Kamis, 04 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 128

Si nona bertepuk tangan. "Bagus sekali!" ia berseru. "Aku justru hendak main-¬main di gunung golok denganmu!" Ia lantas menyalakan api dan menyulut ke lantai.

Eng Kouw terkejut. Di sisi kaki si nona ada minyaknya. Ia mengawasi tajam. Ia bukan melihat pelita hanya satu cangkir teh yang isi minyaknya setengah, yang direndamkan sumbu. Di samping itu ada menancap sepasang bambu kecil yang diraut tajam, panjangnya kira-kirs satu kaki. Tanpa henti-henti, si nona bertindak, setiap bertindak, ia menyulut, dan di samping setiap cangkir, ada bambu lancip yang serupa. Ketika telah selesai si nona menyulut, Eng Kouw menghitung, jumlahnya seratus tigabelas batang juga. Ia heran.

"Kalau dibilang ini adalah panggung Bwee-hoa-chung," ia pikir, "Pelatuknya mesti tujuhpuluh dua atau seratus delapan. Tapi ini seratus tigabelas. Apakah artinya ini? Ini juga bukannya keletakan penjuru pat-kwa! Dengan ujung pelatuk begini tajam, di mana orang dapat menaruh kaki? Ah, dia tentulah memakai sepatu dasar besi……" Maka ia lantas memikir: "Dia sudah bersiap sedia, aku tentu kalah, maka baik aku berlagak pilon, aku terus melewati ini!"

Ia lantas bertindak. Tapi cangkir dan pelatuk dipasang rapat, sukar untuk berjalan, maka ia menendang roboh lima enam batang. Sembari berbuat begini, ia kata:

"Permainan setan apa ini? Nyonya besarmu tidak mempunyai kesempatan akan menemani kau main-main!"

"Eh, eh, jangan!" berteriak Oey Yong. "Jangan! Jangan!"

Eng Kouw tidak memperdulikan, ia menendang terus. Si nona agaknya menjadi habis sabar.

"Baiklah!" dia mengancam. "Kau tidak mau pakai aturan, maka hendak aku memadamkan api! Hati-¬hatilah kau melihatnya, kau perhatikanlah kedudukannya setiap pelatuk bambu tajam itu!"

Eng Kouw kaget. "Mereka di sini tentu telah mengingat baik letak semua pelatuk bambu ini," ia pikir, "Kalau mereka mengepung, aku bisa terbinasa di sini. Baiklah aku lekas mengangkat kaki!"

Karena memikir demikian, si nyonya mengempos semangatnya, untuk menendang dengan terlebih gencar lagi.

"Kau main gila! Kau tidak tahu malu!" berseru Oey Yong, terus berlompat maju, untuk menghalangi dengan tongkatnya, hingga diantara sinar api, cahaya hijau tongkat itu berkelebatan.

Eng Kouw tidak memandang mata kepada seorang bocah, segera ia menghajar dengan tangan kirinya, berniat membikin patah tongkat keramat itu, akan tetapi segera ia kecewa. Si nona mengasih lihat ilmu silat tongkat Tah Kauw Pang-hoat bagian "hong" atau "menutup". Dengan ini ia tidak menyerang, hanya memutar tongkatnya bagaikan tembok penghadang. Kalau lawan tidak maju, tongkat itu tidak berbahaya, tetapi asal lawan maju satu tingkat saja, ia bisa merasakan bagiannya.

Begitulah ketika satu kali Eng Kouw menyerang, mendadak ia merasakan tangannya sakit dan kaku. Ia berlaku cepat menarik pulang tangannya tetapi tongkat mendahului menghajar belakang telapak tangannya. Baru sekarang ia kaget berbareng gusar sekali, tetapi sebagai seorang yang dapat berpikir ia tidak menjadi kalap. Sebaliknya, ia menguasai diri menurut menutup diri, guna melihat dahulu ilmu silat nona itu.

"Dulu aku menyaksikan Hek Hong Siang Sat memang lihay," pikir bekas kui-hui ini. "Tetapi mereka itu tidak heran karena mereka berumur kira-¬kira empatpuluh tahun. Kenapa sekarang ini bocah lihay sekali? Rupanya Oey Yok Su telah mewariskan ke pandaiannya kepada anak tunggalnya yang ia sangat sayangi……"

Tentu saja bekas nyonya agung ini tidak tahu halnya ilmu silat kaum Kay Pang serta tongkat keramatnya itu. Kalau Oey Yong bersilat dengan Tah Kauw Pang-hoat meskipun Oey Yok Su sendiri, tidak akan gampang dapat merobohkannya.

Selagi orang menutup diri, Oey Yong juga tetap menutup diri, ia tetap menghadang, guna mencegah nyonya itu nerobos ke dalam kuil. Di lain pihak setiap kali ia bertindak, berbareng ia menendang, ia membuatnya padam setiap pelita cangkir itu, untuk membikin mati semuanya seratus tigabelas buah. Ia menggunakan ujung sepatunya, ia membikin tidak ada cangkir yang pecah ketendang, sedang muncratnya minyak pun sedikit. Dalam hal menendang ini, ia menggunakan ilmu silat Tho Hoa To yang dinamakan "Tendangan Menyapu Daun".

Eng Kouw berkelahi sambil memasang mata. Ia percaya si nona belum pulih kesehatannya, maka ia pikir, baiklah ia menyerang di bawah, supaya nona itu lekas letih, agar dalam waktu beberapa puluh jurus saja, akan memperoleh kemenangan. Akan tetapi perkembangan terlebih jauh membuat ia berkhawatir. Sebab si nona terus main menendang api hingga padam.

Dengan cepat di tiga penjuru ruang sudah gelap, tinggal di ujung timur laut, hingga sinar api menjadi seperti berkelak-kelik. Ke arah ini si nona mendesak guna melangsungkan usahanya memadamkan semuanya.

"Ini berbahaya," Eng Kouw mengeluh. "Celaka kalau api padam semua. Mana bisa aku bertindak dengan leluasa? Di sembarang waktu aku bisa kena injak pelatuk bambu yang tajam ini……"

"Kau ingat baik-baik keletakkannya pelatuk bambu!” Oey Yong mengasih dengar suaranya dalam kegelapan setelah api padam semua. "Mari kita bertarung selama tigapuluh jurus! Asal kau dapat tidak melukakan aku, aku akan memberi ijin kau masuk menemui It Teng Taysu!"

"Tetapi kau curang," kata Eng Kouw. "Pelatuk ini dipasang olehmu sendiri, entah untuk beberapa hari dan beberapa malam kau telah melatih dirimu. Aku sendiri baru melihatnya sekejapan, mana bisa aku mengingat semua?"

Oey Yong biasa menang sendiri, ia percaya kepada kekuatan memikirkannya. "Itu tidak susah!" katanya tertawa. "Kau nyalakan pelita, kau boleh tancap pelatuk itu sesukamu, setelah rapi, api baru dipadamkan pula, habis itu baru kita bertempur lagi."

Eng Kouw tahu, ini bukan lagi mengadu ilmu meringankan tubuh hanya mengadu otak, mengadu berpikir. Ia berkata dalam hati, si nona demikian licin, apa boleh dia melayaninya? Bukankah sakit hatinya belum terbalas? Tapi ia pun cerdik, ia lantas mendapat pikiran.

"Baiklah, aku si nyonya tua menemani kau main-main!" katanya. Ia lantas mengeluarkan apinya menyulut semua pelita itu.

"Kenapa kau menyebut dirimu nyonya tua?" berkata Oey Yong tertawa. "Melihat romanmu yang cantik bagaikan kumala, kau lebih menang daripada nona-nona lainnya yang berumur enambelas tahun! Pantaslah dulu Toan Hongya menjadi tergila¬-gila kepadamu!"

Eng Kouw tengah mencapai pelatuk ketika ia mendengar perkataan si nona, ia menjadi melengak. Ia lantas tertawa dingin dan menyahut:

"Dia tergila-gila padaku? Hm! Selama tiga tahun aku masuk ke dalam istananya berapa kalikah dia pernah memperhatikan aku?"

"Eh, heran!" berkata si nona, "Bukankah dia telah mengajari silat padamu?"

"Apakah mengajari silat berarti diperhatikan?"

"Aku mengerti sekarang! Toan Hongya hendak memahamkan ilmu Sian Thian Kang, It Yang Cie, dia jadi tidak terlalu rapat denganmu……"

"Hm! Kau tahu apa?" kata bekas kui-hui itu. "Kalau begitu, kenapa dia dapat juga putra mahkota?"

Oey Yong memiringkan kepalanya, nampaknya ia berpikir. "Putra mahkota dilahirkan lebih dulu, ketika itu Toan Hongya belum mempelajari Sian Thian Kang," katanya sesaat kemudian.




Eng Kouw mengasih dengar suara, "Hm!" lalu membungkam, terus ia mengatur pelatuk baru. Oey Yong sendiri diam-diam memperhatikan pengaturan itu, karena ia tahu, pertarungan yang bakal datang berarti bahaya untuk jiwanya.

"Toan Hongya tidak mau menolong anakmu, itu karena dia mencintai kau," katanya pula kemudian.

"Karena dia mencintai aku?" Eng Kouw tanya. Lagu suaranya menandakan ia mendongkol sekali, ia sangat membenci.

"Dia cemburu terhadap Loo Boan Tong! Kalau dia tidak mencintai kau, kenapa dia cemburu?"

Kembali Eng Kouw berdiam. Dulu ia tidak pernah ingat hal ini. Memang beralasan, karena cintanya, raja Tali itu menjadi cemburu.

"Maka itu, turut penglihatanku, baiknya kau pulang saja," kata lagi si nona.

"Kecuali kau mampu menghalangi aku!" bilang si nyonya dingin. Kembali hatinya panas.

"Baiklah!" berkata si nona. "Kalau kau tetap hendak mengadu kepandaian, aku suka menemani kau! Jikalau kau mampu nerobos, aku tidak akan menghalang lagi! Bagaimana kalau kau tidak sanggup?"

"Selanjutnya aku tidak akan mendaki gunung ini!" menyahut si nyonya. "Aku menghendaki kau menemaniku satu tahun, janji itu pun aku suka menghapuskannya!"

Oey Yong menepuk tangan. "Bagus!" ia berseru. "Memang hebat aku berdiam di rawa lumpur hitam selama satu tahun! Siapa sanggup?"

Selama itu, Eng Kouw telah menancap kira-kira enampuluh batang. Mendadak ia memadamkan pelitanya.

"Yang lain-lainnya biarlah tetap sebagaimana adanya!" katanya. Mendadak saja ia menerjang si nona dengan lima jari tangan terbuka.

Oey Yong melihat diserang secara demikian, ia berkelit. Ia lantas membalas menyerang, menekan ke pundak nyonya itu.

Eng Kouw tidak menangkis, ia bertindak maju terus, tindakannya lebar, saban-saban terdengar kakinya menginjak pelatuk, memperdengarkan suara, sebab semua pelatuk telah terpatahkan. Maka leluasa sekali dia bertindak terus. Sekejab saja si nona sadar.

"Ha, aku terpedayakan!" katanya. "Teranglah tadi, selagi menukar pelatuk, dia mematahkan setiap pelatu……"

Tentu saja, ia menjadi menyesal sekali. Eng Kouw segera sampai di belakang, terus ia menolak pintu, maka di dalam kamar ia melihat seorang pendeta lagi duduk bersila di tengah-tengah. Pendeta itu sudah tua, kumisnya ubanan dan panjang turun ke dadanya, sedang leher jubahnya sampai ke pipi. Ia sedang bersemedhi. Di sampingnya, ditemani keempat muridnya, beberapa pendeta tua lainnya serta beberapa kacung.

Kapan si pelajar melihat si nyonya datang, ia bertindak ke depan si pendeta tua sambil merangkap kedua tangannya.

"Suhu, Lauw Nio-nio datang berkunjung!" memberi tahu.

Si pendeta tua mengangguk perlahan, ia tidak menyahut. Dalam ruang itu cuma ada sebuah pelita, maka bisa dimengerti, di situ setiap muka orang tak nampak tegas.

Eng Kouw memang tahu Toan Hongya sudah mensucikan diri, hanya ia tidak menyangka, baru sepuhuh tahun tidak bertemu, kaisar yang begitu gagah dan pintar itu, sekarang telah menjadi pendeta begini tua dan lemah, ia pun lantas mengingat perkataan Oey Yong tadi perihal pendeta tua ini. Tanpa merasa, hatinya menjadi lemah, gagang goloknya tidak lagi dipegang erat-erat. Ketika ia melihat ke bawah, mendapatkan oto sulamnya dilekatkan di depan pendeta itu, di atas oto itu ada gelang kumaha - itu gelang yang dulu Toan Hongya menghadiahkannya.

Sekejap seperti terkilas segalanya, di depan matanya bagaikan berbayang saat baru masuk ke istana, belajar silat, bertemu Ciu Pek Thong hingga mereka memain api asmara, lalu melahirkan anak dan anaknya terbinasa. Yang hebat ketika ia ingat wajah anaknya yang menderita sakit karena lukanya yang hebat, bagaimana anak itu beroman minta tolong tetapi pertolongan gagal dan anak itu seperti menyesali ibunya……

Mendadak Eng Kouw menyerang Toan Hongya, goloknya nancap di dada, melesak sampai sebatas gagangnya. Ia tahu kaisar itu lihay, ia percaya tikamannya tidak bakal lantas merampas jiwa, maka ia merasakan sesuatu yang aneh waktu goloknya menebas, ia lekas menarik pulang, guna mengulangi dengan tikaman yang kedua kali. Hanya di luar sangkaannya, goloknya itu seperti nancap keras. Ketika itu si pelajar berempat menjerit, semua berlompat maju.

Sepuluh tahun lebih Eng Kouw telah mehatih diri, dan tikamannya ini ia mengulanginya entah berapa ribu, atau berapa puhuh ribu kali. Ia tahu, Toan Hongya mesti telah menjaga diri baik-baik, maka ia juga bersiap sempurna. Maka ketika ia akhirnya dapat mencabut goloknya dengan tangan kanan, tangan kirinya dipakai melindungi diri. Dengan cepat ia berlompat mundur ke pintu. Di sini ia masih sempat menoheh ke belakang, dengan begitu ia bisa melihat Toan Hongya memegang dadanya, rupanya dia merasakan kesakitan yang amat sangat.

Karena ia telah membalas sakit hati, lantas ingat kebaikan raja itu, ia menghela napas, terus ia memutar tubuhnya, untuk ngeloyor pergi. Tapi ketika ia baru memutar tubuh, mendadak ia menjadi kaget sekali, sampai ia menjerit keras dan bulu romanya bangun berdiri. Di ambang pintu, ia melihat seorang pendeta lagi berdiri dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. Kebetulan sekali, sinar api menuju ke mukanya pendeta itu, suatu muka yang penuh dengan sorot cinta kasih. Yang mengagetkan ialah si pendeta Toan Hongya adanya!

"Mungkinkah aku salah membunuh orang?" begitu berkelebat pikiran di otaknya. Maka lantas menoleh ke belakang, kepada orang yang baru ia tikam.

Ketika itu terlihat si pendeta bangkit berdiri perlahan-lahan, terus membuka jubah sucinya, sedang tangan kirinya meraba ke mukanya, untuk menarik lepas kumis jenggotnya. Maka kagetlah ia. Si pendeta palsu itu adalah Kwee Ceng! Kembali ia mengeluarkan jeritan.

Eng Kouw tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan Oey Yong, yang telah mengatur tipu dayanya itu dengan bekerja sama si anak muda. Kwee Ceng menotok It Teng Taysu untuk dapat menggantikan dia. Kalau It Teng Taysu diajak berdamai dulu, mungkin dia menolak. Si pendeta India ditotok karena disangkanya lihay, tidak tahunya ia tidak punya guna. Selanjutnya nona Oey bersiap terlebih jauh. Selagi ia menungkuli Eng Kouw main pelita, Kwee Ceng dibantu si pelajar berempat pergi menyamarkan diri. Sebab habis kecemplung di pengempang, anak muda ini tidak mengejar nyonya itu hanya pergi ke dalam untuk siap sedia. Untuk ini Kwee Ceng berkorban rambutnya, yang dicukur habis, sedang untuk kumis jenggotnya, dipakai kumisnya It Teng Taysu, kumis siapa pun dicukur.

Sebenarnya keempat murid itu merasa tidak enak mempermainkan guru mereka, tetapi mengingat pengorbanan Kwee Ceng serta usaha Oey Yong guna menolong guru mereka, terpaksa mereka menurut. Kalau lain orang yang menyamar jadi It Teng, ada kemungkinan dia tertikam mati oleh Eng Kouw yang lihay itu. Sekalipun Kwee Ceng yang dapat menjepit goloknya si nyonya, saking hebatnya tikaman, ujung golok toh melukai juga kulit dan sedikit dagingnya, syukur tidak berbahaya. Kalau Kwee Ceng memakai baju lapisnya Oey Yong, ia bisa lobos dari ancaman bencana, tetapi baju itu tidak dipakai sebab dikhawatirkan si nyonya jadi curiga.

Selagi akal itu berjalan demikian baik, sekonyong-¬konyong It Teng Taysu muncul. Ini tidak cuma membikin kaget kepada Eng Kouw tetapi juga Oey Yong semua.

It Teng itu, meskipun terluka tenaga dalamnya, ilmu silatnya sendiri tidak lenyap semua, sedang Kwee Ceng, diwaktu menotok dia, sudah menotok di jalan darah yang tidak akan mengakibatkan kecelakaan. Ia telah dipernahkan di kamar sebelah. Di sini ia dengan perlahan-lahan menyalurkan tenaganya, ia berhasil membebaskan diri dari totokan, maka itu ia lantas keluar. Kebetulan sekali, ia berpapasan dengan Eng Kouw.

Muka nyonya itu menjadi sangat pucat saking kaget dan berkhawatir. Ia lantas merasa bahwa ia tidak bakal lolos lagi dari kepungan.

"Kembalikan golok kepadanya!" berkata It Teng pada Kwee Ceng.

Pemuda itu mendengar suara yang berpengaruh, tanpa bersangsi pula, ia melemparkan golok di tangannya kepada Eng Kouw.

Si nyonya menyambut senjatanya itu, lalu ia mengawasi orang banyak terutama It Teng, untuk melihat apa akan orang perbuat atas dirinya. Ia menduga mungkin ia bakal disiksa…… It Teng membuka jubahnya dengan perlahan, terus ia membuka baju dalamnya.

"Jangan ganggu dia," berkata ia, "Biarkan dia turun gunung dengan baik. Nah sekarang, kau tikamlah aku!" ia meneruskan kepada si selir. "Memang sudah lama aku menantikanmu!"

Suara itu perlahan dan sabar, tetapi mendengar itu, Eng Kouw merasa seperti mendengar guntur, ia berdiri tercengang, golok terlepas jatuh dengan sendirinya. Begitu ia sadar, ia menutupi mukanya, ia lari ke luar dari kuil. Mulanya masih terdengar tindakan kakinya, lalu lenyap.

Semua orang saling mengawasi, mereka pun tercengang semua berdiam. Hanya selang sesaat, di situ terdengar dua kali suara menggabruk, lalu terlihat si tukang pancing dan si petani roboh terguling. Karena mereka telah menjadi korban jarum beracun dari Eng Kouw. Tadinya mereka masih dapat bertahan, sekarang setelah mendapatkan guru mereka selamat, saking girang, habis tenaga perlawanannya, mereka roboh dengan sendirinya. Si pelajar kaget.

"Lekas undang paman guru!" katanya.

Belum berhenti suara si pelajar ini, Oey Yong telah muncul bersama si pendeta India, maka pendeta itu lantas dapat bekerja menolong dua keponakan muridnya, selain dikasih obat makan, jeriji tangan mereka pun dibelek, untuk mengeluarkan darahnya yang sudah kecampuran racun. Habis bekerja, ia berkata-kata sendiri bagaikan memuji.

Itulah kata-kata dalam bahasa Sansekerta. It Teng ketahui bahasa itu, ia lega hatinya. Sebab si sutee, adik seperguruan mengatakan lukanya dua orang itu tidak berbahaya untuk jiwanya, mereka harus beristirahat dua bulan nanti mereka sembuh betul.

Ketika itu Kwee Ceng sudah menukar pakaiannya dan lukanya pun telah dibalut, ia berlutut di depan It Teng untuk minta maaf. It Teng mengangkat bangun tubuh pemuda itu.

"Kau berkorban untuk menolong aku, akulah yang berhutang budi," katanya. "Semua ini karena salahku." Ia menoleh kepada si pendeta India, untuk menjelaskan pertolongan anak muda itu.

Pendeta itu kembali mengucapkan kata-kata dalam bahasa Sansekerta. Mendengar itu, Kwee Ceng heran.

"Aku kenal ini," katanya, dan ia terus menghapal lanjutan kata-kata itu, menurut ajaran Ciu Pek Thong.

It Teng dan si pendeta India menjadi heran pemuda ini mengerti bahasa asing. "Bagaimana ini?" menanya Toan Hongya pada anak muda itu.

Kwee Ceng jujur, ia lantas menutur bahwa ia mengerti bahasa itu. Mendengar keterangan ini, It Teng menghela napas.

"Tatmo Couwsu memang orang India, tetapi di waktu menulis Kiu Im Cin-Keng, ia memakai bahasa Tionghoa," katanya, "Cuma di bagian-bagian pokok, ia tetap menggunakan bahasa Sansekerta. Kitab itu memang sangat sukar dimengerti, sukar juga dihapalnya."

Kemudian pendeta itu menitahkan keempat muridnya dan yang lain-lain keluar dari kamar, habis itu ia menjalin, ia memberi penjelasan pada Kwee Ceng dan Oey Yong tentang bunyi Kiu Im Cin-keng seperti dihapalkan Kwee Ceng barusan.

It Teng dapat memberi penjelasan sempurna, Oey Yong lantas mengerti, sedang Kwee Ceng si bebal, mengerti enam sampai tujuh bagian.

Kemudian berkatalah It Teng Taysu: "Aku telah terluka hebat, aku mesti beristirahat lima tahun, baru kesehatanku akan pulih, tetapi dengan memperoleh warisan Tatmo Couwsu ini, aku rasa tak usah sampai tiga bulan, akan sembuh seanteronya."

Kwee Ceng dan Oey Yong menjadi girang sekali. Sejak itu, muda mudi ini lantas berdiam di atas gunung, menemani It Teng Taysu. Si pendeta telah mewariskan kepandaian It Yang Cie, Sian Thian Kang dan penjelasan lebih jauh dari Kiu Im Cin-keng, sedang mereka berbareng menjaga pendeta ini lantaran dikhawatirkan Eng Kouw nanti berbalik pikiran dan datang lagi untuk menuntut balas, selagi masih sakit, tentu It Teng tidak dapat membela diri.

Dihari kedelapan, selagi Oey Yong dan Kwee Ceng berlatih di luar kuil, mereka mendengar suara burung berbunyi di udara, suaranya nyaring tapi nadanya sedih, lalu segera terlihat burungnya mendatangi dari arah timur.

"Bagus, Kim-wawa sampai!" berseru si pemudi seraya bertepuk tangan.

Segera juga kedua burung rajawali sampai dan turun. Romannya lesu. Muda mudi ini heran, mereka lantas memeriksa. Di dada kiri rajawali betina ada menancap sepasang panah pendek, dan di kaki rajawali jantan ada sepotong juiran cita hijau. Kim-wawa sebaliknya tidak ada. Oey Yong mengenali, juiran itu adalah juiran baju ayahnya. Ia menjadi kaget. Pasti kedua burung itu telah sampai di Tho Hoa To. Mungkin Tho Hoa To kedatangan musuh tangguh maka ayahnya tidak sempat melayani dalam urusan ikan emas itu. Heran adalah terpanahnya burung itu. Musuh mestinya lihay. Celakanya, kedua burung tidak dapat berbicara. Oleh karena berkhawatir Oey Yong lantas mengajak Kwee Ceng menemui Thian Tek, untuk berpamitan. Kepada pendeta itu dituturkan sebabnya niat kepergian mereka. It Teng tidak dapat menahan kedua tetamunya ini.

Si pengail dan petani lagi sakit, mereka rebah di pembaringan, maka si pelajar dan si tukang kayu yang mengantarkan turun gunung. Di kaki gunung si nona mendapatkan kuda dan burungnya. Di situ, kedua pihak berpamitan.

Perjalanan ini dilakukan Oey Yong dengan gembira. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan ayahnya, ia tahu lihay dan pintar, umpama musuh tangguh sekalipun, pasti ayahnya dapat mempertahankan diri.

"Semenjak kita berkenalan, entah berapa kali kita menghadapi ancaman bahaya," katanya. "Dan selamanya, di dalam bahaya, kita memperoleh kebaikan. Lihatlah kali ini. Aku terhajar Khiu Cian Jin, akhirnya aku memperoleh It Yang Cie dan Kiu Im Sin Kang."

"Aku rela tidak mengerti ilmu silat asal kau selamat tidak kurang suatu apapun," kata Kwee Ceng.

Senang hati si nona, ia girang bukan main. Tapi ia tertawa dan berkata: "Ah, ah, untuk mengambil hati, jangan kau omong seenaknya saja! Tanpa mengerti ilmu silat, tentu kau telah orang dihajar mati! Jangan kata Auwyang Hong dan See Thong Thian semua, walaupun satu anggota saja dari Tiat Ciang Pang, dia bisa membacok kutung lehermu!"

"Biar bagaimanapun, aku tidak akan mengijinkan kau terluka lagi!" kata si anak muda. "Kali ini lukamu hebat sekali, melihatnya saja hatiku tidak kuat…… Di Lim-an aku terluka, aku merasa tidak apa-apa."

"Kalau begitu, kau tidak punya hati!" kata si nona tertawa.

Kwee Ceng heran. "Kenapa begitu?" ia tanya.

"Kau terluka, kau tidak merasa, tetapi bagaiman dengan aku?" kata si nona.

Si anak muda diam, lalu dia tertawa lama. Ia menjepit perut kuda, maka kudanya lantas kabur.

Tengah hari mereka tiba di kecamatan Tho-goan. Oey Yong belum pulih kesehatannya, disebabkan menunggang kuda terlalu lama, ia merasa letih, kedua pipinya menjadi merah, napasnya pun kurang lurus jalannya, maka Kwee Ceng ajak ia mampir di rumah makan Pie Cin Lauw.

Sembari dahar Kwee Ceng minta pelayan tolong memanggil tukang perahu, yang perahunya hendak di sewa untuk menyeberang ke Hankauw.

"Kalau tuan menumpang, tuan bisa menghemat sewaan perahu," kata pelayan itu. "Kalau tuan memborong sendiri, sewanya mahal……"

Oey Yong tidak senang si pelayan banyak bicara. Ia mengasih lihat roman gusar, ia melemparkan uang perak lima tail.

"Cukup tidak?" ia tanya.

"Cukup, cukup!" kata si pelayan, yang lantas ngeloyor pergi.

Kwee Ceng tidak mau si nona minum arak, khawatir arak mengganggu kesehatannya, dari itu ia pun tidak minum. Tengah mereka bersantap, pelayan kembali bersama seorang tukang perahu, katanya dia minta uang sewa empat tail enam chie, dapat nasi tanpa lauk pauk. Oey Yong akur, tanpa banyak bicara, ia menyerahkan uang lima tail itu.

Tukang perahu menerima uang, ia memberi hormat sambil menunjuk mulutnya, suaranya tidak karuan. Ternyata dia gagu. Kedua tangannya lantas digunakan sebagai gantinya.

Oey Yong mengerti pembicaraan dengan tangan itu, ia melayani, kemudian tukang perahu itu berlalu dengan kegirangan.

"Apa yang kamu bicarakan?" tanya Kwee Ceng.

"Kata dia, habis bersantap kita berangkat. Aku menyuruh dia membeli beberapa ekor ayam beberapa kati daging, uangnya sebentar kita ganti."

Pemuda itu menghela napas. "Kalau dia bertemu aku, tak tahu aku mesti bikin apa……" katanya. Kemudian ia ingat Ang Cit Kong. Inilah disebabkan hidangan lezat yang dimakannya itu. Ia kata: "Entah suhu ada di mana dan bagaimana dengan lukanya……"

Selagi Oey Yong mau menyahut, ia mendengar tindakan kaki di tangga lauwteng, lantas ia melihat naiknya dua too-kauw, imam wanita. Mereka menutupi muka hingga tinggal matanya yang terlihat. Mereka mengambil meja di pojok, kepada pelayan, yang satunya bicara perlahan. Oey Yong merasa ia seperti kenal dua imam itu tetapi ia tidak ingat betul. Kwee Ceng melihat kawannya memperhatikan orang, ia menoleh, justru imam yang satu lagi mengawasinya. Dia itu lantas melengos.

"Engko Ceng, imam itu tergerak hatinya!" kata Oey Yong perlahan sambil tertawa. "Dia tentu mengatakan kau tampan sekali……"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar