Rabu, 03 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 127

Ketika lohor tiba, dengan perlahan-lahan, sang Batara Surya turun ke belakang gunung. Tinggal angin gunung, yang masih meniup-niup, membuat bergoyang-goyang pepohonan di depan kuil. Juga daun-daun kering di pengempang mengasih dengar suaranya yang halus. Tinggallah sinar layung, yang membuatnya puncak gunung berbayang, rebah bagaikan raksasa……

Si tukang pancing berempat duduk bersila di ujung jembatan batu, mata mereka diarahkan ke ujung lain dari jembatan. Hati mereka tidak tentram. Lama mereka menanti, sampai sang magrib tiba. Beberapa ekor gagak terbang dengan suaranya yang berisik, terbang pergi ke selat gunung.

Masih di ujung jembatan sana tak nampak siapapun. "Mudah-mudahan Lauw Kui-hui mengubah pikirannya," berkata si tukang pancing dalam hatinya. "Di dalam hal ini, suhu tidak dapat dipersalahkan. Biarlah dia tak datang untuk selama-¬lamanya……"

"Lauw Kui-hui sangat cerdik, tentu ia sekarang lagi memikirkan akal muslihatnya," si tukang kayu berpikir lain.

Si petani adalah yang paling tak sabaran. "Biarlah dia datang lebih siang, supaya urusan pun beres lebih siang!" pikirnya. "Biar bahaya menjemput, baik atau jahat, biar lekas ada keputusan! Dikatakan datang, dia tidak datang, apa itu tidak membikin orang gelisah?"

Si pelajar sebaliknya berpikir; "Makin lambat dia datang, makin berbahaya ancaman bencananya. Sebenarnya soal sulit sekali……"

Sebetulnya pelajar ini pintar dan pandai berpikir, belasan tahun dia menjadi perdana menteri negara Tali, pernah dia menghadapi banyak perkara besar dan peperangan, tetapi belum pernah dia menghadapi saat tegang seperti ini. Maka dia jadi berpikir keras, apalagi ketika itu, cuaca semakin gelap, di tempat jauh di sana, tak nampak sesuatupun, kecuali suara yang menyeramkan dari si burung malam, si kokok beluk atau burung hantu. Tidak heran kalau kemudian dia ingat kepada dongeng semasa kecil. "Si kucing malam bersembunyi di tempat gelap, dia mencuri alisnya beberapa orang, alis yang dapat dia menghitungnya dengan tepat, maka umur dia itu tak menanti sampai fajar……"

Dengan si kucing malam dimaksudkan si burung hantu. Dan cerita itu dongeng belaka, akan tetapi karena teringatnya di waktu sore, dalam suasana seperti ini, mau tidak mau, bulu romanya. Hebat pengaruhnya suara si burung hantu itu……

"Mungkinkah suhu tidak bakal lobos dari takdirnya, dan ia mesti mati di tangan seorang wanita?" si pelajar berpikir.

"Nah, dia datang!" mendadak terdengar suara si tukang kayu, suaranya perlahan dan bergemetar.

Benar saja, di atas jembatan, terlihat berkelebatnya tubuh manusia. Tiba di bagian liang atau ceglokan, dengan pesat bayangan itu berlompat. Dia begitu gesit hingga si pelajar berempat menjadi heran, mereka berpikir: "Ketika dia belajar silat pada suhu, kita sudah mewariskan kepandaian suhu, kenapa sekarang dia menjadi lebih lihay daripadaku? Selama belasan tahun ini, di mana ia meyakinkan ilmu silatnya?"

Selagi orang itu mendekat bagaikan bayangan, si pelajar berempat lantas bangun untuk berdiri, segera mereka memecah diri ke kedua sisi.

Cepat sekali orang itu telah tiba. Dia mengenakan pakaian hitam, cuaca pun gelap, tetapi dia dapat lantas dikenal. Memang dialah Lauw Kui-hui, selir yang dicintai Toan Hongya. Maka lantas mereka itu memberi hormat sambil mengucapkan:

"Siauwjin menghadap Nio-nio!"

Mereka menyebut diri: "siauwjin", hamba yang rendah dan memanggil nyonya itu dengan Nio-nio, sebutan mulia untuk seorang permaisuri.

"Hm!" Eng Kouw mengasih dengar suaranya, matanya menyapu empat orang itu.

"Apakah Nio-nio itu?" katanya bengis. "Lauw kui-hui sudah lama mati! Aku Eng Kouw. Hai, yang mulia Perdana Menteri, yang mulia Jenderal Besar, yang mulia Laksamana dan Pemimpin dari Pasukan Gielimkun, kiranya kamu semua ada di sini! Aku menyangka Sri Baginda benar-benar sudah melupakan dunia, dia menjadi pendeta, siapa tahu justru bersembunyi di sini, dia tetap masih menjadi kaisar yang berbahagia!"

Hati empat orang itu berdenyutan. Suara kui-hui sangat tak enak terdengarnya. "Sekarang ini Sri baginda bukan lagi seperti dulu," berkata si pelajar, si bekas perdana menteri yang mulia itu, "Kalau Nio-nio melihat padanya, pasti Nio-nio tidak bakal mengenalinya."

"Hai, masih kamu menyebut Nio-nio!" membentak Eng Kouw, "Apakah kamu hendak mengejek aku? Apa perlunya kamu hendak memberi hormat padaku sampai aku mati?"

Keempat orang itu saling melirik, lantas mereka bangun berdiri. "Hambamu yang rendah mengharap kesehatan Nio¬nio," kata mereka.

Eng Kouw mengangkat tangannya. "Hongya menitahkan kamu memegatku, perlu apa ini segala macam adat istiadat?" katanya. "Jikalau kamu hendak turun tangan, lekas kamu menggerakkan tangan! Kamu raja dan menteri telah mencelakai berapa banyak rakyat negeri, maka terhadap aku, seorang wanita, perlu apa kamu masih berpura-pura?"

"Raja kami mencintai rakyatnya seperti dia mencintai anaknya sendiri," berkata si pelajar, "Dia sangat bijaksana dan mulia hatinya, jangan kata mencelakai orang yang tidak bersalah, sekalipun seorang penjahat besar, dia masih menyayanginya! Mustahil Nio-nio tidak ketahui itu?"

Muka Eng Kouw menjadi merah. "Beranikah kamu main gila terhadapku?" dia menanya bengis.

"Hambamu tidak berani……"

"Kamu menyebut hambamu, sebenarnya di antara kita mana ada lagi raja dan menteri?" kata Eng Kouw. "Sekarang aku hendak menemui Toan Tie Hin, kamu hendak memberi jalan atau tidak?"

Toan Tie Hin adalah nama Toan Hongya alias It Teng Taysu. Si pelajar berempat mengetahui itu tetapi mereka tidak pernah berani menyebut itu, maka itu terkesiap hati mereka mendengar Eng Kouw menyebut seenaknya saja.

Si petani yang asalnya adalah komandan Gielimkun, pasukan raja, menjadi habis sabar. Dia kata dengan keras;

"Siapa satu hari pernah menjadi raja, dia agung seumur hidupnya, maka mengapa kau mengucap kata-kata tidak karuan?"

Eng Kouw tertawa panjang, tanpa membilang apapun, ia berlompat maju. Keempat orang itu mengulur tangan, untuk memegat. Mereka pikir: "Meskipun dia libay, mustahil kita tidak dapat merintanginya? Biar kita melanggar titah Sri Baginda, karena terpaksa, kita tidak bisa berbuat lain……"

Eng Kouw tidak menggunakan kedua tangannya, baik untuk mendorong atau untuk meninju, dia maju terus, akan membenturkan tubuhnya kepada mereka!

Si tukang kayu terkejut. Tentu saja ia tidak berani membiarkan tubuhnya ditubruk, itu artinya mereka saling membentur. Maka ia berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, menyambar ke pundak si nyonya, bekas junjungannya itu. Ia menyambar dengan cepat, juga menggunakan tenaga, akan tetapi ketika tangannya mengenai sasaran, ia heran. Ia menjambak sesuatu yang lunak dan licin, ia gagal mencekuk si nyonya. Justru itu si petani dan tukang pancing, sambil berseru, menyerang dari kiri dan kanan!




Eng Kouw tidak menangkis, ia hanya berkelit. Ia mendak, lalu molos bagaikan ular licin di bawah tangan kedua penyerangnya. Berbareng dengan itu, si tukang pancing mendapat cium bau yang harum sekali, ia terkejut, lekas-lekas menggeser incarannya, khawatir nanti mengenai tubuh nyonya itu.

"Bagaimana he?" membentak si petani, gusar. Dengan sepuluh jarinya yang kuat, ia menyambar ke pinggang selir raja itu.

"Jangan kurang ajar!" membentak si tukang kayu.

Si petani tidak menghiraukan bentakan itu, ia meluncurkan terus tangannya, hingga mengenai sasaran, hanya untuk herannya, ia membentur sesuatu yang licin, hingga ia tidak dapat mencengkeram!

Demikian dengan ilmu lindungnya, Eng Kouw meloloskan diri dari rintangan tiga bekas menterinya, maka sekarang tahulah ia mereka tidak dapat mencegah. Karena ini, ia lantas membalas, sebelah tangannya melayang kepada si petani.

Melihat demikian, si pelajar menyerang dengan totokan, ke lengan bekas selir itu, tetapi ini junjungan wanita tidak memperdulikannya, bahkan dia juga mengeluarkan jari tangannya, memapaki totokan itu, hingga tangan mereka bentrok seketika. Bukan main kagetnya si pelajar, hingga dia berseru. Bentrokan itu membikin dia merasa sangat sakit, tubuhnya pun lantas roboh terbanting.

Si tukang kayu dan si tukang pancing berlompat, menolong kawannya. Si petani dengan kepalannya, menyerang Lauw Kui¬hui, untuk merintangi nyonya itu nanti menyusuli serangannya kepada kawannya yang roboh itu. Tangannya ini keras bagaikan besi.

Eng Kouw hendak menguji kepandaian yang ia ciptakan sendiri selama hidup menyendiri di rawa lumpur hitam, ia tidak menyingkir dari serangan itu. Sikapnya ini membikin kaget penyerangnya. Karena si petani pikir, kalau ia mengenakan sasarannya, tentulah hancur lebur batok kepala kui-hui itu. Ia lantas menarik pulang, tetapi dengan begitu kepalannya mengarah juga hidung Eng Kouw!

Nyonya itu berkelit dengan cepat, kepala lewat di depan hidungnya, mengenakan pipi si nyonya. Justru ia terkejut, tangannya dapat kena ditangkap. Ia kaget dan berontak, lantas ia merasakan tangannya sakit, sebab tangan itu kena dibikin patah! Ia mengertak gigi, tanpa menghiraukan tangan patah, dengan tangan kanannya, ia segera menotok ke ceglokan sikut.

Si pelajar berempat telah mendapat pelajaran baik dari guru mereka, meski belum mereka mewariskan ilmu silat It Yang Cie, buat di dunia kangouw, sudah jarang tandingan, maka mereka tidak menyangka sama Eng Kouw seperti membentur batu. Tentu saja, saking keras niatnya menuntut balas, si nyonya pun mempelajari senjata rahasia berupa jarum emas. Ia mengambil dasar dari gerakan menyulam. Telunjuk kanannya dipakai gelang seperti cincin emas, pada cincin itu ada tiga batang jarum beracun. Demikian sambil tertawa dingin, ia menyambut si petani.

Bagaikan orang yang menusukkan diri pada jarum, demikian si petani. Begitu tangannya ketusuk, ia menjerit, tubuhnya roboh seperti si pelajar tadi!

"Hm, paduka congkoan!" Eng Kouw tertawa dingin. Ia lantas nerobos maju.

"Nio-nio, tahan!" berseru si tukang pancing.

Eng Kouw memutar tubuhnya. "Kau mau apa?" ia menanya dingin.

Sekarang si nyonya sudah tiba di depan pengempang. Pengempang itu dipisahkan dengan rumah suci dengan sebuah jembatan batu yang kecil dan ia sudah berada di kepala jembatan. Ia mengawasi dengan roman dan sinar mata bengis, di dalam gelap, sinar matanya itu nampak nyata. Maka terkejutlah si tukang pancing melihat sinar mata itu, hingga ia tidak berani menerjang.

"Yang mulia perdana menteri dan yang mulia congkoan berdua telah terkena jarumku. Cit Ciat Ciam, maka di kolong langit ini sudah tidak ada orang yang dapat menolong!" kata Eng Kouw dingin. Habis berkata begitu, ia memutar tubuhnya, tanpa menanti jawaban, ia berjalan maju, perlahan tindakannya, tidak berpaling pula. Nyata ia tidak khawatir orang akan menyerang dengan membokong.

Jembatan batu yang kecil itu cuma seperjalanan kira-kira duapuluh tindak, ketika si nyonya hampir sampai di ujung penghabisan, di sana dari tempat yang gelap muncul satu orang, muncul secara tiba-tiba, hanya dia segera memberi hormat seraya berkata:

“Adakah cianpwee baik-baik saja?"

Eng Kouw terkejut. Ia berkata di dalam hatinya: "Ini orang muncul secara tiba-tiba begini! Kenapa aku tidak mengetahui dari siang-siang? Jikalau dia menurunkan tangan jahat, pastilah aku telah terbinasa atau sedikitnya terluka……"

Maka ia lantas mengawasi. Ia melihat seorang dengan tubuh tinggi dan dada lebar, alisnya gompiok, matanya besar. Ia pun lantas mengenal Kwee Ceng, si anak muda yang ia berikan petunjuk untuk datang ke gunung ini.

"Apakah lukanya si nona kecil sudah sembuh?" ia menanya.

"Terima kasih untuk petunjuk cianpwee," menyahut si anak muda sambil menjura. "Luka sumoay syukur telah diobati sembuh oleh It Teng Taysu."

"Hm! Kenapa dia tidak datang sendiri menghaturkan terima kasih padaku?" Eng Kouw tanya, sembari berkata, ia bertindak maju.

Kwee Ceng berdiri di ujung jembatan, ia tahu orang hendak menerobos tak perduli ia bakal terbentur.

"Cianpwee, silahkan kembali!" ia berkata cepat.

Eng Kouw tidak menghiraukannya, ia maju terus. Bahkan dengan menggunakan Nie-ciu-kang, ilmu silat "Lindung", ia nerobos ke samping kiri si anak muda.

Kwee Ceng pernah menempur nyonya ini di rawa lumpur hitam, di rumah si nyonya, ia tidak menyangka orang selicin demikian, dalam heran dan kagetnya, ia berlompat, lantas menyerang dengan tangan kirinya, dilancarkan ke belakang. Ia telah menggunakan ilmu silat Kong Beng Kun ajaran Ciu Pek Thong.

Eng Kouw sudah melewati si anak muda ketika ia terkejut atas berkesiurnya angin kepalan, halus tetapi keras. Untuk menolong diri seharusnya ia mundur pula, akan tetapi ia telah berkeputusan pasti, untuknya maju terus tidak ada mundur, maka juga, ia tahu apa yang ia mesti lakukan.

"Hati-hati!" Kwee Ceng berteriak. Mendadak ia merasakan ada tubuh wanita yang halus menubruk lengannya, selagi ia kaget, kakinya telah kena digaet si nyonya, hingga tidak ampun lagi, keduanya jatuh ke arah pengempang.

Selagi tubuhnya belum jatuh ke air, tangan kiri Eng Kouw dilewatkan di bawah ketiak kanan Kwee Ceng, diangkat ke atas, ke belakang leher, terus ke pundak kiri si anak muda, untuk dipakai mencekek tenggorokan anak muda itu, untuk itu ia menggunakan dua jerijinya jempol dan tengah. Inilah ilmu silat "Siauw-kim-na" atau "Tangkapan kecil" jurus "Memencet tenggorokan menutup napas". Kalau orang kena terpencet, ia bisa lantas putus napasnya.

Kwee Ceng merasakan gerakan tangan orang, ia terperanjat. Ia tahu terancam bahaya. Lantas ia membela diri. Ia juga menggerakkan tangan kanannya ke arah leher si nyonya, hanya bukan mengarah tenggorokan hanya belakang leher, sebab ia menggunakan tipu serupa untuk bagian belakang, sedang Eng Kouw untuk bagian depan.

Eng Kouw lantas merasa akan gerakan pihak lawan. Ia pun tahu lihaynya pencetan itu, maka ia berdaya untuk menghindarinya.

Jembatan itu tidak tinggi, jaraknya ke muka air dekat sekali, meski begitu, sebelum tubuh dua orang itu tercebur, mereka sudah saling menyerang dan membela diri. Akhirnya, "Byur!" keduanya jatuh ke air!

Empang itu dalamnya kira-kira dua kaki, di situ ada lumpurnya, maka setelah berada di dalam pengempang, keduanya kerendam air sebatas dada. Eng Kouw licik sekali. Dengan tangan kiri ia merogoh ke dalam air, mengambil lumpur, dengan itu ia lantas menghajar muka si anak muda. Kwee Ceng terkejut, ia berkelit.

Dalam bergerak di lumpur, adalah keistimewaan si nyonya. Sudah belasan tahun ia berlatih di rawa lumpur, maka tubuhnya dapat bergerak dengan lincah sekali, mirip dengan lindung. Kalau di darat dia licin, di air terlebih lagi. Ini juga sebabnya ia berhasil menubruk si anak muda, mereka kecebur bersama. Ia percaya, dengan bertempur di air, ia dapat melewati anak muda ini.

Di dalam air, Kwee Ceng kalah gesit. Rugi untuknya, ia juga tidak berani menyerang melukai nyonya itu. Karena ia cuma bertujuan merintangi si nyonya. Maka lekas juga ia terdesak. Berulang-ulang ia diserang dengan lumpur, hingga ia selalu mesti main berkelit. Akhirnya ia gelagapan, ketika ada juga lumpur yang menimpa mukanya sebelum sempat berkelit, ia cuma bisa menutup matanya. Sambil membela diri dengan sebelah tangan, tangan yang lain ia singkirkan tanah basah itu. Ia telah diajari Kanglam Liok Koay, kalau terkena senjata rahasia, jangan sekali-sekali kehilangan ketabahan, kalau kita gugup atau bingung, musuh leluasa mengulangi serangannya. Maka, ia membela diri sambil menyerang beruntun tiga kali.

Eng Kouw pintar menyingkir dari setiap serangan, ia berlompat naik ke darat, dari itu ketika kemudian Kwee Ceng sudah bisa membuka matanya, ia tengah lari menuju ke dalam kuil. Di dalam hatinya ia kata: "Sungguh hebat! Kalau tidak ada pengempang, tidak akan aku dapat mengundurkan bocah tolol itu. Rupanya Thian besertaku, supaya aku berhasil menuntut balas……"

Segera ia sampai di depan pintu. Ia mengajukan sebelah tangannya, menolak daun pintu.

"Blak!" demikian suara nyaring dan pintu terbuka dengan gampang. Ia menjadi terkejut bahkan heran. Tentu saja ia berkhawatir nanti ada musuh bersembunyi, maka ia tidak lantas maju terus untuk masuk, ia hanya berdiri diam sambil memasang mata.

Kuil itu sunyi senyap. Karena itu baru ia bertindak masuk. Di pendopo ada api pelita, menyorotkan roman agung dari patung sang Buddha yang dipuja di situ. Ia lantas berlutut memberi hormat, ia memuji agar dibantu melaksanakan pembalasan. Tengah memuji, tiba-tiba ia mendengar suara tertawa perlahan dan geli di sebelah belakangnya. Ia terkejut. Segera ia bersiap membela diri, tangan kirinya menyampok ke belakang, dengan tangan kanan ia menekan tikar untuk berlompat bangun sambil memutar tubuh.

"Bagus!" ia mendengar pula satu suara, kali ini pujian untuk lompatannya yang lincah. Ia mengenal suara seorang nona. Ketika ia sudah mengawasi ¬karena ia pun tidak diserang - segera ia melihat tegas siapa nona itu, ialah Oey Yong!

Nona Oey mengenakan baju hijau ikat pinggang merah, gelang rambutnya yang terbuat dari emas berkeredep berkilauan. Pada wajahnya yang cantik terlihat senyuman manis. Sedang tangannya mencekal Lek-tiok-thung, tongkat keramat dari Kay Pang, Partai Pengemis.

"Eng Kouw, lebih dahulu aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk pertolonganmu!" si nona lantas berkata.

Tapi si nyonya terus terang: "Aku memberi petunjuk kepadamu untuk datang berobat kemari, maksudku yang utama bukan untuk menolong kau, hanya untuk mencelakai orang. Buat apa kau mengucap terima kasih padaku?"

Nona Oey menghela napas. "Di dunia ini, budi dan permusuhan sangat sukar dijelaskan," katanya. "Ayahku di Tho Hoa To telah memenjarakan Loo Boan Tong Ciu Pek Thong limabelas tahun lamanya sampai akhirnya, dia tetap tidak sanggup menolongi jiwa ibuku……"

Mendengar disebutnya nama Pek Thong, tubuh Eng Kouw bergidik. "Ada apakah hubungan antara ibumu dan Ciu Peng Thong?" ia menanya bengis.

Oey Yong cerdik sekali. Segera ia menduga, Eng Kouw tentu mencurigai ada hubungan asmara di antara ibunya dan Loo Boan Tong. Nada suara nyonya ini tegas menyatakan itu. Tapi ini pun bukti bahwa setelah berselang belasan tahun, kui-hui ini masih tidak melupakan Pek Thong, bahkan dia menjadi cemburu terhadap orang lain. Tapi orang menanyakan tentang ibunya. Ia lantas tunduk dan air matanya mengucur turun.

"Ibuku telah dibikin letih Ciu Pek Thong hingga ia meninggal dunia," sahutnya.

Eng Kouw bertambah curiga. Ia mengawasi tajam nona di depannya, hingga ia melihat kulit muka orang yang putih dan halus, matanya yang indah dan alis bagus bagaikan dilukis. Ia merasa, meskipun dulu, semasa ia muda dan sedang cantiknya, tidak dapat melawan nona ini. Maka kalau dia ini sama dengan ibunya, sama cantiknya, siapa berani tanggung Ciu Pek Thong tidak jatuh hati terhadap ibu si nona ini? Maka ia mengerutkan alis.

Oey Yong berkata lagi: "Jangan kau memikir yang tidak-tidak! Ibuku bagaikan bidadari, sedang Ciu Pek Thong itu buruk bagaikan kerbau nakal! Kecuali orang yang matanya tanpa biji, tidak ada yang menaruh hati pada si nakal itu!"

Eng Kouw tahu ia dimaki berdepan, tetapi toh kata-¬kata si nona melenyapkan kecurigaannya, maka berbareng dengan itu, lenyap juga kecemburuannya. Tapi ia mempunyai tabiatnya sendiri, ia tetap berlaku dingin. Ia berkata:

"Karena ada orang yang mencintai Kwee Ceng yang tolol seperti babi, mesti ada orang yang mencintai juga orang yang buruk dan nakal seperti kerbau! Kenapa ibumu itu dibikin mati letih oleh Loo Boan Tong?"

"Kau mencaci sukoku, aku tidak suka bicara denganmu!" sahut Oey Yong, yang menunjukkan tak senang hatinya. Ia lantas memutar tubuh, dengan lagaknya orang bergusar.

"Baiklah," kata Eng Kouw cepat. "Lain kali aku tidak mengatakan dia lagi."

Oey Yong menghentikan tindakannya, ia memutar tubuh. "Loo Boan Tong juga bukan sengaja membikin mati ibuku," ia berkata, "Adalah ibuku yang tidak beruntung, yang telah meninggal dunia disebabkan gara-gara dia. Karena murkanya di satu saat, ayahku telah mengurung dia di Tho Hoa To. Akhirnya, sia-sia saja tidak ada hasilnya dan ayah menjadi menyesal karenanya. Ada dibilang, penasaran ada sebabnya, utang ada piutangnya. Ada sebabnya utang piutangnya. Siapa membinasakan orang yang kau cintai, kau harus cari di ujung langit atau di pangkal laut, untuk membalaskan sakit hati, tetapi memindahkan hawa amarah kepada lain orang, apa perlunya itu?"

Mendengar itu Eng Kouw berdiri menjublak. Ia seperti merasa kepalanya dikemplang dengan tongkat.

"Maka itu ayahku telah memerdekakan Loo Boan Tong……" Oey Yong berkata pula.

Eng Kouw terkejut. "Jadi aku tidak perlu menolong lagi?" tanyanya. Agaknya dia lantas lega hatinya.

Semenjak meninggalkan Tali, Eng Kouw sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong. Untuk beberapa tahun, sia-sia belaka usahanya. Kemudian dari mulut Hek Hong Siang Sat, dengan tidak disengaja, mendengar halnya Pek Thong dikurung Oey Yok Su di Tho Hoa To, tentang sebabnya, ia tidak berhasil memperoleh keterangan. Ia girang berbareng berduka mendapat kabar halnya Pek Thong itu. Ia girang sebab ia sekarang tahu di mana adanya si kekasih, hanya ia berduka sebab sulit untuk pergi menemui dan menolong dia. Ia pernah mencoba memasuki Tho Hoa To. Di situ, jangan kata menolong orang, ia sendiri bersengsara tiga hari tiga malam, hampir ia mati kelaparan. Setelah lolos dari Tho Hoa To, barulah ia berdiam di rawa lumpur hitamnya itu, untuk meyakinkan ilmu gaib, maksudnya supaya dapat memasuki Tho Hoa To. Sekarang, mendapat tahu Pek Thong sudah bebas, rupa-rupa perasaan memenuhi otaknya.

"Loo Boan Tong paling mendengar kata terhadapku," kata pula Oey Yong, sekarang sambil tertawa manis. "Apapun yang aku bilang, belum pernah dia berani bantah. Jikalau kau ingin menemui dia, mari ikut aku turun gunung, aku nanti menolong kamu merangkap jodoh. Dengan begitu aku jadi bisa membalas budimu sudah menolong aku."

Perkataan itu membikin muka Eng Kouw menjadi merah dan hatinya berdebaran. Oey Yong mengawasi nyonya itu, hatinya lega. Ia percaya bakal berhasil membujuk si nyonya, hingga bahaya menjadi lenyap untuk It Teng Taysu. Tengah ia mengharap jawaban orang, tiba-tiba ia melihat nyonya itu menepuk tangan keras, lantas romannya berubah menjadi bengis dan dia berkata dengan bengis:

"Eh, budak masih berambut kuning, dapatkah kau membikin dia mendengar kata terhadapmu? Apakah yang kau andalkan? Apakah kecantikanmu! Hm! Aku tidak melepas budi padamu, aku tidak mengharapkan pembalasan budimu! Sekarang lekas kau membuka jalan, jangan kau ayal-¬ayalan! Jangan kau nanti mengatakan aku tidak mengenal kasihan!"

Oey Yong tidak takut, dia bahkan tertawa. "Ah, ah! Kau hendak membunuh aku?" tanyanya.

"Membunuh kau, apa boleh buat?" kata Eng Kouw dingin. "Lain orang jeri terhadap Oey Lao Shia, aku tidak! Aku tidak takut bumi atau langit!"

Oey Yong terus tertawa. "Tidak apa kau membunuh aku!" katanya. "Habis siapa nanti menolong kau memecahkan teka-tekiku baru-baru ini?"

Eng Kouw lantas diingatkan teka-teki si nona. Memang semenjak kepergiannya Oey Yong, ia tidak berhasil memecahkan teka-teki itu, sia-sia belaka ia menghitungnya. Untuk dapat menolong Ciu Pek Thong, ia mengasah otak, ia bekerja keras memikirkan, sampai ada kalanya ia lupa dahar dan lupa tidur. Sekarang, mendengar suara si nona, timbullah kesangsiannya.

"Kau jangan bunuh aku, nanti aku mengajari kau," kata Oey Yong. Ia lantas mengambil pelita di depan patung, ia pindahkan ke lantai. Ia juga mengambil sepasang jarum emas, kemudian mencoret-coret di atas batu.

Eng Kouw menjadi tertarik, tanpa merasa ia mengawasi. Ia menjadi kagum sekali untuk kepintaran si nona.

"Tapi, apa perlunya, dia melayani aku bicara secara begini?" kemudian ia pikir. "Apakah dia bukan hendak mengulur waktu?"

Diam-diam ia memandang ke dalam. Ia menduga It Teng Taysu berdiam di ruang belakang. Tentu saja ia tidak sudi diakali seorang bocah. Maka tanpa berkata apa-apa, ia bertindak ke dalam. Ketika sudah melewati hud-tian, ia melihat sinar api yang guram. Ia menjadi jeri. Tidakkah ia bersendirian saja?

"Toan Tie Hin!" ia lantas memanggil, suaranya keras. "Sebenarnya kau mau menemui aku atau tidak? Kenapa kau menyembunyikan diri di tempat yang gelap? Adakah perbuatanmu perbuatan seorang laki-laki?"

Oey Yong mengikuti nyonya itu. Mendengar suara orang, ia tertawa dan berkata: "Eng Kouw, apakah kau mencela tempat ini kurang penerangan? It Teng Supee justru takut lampu terlalu banyak hingga kalau dipasang semuanya kau nanti menjadi kaget. Ia justru menitahkan api dipadamkan……"

"Hm!" si nyonya menyahut. "Akulah manusia yang ditakdirkan mesti mampus masuk ke neraka, mustahil aku takut segala gunung golok dan kuali minyak?"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar