Selasa, 09 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 131

Ketika itu Jenderal Han sudah berusia lanjut dan bersama istrinya, Nio Hong Giok, ia tinggal menyendiri di tepi See Ouw. Dia telah terbangun semangatnya menyaksikan kitab Gak Hui itu, hingga ia menghunus pedang dan membacok meja. Ia menghela napas. Untuk memperingati sahabat kekalnya itu, Gak Hui, ia lantas mengumpulkan pelbagai karyanya Gak Bu Bok, dijadikan sebuah buku, kemudian dia kasihkan pada Siangkoan Kiam Lam, yang dinasehati untuk mencoba mewujudkan cita-cita Gak Hui mengusir bangsa asing, guna membangun pula negara sendiri.

Kiam Lam menerima semua itu. Ia juga bisa berpikir, maka ia ingat, tidak mungkin Gak Hui menulis kitab perangnya itu untuk dibawa ke kubur, tentulah itu untuk diwariskan kepada seseorang, hanya saking kerasnya penjagaan Cin Kwee, kitab tersebut tak sempat disampaikan. Pula mungkin, karena sesuatu sebab, orang yang harus menerima kitab tidak keburu sampai di kota raja. Kalau ini benar, ada kemungkinan orang itu datang ke istana dan menubruk tempat kosong disebabkan kitab itu sudah tercuri. Karena ini, ia lantas membikin petanya gunung Tiat Ciang San berikut keterangan singkat bunyinya; "Kitab warisan Gak Bu Bok adanya di Tiat Ciang San, di puncak Tiong Cie Hong, di lereng yang kedua."

Jenderal Han khawatir orang tidak mengerti petunjuk singkat itu, ia menambahkan dengan sayirnya Gak Bu Bok sendiri. Jenderal Han juga percaya bahwa orang yang bakal menerima warisan itu, jikalau bukan murid Gak Bu Bok sendiri, tentulah salah seorang bawahannya.

Ketika Siangkoan Kiam Lam telah pulang ke Tiat Ciang San, ia mengumpulkan pencinta negara, ia mengajak mereka bergerak. Tapi pemerintah Song jeri kepada negara Kim, bukan saja gerakan mulia itu tidak ditunjang bahkan ditindas, dalam hal mana, bangsa Kim pun membantu. Maka gagallah usaha Siangkoan Kiam Lam, ia mati di atas puncak Tiat Ciang Hong karena luka-lukanya. Bukunya itu bagian belakang, tulisannya tidak karuan, mungkin ditulis sesudah dia terluka. Yang paling hebat ialah setelah belasan lembarnya dirobek-robek Cin Lam Kim.

"Tidak disangka Siangkoan Pangcu seorang pencinta negara," kata Kwee Ceng masgul, hingga ia menghela napas. "Sampai pada ajalnya, dia masih memegang erat- erat buku ini. Aku tadinya menduga dia sama dengan Khiu Cian Jin si pengkhianat, mulanya aku memandang rendah kepadanya. Kalau tahu begini, tentulah aku sudah menghunjuk hormatku kepada tulang-belulangnya itu."

Tidak lama dari itu, cuaca mulai gelap, maka tukang perahu meminggirkan perahu dan menambatkannya, hendak ia masak nasi dan menyembelih ayam, untuk mempersiapkan makanan.

Oey Yong dan Kwee Ceng khawatir nanti diracuni, dengan alasan si tukang perahu tidak resik, mereka membawa daging ayam dan sayurannya ke darat, ke rumah seorang desa, untuk tolong dimatangi, untuk mereka bersantap di sana.

Tukang perahu mendongkol, tetapi karena dia gagu, tidak bisa bilang apa-apa kecuali nampak sinar mata dan romannya yang muram. Habis bersantap, sepasang muda-mudi itu masih berangin di bawah pohon di depan rumah si orang kampung.

"Entah apa yang ditulis dalam beberapa lembar halaman yang dirobek enci Cin itu," berkata si nona. "Di dalam dunia ini cuma Khiu Cian Lie dan Yo Kang yang pernah membaca itu tetapi mereka dua-duanya telah mati."

"Khiu Cian Lie cuma mengambil buku ini, tidak bukunya Gak Bu Bok, kenapakah?" tanya Kwee Ceng

"Mungkin itu disebabkan dia mendapat dengar suara kita. Dan baru ambil jilid ini, dia tidak berani mengambil jilid lainnya. Mungkin beberapa lembar yang tersobek itu penting isinya. Bukankah si tua bangka sangat memperhatikan itu?"

"Hanya heran tentang Siangkoan Pangcu itu. Dia lari ke puncak. Kenapa tentara negeri tidak mengejarnya terus?"

"Ini pun aneh. Rupanya cuma setelah melihat isi sobekan baru duduknya hal akan dapat dimengerti……" kata si nona, yang mendadak tertawa. "Kalau enci Cin tidak merobeknya dan kejadian dia pergi kepada Wanyen Lieh, waktu itu pasti bakal ada pertunjukan yang bagus sekali……" Ia berhenti pula, atau kembali ia berkata, berseru; "Bagus!"

"Apakah itu?" Kwee Ceng menanya.

"Kita menyerahkan buku ini kepada Wanyen Lieh," menerangkan si nona. "Dengan begitu, dia pasti akan mengirim orang ke Tiat Ciang San mencari buku warisan Gak Bu Bok itu. Bukankah Tiong Cie Hong tempat keramat Tiat Ciang Pang? Mana Khiu Cian Jin suka membiarkan tempat sucinya diganggu? Maka pasti sekali mereka bakal saling bunuh di antara kawan sendiri! Tidakkah ini bagus?"

"Ya, itu benar bagus!" Kwee Ceng kata sambil bertepuk tangan.

"Aku tidak sangka sekali Suko Kiok Leng Hong telah mendirikan jasa besar sekali!" kata Oey Yong yang pun girang.

Kwee Ceng tidak mengerti. "Bagaimana?" ia tanya. "Kitab Gak Bu Bok disimpan di gua tepi Cui Han Tong di dalam istana," berkata si nona. "Karena Siangkoan Kiam Lam telah mencurinya dari sana, tentu gambarnya telah ditaruh di tempat buku itu. Benar bukan?"

"Benar."

"Kiok Suko telah diusir dari Tho Hoa To tetapi ia tidak melupakan budi gurunya. Ia tahu ayah gemar akan tulisan, gambar dan barang lainnya asal barang kuno, ia rupanya ketahui semua itu ada terdapat banyak di dalam istana, maka tanpa menghiraukan bahaya, ia nyelundup ke istana dan berhasil mencuri banyak gambar, tulisan dan lainnya……"

"Benar, benar!" Kwee Ceng bilang. "Sukomu itu telah mencuri semua itu berikut gambar peta rahasia, lalu semuanya dia simpan di kamar rahasia di Gu¬kee-cun, untuk dia nanti menghadiahkan kepada ayahmu, maka apa lacur, dia kena disusul rombongan siewi dan kena dibinasakan. Maka itu ketika Wanyen Lieh pergi ke istana, ia kebogehan, sudah buku Gak Hui tidak ada, petanya juga hilang. Ah, kalau tahu begitu, selama di gua itu tidak usah kita mati-matian merintangi mereka, hingga aku tidak nanti sampai dilukai si bisa bangkotan dan kau tidak usah bersusah hati tujuh hari tujuh malam ……"

"Soalnya tidak dapat dipandang dari sudutmu itu," membantah si nona. "Jikalau kau tidak beristirahat di kamar rahasia, mana kita bisa dapatkan gambar peta itu? Juga mana……" Ia berdiam. Ia menjadi ingat pertemuannya sama putri Gochin Baki. Maka ia jadi masgul. Selang sesaat, ia kata pula: "Entah bagaimana dengan ayahku sekarang……?" Ia memandang rembulan sisir. "Segera bakal tiba Pee-gwee Tiong Ciu," katanya. "Setelah pertandingan di Yan Ie Lauw di Kee-hin, apakah kau bakal kembali ke gurun pasir di Mongolia?"

"Tidak. Lebih dulu aku membunuh Wanyen Lieh, guna membalaskan sakit hati ayahku dan paman Yo."

"Setelah itu?" tanya si nona, matanya tetap mengawasi si Putri Malam.

"Masih banyak urusan lainnya! Suhu mesti diobati dulu hingga sembuh. Pula Ciu Toako mesti dicari, untuk menyuruh dia pergi ke rawa lumpur hitam kepada Eng Kouw ……"




"Setelah semua itu beres, kau toh akhirnya kembali ke Mongolia?"

Kwee Ceng tidak bisa menyahut, tak tahu ia mesti membilang apa.

"Ah, aku tolol!" kata si nona tiba-tiba. "Perlu apa aku memikirkan semua itu? Justru ada kesempatan baik, satu hari lebih lama kita berkumpul, satu hari terlebih baik! Mari kita kembali ke perahu, kita permainkan si gagu palsu itu……"

Kwee Ceng menurut. Keduanya berjalan pulang. Tiba di perahu, tukang perahu dan dua pembantunya sudah tidur.

"Pergi kau tidur, aku nanti berjaga-jaga," Kwee Ceng membisiki si nona.

Oey Yong merasakan kesehatannya belum pulih semua, maka itu ia letakkan kepalanya di paha si anak muda. Dengan perlahan ia pulas.

Kwee Ceng tidak mau membikin tukang perahu curiga, meskipun ia tidak menginginkan, ia terpaksa merebahkan diri, hanya diam-diam ia menghapal ajaran It Teng Taysu bagian dari Kiu Im Cin-keng yang memakai bahasa Sansekerta. Ia menghapal terus sekitar satu jam, akhirnya ia menjadi gembira. Tidak saja ia tidak merasa kantuk, ia bahkan menjadi segar. Hanya tengah ia bergirang itu, ia mendengar Oey Yong mengigau perlahan:

"Engko Ceng, jangan kau menikah sama putri Mongolia itu, aku sendiri yang hendak menikah denganmu." Ia melengak. Kembali ia mendengar suara si nona: "Bukan bukan, aku salah omong. Aku tidak meminta apa-apa dari kau, aku tahu kau suka aku, itu saja sudah cukup."

"Yong-jie, Yong-jie," kata si anak muda terdengar.

Oey Yong tidak menyahut, hanya napasnya perlahan. Pemuda itu bingung. Ia mencintai si nona, ia merasa kasihan. Ia mengawasi wajah orang yang tidur nyenyak di pahanya. Paras si nona itu putih tersinarkan cahaya rembulan, karena kesehatannya belum pulih, kulit mukanya belum kembali bersemu dadu. Ia mengawasi dengan menjublak.

"Dia tentulah bermimpi dan dalam mimpinya ia mengingat peruntungan kita berdua," pikir anak muda ini. "Aku tidak boleh melihat dia dari sikapnya sehari-¬hari saja, yang bergembira, seperti orang tidak pernah berduka, sebenarnya di dalam hatinya, ia masgul. Ah, akulah yang membikin dia mengalami kesulitan ini. Coba hari itu kita tidak bertemu di Thio-kee-kauw, bukankah itu baik untuknya?"

Selagi yang satu bermimpi atau mengigau dan yang lain mengawasinya dengan pikiran bimbang, tiba-¬tiba di permukaan air terdengar suara pengayuh bekerja, lalu terlihat sebuah perahu mendatangi dari sebelah hulu. Kwee Ceng menjadi heran.

"Air sungai ini sangat deras dan berbahaya, siapa begitu bernyali besar berani menjalankan perahu malam-malam?" pikirnya. Karena ini, ingin ia melihat. Ketika ia hendak mengangkat kepala, mendadak ia mengurungkan. Tiba-tiba ia mendengar tiga kali tepukan tangan perlahan dari perahunya. Diwaktu sunyi seperti itu, suara tepukan tangan itu nyata terdengarnya. Setelah itu terdengar suara layar dibenahkan.

Tidak usah lama Kwee Ceng menanti akan mendapatkan perahu itu di pinggirkan dan dikasih nempel sama perahunya, maka dengan perlahan ia menepuk-nepuk tubuh Oey Yong untuk mengasih bangun. Hampir di waktu itu, tubuh perahu bergoyang sedikit.

Pemuda itu segera mengintai. Ia masih sempat melihat satu orang, dalam rupa bayangan, berlompat ke perahu yang baru sampai itu. Orang itu ialah si tukang perahu yang berlagak gagu.

"Kau tunggu di sini, aku mau pergi melihat," Kwee Ceng berbisik pada kawannya.

Oey Yong yang telah bangun, mengangguk. Dengan cepat Kwee Ceng pergi ke kepala perahu. Ia melihat perahu tetangga itu masih bergoyang, ia lantas lompat ke situ. Dengan membarengi bergoyangnya perahu ia membikin penghuni perahu tidak curiga. Dengan lantas ia mengintai. Maka terlihat olehnya tiga orang dengan pakaian hitam semua, seragamnya kaum Tiat Ciang Pang. Pula ia mengenali satu di antaranya, yang tubuhnya tinggi besar, ialah Kiauw Thay yang pernah dipecundangi Oey Yong.

Pemuda ini sangat gesit, maka ia seperti mendahului si tukang perahu. Sesudah mengintai, baru tukang perahu itu tiba di dalam gubuk. Segera dia ditanya Kiauw Thay:

“Apa kedua binatang cilik itu ada di sini?"

"Ya," menyahut si tukang perahu yang sekarang bisa bicara.

"Apakah mereka bercuriga?" Kiauw Thay menanya lagi.

"Nampaknya tidak. Cuma mereka tidak sudi dahar dari aku tidak dapat bekerja."

"Hm! Biarlah mereka mengantar jiwa di Chee-liong¬tha! Lusa tengah hari perahu kamu tiba di Chee-liong¬tha, terpisah satu lie dari muara itu, ada dusun Chee¬liong-cip. Di sana kau singgah kami nanti menantikan kamu untuk membantu."

"Ya," si tukang perahu menyahut pula.

"Dua binatang cilik itu lihay, kau mesti berhati-bati," Kiauw Thay memesan. "Kalau kau berhasil, pangcu bakal menghadiahkan kepadamu. Sekarang pergi kau balik ke perahumu dengan ambil jalan dari dalam air, supaya perahumu itu tidak bergoyang, agar mereka tidak curiga."

"Apakah Kiauw Cee-cu tidak ada titah lainnya?"

"Tidak!" menyahut Kiauw Thay seraya mengibaskan tangannya.

Tukang perahu itu lantas keluar dari gubuk perahu. Ia pergi ke belakang, di sana ia turun ke dalam air, untuk berenang ke perahunya sendiri.

Kwee Ceng berlaku cepat, ia mendahului kembali ke perahunya. Ia membisiki Oey Yong apa yang ia lihat dan dengar.

"Hm!" kata si nona perlahan. "Di tempat It Teng Taysu, air jauh terlebih deras, kita tidak takut, apalagi segala Chee-liong-tha? Mari tidur!" Karena mengetahui rencananya orang jahat, muda-¬mudi ini jadi lega hatinya.

Di hari ketiga pagi, ketika tukang perahu hendak mengangkat jangkar, untuk mulai berangkat lagi, Oey Yong berkata padanya:

"Tunggu sebentar! Lebih dulu kau mendaratkan kuda kami jangan kalau nanti perahu karam di Chee-liong-tha, dia nanti mengantarkan jiwanya!"

Tukang perahu itu berlagak pilon. Oey Yong tidak memperdulikannya, bersama Kwee Ceng ia menuntun kudanya mendarat.

"Yong-jie, sebaiknya kita jangan bergurau sama mereka," kata Kwee Ceng perlahan. "Dari sini kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda saja."

"Kenapa begitu?" menanya si nona.

"Tiat Ciang Pang bangsa manusia rendah, buat apa melayani mereka? Kita diam-diam saja."

"Apa dengan diam-diam saja kita aman?" tanya si nona.

Pemuda itu berdiam. Oey Yong mengendorkan les kuda, tangannya menunjuk ke jalanan di sebelah utara. Kuda itu mengerti. Sudah sering dia berpisah dari majikannya, senantiasa mereka dapat bertemu lagi. Maka dia lari ke arah utara di mana sebentar kemudian dia lenyap.

"Mari kita kembali ke perahu," kata si nona, menepuk tangan.

"Kesehatanmu belum pulih, perlu apa kau menempuh bahaya?" Kwee Ceng berkata lagi.

"Kita terpaksa," sahut nona itu. Ia berjalan balik, ia turun ke perahunya.

Kwee Ceng mengiringi kawannya itu. Putri Oey Yok Su tertawa, dia berkata gembira; “Engko tolol, kita bersama, biar kita mengalami banyak yang aneh-aneh, kalau kemudian kita berpisah, bukankah jadi banyak yang dapat direnungkan? Bukankah itu bagus?"

Perahu berlayar sampai nampak sungai makin berbahaya. Di kiri kanan hanya nampak gunung atau tebing. Kwee Ceng dan Oey Yong pergi ke kepala perahu, mereka melihat segalanya, maka insyaflah mereka akan bahayanya perjalanan ini. Untuk dapat maju melawan air, perahu mesti ditarik orang. Di situ ada beberapa perahu lainnya. Perahu besar membutuhkan beberapa kuli, sedang perahu kecil, perlu delapan atau sembilan orang. Kuli-kuli penarik itu telanjang dadanya dan kepalanya dilibat sabuk putih, sambil menarik mereka mengasih dengar suara bareng dan sama. Perahu yang berlayar milir hanyut pesat sekali.

Sepasang muda-mudi ini menduga mereka bakal segera mendekati Chee-liong-tha. Hari pun makin lama makin siang.

"Yong-jie," kata Kwee Ceng perlahan, "Aku tidak menyangka sungai Goan Kang mempunyai bagian yang airnya begini deras dan berbahaya. Mungkin bagian deras ini panjang sekali. Kalau perahu terbalik sedang kau masih belum segar, tidakkah itu berbahaya?"

"Habis bagaimana?"

"Kita bunuh saja tukang perahu itu lantas kita ke minggir dan mendarat."

Si nona menggeleng kepala. "Itu tidak menarik hati!" katanya.

"Memangnya sekarang waktunya main-main?"

"Aku justru menggemari ini!" si nona tertawa.

Pemuda itu berdiam, ia mengawasi ke depan dan ke kiri kanan. Ia lantas berpikir. Berjalan lagi sekian lama, waktu sudah mendekati tengah hari. Setelah melintasi sebuah pengkolan, Kwee Ceng melihat di depan di pinggiran sungai, ada beberapa puluh rumah, yang tinggi dan rendah bergantung sama letaknya tanah pegunungan. Di situ, air jadi semakin deras. Ketika sebentar kemudian perahu tiba di dekat kumpulan rumah-rumah itu, di tepi sungai terlihat beberapa puluh orang seperti lagi menantikan.

Si tukang perahu lantas melemparkan dua lembar dadung ke darat, dimana disambut beberapa puluh orang itu dan lantas dililitkan ke sebuah pelatok besar. Dengan ditarik, perahu itu sampai di tempat yang cetek.

Tidak lama tiba lagi sebuah perahu yang ditarik kira-kira tigapuluh kuli, perahu itu dikasih berlabuh di situ, sedang di sebelah depan telah berlabuh kira-kira duapuluh perahu lainnya. Lantas ada seorang di daratan yang berkata nyaring:

"Tadi malam keluar ular naga, air di gunung banjir, air sungai ini jadi sangat deras, maka sambil menanti air surut, mari semua beristirahat di sini!"

"Numpang tanya, toako, tempat ini apa namanya?" tanya Oey Yong pada seorang di sampingnya.

"Chee-liong-cip," orang yang ditanya menjawab.

Nona itu mengangguk, diam-diam ia memperhatikan tukang perahunya. Dia berbicara dengan gerakan tangan sama seseorang di darat, orang itu bertubuh besar dan kekar. Dia menyerahkan satu bungkusan pada orang itu. Kemudian, mendadak orang itu mengeluarkan kapak dengan apa dia membabat putus dadung penambat perahu, terus dia mengangkat jangkar, terus dia mendorong perahu. Maka sekejap saja, dengan tubuh miring perahu itu hanyut terbawa air.

Si tukang perahu yang memegang kemudi, mengawasi ke muka air. Dua pembantunya yang masing-masing memegang galah kejen, romannya bersiap-siap melindungi si tukang perahu. Mungkin mereka khawatir kedua pemumpangnya menyerang tukang kemudi itu.

Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi air yang deras. Setiap waktu perahu itu dapat membentur wadas. Itu artinya terbalik dan karam.

"Yong-jie, rampas kemudi!" ia berteriak. Ia pun hendak lari ke buntut perahu.

Dua orang yang memegang galah itu mendengar suara si anak muda, mereka bersiap. Ketika mereka mengangkat galahnya, kejennya bergemerlap di cahaya matahari. Itulah tandanya kejen itu tajam sekali.

"Perlahan!" tiba-tiba Oey Yong berseru.

"Bagaimana?" si pemuda tanya.

"Kau melupakan burung kita……" si nona berbisik. "Kalau sebentar perahu karam, kita naiki mereka untuk terbang pergi. Aku mau lihat apa mereka bisa bikin……"

Kwee Ceng baru sadar. "Pantas Yong-jie tidak takut, kiranya ia telah siap sedia tipu dayanya," pikirnya. Ia lantas menggapai kepada dua ekor burungnya, untuk disuruh berdiam di samping mereka.

Si tukang perahu tidak tahu kenapa anak muda itu batal bergerak, diam-diam ia bergirang. Ia mau percaya mereka kena dibikin jeri oleh arus yang sangat deras itu.

Segera terdengar suara dari serombongan kuli penarik perahu, lalu terlihat orang-orangnya, yang lagi menarik sebuah perahu dengan gubuk hitam, yang mengibarkan bendera hitam juga. Ketika si tukang perabu melihat perahu itu, dia lantas mengangkat kapaknya kemudian dia mengapak putus kemudinya, kemudian dia pergi ke pinggir kiri. Terang dia bersiap akan lompat ke perahu yang lagi mendatangi itu.

Kwee Ceng melihat aksinya tukang perahu itu. "Naik!" ia kata seraya menekan punggung si rajawali betina.

"Jangan kesusu!" berkata Oey Yong. "Engko Ceng, kau hajar perahu itu dengan jangkar!"

Kwee Ceng mengerti maksudnya nona itu, ia bersiap. Tanpa kemudi, perahu hanyut makin pesat, sebentar saja, kedua perahu datang semakin dekat. Perahu yang ditarik mudik itu digeser, supaya tidak sampai diterjang perahu yang hanyut. Tukang-tukang menarik perahu agaknya kaget, mereka pada berteriak.

Kwee Ceng menanti saatnya, segera ia melemparkan jangkarnya keras sekali. Ia mengarah pelatok yang dipakai mengikat dadung penarik. Karena perahu pun ditarik keras, maka lemparan jangkar jadi semakin hebat. Begitu terkena, pelatok itu patah, dadungnya terlepas. Selagi tukang-tukang menariknya jatuh ngusruk, perahunya sendiri lantas terbawa air, hanyut keras sekali. Orang banyak pada berteriak kaget. Si tukang perahu kaget sekali.

"Tolong! Tolong!" dia berteriak-teriak saking takut.

"Hai, orang gagu bisa bicara!" kata Oey Yong tertawa. "Ini keanehan di kolong langit!"

Kwee Ceng sendiri mengawasi perahu yang hanyut itu, tangannya masih memegangi jangkar yang satunya. Tukang kemudi dari perahu itu lihay, di air deras dia masih mencoba memutar kepala perahu, agar jangan buntutnya yang laju di muka seperti semula. Tepat pada saatnya, si anak muda melemparkan jangkar ke kepala perahu. Si tukang perahu gagu tetiron kaget bukan main.

Di saat yang sangat berbahaya itu, dari dalam perahu mendadak lompat keluar satu orang, yang bersenjatakan galah kejen dengan apa dia menyambut, menyontek jangkar Kwee Ceng. Dia bertenaga besar tetapi galahnya tidak cukup kuat, galah itu patah, karena itu, tujuan jangkar jadi berkisar. Begitulah jangkar dan patahan galah jatuh ke air. Orang kuat itu berdiri tegar di perahunya, dia mengenakan baju pendek warna kuning, dia berambut putih romannya gagah. Dialah Khiu Cian Jin ketua Tiat Ciang Pang.

Kwee Ceng dan Oey Yong menjadi kagum sekali hingga mereka tercengang. Justru itu, tanpa ketahuan, tubuh perahu telah membentur wadas. Keras goncangan benturan itu muda-mudi itu kena terdampar ke pintu gubuk. Mereka kaget, terutama sebab air segera merendam mata kaki mereka. Tidak ada kesempatan lagi untuk naik ke punggung burung.

"Mari!"

Kwee Ceng berseru seraya dia berlompat ke arah Khiu Cian Jin. Dia sengaja hendak menubruk ketua Tiat Ciang Pang itu, sebab kalau dia lompat ke lain bagian dari perahu, sebelum tiba, dia bisa dipapaki serangan. Itu sangat berbahaya.

Khiu Cian Jin melihat orang berlompat ke arahnya, rupanya dia dapat menerka maksud orang, karena ia tengah memegang galahnya, dengan itu ia lantas memapak.

Kwee Ceng melihat penyambutan itu, dia kaget. Khiu Cian Jin melontarkan galahnya, yang menjurus ke dada si anak muda. Ia rupanya menganggap, lebih baik menyerang sambil menimpuk daripada menanti orang tiba di perahunya. Dalam saat sangat berbahaya untuk si anak muda, tiba-tiba terlihat sinar hijau menyambar galah kejen. Karenanya, lenyaplah ancaman bahaya itu. Itulah Oey Yong, yang berlompat menyusul kawannya, yang dengan tongkatnya menangkis galah.

Setelah itu, begitu menginjak perahu, si nona segera menyerang pangcu dari Tiat Ciang San, hingga dia menjadi gelagapan, hampir dia kena ditotok.

Khiu Cian Jin mengenal baik lihaynya tongkat si nona, maka selagi Kwee Ceng baru menaruh kaki, ia mundur kepada anak muda itu, yang ia sapu. Dengan begitu ia berkelit sambil menyerang. Selagi Kwee Ceng berkelit, ia menyusuli dengan dua serangan saling susul dengan kedua tangannya.

Lihay serangan jago dari Tiat Ciang San ini. Itulah pukulan dari Tiat Ciang Kang-hu, atau ilmu silat Tangan Besi, yang kaum Tiat Ciang Pang andalkan selama mereka menjagoi, bahkan di tangan orang she Khiu ini, jurusnya telah diubah dan ditambah hingga menjadi semakin lihay. Dibanding sama Hang Liong Sip-pat Ciang, ilmu itu kalah keras tetapi menang halus.

Begitu dua orang itu bergerak di atas perahu. Perahu sewaan Kwee Ceng telah patah pinggang dan karam, si gagu dan dua kawannya kecebur air dan terbawa arus, sia-sia mereka berenang, mereka terbenam di dalam air menggolak bagaikan pusar air.

Perahu Khiu Cian Jin sendiri, meskipun hanyut keras, masih dapat dipertahankan, karena ada orang Tiat Ciang Pang yang lantas mengendalikannya.

Di atasan perahu, terbang mengikuti, adalah kedua burung rajawali serta hiat-niauw, ketika burung itu saban-saban mengasih dengar suaranya. Sampai waktu itu, Oey Yong pun turut berkelahi. Lebih dulu ia mengundurkan beberapa orang Tiat Ciang Pang, yang merintanginya, setelah itu ia dekati Kwee Ceng, guna mengepung Khiu Cian Jin. Karena sama-sama lihay, kedua pihak berkelahi dengan rasa risih.

Selagi bertempur, Oey Yong melihat golok berkelebat di dalam gubuk perahu. Itulah seseorang yang tengah membacok. Ia tidak tahu apa yang dibacok itu tetapi ia curiga, maka lantas menimpuk dengan jarumnya. Pembacok itu kena lengannya, bacokannya tak dapat diteruskan, goloknya justru mengenai pahanya sendiri sampai dia menjerit. Si nona menyusul seraya berlompat masuk ke dalam gubuk. Ia menendang terjungkal orang itu, yang sudah tidak berdaya, lalu dia melihat seorang rebah tidak berkutik di lantai perahu sebab kaki tangannya dibelenggu. Ia tidak usah mengawasi lama akan mengenali Sin-soan¬cu Eng Kouw, hingga ia menjadi heran. Sama sekali tidak disangka, di sini mereka dapat menemui nyonya itu, bahkan dalam keadaan tidak berdaya. Tanpa ayal lagi, ia memungut golok orang tadi kemudian memutuskan tambang yang mengikat tangan si nyonya.

Begitu tangannya bebas, tangan kiri Eng Kouw merampas golok di tangan si nona, selagi Oey Yong heran, dia sudah lantas membacok mampus orang Tiat Ciang Pang itu, yang tadi hendak membinasakannya. Habis itu baru ia memutuskan tali belenggu kakinya, sedang musuhnya roboh celentang, hingga Oey Yong mengenali, dialah Kiauw Thay. Maka ia kata di dalam hatinya, "Kau sangat jahat, pantas kau mampus!"

"Meski kau telah menolong aku, jangan harap aku akan membalas budi!" kata Eng Kouw pada si nona.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar