau pergi ke mana lagi?" tanya si pemuda heran.

"Aku ketarik sama bayi tadi. Ingin aku memain dengannya, sesudah beberapa hari, baru aku akan mengembalikannya……"

"Eh, mana bisa……" kata Kwee Ceng heran.

Tapi si nona tertawa, dia pergi keluar, dia melompat tembok pekarangan. Kwee Ceng menyusul, ia menarik tangan orang.

"Yong-jie, kau sudah main-main lama, apakah itu masih belum cukup?" tanyanya.




"Belum cukup," si nona menyahut. "Mari kau temani aku, kita main-main sampai puas benar. Lewat beberapa hari lagi bukankah kau bakal meninggalkan aku, kau akan pergi mengawini putri Gochin Baki? Tentu dia bakal tidak mengijinkan kau bertemu sama aku lagi…… Kau tahu, waktunya aku berada bersama kau, lewat satu hari berarti kurang satu hari, maka itu satu hari waktu itu ingin aku bikin menjadi seperti dua hari, seperti tiga hari, ya seperti empat hari! Engko Ceng, hari kita sudah tidak banyak lagi, maka malam juga aku tidak mau tidur, aku mau terus pasang omong dengan kau! Mengertikah kau sekarang? Bukankah kau tidak bakal mencegah aku lagi atau menasihati aku untuk beristirahat?"

Kwee Ceng bengong. Baru sekarang ia mengerti perubahan sikap nona ini - sikap yang luar biasa. Si nona jadi tak ingin berpisah darinya. Waktu yang pendek hendak dibikin panjang dengan pertemuan lama, tak siang tak malam…… Ia memegang erat tangan nona itu, ia merasa kasihan, ia mencinta.

"Yong-jie, otakku memang tumpul," katanya. "Sebegitu jauh aku tidak mengerti maksudmu. Aku…… aku……" Ia berdiam tak dapat ia berkata terus. Ia tidak tahu mesti mengatakan apa.

Oey Yong bersenyum. "Dulu ayah mengajarkan aku membaca banyak syair, mengenai kedukaan dan penasaran," katanya. "Aku kira itu disebabkan ayah berduka karena mengingat ibuku yang telah meninggal dunia, baru sekarang aku ketahui, hidup di dunia ini, orang benar banyak lelakonnya, sebentar girang, sebentar bersusah hati……"

Malam itu bulan sisir, udara terang, hawa pun adem. Angin meniup halus. Kwee Ceng jadi berpikir. Ia tidak menyangka si nona mencintainya sedemikian rupa. Sekarang ia mengerti akan kelakuan luar biasa nona itu selama beberapa hari belakangan ini.

"Bagaimana kalau kita berpisah nanti?" pikirnya. "Yong-jie cuma ditemani ayahnya, apa tidak kesepian ia berdiam seorang diri di Tho Hoa To? Dan bagaimana lagi nanti, kalau ayahnya telah menutup mata? Tidakkah ia akan ditemani hanya hamba-hamba gagu? Mana dia bisa merasa senang?"

Mengingat begitu, hati pemuda ini menjadi kecil. Ia pegangi keras tangan si nona, ia menatap mukanya.

"Yong-jie," katanya, "Biar langit ambruk, aku akan menemani kau di Tho Hoa To!"

Tubuh si nona bergemetar, ia mengangkat kepalanya. "Apa katamu?" ia tanya.

"Aku tidak memperdulikan lagi Jenghiz Khan atau Gochin Baki," menyahut si anak muda. "Seumur hidupku, aku akan menemani kau saja!"

"Ah ……" kata si nona dan ia nyelundup ke dadanya si anak muda.

Kwee Ceng merangkul.

Sekarang ia merasa hatinya lega. "Bagaimana dengan ibumu?" si nona tanya selang sesaat.

"Aku akan pergi menyambutnya untuk diajak ke Tho hoa To," sahut si anak muda.

"Apakah kau tidak takut pada Jebe, gurumu dan Tuli serta sekalian saudaranya, semua pangeran itu?"

"Mereka semua baik terhadapku tetapi aku tidak dapat memecah dua hatiku……"

"Bagaimana dengan keenam gurumu dari Kanglam serta Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya lagi?"

"Pasti mereka bakal gusar tetapi perlahan-lahan saja aku akan minta maaf mereka. Yong-jie, kau tidak mau berpisah dari aku, aku juga tidak mau berpisah dari kau."

"Aku punya akal," berkata si nona tiba-tiba. "Kita bersembunyi di Tho Hoa To, untuk selamanya kita jangan berlalu dari situ. Ayah pandai mengatur hingga pulau itu tertutup untuk orang lain, taruh kata mereka dapat mendatangi tetapi tidak akan mereka dapat mencari kau……"

Kwee Ceng menganggap akal itu tidak sempurna, ia hendak mengutarakan pikirannya mendadak ia memasang kuping. Ia mendengar tindakan kaki di tempat belasan tombak, tindakan dari dua orang yang biasa berjalan malam, datangnya dari selatan, tujuannya utara. Ia pun dapat mendengar perkataan satu di antaranya:

"Loo Boan Tong telah kena terjebak Pheng Toako, kita jangan takuti dia lagi! Mari lekas!"

Juga Oey Yong mendengar sama seperti si anak muda. Keduanya tidak berniat memikir apapun, ingin mereka menyenangkan hati, tetapi disebutnya nama Loo Boan Tong membuat mereka berjingkrak berbareng, dengan serentak mereka lari menyusul dua orang itu.

Orang-orang yang belum dikenal itu berlari-lari tanpa mengetahui mereka lagi dikuntit. Mereka lari terus hingga lima enam lie di belakang dusun itu. Waktu mereka membelok ke sebuah tikungan, dari sebelah depan lantas terdengar suara yang berisik sekali serta cacian.

Dengan mempercepat larinya, Kwee Ceng dan Oey Yong lantas sampai di tempat tujuan. Mereka menjadi terkejut dan heran. Mereka telah melihat Ciu Pek Thong lagi duduk bersila di tanah, tubuhnya tak bergerak, entah dia masih hidup atau sudah mati. Dan di depannya, duduk bercokol juga, ada seorang pertapa sebagaimana dia kenali dari jubahnya. Dialah Leng Tie Siangjin si pendeta bangsa Tibet.

Disamping Ciu Pek Thong ada sebuah gua gunung yang mulutnya kecil, yang muat tubuh satu orang dengan orang itu mesti masuk sambil membungkuk. Di luar gua ada enam orang, mereka yang suaranya berisik itu, mereka berani membuka mulut tetapi takut masuk ke dalam gua, seperti juga di dalam situ ada suatu makhluk yang dapat mencelakai orang.

Kwee Ceng khawatir Ciu Pek Thong telah menjadi korbannya si Pheng Toako, sebagaimana tadi ia mendengar perkataannya orang, karena itu hendak ia lantas maju mendekati. Oey Yong melihat sikap kawannya, ia mencegah sambil menarik tubuh orang.

"Sabar," kata si nona. "Mari kita memeriksa dulu dengan teliti."

Kwee Ceng dapat dicegah maka berdua mereka menyembunyikan diri. Dengan begitu mereka jadi bisa melihat tegas rombongan orang itu, yang kebanyakan adalah kenalan-kenalan lama, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, Kwie-bu Liong Ong See Thong Thian, Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw dan Sam-tauw¬kauw Hauw Thong Hay. Dua lagi ialah si orang tukang jalan malam yang tadi, mereka ini tidak dikenal.

Oey Yong merasa semua orang itu bukan tandingan dia serta Kwee Ceng. Dua orang baru itu juga tidak usah dikhawatirkan. Tapi ia masih melihat ke sekitarnya. Di situ tidak ada orang lain. Maka ia kisiki kawannya;

"Dengan kepandaian Loo Boan Tong, beberapa orang ini pastilah tidak bisa berbuat sesuatu atas dirinya, maka itu, menurut sangkaanku, mesti di sini ada See Tok Auwyang Hong. Entah dia bersembunyi di mana……"

Si nona lantas hendak mencari tahu ketika ia mendengar suara tak sedap dari Pheng Lian Houw.

"Binatang, jikalau kau tetap tidak keluar, aku nanti ukup kau dengan asap!"

Dari dalam gua, ke dalam itu ancaman Lian Houw diberikan, terdengar jawaban yang berat dan angker:

"Kau mempunyai kepandaian baru apa, kau keluarkan saja!"

Kwee Ceng terkejut. Ia mengenal suara gurunya yang nomor satu, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Terbangkan Langit. Sekarang ia tidak ingat lagi kepada Auwyang Hong, lantas ia berseru:

"Suhu, muridmu datang!" Suaranya itu disusul sama lompatannya yang pesat, hingga ia muncul sambil berbareng mencekuk punggung Hauw Thong Hay, tubuh siapa lantas dilemparkan!

Munculnya si anak muda membuat pihak Thong Hay menjadi kaget. Pheng Lian Houw berdua See Thong Thian lantas maju menerjang, sedang Nio Cu Ong pergi ke belakang orang, untuk membokong.

Kwa Tin Ok di dalam gua pun turut bekerja. Ia rupanya melihat perbuatan si orang she Nio, ia lantas menyerang dengan sebatang tokleng atau lengkak beracun. Cu Ong terkejut, dia berkelit sambil tunduk, tidak urung kondenya kena tersambar hingga beberapa juir rambutnya putus. Ia kaget bukan main. Ia tahu senjatanya Tin Ok itu beracun, sebagaimana dulu hari hampir saja Pheng Lian Houw terbinasa karenanya.

Maka ia berlompat ke samping seraya meraba kepalanya. Ia berlega hati ketika mendapat kenyataan kulitnya tidak terluka. Ia lantas mengeluarkan senjata rahasianya, paku Touw-kut¬jiam, terus ia jalan mutar ke kiri gua, maksudnya untuk menyerang ke dalam gua secara diam-diam, guna membokong musuh yang ada di dalam. Ia baru menggerakkan tangannya ketika merasakan lengannya kaku, pakunya lantas saja jatuh dengan menerbitkan suara nyaring. Tengah ia bingung, ia mendengar suara tertawanya seorang nona yang terus berkata:

"Lekas berlutut! Kau akan merasakan tongkat lagi!"

Nio Cu Ong berpaling. Ia melihat Oey Yong dengan tongkat di tangan, berdiri sambil tertawa haha-hihi. Ia kaget berbareng girang. Pikirnya: "Kiranya tongkat Ang Cit Kong jatuh di tangannya?" Dengan segera ia mengerjakan dua tangannya berbareng: Tangan kiri melayang ke pundak si nona, tangan kanan menyambar ke tongkat, yang ia hendak rampas.

Dengan lincah, Oey Yong berkelit dari sambaran tangan kirinya. Ia tidak menarik tongkatnya, ia sengaja memberinya ketika hingga ujung tongkat itu kena dipegang perampasnya. Cu Ong girang bukan main. Lantas menarik dengan keras, di dalam hatinya dia berkata;

"Jikalau dia tidak melepaskan maka tubuhnya bakal ketarik bersama."

Benar saja tongkat itu kena ketarik, tetapi cuma sedetik, cekalannya lolos sendirinya. Sebab selagi ia menarik dan si nona mengikuti, mendadak nona itu mendorong dengan kaget, hingga terlepaslah cekalannya. Tengah ia terkejut, tahu-tahu tongkat itu sudah berbalik, melayang ke kepalanya. Ia kaget melihat tongkat itu berkelebat. Dasar ia lihay, lantas menjatuhkan diri, berguling jauh satu tombak. Ketika ia sudah berdiri lagi, ia nampak si nona berdiri diam mengawasi dengan bersenyum.

"Kau tahu apa namanya jurus ini?" si nona tanya, tertawa. "Kau telah kena aku kemplang satu kali, kau tahu kau telah berubah menjadi apa?"

Dulu pernah Nio Cu Ong merasa lihaynya tongkat itu, dia dibuat Ang Cit Kong "mati dan hidup pula", maka juga meski sang waktu telah lama lewat, dia masih ingat itu dan merasa jeri, sekarang dia merasakannya lagi, meski tidak hebat, toh hatinya terkesiap, dia menjadi jeri. Justru itu dia melihat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw tengah terdesak hebat, mereka itu cuma dapat membela diri, dia lantas berseru dan memutar tubuh, untuk mengangkat kaki.

See Thong Thian kena disikut Kwee Ceng, dia terhuyung tiga tindak. Meneruskan serangannya, tangan kiri si anak muda melayang kepada Pheng Lian Houw. Dia ini tidak berani menangkis, dia berkelit. Tapi dia kalah gesit, tangan kanan anak muda itu kena menyambar lengannya, yang terus dicekal keras. Dia bertubuh kate dan kecil, dengan gampang tubuhnya kena diangkat, hingga kedua kakinya seperti bergelantungan di udara……

Sambil mengangkat tubuh orang Kwee Ceng mengepal tangan kirinya, siap meninju dada orang tawanannya ini. Lian Houw melihat itu, dalam takutnya dia berseru menanya:

"Hari ini bulan kedelapan tanggal berapa?"

"Apa kau bilang?" tanya si anak muda tercengang.

"Kau memegang kepercayaan atau tidak?" Lian Houw tanya. "Apakah kata-kata seorang laki-laki tak masuk hitungan?"

"Apa kau bilang?" Sambil menegasi, Kwee Ceng masih mengangkat tubuh orang.

"Bukankah janji kami ialah Pee-gwee Cap-gouw," kata Lian Houw. "Bukankah janji pertandingan kita di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada tanggal limabelas bulan delapan? Dan tempat ini bukannya kota Kee-hin dan sekarang bukan hari Tiong Ciu! Bagaimana dapat kau mencelakai aku?"

Kwee Ceng pikir perkataan orang itu benar juga, ia hendak melepaskan tetapi mendadak ia ingat sesuatu.

"Kamu bikin apa atas diri Toako Ciu Pek Thong?" ia tanya.

"Dia sekarang lagi bertaruh sama Leng Tie Siangjin," menyahut Lian Houw. "Mereka bertaruh, siapa bergerak paling dulu, dialah yang kalah! Urusan dia tidak ada hubungannya sama aku!"

Kwee Ceng mengawasi dua orang yang duduk di tanah itu, pikirnya, "Kiranya begitu?" Lantas ia menanya keras; "Toasuhu, adakah kau baik?"

Itulah pertanyaan untuk Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu. "Hm!" jawab Hui Thian Pian-hok dari dalam gua. Sampai di situ, pemuda ini lantas melepaskan cekalannya sambil ia terus menolak dada orang. "Pergilah!" ia mengusir.

Pheng Lian Houw tidak roboh, karena ia terus berlompat. Ketika kedua kakinya telah menginjak tanah, ia berpaling ke arah kedua kawannya, See Thong Thian dan Nio Cu Ong, maka ia mendapatkan mereka itu sudah pergi jauh. "Celaka, manusia tidak ingat persahabatan!" ia mencaci di dalam hatinya. Lantas ia memberi hormat kepada Kwee Ceng seraya membilang:

"Nanti tujuh hari kemudian, kita mengadu kepandaian pula di Yan Ie Lauw untuk memastikan kalah menang!" Setelah beraksi begitu ia memutar tubuhnya, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Ia lantas mengangkat kaki!

Waktu itu Oey Yong telah menghampiri Ciu Pek Thong dan Leng Tie Siangjin. Dua orang itu saling mengawasi dengan matanya masing-masing terbuka lebar, tidak ada yang mengedip atau menoleh. Ia lantas ingat perkataan dua orang yang berjalan malam itu bahwa Pek Thong telah kena ditipu Lian Houw, sekarang ia membuktikan itu. Pasti, karena jeri kepada Pek Thong, jago tua itu telah dipancing kemurkaannya diadu dengan Leng Tie Siangjin, dengan cara main diam-diam. Dengan cara begitu juga, Pek Thong jadi dibikin tidak dapat berkutik, hingga mereka itu leluasa mengepung Kwa Tin Ok.

Pek Thong gemar bergurau, ia pun polos, gampang saja dia kena diperdaya, maka meski di sampingnya orang bertempur hebat dan mengacau, dia tidak mengambil mumat, dia terus mengadu diam dengan Leng Tie, si pendeta dari Tibet. Dia berduduk tegar, maksudnya yang utama ialah mengalahkan Leng Tie.

"Loo Boan Tong, aku datang!" kata Oey Yong.

Pek Thong mendengar itu, tetapi dia takut kalah, dia berdiam saja. "Dengan bertaruh begini kamu menyia-nyiakan waktu," kata si nona. "Satu jam lagi juga, belum tentu kamu ada yang menang atau kalah! Mana menarik hati? Begini saja! Aku yang menjadi wasitnya! Aku akan mengitik kamu, mengitiknya sama, lantas aku mau lihat, siapa yang tertawa paling dulu. Siapa yang tertawa, dialah yang kalah!"

Sebenarnya Pek Thong sudah habis sabar, bahwa ia toh tetap berdiam saja, ia penasaran kalau ia sampai kalah, sekarang mendengar usulnya si nona, ia akur. Tapi ia tidak mau mengasih tanda persetujuannya, sebab kalau ia menepi atau bergerak ia kalah.

Oey Yong tidak menanti jawaban, ia mendekati mereka, memernahkan diri di antara mereka, lalu mementang kedua tangannya, dengan berbareng ia menotok ke jalan darah siauw-yauw-hiat mereka, ialah urat tertawa. Ia tahu Pek Thong menang unggul dari Leng Tie, ia tidak berlaku curang. Kesudahan totokannya itu membuatnya heran. Pek Thong memang tetap bercokol, tetapi anehnya, Leng Tie pun berdiam saja, pendeta itu seperti tidak merasakan apa-apa dia seperti tidak menggubrisnya godaan itu.

"Heran pendeta ini," pikir si nona. "Nyata dia lihay ilmunya menutup jalan darahnya. Jikalau aku, tentulah aku sudah tertawa terpingkal-pingkal……" Ia penasaran, maka ia menotok lagi, kali ini dengan lebih keras.

Ciu Pek Thong mengumpulkan tenaga dalamnya, ia menentang totokan Oey Yong. Segera ia menjadi heran. Ia mendapat kenyataan tenaga si nona menjadi besar sekali. Ia melawan terus, bertahan, tetapi ia kewalahan. Akhirnya, ia melepaskan perlawanannya, sambil berlompat bangun, ia tertawa berkakakan. Kemudian ia kata;

“Eh, eh pendeta, kau hebat! Baiklah, Loo Boan Tong menyerah kalah!!"

Oey Yong menyesal. Ia tidak menyangka Pek Thong begitu gampang saja mengaku kalah. Pikirnya, "Kalau tahu begini, aku tidak mengganggu dia, aku hanya mengeraskan totokanku kepada si pendeta." Maka ia lantas menghadapi Leng Tie dan berkata; "Kau sudah menang, nonamu tidak menginginkan jiwamu! Lekas mabur!"

Leng Tie tidak menyahut, dia tetap duduk. "He, siapa kesudian menonton macam tololmu ini?" membentak si nona seraya tangannya menolak. "Kau berpura-pura mampus?"

Oey Yong menolak dengan perlahan, tetapi tubuh si pendeta yang besar dan gemuk itu roboh terguling dengan tiba-tiba, robohnya dengan tangan dan kakinya tidak bergerak, seperti tadi dia bersila. Si nona terkejut, juga Kwee Ceng dan Pek Thong.

"Apakah ini disebabkan ilmunya menutup jalan darah?" tanya Oey Yong. "Apa ilmunya itu belum sempurna, maka ia gagal bertahan dan menjadi kaku terus-terusan dan mati sendirinya. Ia lantas menaruh tangannya di depan hidung pendeta itu, ia merasakan hawa tarikan napas yang biasa, ia menjadi heran mendongkol dan lucu.

"Loo Boan Tong, kau terpedayakan, kau tidak tahu!" ia kata sambil tertawa pada Pek Thong. "Sungguh manusia tolol!"

"Apa kau bilang?" tanya si orang tua, matanya dipentang lebar.

Si nona tertawa. "Kau bebaskan dulu dia dari totokan jalan darah, baru kita bicara lagi!" sahutnya.

Si tua jenaka itu melengak, tetapi ia membungkuk kepada Leng Tie Siangjin tubuh siapa ia lantas raba-¬raba, usap sana dan usap sini, ia juga menepuk¬-nepuk, dengan begitu ia menjadi mendapat kenyataan, si pendeta telah ditotok seluruh jalan darahnya. Ia lantas berjingkrak dan berseru;

"Tidak, tidak, ini tidak masuk hitungan!"

"Tidak masuk hitungan apa?" Oey Yong menegasi.

"Dia ini dipermainkan konconya," kata Loo Boan Tong. "Sesudah dia duduk tadi, konconya totok dia hingga dia jadi duduk tegak tanpa bisa berkutik. Dengan begitu, meski kita bertaruh sampai tiga hari lagi dan tiga malam, dia pasti tidak bakal kalah!" Ia berbalik lagi pada si pendeta, yang rebah melengkung di tanah, ia kata; "Mari, mari! Mari kita mulai mengadu lagi!"

Sementara itu, hati Kwee Ceng menjadi lega. Ia melihat orang tidak kurang suatu apapun, bahkan sehat sekali. Maka ia tidak sudi mendengar ocehan orang lebih lama. Ia ingat kepada gurunya. Dari itu ia lantas lari ke dalam gua.

Pek Thong sendiri lantas menolong Leng Tie Siangjin, yang ditotok bebas, sembari menolong, masih ia mengoceh tak hentinya.

"Mari, mari kita bertaruh pula!"

"Mana guruku?" Oey Yong tanya dingin kepada orang tua berandalan itu. "Kau buang ke mana guruku?"

Ditanya begitu, Pek Thong terkejut hingga dia berteriak, lantas lari ngiprit ke arah gua, hingga hampir saja dia saling tabrak sama Kwee Ceng, yang keluar dari dalam gua sambil mempepayang gurunya.

Tiba di luar anak muda ini berdiri menjublak. Ia melihat Kwa Tin Ok, gurunya yang paling tua itu, melibat kepala dengan sabuk putih, bajunya baju putih juga.

"Suhu, apakah kau sedang berkabung?" akhirnya ia menanya heran. "Jie-suhu dan yang lainnya mana?"

Tin Ok tidak menyahut, hanya ia mengangkat kepalanya memandang langit. Dengan lantas ia mengucurkan air mata. Kwee Ceng heran dan kaget, sampai ia tidak berani lantas mengulangi pertanyaannya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar