Rabu, 10 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 132

"Siapa mengharap pembalasan budimu?" kata si nona tertawa. "Kau telah menolongku, maka ini satu kali, aku menolong kau. Dengan begini, kita menjadi tidak saling berhutang!"

Sembari berkata begitu, Oey Yong pergi ke luar, untuk membantu lagi kepada Kwee Ceng.

Khiu Cian Jin benar-benar lihay, dia dapat bertahan, hanya segera ia menjadi kaget ketika kupingnya mendengar beberapa teriakan beruntun serta suara tubuh tercebur ke air. Sebab Eng Kouw, dalam gusarnya, sudah menghajar semua orang Tiat Ciang Pang yang berada di dalam kendaraan air itu, membikin mereka kecemplung ke air deras. Hingga tidak perduli yang pandai berenang, orang-orang jahat itu jangan harap lolos dari bahaya mampus kelelap!

Khiu Cian Jin digelarkan "Tiat Ciang Sui-sing¬piauw", atau si Tangan besi yang mengambang di muka air itu bukan berarti dia dapat berjalan di muka air seperti mengambang, itu diartikan lihaynya ilmu meringankan tubuh, jangan kata di air deras demikian, sekalipun di air telaga yang tenang, tidak dapat dia jalan ngambang. Maka itu sekarang, hatinya tidak tenang. Ia berkelahi sambil mundur. Kewalahan melayani Kwee Ceng yang dibantu Oey Yong. Untuk mencegah si nona menyerang ia dari belakang, ia berdiri membelakangi air. Secara begini ia mencoba bertahan.

Oey Yong berkelahi sambil memperhatikan lawannya yang tangguh ini. Sering ia melihat jago itu melirik ke kiri kanan. Ia menduga tentu orang mengharap-harap datangnya perahu lain, bantuan untuk pihaknya. Maka ia juga turut memasang mata. Ia pikir, "Biar dia jago, dia bakal dikepung bertiga. Kalau kita gagal, sebenarnya kita ialah kantung-kantung nasi ……"

Eng Kouw di lain pihak telah berhasil menyapu semua orang Tiat Ciang Pang. Ia membiarkan hanya satu orang, si tukang pengemudi. Ia melihat bagaimana dua muda-mudi itu belum bisa berbuat apa-apa terhadap Khiu Cian Jin, maka akhirnya ia menghampiri mereka.

"Nona kecil, kau minggirlah!" ia kata kepada Oey Yong - ia tertawa dingin. "Mari, kasihkan aku yang maju!"

Oey Yong tidak puas sekali. Terang orang memandang rendah. Tapi ia cerdik, ia lantas berpikir. Terus ia mendesak ketua Tiat Ciang Pang itu.

Khiu Cian Jin bisa menduga si nona tentulah mau mundur mentaati kata-kata si nyonya, meski ia mengerti, ia toh tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membela diri, karena si nona mendesak, Kwee Ceng tetap menyerang. Oey Yong bukan sekedar mundur, ketika ia mundur, menarik tangan baju kawannya seraya berkata;

"Biarkan dia maju sendiri!"

Kwee Ceng heran tetapi ia mundur seraya membela diri. Eng Kouw tidak memperdulikan sikap si nona, ia hanya menghadapi Khiu Cian Jin, dengan tertawa dingin, dia berkata;

"Khiu Pangcu, di dunia kangouw, namamu terdengar cukup nyaring, maka aku heran perbuatanmu yang hina dina! Selagi aku tidur di rumah penginapan, tengah aku tidak tahu apa-¬apa, mengapa kau menggunakan hio pulas dan dengan caramu itu kau membekuk aku? Bagus perbuatanmu itu ya?"

"Kau telah dibekuk oleh orang sebawahanku, buat apa kau masih banyak bacot?" Khiu Cian Jin membalas. "Jikalau aku yang turun tangan sendiri, hanya dengan sepasang tangan kosongku, sepuluh Sin Soan Cu pun dapat aku membekuknya!"

Eng Kouw tetap bersikap dingin. "Di dalam hal apa aku bersalah dari kamu kaum Tiat Ciang Pang?" ia tanya.

"Dua binatang cilik ini lancang memasuki Tiat Ciang Hong, tempat kami yang suci," kata Khiu Cian Jin, "Kenapa kau menerima mereka di rawa lumpur hitam? Dengan baik-baik aku minta mereka diserahkan padaku, kenapa kau melindungi mereka dengan mendustaiku? Apakah kau sangka Khiu Cian Jin boleh dibuat permainan?"

"Oh, kiranya gara-gara dua binatang cilik ini!" katanya. "Kalau kau mempunyai kepandaian, pergi punya banyak waktu akan campur tahu segala urusan tetek bengek begini!"

Lauw Kui-hui lantas mengundurkan diri, ia duduk bersila di lantai perahu, sikapnya sangat tenang. Ia maju jadi si penonton harimau bertarung, menyaksikan orang roboh dua-duanya!

Sikap nyonya ini mengherankan Kwee Ceng dan Oey Yong dan Khiu Cian Jin. Itulah mereka tidak sangka.

Eng Kouw turun gunung dengan pikiran kacau. Ia mendongkol dan berduka, tidak dapat ia gampang-¬gampang melampiaskan itu. Ia mendongkol sebab gagal membunuh It Teng Taysu. Tidak tega ia melihat sikap tenang dari pendeta itu. Ia bersedih kalau membayangkan kematian anaknya yang malang. Ketika ia mondok di penginapan, ia berlaku alpa, ia kena diasapi orang Tiat Ciang Pang dan kena ditangkap karenanya. Dalam keadaan biasa, tidak mungkin ia kena dibekuk secara demikian. Ia juga tidak menyangka, dalam bahaya, ditolong Oey Yong. Ia tetap mendongkol, maka itu, ia membiarkan muda-mudi itu dan Khiu Cian Jim mampus bersama……

Oey Yong berpikir cepat: "Baik, kami akan melayani dulu Khiu Cian Jin, habis itu baru kami nanti mengasih lihat sesuatu padamu!" Ia lantas mengedipkan mata kepada Kwee Ceng, terus menerjang lagi Khiu Cian Jin. Aksinya ini segera ditiru si anak muda. Begitulah bertiga mereka bergebrak lagi.

Eng Kouw menonton, dengan asyik. Ia melihat, meski ketua Tiat Ciang Pang itu lihay, dia sukar bisa cepat-cepat merebut kemenangan. Ia bahkan melihat ketua itu mundur. Ia percaya, jago dari Tiat Ciang San ini akhirnya bakal mampus atau terluka……

Kwee Ceng pun melihat sikap lawannya itu, ia menduga orang lagi mencari akal. Dilain pihak ia berkhawatir untuk Oey Yong, yang baru sembuh dan tidak selayaknya mengeluarkan banyak tenaga. Maka akhirnya ia kata;

"Yong-jie, sebaiknya kau beristirahat sebentar kemudian maju lagi!"

Nona itu menurut. "Baik," sahutnya seraya ia mundur. Ia tertawa.

Eng Kouw mengiri menyaksikan eratnya hubungan si pemuda dengan si pemudi, terutama perhatian si pemuda itu, hingga ia berpikir: "Dalam hidupku, kapan pernah ada orang berbuat begini macam terhadapku?" tiba-tiba dari mengiri, ia menjadi cemburu, hatinya menjadi panas. Mendadak ia berlompat bangun dan berkata dengan nyaring:

"Dua lawan satu, apa itu namanya? Mari, kita berempat menjadi dua rombongan, satu!" Ia lantas mengeluarkan dua batang bambu, tanpa menanti jawaban orang, Ia berlompat menyerang nona Oey.

Oey Yong menjadi mendongkol sekali. "Perempuan gila yang lenyap hatinya!" ia mendamprat. "Tidak heran Loo Boan Tong tidak mencintaimu!"




Tapi ini cuma menambah kemurkaan Eng Kouw, yang menyerang makin hebat. Oey Yong menjadi repot. Ia boleh lihay ilmunya Tah Kauw Pang-hoat tetapi ia kalah tenaga dalam, ia juga belum pulih kesehatannya, maka terpaksa ia menutup diri. Lebih sulit lagi, perahu itu bergerak keras tak hentinya disebabkan derasnya arus.

Kwee Ceng sendiri tetap melayani Khiu Cian Jin, ia tidak bisa merebut kemenangan tetapi ia pun tidak kalah.

Ketua Tiat Ciang Pang menjadi heran tidak ¬karuan Eng Kouw membantu padanya. Tentu saja, perubahan sikap si nyonya membuatnya girang. Dengan begitu dia jadi seperti tambah semangat, terus ia menyerang hebat. Ketika Kwee Ceng menyerang dengan jurus "Melihat naga di sawah," ia berkelit, selanjutnya segera ia membalas menyerang, dengan dua tangannya berbareng: Tangan kanan dengan kejennya tangan kiri tangan kosong.

Kwee Ceng tidak takut, ia menangkis dengan dua tangan juga. Maka tangan mereka bentrok. Lantas mereka sama-sama menyerukan. "Hm!" dan tubuh mereka mundur masing-masing tiga tindak. Khiu Cian Jin menahan diri dengan memegang tiang kemudi, dan kaki kiri Kwee Ceng terserimpat dadung, hampir dia terguling. Guna menjaga diri agar tidak diserbu, ia meneruskan lompat jumpalitan.

Khiu Cian Jin menganggap inilah saatnya yang baik, dia tertawa nyaring dan lama, lantas dia maju, guna menyerang.

Eng Kouw tengah mendesak Oey Yong sampai si nona bernapas sengal-sengal dan peluhnya mengucur tatkala dia mendengar tertawanya ketua Tiat Ciang Pang, dia kaget hingga mukanya beruhah, hingga lupa dia menarik pulang senjatanya yang kiri. Oey Yong melihat lowongan, lantas menyerang ke dada, menotok jalan darah sin-kie. Eng Kouw tidak menghiraukan itu, dengan tubuh terhuyung, dia menubruk ke arah Khiu Cian Jin sambil mulutnya berseru:

"Kiranya kau!"

Ketua Tiat Ciang Pang terkejut, apapula ia melihat muka bengis dari nyonya itu yang mulutnya dipentang, kedua tangannya dibuka. Si nyonya seperti mau menubruk buat menggigit atau menggerogoti orang.

"Kau mau apa?" berseru Cian Jin dalam herannya. Ia juga lompat ke samping.

Eng Kouw gagal sama tubrukannya yang pertama itu, dengan mulut bungkam, ia menubruk lagi. Ia seperti kalap. Kali ini ia mengajukan kepalanya, untuk menyeruduk.

Cian Jin berkhawatir. Ia merasa, celaka kalau ia kena dipeluk perempuan yang telah seperti kalap itu. Ia juga berkhawatir melihat Kwee Ceng merangsak. Maka untuk menolong diri, kembali ia berlompat minggir.

Oey Yong segera menarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berdiam di satu pinggiran. Dari situ mereka mengawasi Eng Kouw. Mereka pun heran dan berkhawatir. Nyonya itu kalap seperti orang gila. Terus dia main tubruk, mulutnya senantiasa berseru, giginya dipertontonkan. Terang dia ingin memeluk Cian Jin untuk digerogoti……

Jago Tiat Ciang Pang itu menjadi kewalahan, ia selalu main berkelit. Beberapa kali tangannya kena terjambret cakar, hingga tangannya berdarah¬darah. Dalam khawatirnya, beberapa kali ia berseru;

"Pembalasan, pembalasan! Apakah aku mesti terbinasa di tangan perempuan gila ini?!"

Eng Kouw mengulangi tubrukannya, sampai Khiu Cian Jin berada di dekat si tukang kemudi. Sekarang si nyonya matanya menjadi merah. Rupanya ia tahu, lawannya sangat lihay, sukar ia berhasil menubruk. Mendadak ia menyerang si tukang kemudi, hingga orang menjerit dan terjungkal ke air, menyusul mana, ia menendang tiang kemudi sampai tiang itu patah! Segera karena tak terkendalikan, perahu itu goncang keras, hanyutnya kacau.

Oey Yong kaget hingga mengeluh. Kalapnya Eng Kouw bisa membikin mereka kecebur air, mungkin bakal mati…… Ia tidak tahu kenapa nyonya itu menjadi kalap mendadak. Karena itu ia mainkan mulutnya, guna memanggil burungnya.

Justru itu perahu melintang, segera membentur wadas, nyaring suaranya. Sebagai akibatnya, kepala peranu bocor.

Khiu Cian Jin kaget, ia menginsyafi bahaya, maka ia pun menjadi nekat, tetapi ia bukan menempur si nyonya kalap, ia hanya mengenjot tubuhnya, untuk berlompat ke darat. Ia tidak sampai di tepian, ia kecebur, tenggelam ke dalam air. Tapi ia sadar, ia mencoba memegangi batu wadas, dengan berpegangan terus, ia melapai ke pinggiran. Ia telah kena menenggak air, toh ia tiba juga di pinggiran di mana ia merayap naik ke darat, lalu dengan pakaian kuyup ia duduk beristirahat, matanya mengawasi ke perahu yang hanyut jauh, hingga nampak seperti satu titik hitam. Ia bergidik kalau ingat kalapnya Eng Kouw.

"Binatang ke mana kau hendak lari?" demikian si nyonya mendamprat melihat musuhnya berlompat ke air. Ia juga ingin berlompat atau sang air lekas sekali membikin perahu terpisah jauh dari ketua Tiat Ciang Pang itu.

Kwee Ceng menaruh belas kasihan, ia menjambak punggung si nyonya, untuk mencegah dia terjun, tetapi nyonya itu menyampok ke belakang. Maka "Plok!" muka si anak muda kena dihajar, sampai ia merasakan pipinya panas dan sakit, ia berdiri menjublak.

Oey Yong pun heran, tetapi burungnya sudah datang. maka ia memanggil: "Engko Ceng, mari! Jangan layani perempuan gila itu! Mari kita pergi!"

Kwee Ceng menoleh kepada si nona, kemudian ia berpaling pula kepada Eng Kouw. Ketika itu air sudah merendam kaki mereka. Mendadak nyonya itu menekap mukanya dan menangis menggerung-¬gerung.

"Anak. anak!" dia sesambatan.

"Lekas, lekas!" Oey Yong memanggil engko Cengnya.

Tapi Kwee Ceng bersangsi. Pemuda ini ingat pesan It Teng Taysu untuk menjaga dan melindungi Eng Kouw. Maka ia teriaki kawannya itu:

"Yong-jie lekas kau naik burung dan mendarat! Sebentar kau suruh dia terbang pula ke mari menyambut aku!"

"Sudah tidak keburu!" Oey Yong kata, hatinya cemas.

"Lekas kau pergi!" Kwee Ceng mendesak. "Kita tidak dapat menyia-nyiakan pesan It Teng Taysu!"

Mendengar penyahutan si anak muda, Oey Yong turut bersangsi. Ia pun ingat pesan si pendeta dan ingat pertolongan orang kepadanya., Tengah ia berdiam, mendadak tubuhnya bergoyang keras dan kupingnya mendengar suara nyaring. Nyata perahu mereka telah membentur batu besar, hingga air segera menerobos masuk ke dalam perahu, badan perahu juga melesak ke dalam air.

"Lekas lompat ke wadas!" Oey Yong berteriak.

Kwee Ceng pun mengerti bahaya, ia mengangguk. Ia segera menghampiri Eng Kouw untuk memegang padanya. Kali ini si nyonya berdiam bagaikan orang linglung, dipegangi Kwee Ceng, dia tidak meronta, cuma matanya bengong mengawasi permukaan air.

"Mari!" berseru Kwee Ceng, yang dengan tangan kanannya mengempit tubuh si nyonya dan berlompat. Oey Yong turut berlompat.

Mereka berhasil menginjak batu wadas yang besar, hanya pakaian mereka telah basah kecipratan air. Ketika mereka menoleh, mendapatkan perahu mereka sudah karam di pinggir wadas.

Oey Yong berdiri diam, melihat air, ia seperti kabur matanya. Itulah pengalaman sangat hebat untuknya, meskipun ia sebenarnya pandai berenang.

Burung rajawali terbang berputaran di atasan mereka, burung itu tidak mau turun menghampiri meski berulang-ulang Kwee Ceng memanggil. Terang binatang itu takut air.

Kemudian Oey Yong memandang juga kelilingan. Ia melihat sebuah pohon yangliu di tepian sebelah kiri, terpisahnya dari mereka kira-kira sepuluh tombak. Ia lantas dapat akal.

"Engko Ceng, kau pegang tanganku," ia kata.

Kwee Ceng tidak tahu orang hendak berbuat apa, ia pegang tangan kiri si nona. Mendadak Oey Yong terjun ke air, terus dia selulup.

Pemuda itu kaget, ia lekas-lekas membungkuk dengan tangannya diulur panjang-panjang, sedang kedua kakinya dicantel di batu wadas. Dengan tangan kanan ia terus memegangi tangan si nona.

Oey Yong selulup untuk mengambil dadung layar, ia bawa kembali ke wadas. Ia menarik dadung hingga panjang duapuluh tombak lebih, ia mengutungi itu, kemudian memanggil burungnya, disuruh menclok di pundak kiri dan kanan.

Kwee Ceng membantu memegangi burung itu, yang sudah besar dan berat tubuhnya, ia khawatir si nona tak kuat memundaki kedua binatang piaraannya itu.

Oey Yong mengikat dadung ke kaki burung yang jantan, ia menunjuk ke pohon yangliu, untuk menitahkan burungnya terbang ke pohon itu. Burung itu mengerti, dia terbang ke pohon, setelah terbang memutari, ia terbang balik.

"Eh, aku menyuruh kau melibat dadung ini pada pohon!" kata Oey Yong.

Burung itu tidak dapat dikasih mengerti, maka nona ini masgul. "Hayo coba!" kata Oey Yong kemudian. Ia memberi contoh.

Burung rajawali itu terbang lagi, ia mesti terbang hingga delapan kali, baru dadung dapat dilibat di pohon. Baru sekarang si nona girang. Kwee Ceng pun girang, sebab ia mengerti kawannya itu. Ujung yang lain dari dadung lantas diikat di wadas.

"Nah, Yong-jie, kau mendarat lebih dulu!" kata si pemuda selesai mengikat.

"Tidak," menyahut nona itu. "Aku akan menanti kau. Biar dia naik lebih dulu."

Eng Kouw mengawasi muda-mudi itu, ia terus menutup mulutnya. Tapi sekarang ia sudah tenang, ia mengerti maksud orang, maka tanpa bilang apapun, ia berpegangan pada dadung, untuk melapai naik, hingga di lain saat telah tiba di darat.

"Di masa aku kecil, inilah permainanku yang menarik hati," kata Oey Yong. "Kwee Toaya, aku hendak memberikan pertunjukan, harap kau mengasih hadiah biar banyak!"

Setelah berkata begitu, si nona menyambar dadung, untuk berdiri di atas dadung, habis itu, dia berlari-lari menyeberang melintasi air deras itu, tiba di pohon, untuk turun ke tanah!

Kwee Ceng belum pernah meyakinkan ilmu jalan di atas tambang, ia tidak berani mencoba-coba, khawatir terpeleset dan jatuh ke air, dari itu ia mencontoh Eng Kouw, ia berpegangan pada dadung itu dan melapai. Sambil bergelantungan, ia mengawasi ke darat. Beberapa tombak lagi ia akan tiba di pohon, mendadak mendengar seruan Oey Yong:

"Eh, kau hendak pergi ke mana?" Ia terkejut. Itulah seruan kaget.

Seruan itu disebabkan Eng Kouw berjalan seorang diri, meninggalkan mereka berdua. Kwee Ceng khawatir nyonya itu belum sadar betul, itu berbahaya. Maka ia lekas-lekas melapai, belum sampai di cabang pohon, ia sudah lompat turun.

"Lihat, dia pergi seorang diri!" kata Oey Yong, tangannya menunjuk.

Kwee Ceng mengawasi, hingga ia menampak Eng Kouw berlari-lari di tanah pegunungan, yang jalanannya banyak batunya dan sukar. Orang sudah pergi jauh, sulit untuk menyandaknya.

"Dia pergi seorang diri, pikiran dia was-was, ini berbahaya," kata Kwee Ceng. "Mari kita susul." Ia berkhawatir, begitu juga Oey Yong.

"Mari!" menyahut si nona setuju. Hanya ketika ia mengangkat kaki, untuk berlompat, mendadak ia roboh sendiri, jatuhnya duduk, kepalanya digoyang beberapa kali.

Kwee Ceng mengerti nona itu lemas sebab barusan dia memakai terlalu banyak tenaga.

"Kau duduk di sini," ia kata. "Nanti aku yang menyusul sendiri. Aku akan segera kembali."

Pemuda itu lari keras, tapi ketika ia tiba di tikungan ketiga, ia bingung. Di situ Eng Kouw tak terlihat, setahu dia mengambil jalanan yang mana. Tempat itu sunyi, rumputnya tinggi, hari pun sudah mendekati magrib. Oleh karena mengkhawatirkan Oey Yong terpaksa ia lari balik.

Kesudahannya, satu malam mereka berdiam di tepi kali itu dengan menahan lapar. Pagi-pagi mereka sudah berjalan mengikuti tepian di mana ada sebuah jalanan kecil. Mereka mau mencari kuda dan burung api mereka, guna bersama-sama mencari jalan besar. Sesudah jalan setengah harian, mereka dapat mencari sebuah rumah makan. Lantas mereka singgah. Mereka membeli tiga ekor ayam, yang seekor dimatangi, untuk dimakan berdua, yang dua ekor untuk sepasang rajawali. Dua ekor burung itu makan sambil menclok di atas pohon kayu besar.

Burung yang jantan baru makan separuh ayam ketika dia bersuara nyaring dan panjang, lantas makanannya dilemparkan, terus dia terbang ke utara. Yang betina pun terbang tinggi, setelah dia juga mengasih dengar suaranya, dia menyusul pula ke utara.

"Kelihatannya burung kita bergusar," kata Kwee Ceng. "Mereka melihat apakah?"

"Marilah kita lihat!" kata Oey Yong, yang terus melemparkan sepotong perak.

Lantas mereka lari ke jalan besar, di sana mereka melihat burung terbang berputaran, lalu menukik ke bawah, lalu naik lagi, seterusnya terbang berputaran lagi.

"Mereka bertemu musuh!" kata Kwee Ceng. "Mari!"

Pemuda itu lantas lari, si nona mengikuti. Kira-kira tiga lie, mereka menampak di depan sekumpulan rumah seperti dusun yang ramai, di atas itu kedua burung mereka masih terbang berputaran, agaknya mereka kehilangan sasaran yang mereka cari. Sampai di luar dusun, Oey Yong memanggil turun kedua burungnya, akan tetapi burung itu tetap berputaran, masih saja mereka mencari sesuatu.

"Entah dengan siapa mereka bermusuhan hebat……" kata Kwee Ceng heran.

Lewat sekian lama lagi barulah kedua burung itu turun. Lantas ternyata kaki kiri yang jantan berdarah, di situ ada bekas bacokan golok, syukur kakinya tidak tertebas kutung. Pantas dia agaknya mendongkol.

Muda-mudi itu kaget. Sebelah kaki burung yang jantan mencengkeram barang hitam, setelah diperiksa, itulah kulit kepala orang, yang masih ada rambutnya, yang masih ada darahnya. Sembari memeriksa kulit kepala orang, Kwee Ceng berpikir.

"Burung ini dipelihara semenjak kecil, dia baik sekali," katanya. "Aku tahu mereka belum pernah melukai orang tanpa sebab. Kenapa sekarang mereka berkelahi sama orang?"

"Mesti ada yang aneh," kata Oey Yong. "Mari kita cari orang yang kepalanya kehilangan kulitnya ini……"

Maka mereka mampir di dusun itu, untuk bermalam. Tapi dusun besar, banyak rumah dan penduduknya. Mereka membuat penyelidikan sampai sore tanpa ada hasil. Besoknya pagi, mereka mendapatkan kedua burung membawa pulang kuda mereka. Hiat-niauw tidak ada beserta.

"Mari kita cari," kata Oey Yong, yang mengajak kembali. Ia sangat sayang burungnya itu.

Tapi Kwee Ceng berkhawatir untuk Ang Cit Kong, yang terluka dan entah ada di mana, sedang hari Pee-gwee Tiong Ciu bakal lekas datang, mereka mesti menghadiri pibu di Yan Ie Lauw di Kee-hin. Ia kata, perlu mereka lekas pergi ke timur.

Oey Yong dapat dikasih mengerti, ia suka turut. Demikian dengan naik kuda merah, mereka berangkat. Mereka melarikan kuda keras dan burung mereka mengiringi dari udara. Oey Yong senang sekali, di sepanjang jalan banyak omong dan tertawa, gemar ia bergurau. Ia jauh lebih gembira daripada yang sudah-sudah. Bahkan di waktu singgah, sampai jauh malam, ia masih tidak mau tidur, sedang kawannya, yang khawatir terlalu letih, menganjurkan ia beristirahat. Ada kalanya, sampai jauh malam, sambil bersila di atas pembaringan, ada saja yang ia omongi sama si anak muda.

Pada suatu hari tibalah mereka di tempat perbatasan sebelah selatan antara dua propinsi Ciat¬kang dan Kang-souw, di sini mereka mengasih kuda lari satu harian hingga singgah di sebuah penginapan. Oey Yong pinjam sebuah rantang rotan dari pelayan, hendak ia berbelanja di pasar.

"Kau sudah letih, kita dahar sembarangan saja di sini," Kwee Ceng mencegah.

"Aku hendak masak untukmu," berkata si nona. "Apakah kau tidak sudi makan masakanku?"

"Tentu aku suka hanya aku menghendaki kau lebih banyak beristirahat," kata si anak muda. "Nanti, kalau kau sudah sehat betul, masih ada waktu untuk kau masak untukku."

"Sampai aku sudah sehat betul ……" mengulangi si nona. "Waktu itu……" Ia telah bertindak di ambang pintu, baru sebelah kakinya, ia berhenti.

Kwee Ceng tidak tahu orang bilang apa, tetapi ia menurunkannya dari lengan si nona. Ia berkata;

"Ya, sampai kita sudah dapat mencari suhu, baru kau masak, nanti kita dahar bersama-sama……"

Oey Yong berdiam sekian lama, lalu ia kembali ke dalam, untuk merebahkan diri di atas pembaringan. Ia terus berdiam, rupanya ia kepulasan…… Kemudian, datang saatnya bersantap. Pelayan telah menyajikan makanan. Si pemuda membangunkan si pemudi, untuk diajak berdahar. Nona itu bangun seraya berlompat turun. Ia tertawa.

"Engko Ceng, kita tidak dahar ini," ia kata. "Mari turut aku!"

Pemuda itu menurut, ia mengikuti. Mereka pergi ke pasar. Oey Yong pergi ke sebuah rumah besar yang temboknya putih dan pintunya hitam. Dia mutar ke belakang. Di sini dia lompat naik ke tembok, ke pekarangan dalam. Si pemuda tidak mengerti tetapi ia mengikuti terus.

Oey Yong berjalan hingga ke ruang depan di mana ada api terang-terang, sebab tuan rumah tengah membikin pesta.

"Semua minggir!" berkata si nona sembari tertawa. Ia maju ke depan.

Semua orang di medan pesta itu heran. Ada tigapuluh orang lebih yang terbagi atas tiga meja. Mereka itu saling mengawasi. Mereka heran mendapat orang satu nona muda dan cantik.

Oey Yong menghampiri satu tetamu yang gemuk, ia menjambak dan mengangkat tubuh orang, kakinya menggaet, maka robohlah si terokmok itu.

"Apa kamu masih tidak mau menyingkir?" ia tanya, sambil tertawa.

Orang menjadi heran berbareng takut, mereka itu lantas jadi kacau.

"Mana orang? Mana orang?" tuan rumah berteriak teriak. Dia heran, kaget dan berkhawatir dan mendongkol juga.

Segera terdengar suara berisik, di situ muncul dua guru silat beserta belasan pengikutnya. Mereka itu membawa golok dan toya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar