Minggu, 07 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 130

Sembari tertawa dia berkata: 'Jikalau bukan siauw-ongya lihay ilmu silatnya, apa kira jiwa kecilmu masih ada?' Pohon itu terpisah dari tanah cuma tujuh atau delapan tombak. Dia lantas merayap ke pohon. Dia kata pula: "Sekarang kita turun dulu ke lembah, di sana baru kita mencari jalan keluar.' Di dalam lembah itu ada hanya rumput-rumput yang sudah busuk dan tulang-tulang binatang. Dengan satu tulang paha, dia membuka jalan, sembari jalan dia bicara tertawa-tawa padaku.

Aku takut dia curiga, nanti sukar aku turun tangan, terpaksa aku melayani dia bicara. Tidak lama, dia berteriak sambil lompat mundur. Dia menggunakan tulangnya membiak rumput tebal di mana tadi dia menaruh kaki. Di situ dia mendapatkan satu mayat, yang mengenakan baju kuning. Muka mayat rusak hingga tak dapat dilihat lagi, cuma kumis dan jenggotnya yang putih bertitikan darah segar. Rupanya belum lama dia jatuh mati di situ."

"Si tua bangka Khiu Cian Lie telah mampus, toh masih ada orang yang melihat cecongornya!" kata Oey Yong.

"Yo Kang memeriksa tubuh mayat itu," berkata pula Lam Kim. "Banyak barang yang didapatkan, seperti cincin, pedang pendek dan batu bata. 'Kiranya tua bangka ini mati di sini,' dia kata. Sembari berkata begitu, dia menarik keluar sejilid buku ……"

"Mungkin itu buku sulapnya," kata Oey Yong.

Seperti yang tidak mendengar perkataan si nona, Lam Kim bercerita terus: "Si orang she Yo itu membuka dan memeriksa buku itu, kelihatannya dia ketarik hatinya, dia membalik-balik terus lembaran dengan romannya girang. Kemudian dia simpan buku itu di dalam sakunya. Habis itu kami berjalan terus. Satu hari kami berada di dalam selat, sampai magrib baru kami tiba di mulut selat. Kami mencari rumah seorang petani untuk menumpang bermalam. Dia suruh aku mengaku sebagai istrinya, katanya agar orang jangan curiga. Habis bersantap malam, dia menyalakan api, dia membuka buku yang tadi, untuk diperiksa lagi. Aku melihat dia menggerakkan tangan dan kakinya, seperti lagi bersilat.

Rupanya buku itu adalah buku pelajaran silat. Aku menyender di pembaringan letih dan berduka, rasanya malas aku bergerak. Mendadak aku mendengar dua kali suara kodok di luar jendela. Aku tahu betul, itulah suara kodok hijau dicekuk ular berbisa. Dengan tiba-tiba aku mendapat pikiran. Aku ingat kakekku yang telah mati, ia tentu telah berkumpul bersama ayah ibuku, sekalian pamanku dan yang lainnya di dunia baka. Aku sebaliknya, di dalam dunia ini hidup sebatang kara, hidup menderita, sengsara dan ternoda, bahkan mau mati juga sukar.

Karena mendapat ingat itu, aku kata pada orang she Yo itu: 'Siauw-ongya, aku hendak keluar sebentar.' Dia tertawa. 'Baik,' katanya. 'Asal jangan kau memikir untuk kabur, sebab dalam sekejap, pasti aku dapat menyusul kau!' Aku menjawab; 'Aku lari? Lari ke mana?' Ia tertawa pula dan kata: 'Itu betul. Dengan tidak memikir lari, kaulah anak yang manis!' Sekeluarnya dari kamar, aku pergi ke belakang. Aku berdiri sebentar. Aku mendengar suara si ular lagi menelan mangsanya. Diam-diam aku menghampiri ular itu, aku tangkap ekornya, terus aku menekuk dia, lalu aku membungkusnya dengan sapu tangan. Lantas aku kembali ke dalam. Senang dia melihat aku kembali begitu cepat. Dia tertawa dan mengangguk-angguk.

Kembali dia membaca bukunya. Kemudian dia berkata; 'Pergi kau tidur lebih dulu, sebentar aku temani kau.' Di dalam hatiku, aku damprat dia: 'Orang jahat, hari ini Thian menyuruhnya aku membalas sakit hatiku!"'

Mendengar sampai di situ, Oey Yong lantas ketahui apa cara membalas sakit hati nona Cin ini. Liam Cu juga dapat menduga samar-samar, maka teganglah hatinya. Cuma Kwee Ceng yang masih belum mengerti.

"Aku mengebut pembaringan mengusir nyamuk, terus aku menurunkan kelambu," Lam Kim menyambungi pula. "Sembari merebahkan diri, aku membuka sapu tanganku, mengeluarkan ular. Aku menekannya, supaya dia tidak berkutik-kutik. Dengan tangan kiriku, dengan kipas, aku menutup tubuh ular. Kemudian aku menanti. Aku mesti menahan napas. Sampai lama dia belum naik ke pembaringan, dia seperti melupakan aku. Hatiku berdenyutan. Aku khawatir gagal. Minyak pelita menjadi semakin kurang, cahayanya pun menjadi guram, akhirnya api padam. Barulah waktu itu aku mendengar dia tertawa dan berkata: 'Haha, aku harus mati! Lantaran membaca buku saja, aku sampai melupakan si manis! Mustikaku, jangan kau sesalkan aku ……' Aku tidak menyahuti, malah aku berlagak pulas dengan mengasih dengar suara menggeros perlahan. Tetapi kupingku kupasang.

Aku mendengar dia menutup buku, yang di kasih masuk ke dalam sakunya. Aku mendengar dia membuka baju luarnya. Aku mendengar juga dia naik di pembaringan dan membuka sepatunya. Ketika itu hawa sangat panas, dia meloloskan semua pakaiannya. Ketika dia memelukku, aku masih terus berpura-pura pulas, adalah tangan kiriku dengan perlahan-lahan menyingkirkan kipas, lalu tangan kananku membawa kepala ular ke dadanya. Dengan kukuku, aku mencubit ular itu, membikinnya kesakitan dan kaget, karena mana dia lantas menggigit dada si jahat. Dia kaget, dia berteriak: 'Apa?' Terus dia berlompat turun dari pembaringan. Sekarang dia merasakan ular masih menggigit dadanya, dia menariknya hingga terlepas, tetapi gigi ular itu copot dan nancap di dadanya."

Liam Cu kaget hingga ia berjingkrak bangun, matanya mengawasi nona Cin. Ia ini bercerita sampai di bagian sangat tegang itu tetapi romannya, suaranya juga, tenang- tenang saja. Menampak demikian, nona Bok ini kagum sekali.

"Dia lantas berteriak-teriak: 'Ular! Ular!"' Lam Kim masih meneruskan dengan sabar sekali. "Ketika itu aku masih belum memikir lantas mati, aku hendak menyaksikan dia tersiksa, habis itu baru aku mau pergi ke dunia baka menjenguk kakek dan ayah bundaku, maka aku pun berpura-pura kaget dan berteriak-teriak: 'Apa? Ular? Mana? Mana?' Dia menyahut: 'Aku digigit ular!' Aku menanya pula: 'Mana ularnya? Lekas pasang api! Lekas!' Benar-benar dia menyalakan api. Aku melihat empat liang kecil dan hitam-hitam di dadanya, diam-diam aku girang. Lantas aku kata padanya: 'Kau rebah saja, jangan bergerak, nanti aku pergi mencari daun obat-obatan.'

Tuan rumah pun bangun dengan kaget. Dia kata: 'Memang di sini ada ular berbisa, hanya heran dia bisa naik ke pembaringan ……' Aku lantas bawa pelita dan pergi ke luar, untuk mencari daun obat-obatan. Yang aku cari bukan daun obat pemunah bisa ular, sebaliknya obat yang bisa membikin racun ular itu bekerja semakin berbahaya……"

Ketika si. nona bercerita sampai di situ, sebelah tangan Liam Cu melayang ke mukanya, hingga sebelah pipinya menjadi merah dan bengkak.

Oey Yong lantas menyambar tangan nona Bok. "Enci, bukankah binatang itu harus mendapatkan bagiannya?" ia menegur.

Liam Cu berdiam, kepalanya pusing. Ia berdiam dengan mata mendelong. Lam Kim telah di tempiling ia tidak menggubrisnya, ia masih melanjutkan ceritanya:

"Daun obat itu tidak dapat dicari dalam waktu sebentaran, aku pun tidak terus mencarinya. Dia telah digigit ular beracun, dia tidak dapat bertahan enam jam, maka aku mencabut rumput sembarangan, aku mamah itu, dengan itu aku beborehkan dia. Dadanya itu telah bengkak dan bergaris hitam. Beberapa kali sudah dia pingsan. Aku duduk di sisinya berpura-pura menangis. Mulanya aku berpura-pura, akhirnya aku menangis benaran. Aku ingat akan nasibku, aku jadi sangat bersedih. Satu kali dia sadar dia mengawasi aku dengan tajam. Rupanya dia menyangka akulah yang sengaja menggigitkan ular itu kepadanya. Setelah melihat aku menangis, kecurigaannya lenyap. ia menghela napas dan berkata; Akhirnya toh ada juga seorang yang mengucurkan air mata untukku……'




Dari tengah malam sampai fajar, tiga kali dia pingsan lantas kedinginan, tubuhnya menggigil. Dia rupanya menduga jiwanya tidak bakal ketolongan lagi, dia berkata padaku: 'Aku mau minta tolong padamu, kalau beres dan berhasil, kau akan mendapat pembalasan baik sekali.' Aku menjawab, 'Aku tidak mengharapkan hadiah. Kau sebutkan saja. Dia menyuruh aku mengambil buku dari sakunya, dia kata: 'Kalau aku sudah mati, kau ambil pedang pendekku, bersama buku ini, kau mengantarkannya ke istana Pangeran Chao Wang dari negara Kim, kau harus menyerahkannya sendiri ke tangan pangeran itu. Bilang bahwa surat wasiat Gak Bu Bok berada dalam buku ini."

Mendengar itu Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi hati mereka sama bertanya:

"Kenapa buku Khiu Cian Lie itu ada hubungannya sama bukunya Gak Hui?"

"Dengan tenaganya yang hampir habis, dia melanjutkan pesannya padaku," Lam Kim melanjutkan tanpa memperhatikan sikap orang-orang di dekatnya itu. "Dia kata: 'Kau beritahu kepada Chao Wang bahwa dengan mulutku sendiri aku menjanjikan kau supaya diangkat menjadi permaisuri. Dengan begitu, maka kau bakal hidup senang dan mulia tak ada taranya.' Aku mengangguk tanpa membilang suatu apa. Dia tertawa sedih dan menanya: 'Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih padaku?' Aku tetap tidak menyahut. Aku telah memikir, sesudah dia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya, hendak aku membikin hancur kitab itu di depan matanya, supaya di saat kematiannya tidak saja dia tersiksa lahir tetapi juga bathinnya ……"

"Kau! Kau!" membentak Liam Cu bengis. "Kenapa kau begitu kejam? Benar dia berbuat tak pantas kepadamu tetapi itu disebabkan dia menyukai kecantikanmu?!"

Oey Yong berduka, "Sayang, sayang……" katanya perlahan.

"Sayang?" kata Lam Kim. Baru sekarang ia memperhatikan suara orang. "Manusia begitu jahat tetapi kematiannya masih di sayangkan?"

Nona ini keliru mengerti. Oey Yong menjawab: "Aku bukan menyayangi dia, aku menyayangi bukunya itu ……"

Nona Cin tidak meladeni pula, ia hanya melanjutkan: "Di waktu fajar, manusia jahat itu berteriak-teriak minta air. Aku menuangkan air ke dalam sebuah mangkok dan meletakkan mangkok itu di tepi pembaringan. 'Ini air', kataku. Dia mengulur tangannya, untuk mengambil mangkok itu. Aku menggesernya sedikit jauh. Dia tidak dapat mengambil, maka dia memaksakan diri untuk bangun, untuk berduduk. Nyata tenaganya tidak mengijinkannya. 'Tolong, tolong kasihkan aku……" dia minta. 'Kau ambil sendiri,' kataku. Dia mengeluarkan seluruh tenaganya, tangannya dilonjorkan. Dia berhasil mengambil mangkok air itu. Nampaknya dia girang sekali.

Akan tetapi tangannya kaku, tidak dapat ditekuk, ketika dia memaksa menekuknya, prang! Maka mangkok itu terlepas dan jatuh pecah di tanah. Aku tahu bahwa dia telah habis tenaganya, maka aku ambil bukunya, aku bawa ke depannya seraya berkata: 'Bukankah kau menghendaki buku ini aku membawanya ke istana Chao Wang? Baiklah, kau lihat!' Aku merobeknya selembar, lembaran itu aku merobek-robeknya pula. Dia nampak kaget. 'Kau …… kau ……" katanya. Terang dia kaget dan gusar.

Aku hendak menyiksa dia. Habis merobek selembar, aku merobek selembar lainnya. Dia gusar hingga dia pingsan. Aku menanti sampai dia sadar, lalu aku merobek pula. Demikian sampai aku merobek beberapa lembar, dia lantas merapatkan matanya, tidak suka dia melihatnya lebih jauh. Meski dia tidak melihat, kupingnya dapat mendengar, kupingnya itu masih mendengar terus. Demikian dia mendengar suara robekan kertas……"

Seorang diri Lam Kim berbicara, tiga orang mendengarkan. Tiga orang ini masing-masing kesannya. Mereka seperti dapat membayangkan romannya Yo Kang di atas pembaringan, selagi nona Cin merobeki kertasnya.

"Tiba-tiba aku melihat perubahan pada air mukanya," nona Cin melanjutkan. "Dia seperti lagi memasang kuping, memperhatikan sesuatu. Aku berhenti merobek kertas. Aku juga memasang kupingku. Segera aku mendengar suara bicaranya beberapa orang serta tindakan kaki, mulanya jauh. Di saat kematiannya, binatang itu masih licik sekali. Dia berpura-pura tidak mendengar suara itu. 'Air, air, kasih aku air ……' katanya. Aku mendengar suara orang datang semakin dekat, datang sampai di luar rumah. Lantas aku mendengar cacian: 'Binatang perempuan! Pastilah dua binatang cilik itu diambil. Sin Soan Cu!' Lantas terdengar suara seorang lain: "Menurut aku, baiklah perempuan hina itu dibakar mampus berikut binatang cilik itu!' Lagi seorang berkata: 'Tidak dapat kita berbuat demikian. Kalau dia tidak terbakar mati? Binatang itu lihay, dia bisa menjadi biang penyakit untuk kaum kita Tiat Ciang Pang.'

Mendengar mereka adalah orang-orang Tiat Ciang Pang, aku kaget. Aku takut mereka masuk dan menolong orang she Yo itu. Tiat Ciang Pang memelihara banyak ular berbisa, mereka pasti bisa mengobati racun bisa ular. Lantas aku menjumput pecahan mangkok. Aku sudah memikir, kalau mereka masuk ke dalam, hendak aku membinasakan dulu si orang she Yo, setelah itu baru aku membunuh diri. Aku takut dia membuka mulut, maka dengan bajunya aku membungkus kepalanya dan mulutnya aku sumbat dengan hancuran kertas.

Entah bagaimana, orang-orang Tiat Ciang Pang itu lewat terus, tidak ada seorangpun yang mampir dan masuk ke dalam rumah. Setelah merasa orang sudah pergi jauh, aku membuka bungkusan kepalanya. Aku berniat mengulangi menyobek lembaran buku itu. Tiba-¬tiba aku mendengar suara pintu pekarangan ditolak. Aku heran. Aku tahu di situ sudah tidak ada orang lain. Suami istri petani pemilik rumah itu, sudah pergi ke sawahnya. Aku pergi ke pintu dan mengintai. Aku melihat delapan orang datang sambil berpegangan tangan, perlahan jalannya, tangan mereka mencekal masing-masing sepasang galah, yang mereka ketruk-¬ketrukkan ke tanah. Nyatalah mereka semua orang-orang buta dan pakaian mereka dekil, tetapi masih terlihat tegas, asalnya pakaian itu ialah putih."

"Itulah budak-budak si bisa bangkotan," kata Oey Yong perlahan.

Lam Kim menoleh kepada Kwee Ceng dan berkata: "Baru-baru ini ketika inkong dan aku berada di rimba, selagi inkong hendak menangkap hiat¬niauw, aku melihat sendiri budak-budak jahat itu dipatuki burung api itu, maka aku lantas mengenali mereka. Lantas aku pakai baju panjang menutup muka si bangsat. Lalu aku mendengar seorang budak jahat itu berkata, "Ngamal, ngamal …… bagilah sayur dan nasi dingin pada orang-orang buta ……' Aku tidak berani bersuara, aku diam saja. Si buta itu berkata pula, dia mengemis nasi. Aku tetap tidak menjawab. Beberapa kali permintaannya itu diulangi. Akhirnya aku dengar, 'Di sini tidak ada orang lain, mari kita mencari ke lain tempat.

Tadinya mereka itu pada berduduk, lantas mereka pada bangun berdiri. Aku khawatir mereka masuk ke dalam, maka aku lantas batuk-batuk, terus aku membuka pintu. Aku tanya mereka itu siapa. Nampaknya mereka itu kaget. Yang satu lantas berkata, 'Nona, sukalah berlaku baik, tolong kau membagi makanan untuk kami.' Yang lainnya mengeluarkan sepotong perak dari sakunya seraya berkata; 'Kita membeli dengan uang……' Aku lantas mempersilahkan mereka duduk, kataku, nanti aku masak nasi untuk mereka.

Aku ingin mereka lekas-lekas pergi. Aku lantas pergi ke dapur, masak nasi, menggorengi sayur. Demikian mereka duduk berdahar. Habis mereka bersantap, disaat mau pergi, mendadak si orang she Yo berteriak. Aku lari ke dalam. Aku melihat dia mencoba berduduk, tangannya menuding aku, dengan roman ketakutan, dia berteriak pula; 'Auwyang Kongcu! Auwyang Kongcu!' Aku kaget hingga aku mencelat. Aku tidak tahu siapa itu Auwyang Kongcu. Aku berkhawatir sekali, aku takut orang-orang buta itu mendengar suaranya. Maka aku pungut bajunya, membungkus kepalanya lagi. Di luar dugaanku, dia menjadi kuat sekali, dia berontak hingga aku terjatuh. Sekali lagi dia mengasih dengar suaranya; 'Auwyang Kongcu, kau, kau ampuni aku …… kau ampuni aku ……'"

Oey Yong, Kwee Ceng dan Bok Liam Cu melihat tegas Yo Kang membunuh Auwyang Kongcu, mereka mengerti ketakutan Yo Kang dalam keadaan was¬wasnya itu, meski begitu, mereka merasakan punggung mereka dingin. Mereka merasa ngeri. Bahkan nona Oey, meskipun dia gagah, dia berlompat kepada Kwee Ceng, untuk duduk menyenderkan tubuhnya.

Lam Kim melihat eratnya hubungan muda-mud itu, sakit ia merasakan hatinya. Tapi ia meneruskan: 'Begitu orang she Yo itu menyebut-nyebut Auwyang Kongcu, budak-budak buta itu pada nerobos ke dalam, mulut mereka bertanya berulang-ulang: 'Kongcu! Kongcu'! Kau di mana?' Aku menjadi kaget. Tahulah aku, mereka itu bujang dan majikan. Aku merasa bakal gagal. Dalam takutku, aku lantas lari. Entah kenapa, waktu itu aku tak lagi ingin mati. Aku takut nanti ditangkap mereka, aku bisa disiksa, maka aku kabur terus.

Bagaikan ada malaikat yang menunjukkan aku lari sampai di kuilnya enci Bok, justru enci Bok lagi sakit berat, tubuhnya sangat panas. Aku lantas merawat sebisanya. Malam itu aku berpikir keras, akhirnya, aku minta too-kouw tua itu menerima aku sebagai muridnya. Dua hari kemudian baru panas tubuhnya enci Bok berkurang dan ia sadar ……"

"Kemudian bagaimana?" Liam Cu memotong cerita nona itu.

"Bagimana? Tentu saja dia mati!" menyahut Lam Kim.

"Nanti, nanti aku lihat ……!" Sambil berkata begitu, Liam Cu berlompat bangun, terus dia lari.

"Enci! Enci!" Oey Yong memanggil.

Liam Cu tidak mendengar, dia lari terus, hingga sebentar saja dia lenyap di sebuah pengkolan. Oey Yong bertiga tahu Liam Cu tidak dapat melupakan Yo Kang, tidak perduli orang she Yo itu terbukti kejahatannya. Mereka menghela napas. Setelah berdiam sekian lama, Lam Kim berbangkit.

"Inkong," katanya perlahan pada Kwee Ceng, "Aku telah menutur segalanya, maka bersyukurlah kepada Thian, aku dapat dipertemukan pula dengan inkong." Ia merogoh ke sakunya, mengeluarkan sejilid buku yang sudah rusak, ia menyerahkan pada si anak muda seraya menambahkan: "Buku ini telah aku robek belasan lembar, aku tidak tahu ini sebenarnya buku apa, tetapi orang she Yo itu menganggapnya sebagai mustika, maka mungkin ada faedahnya. Coba inkong periksa."

Kwee Ceng menyambut buku itu, tanpa memeriksa lagi, ia masukkan ke dalam sakunya.

"Sekarang kau berniat pergi ke mana?" ia menanya. Ia lebih memerlukan nasibnya nona yang sangat malang ini.

"Aku telah bertemu sama inkong, untukku, ke mana aku pergi, sama saja," menyahut nona Cin. "Kelihatannya Tiat Ciang Pang bermaksud tidak baik kepada inkong maka itu aku harap inkong berdua berhati-hati."

"Kenapa kau ketahui tukang perahu itu orang Tiat Ciang Pang?" Oey Yong tanya.

"Sebab dialah orang yang memasuki aku ke dalam keranjang dan menyerahkan aku pada si orang she Yo itu."

"Oh ……" kata nona Oey yang lantas telah mengetahuinya bagaimana ia harus mengambil sikap kepada si tukang perahu.

"Setelah enci Bok sembuh, kita berdamai untuk melakukan perjalanan bersama," Lam Kim masih berkata lebih jauh. "Demikian tadi di rumah makan, kami melihat inkong berdua serta tukang perahu. Dasar Thian tidak mengijinkan orang jahat dapat berbuat sesukanya, kami telah dibuatnya memergoki dia."

Habis mengucap, si nona memberi hormat kepada Oey Yong, terus ia berlutut pada Kwee Ceng seraya berkata;

"Sekarang perkenankan aku meminta diri. Semoga inkong panjang umur dan beruntung!"

Kwee Ceng mengasih bangun nona itu, hatinya pepat, Tidak tahu ia mesti membilang apa.

"Enci Cin," berkata Oey Yong, "Kau sudah tidak punya rumah, sebaiknya kau turut kami pergi ke Kanglam."

Lam Kim menggeleng kepala. "Aku berniat balik ke hutannya kakekku," katanya.

"Kau tinggal sebatang kara, mana dapat?" Oey Yong kata.

"Seumurku, aku memang bersendirian saja ……"

Oey Yong berpaling kepada Kwee Ceng, ia membungkam. Lam Kim menoleh kepada si anak muda, habis itu ia memutar tubuh, untuk bertindak pergi. Pemuda itu masih menjublak sampai ia ingat sesuatu.

"Nona, tunggu dulu!" ia memanggil.

Nona itu menghentikan tindakannya, ia tidak memutar tubuhnya. "Nona, kalau kau ketemu lagi orang jahat, bagaimana?" Kwee Ceng tanya, nona itu tunduk, ia menyahut dengan perlahan: "Aku sebatang kara dan lemah, aku cuma akan menerima nasib saja……"

"Mari aku ajarkan kau serupa ilmu," berkata Kwee Ceng, "Jikalau kau rajin mempelajarinya, aku percaya lain kali kau bisa melawan sedikitnya lima orang."

Nona itu berpikir sebentar, lalu ia memberikan penyahutannya: "Baiklah kalau inkong menitahkan, nanti aku mempelajarinya."

Kwee Ceng heran melihat orang tidak bergembira karenanya. Ia lantas mengajari nona itu ilmu yang ia dapatkan dari Tan Yang Cu Ma Giok selama di gurun pasir. Itulah ilmu tenaga dalam, Lwee Kang Sim-hoat yang terdiri dari sepuluh jurus. Lam Kim berotak cerdas, ia memperhatikan pengajaran itu. Tidak lama, ia telah dapat mengingat baik-baik.

"Setelah dipelajari sungguh-sungguh nanti baru nampak kefaedahannya pelajaran ini," Kwee Ceng memberi keterangan. "Kau tidak mengerti ilmu silat, tetapi dengan meninju dan menendang kalang kabutan, kau dapat juga melukai orang."

Nona itu berdiam, lalu ia meminta diri pula dan pergi dalam kesunyian. Setelah orang pergi jauh, Oey Yong berkata kepada kawannya:

"Aku memberi selamat padamu telah mendapat seorang murid!"

"Mana dapat dibilang dia muridku," kata si anak muda. "Aku cuma mengharap dia tidak nanti diperhina lagi orang jahat."

"Itulah sukar dibilang," kata Oey Yong. "Sekalipun orang sepandai kau, kau masih dipermainkan orang jahat……."

Kwee Ceng menghela napas. "Di jaman kacau seperti ini, manusia kalah dengan anjing," ia bilang. "Apa mau di kata……?"

"Sekarang, mari kita mampusi anjing gagu itu!" berkata si anak muda.

"Anjing gagu yang tadi," sahut si nona, yang lantas menggerak-gerakkan tangannya seraya mengasih dengar suara ah-aha-uh-uh.

Melihat itu Kwee Ceng tertawa. "Jadi kita tetap menaiki perahunya si gagu palsu itu?" ia menegaskan.

"Pasti kita akan memakai perahunya," menyahut si nona. "Bangsat tua Khiu Cian Jin telah melukai hebat padaku, hendak aku membalas terhadapnya, umpama kata aku tidak sanggup melayani dia, puas juga sedikit hatiku apabila aku bisa menyingkirkan beberapa pengikutnya."

Keduanya lantas kembali ke rumah makan. Di sana si tukang perahu yang gagu lagi tangal-tongol, mengharapkan kedatangan orang. Ia menjadi girang sekali ketika menampak kembalinya si muda-mudi.

Dengan berlagak pilon, Kwee Ceng berdua pergi ke perahu orang Tiat Ciang Pang itu. Mereka melihat sebuah perahu sedang, tidak besar dan tidak kecil, dan gubuknya hitam. Itulah perahu pengangkutan yang paling banyak digunakan di sungai Goan Kang. Di atas perahu ada dua orang, yang masih muda, yang lagi mencuci lantai.

Begitu keduanya turun ke perahu, tukang perahu itu melepaskan tambatannya dan menolak perahu ke tengah sungai di mana layar lantas dipasang. Kebetulan sekali angin Selatan meniup keras, perahu laju cepat mengikuti aliran sungai.

Ketika Kwee Ceng memikirkan kebinasaan Yo Kang serta nasibnya Liam Cu dan Lam Kim, ia sangat berduka. Sambil menyenderkan tubuhnya, ia tunduk diam, matanya memandang jauh ke depan.

"Engko Ceng," berkata Oey Yong tiba-tiba. "Coba kau kasih lihat buku nona Cin itu? Entah ada hubungan apa di antara buku dan buku wasiatnya Gak Bu Bok……"

Anak muda itu seperti baru sadar. "Hampir aku lupa!" katanya. Ia terus mengeluarkan bukunya, diserahkan pada si nona.

Oey Yong menyambut, lantas membalik beberapa lembaran. "Oh, kiranya begini!" katanya agak terperanjat. "Engko Ceng, mari lihat!"

Kwee Ceng bangkit menghampiri, ia duduk di samping si nona melihat buku itu. Ketika itu sudah magrib, sinar layung memain di permukaan air. Sinar itu, yang menyorot berbalik dari air, mengenakan juga mukanya si nona, baju dan buku di tangannya itu.

Sepasang muda-mudi itu besar hatinya, walaupun mereka berada di kendaraan air musuh, mereka tidak takut. Dengan asyik mereka memperhatikan buku pemberian nona Cin itu.

Buku itu adalah buah tangan Siangkoan Kiam Lam, pangcu yang ke-23 dari Tiat Ciang Pang. Di situ Kiam Lam mencatat mengenai sepak terjang partainya. Dialah salah seorang punggawa jenderal Han See Tiong. Ketika Gak Hui terbinasakan dorna Cin Kwee dan Jenderal Han dipecat, dia pun berhenti. Banyak orang sebawahan dan serdadunya, yang turut mengundurkan diri dan hidup bertani. Tapi dia benci kawanan dorna, yang menguasai pemerintahan, maka dia mengajak serombongan bawahannya, yang menyetujui cita-citanya untuk menaruh kaki di wilayah Kheng-siang, bekerja sebagai berandal.

Hanya kemudian, mereka masuk dalam kalangan Tiat Ciang Pang, malah ketika pangcu yang tua menutup mata, dia menyambut penggantinya. Mulanya Tiat Ciang Pang adalah perkumpulan biasa saja akan tetapi setelah dipimpin dia, sifatnya berubah dan menjadi kuat. Dia berhasil mengumpulkan kawan orang-orang gagah di Ouwlam dan Ouwpak, hingga kedudukannya tangguh seimbang dengan kedudukan Kay Pang di Utara.

Tidak pernah Kiam Lam melupakan negara dan musuh negaranya, untuk membangunnya pula, sering dia mengirim mata-mata ke Lim-an. Ia mengharap kesempatan baik guna bergerak. Kemudian Kaisar Kho Cong mengundurkan diri dari takhta kerajaan, yang ia serahkan kepada Kaisar Hauw cong, ia sendiri merasa senang menjadi Thay sianghong.

Kaisar Hauw Gong ingat kesetiaannya Gak Hui, ia menitahkan memindahkan kuburan dari tepi jembatan Cong An Kio ke tepian See Ouw, Telaga Barat, di mana pun dibangun rumah abunya, sedang pakaian dan semua barang lainnya dari Gak Bu Bok disimpan di istana. Malamnya dari siangnya jenazah dipindahkan, bekas orang-orangnya Gak Hui datang dengan diam-diam untuk bersembahyang.

Mata-mata Tiat Ciang Pang di Lim-an mengetahui hal itu dan mendengar juga bahwa di antara warisan Gak Bu Bok ada sejilid kitab tentang ilmu perang, maka hal itu diwartakan ke Tiat Ciang San. Kiam Lam lantas bekerja. Ia mengajak sejumlah orangnya yang pandai, mereka berangkat ke kota raja. Pada suatu malam mereka memasuki istana dan berhasil mencuri kitab Gak Hui itu, yang mana malam itu juga dibawa dan diserahkan kepada Han See Tiong.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar