Selasa, 02 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 126

"Aku jatuh sakit hingga setengah tahun lebih," kata It Teng kemudian, "Setelah sembuh, aku tidak suka memikirkan lagi urusan itu. Kemudian lewat dua tahun lebih, pada suatu malam, selagi aku bersemedhi di dalam kamar, mendadak Lauw Kui-hui datang, dia menyingkap gorden dan nerobos masuk, Thaykam dan dua siewi yang menjaga di luar pintu mencegah, tetapi mereka kena dihajar. Ketika aku menoleh, aku melihat kui-hui menggendong anaknya. Aku mendapatkan dia bermuka pucat, lantas dia bertekuk lutut di depanku dan menangis menggerung-gerung, sambil mengangguk-angguk, dia kata:

“Aku mohon belas kasihan hongya, supaya anak ini dikasih ampun."

"Aku bangkit, melihat anak itu. Dia bermuka merah, napasnya memburu. Ketika aku menggendong dan memeriksa, aku mendapatkan tulang iganya patah lima biji. Kui-hui masih menangis, ia kata: 'Hongya aku bersalah, aku harus mati, tetapi aku mohon anak ini diberi ampun.' Aku tanya, anak itu kenapa. Dia mengangguk-angguk terus, dia tidak menjawab hanya tetap mohon aku mengampuni anaknya itu. 'Mohon hongya mengampuni dia,' katanya ketika aku menanya pula, hingga aku menjadi heran sekali. 'Kalau hongya menghendaki kematianku, aku tidak penasaran hanya ini anak, ini anak……"

"'Siapa yang menghadiahkan kematian padamu?!' Aku tanya pula. Sebenarnya kenapa anak ini terluka?"

"Kui-hui mengangkat kepala, ia mengawasi aku. 'Apakah bukan hongya yang menitahkan siewi menghajar mati anak ini?' Dia tanya. Aku menjadi heran. Mesti ada apa-apa pada kejadian itu. 'Jadi dia dilukai oleh siewi?' Aku tanya. 'Budak yang mana yang begitu bernyali besar?' Dia terkejut. 'Oh, jadi bukan hongya yang menitahkan? Kalau begitu, anak ini bakal ketolongan……!' Habis berkata begitu dia pingsan."

"Aku heran sekali, aku pun merasa kasihan melihat keadaan kui-hui itu. Aku mengangkat dia bangun, direbahkan di pembaringan. Selang sekian lama, baru dia sadar. Dia lantas menangis, sembari menuturkan duduknya kejadian. Katanya, dia lagi menepuk-nepuk anaknya untuk ditidurkan, mendadak dari luar jendela berlompat masuk satu orang, ialah satu siewi yang mukanya bertopeng, anaknya lantas dirampas dan diangkat, dihajar punggungnya. Kui-hui kaget, dia mencegah. Siewi itu menolak kui-hui, sekali lagi dia menghajar anak itu, kemudian dia tertawa dan berlompat pergi. Kui-hui tidak mengejar, pertama siewi itu kosen sekali, kedua dia menyangka siewi itu diperintah olehku. Itulah sebabnya kui-hui lantas membawa anaknya datang padaku, untuk minta ampun. Aku menjadi semakin heran. Aku memeriksa teliti anak itu, aku tidak mendapat tahu dia terlukakan pukulan ilmu silat apa. Aku mendapatkan ada otot anak itu yang putus. Aku lantas pergi ke kamar kui-hui, untuk melakukan pemeriksaan, sebab aku percaya si penjahat bukan sembarang orang. Kemudian di atas genteng aku melihat tapak kaki. Aku lantas kata pada kui-hui: 'Penjahat itu lihay sekali, terutama ilmu meringankan tubuhnya. Di negeri Tali ini, kecuali aku, tidak ada orang yang kedua yang lihay seperti dia.' Kui-hui menjadi kaget, ia berkata; 'Mustahilkah dia? Perlu apa dia membinasakan anaknya sendiri?' Berkata begitu, mukanya menjadi pucat seperti muka mayat."

Oey Yong terkejut. "Tidak mungkin Loo Boan Tong berbuat demikian……" katanya perlahan.

"Ketika itu aku justru menduga pada Ciu Suheng," berkata It Teng Taysu, "Kecuali dia, tidak ada orang yang segagah dia. Aku pun menduga, mungkin dia berbuat begitu sebab dia tidak sudi mempunyai anak itu, yang bakal membikin dia malu. Ketika kui-hui mendengar dugaanku itu, ia malu dan cemas, ia kaget. Mendadak ia kata: 'Tidak, pasti bukan dia! Suara tertawanya lain.' Aku berkata: 'Kau sedang kaget dan ketakutan, mungkin kau kurang jelas?' Tapi ia berkeras, ia kata: 'Suara tertawanya orang itu aku akan ingat buat selama-¬lamanya, meski aku menjadi setan, tidak akan aku lupa! Bukan, bukan dia!'"

Mendengar itu, semua orang menggigil tanpa merasa. Kwee Ceng dan Oey Yong lantas membayangi roman Eng Kouw ketika si nyonya menggertak gigi.

"Mendengar perkataan kui-hui, aku jadi percaya," It Teng bercerita lagi. "Hanya aku tidak bisa menerka si penjahat. Dia begitu kosen, kenapa dia hendak membinasakan seorang anak kecil? Aku sampai menduga-duga kepada murid-muridnya Cinjin seperti Ma Giok, Khu Cie Kee dan lainnya. Mungkin mereka hendak melindungi nama baik partai mereka maka mereka melakukan perjalanan jauh guna melakukan pembunuhan itu……"

Kwee Ceng hendak membuka mulutnya tapi diurungkan. Ia tidak seberani Oey Yong, yang tak takut memotong pembicaraan orang suci itu.

"Kau hendak bilang apa?" It Teng Taysu menanya ketika melihat orang batal bicara.

"Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya itu adalah orang-orang suci dan gagah, tidak mungkin mereka melakukan perbuatan serendah itu," Kwee Ceng bilang.

"Ong Cie It itu pernah aku menemuinya di Hoa San, dia memang seorang laki-laki," kata It Teng, "Tentang yang lainnya, aku tidak tahu. Memang, kalau benar mereka, dengan satu hajaran saja dapat membinasakan anak itu, maka kenapa mereka menghajar hanya setengah mati?"

Sembari bicara, pendeta ini berpikir. Sudah belasan tahun, ia masih belum dapat memecahkan keragu-raguannya. Ruang itu menjadi sunyi sekali.

"Baiklah, nanti aku menuturkan terus," katanya kemudian.

Tiba-tiba Oey Yong berlompat. "Tidak salah lagi, dia pasti Auwyang Hong!" katanya.

"Belakangan aku juga pernah menduga dia," kata It Teng, "Hanya kemudian aku berpikir juga, mustahil dia yang berada jauh di wilayah Barat, sedang dia juga bertubuh tinggi dan besar. Menurut kui-hui, si orang jahat terlebih kate dan kecil dari kebanyakan orang."

"Benar-benar heran," kata si nona.

"Ketika itu aku sangsi memikirkan anak itu," It Teng berkata pula. "Dia terluka tak lebih hebat daripada lukamu, nona, hanya dia masih kecil sekali, tubuhnya sangat lemah, maka untuk mengobati dia, aku mesti mengorbankan tenaga dalamku. Aku jadi bersangsi sebab aku tahu, di dalam rapat yang kedua di gunung Hoa San nanti, pasti aku tidak dapat turut mengambil bagian. Beberapa kali aku hendak menampik, aku gagal. Aku gagal. Aku kasihan melihat Kui-hui, yang menangis saja. Ah, benarlah kata Ong Cinjin bahwa kitab itu bisa mendatangkan kegaduhan dan mencelakai banyak orang. Buktinya aku sendiri, karena memikirkan kitab itu, aku menjadi lain dari biasanya. Lama aku berpikir, baru aku mengambil keputusan untuk mengobati anak itu. Selama aku berpikir itu, aku merasa akulah seorang hina dina mirip dengan binatang. Aku pun masih tidak dapat mengubah kelakuanku meskipun aku sudah mengambil keputusan, aku menganggapnya menolong lantaran tidak bisa menolak permohonan dari Lauw Kui-hui."

"Supee, aku membilang kau sangat mencinta dia, sedikit pun kau tidak salah," berkata Oey Yong.




It Teng seperti tidak mendengar perkataan si nona, dia berkata terus: "Ketika Kui-hui mendengar jawabanku, dia girang sampai pingsan. Lehih dulu aku uruti dia, untuk menyadarkannya, baru aku menolongi anaknya itu. Aku menguruti bocah itu dengan Sian Thian Kang. Ketika aku membuka otonya, aku terkejut. Oto itu memakai sulaman sepasang burung wanyoh serta syairnya itu. Oto itu terbuat dari sapu tangan yang Ciu Suheng dulu hari melemparkan kepadanya. Selagi aku terbengong, kui-hui rupanya melihat sikapku. Maka ia mengertak gigi, mengeluarkan pisau belati, ia tujukan ke dadanya. Ia kata, 'Hongya, aku tidak ingin hidup pula di dunia, maka aku memohon belas kasihanmu, kau tolonglah anak ini. Aku menukar dia dengan jiwaku, nanti di lain dunia, aku akan menjadi anjing dan kuda guna membalas budimu.' Lantas ia menikam dadanya."

Semua orang terkejut, meski mereka tahu Lauw Kui-hui toh masih hidup. Itulah sebab hebatnya suasana yang diciptakan penuturannya It Teng Taysu. Pendeta ini bercerita terus, tapi sekarang ia seperti berbicara seorang diri. Ia berkata:

"Segera aku mencegah perbuatan Kui-hui dengan merampas pisau belatinya. Aku berlaku cepat tetapi toh dadanya tergores juga sedikit hingga dia mengucurkan darah. Karena aku khawatir dia nanti mencoba membunuh diri lagi, aku totok jalan darah di tangan dan kakinya hingga dia tidak dapat bergerak. Habis membalut lukanya, aku kasih duduk di kursi, untuk beristirahat. Dia tidak bilang apa-apa, dia cuma mengawasi aku, matanya menunjukkan kedukaan yang sangat. Aku pun berdiam saja. Maka di situ Cuma terdengar suara napasnya si anak kecil, napas yang mendesak. Mendengar napas bocah itu, aku jadi ingat kejadian yang telah berlalu. Aku ingat bagaimana mulanya dia masuk ke istana, bagaimana aku mengajari dia silat. Aku menyayangi dirinya dan dia selalu menghormati aku, dia agak jeri, dengan teliti dia merawat aku, belum pernah dia membantah, hanya bahwa dia tidak pernah mencintai aku, ini aku tidak tahu, baru aku menginsyafinya setelah datang hari itu yang dia jatuh hati kepada CiuSuheng. Demikian sifatnya kalau seorang wanita mencintai seorang pria. Dia bengong mengawasi sapu tangannya, dia bengong mengawasi Ciu Suheng berlalu untuk selamanya. Sinar matanya membuat aku tidak tentram tidur dan tidak bernapsu dahar. Sekarang aku melihat pula sinar matanya itu, sekarang disaat dari hancurnya hatinya pula. Cuma sekarang bukan untuk kekasihnya, hanya untuk anaknya."

It Teng berdiam sejenak. "Seorang laki-laki diperhina demikian, tidak dapat apapula aku seorang raja! Maka itu, mengingat demikian, hatiku menjadi panas. Dengan tiba-tiba aku menendang bangku gadis di depanku hingga bangku itu rusak. Ketika kemudian aku menoleh pada kui-hui, aku terkejut, aku melengak. 'Eh, rambut…… rambutmu itu kenapa?' Aku tanya dia. Dia seperti tidak mendengar perkataanku, dia terus mengawasi anaknya. Dulu-dulu aku tidak mengerti orang mempunyai sinar mata demikian, sekarang baru aku menginsyafinya. Berapa besar dia harus dikasihani. Dia rupanya telah mengerti yang aku tidak sudi menolong anaknya, maka selama dia masih hidup, ingin dia memandang anaknya itu, makin lama makin baik. Aku mengambil kaca, aku bawa itu kepadanya. 'Lihat rambutmu,' aku kata padanya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, dia seperti menjadi lebih tua beberapa puluh tahun, sedang dia sebenarnya baru berumur sembilan belas tahun. Disebabkan kaget, takut, berduka, menyesal, penasaran, putus harapan, mendadak ramhutnya berubah menjadi uban!"

"Dia tidak memperhatikan sedikit juga roman atau rambutnya itu. Dia menyangka aku pakai kaca untuk menghalangi dia mengawasi anaknya. Dia berkata padaku, 'Angkat kaca itu.' Dia bicara tegas sekali, dia seperti lupa akulah raja junjungannya. Aku menjadi heran. Aku tahu dia biasanya sangat menyayangi paras mukanya. Aku menyingkirkan kaca, maka terus dia mengawasi anaknya. Ah, kalau dia ada seribu arwahnya, tentulah dia serahkan semua itu kepada anaknya, asal anaknya itu hidup. Aku mengerti bagaimana perasaannya itu. Dia ingin mati untuk anaknya itu."

Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Di dalam hatinya, mereka saling mengatakan: "Kalau aku pun menampak kesukaran seperti itu, apakah kau juga dapat mengawasi aku demikian rupa?" Tanpa merasa mereka saling menyodorkan tangan, untuk saling memegang erat-erat, hati mereka berdenyutan, tubuh mereka dirasai hangat.

"Sebenarnya aku merasa tidak tega," It Teng kemudian melanjutkan ceritanya, "Aku berniat menolong anak itu, apa mau dikata sapu tangan itu tetap berada di dadanya. Itulah sulaman sepasang burung wanyoh, yang saling menyenderkan leher mereka. Kepala burung itu putih. Itulah lambang untuk hidup bersama hingga di hari tua. Maka kenapakah, sebelum tua tetapi rambut sudah putih terlebih dulu? Maka melihat rambut putihnya itu, dengan sendirinya aku mengeluarkan keringat dingin. Mendadak hatiku menjadi keras hati. Aku kata padanya: 'Baiklah, kamu boleh menjadi tua bersama, biarlah aku bersia-sia sendiri di istana sunyi ini tetap sebagai kaisar! Dialah anak kamu berdua, kenapa aku mesti mengorbankan diri untuk menolong menghidupi dia?' Dia memandang aku. Itulah pandangannya yang terakhir. Pada mata itu tampak sinar kedukaan, penasaran, permusuhan. Semenjak itu, dia tidak pernah melihat aku lagi. Sebaliknya aku, tidak dapat melupakan sinar mata itu. Dia berkata dingin. 'Kau lepaskan aku, aku hendak menggendong anakku!' Perkataannya itu mirip firman, membuat orang susah membantahnya. Maka aku membebaskan dia dari totokan. Dia menggendong anaknya. Anak itu pasti terluka parah hingga tidak dapat menangis, mukanya bersinar gelap, matanya mengawasi ibunya, mungkin ia minta ditolong. Aku sendiri sejenak itu, tidak mempunyai rasa kasihan sedikitpun. Aku hanya melihat, rambut hitamnya berubah menjadi putih. Mungkin itu perasaan belaka. Lalu aku mendengar dia berkata halus pada anaknya: 'Anak, ibumu tidak mempunyai kepandaian untuk menolong kau, ibumu tidak dapat membiarkan kau tersiksa lebih lama, maka, anak kau tidurlah biar nyenyak…… Tidur, anak tidur, untuk selama-lamanya jangan kau sadar lagi!' Aku mendengar dia bernyanyi perlahan, menyanyikan lagu mengeloni anak tidur. Sedap nyanyiannya itu…… Ya, begini, nah kau dengarlah!"

Orang heran. Si pendeta mengatakan demikian tetapi di situ tidak ada terdengar suara nyanyian. Mereka saling mengawasi, mereka terkejut.

"Suhu!" kata si pelajar. "Kau telah bicara terlalu banyak, kau lelah, baiklah kau beristirahat."

It Teng seperti tidak mendengar. Dia berkata pula: "Anak itu bersenyum. Hanya sejenak, saking sakitnya, dia bergelisah. Lantas ibunya berkata pula padanya halus sekali: 'Jantung hatiku, kau tidurlah, nanti lenyap semua rasa sakitmu, sedikit juga tidak sakit lagi……' Sekonyong-konyong terdengar suara menublas dan pisau belati telah nancap di dadanya!"

Oey Yong kaget hingga ia menjerit, kedua tangannya memeluk lengan Kwee Ceng. Si pelajar berempat pun kaget tidak terhingga, muka mereka menjadi pucat. Hebat penuturan It Teng itu, yang sebaliknya berbicara terus:

"Aku kaget, aku terhuyung, terus aku jatuh ke lantai. Dalam keadaan lapat-lapat aku tidak tahu memikir apa. Aku banya ingat dia bangkit dengan perlahan-lahan, dengan perlahan dia berkata: 'Akhirnya akan ada satu hari yang aku, dengan pisau belatiku ini, nanti menumblas ulu hatimu.' Dia menunjuk pada gelang kumala di tangannya, dia berkata pula: 'Inilah gelang yang di hari aku masuk ke istana kau memberikan kepadaku. Kau tunggu saja, di hari itu gelang kumala ini aku kembalikan padamu, maka hari itu juga pisau belati ini akan turut datang.'"

Sambil berkata begitu, It Teng putar gelang itu di jari tangannya. Ia bersenyum. "Inilah gelang kumala itu," katanya. "Aku telah menantikan belasan tahun hari ini tibalah harinya itu!"

"Supee, dia membunuh sendiri anaknya, ada apa sangkutannya dengan kau?" Oey Yong tanya. "Pula dia telah mencelakai kau dengan racun, maka meskipun ada permusuhan dahulu, bukankah itu sudah impas? Biarlah, sebentar di kaki gunung, akan kami menyuruh dia pergi, supaya dia jangan datang mengganggu pula……"

Tepat selagi si nona berkata, satu kacung hweeshio datang masuk. "Suhu," katanya, "Dari kaki gunung ada lagi yang mengantarkan ini……"

Dengan kedua tangannya, kacung itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil. It Teng menyambut, untuk terus dibuka. Betapa kagetnya semua orang, hingga mereka berseru, itulah sehelai oto bersulamkan burung wanyoh, sulaman burungnya hidup sekali, cuma suteranya sudah berubah kuning. Di antara kedua ekor burung itu ada satu liang bekas tusukan pisau, di samping liang ada bagian yang hitam, sisa darah.

It Teng meletakkan oto itu di lantai, ia bengong mengawasi. Sekian lama ia berdiam, romannya berduka, lalu dia berkata:

"Inilah sulaman burung wanyoh yang mau terbang berpasangan. Hm, mau terbang berpasangan, tetapi akhirnya menjadi impian belaka. Dia menggendong anaknya, dia berlompat keluar jendela, sembari berlalu dia tertawa keras dan lama. Setibanya di luar, dia lompat naik ke atas genting, sekejap saja dia lenyap. Aku menjadi tidak dahar dan tidak minum, tiga hari tiga malam aku memikirkannya. Akhirnya aku sadar, maka itu, aku mewariskan mahkota kepada anakku yang sulung, aku sendiri lantas masuk menjadi pendeta."

Dia menunjuk empat muridnya, akan menambahkan: "Mereka ini lama telah mengikutiku, mereka tidak suka berpisahan, maka mereka turut aku pergi ke Inlam Barat, ke kuil Liong Coan Sie. Mulanya selama tiga tahun pertama, mereka membantu putraku memerintah. Mereka membantu dengan bergiliran. Kemudian, setelah putraku mengerti tugasnya, dan justru telah terjadi peristiwa di Tay Soat San di mana Auwyang Hong melukai muridku ini, kita lantas pindah ke mari. Sejak itu kita tidak kembali ke Tali. Hatiku keras, aku tidak suka menolong anak itu, maka itu selanjutnya, sampai belasan tahun hingga sekarang ini, siang dan malam, aku merasa hatiku tidak tenang. Aku memikir untuk lebih banyak menolong orang, guna menebus dosaku yang besar itu. Mereka ini tidak mengetahui kesengsaraan hatiku, mereka selalu mencegah. Ah, taruh kata aku dapat menolong selaksa jiwa, anak itu toh tetap mati. Kalau bukan aku membayarnya dengan jiwaku sendiri, mana dosa itu dapat ditebus? Maka setiap hari aku menanti-nanti kabar dari Eng Kouw, menanti dia membawa pisau belatinya untuk menumblas dadaku. Aku tadinya berkhawatir dia tak keburu datang, nanti aku mati terlebih dulu, kalau begitu, hebat untukku. Tapi bagus, sekarang temponya telah tiba, harapanku bakal terkabul. Ah, sebenarnya, buat apa dia menaruh racun di dalam obat Kiu Hoa Giok Louw Wan? Kalau aku tahu, dia bakal segera datang, tak usah suteeku menolong aku menyingkirkan racun itu."

Tapi Oey Yong tidak senang. "Perempuan itu jahat!" ia kata sengit. "Rupanya dia telah ketahui tempat kediaman supee ini, karena khawatir tidak bisa melawan, dia menantikan saatnya yang baik, maka kebetulan sekali aku terluka Khiu Cian Jin, dia sambar ketika ini dia pakai aku sebagai perkakas. Pantas dia menunjukkan aku tempat supee. Dia rupanya memikir untuk lebih dulu membikin habis tenaga supee, baru dia mau turun tangan sendiri. Aku menyesal diriku kena dipermainkan dia! Supee, kenapa gambarnya Auwyang Hong bisa berada di tangannya? Ada apa hubungan dia dengan gambar itu?"

It Teng mengambil sebuah kitab dari atas mejanya dan membalik lembarannya. Ia berkata.

"Gambar ini mempunyai lelakon seperti ini. Di sebuah kota di India ada seorang raja yang sujud. Pada suatu hari seekor burung dara terbang kepadanya meminta perlindungan. Burung dara itu dikejar seekor elang. Burung ini meminta burung dara itu, katanya, kalau tidak, dia bakal mati kelaparan. Sulit untuk raja itu, sebab menolong yang satu berarti mencelakai yang lain. Maka akhirnya ia mengambil pisau dan memotong dagingnya sendiri. Si burung elang meminta daging raja yang sama beratnya seperti burung dara itu, maka daging itu ditimbang. Kenyataannya burung dara itu berat luar biasa, daging raja tidak cukup kendati ia sudah memotong seluruh anggota tubuhnya. Ketika raja menimbangkan tubuhnya juga, maka bergoyanglah bumi, langit bergembira, bidadari-¬bidadari menyebar bunga, harumlah semua jalan, maka naga langit dan setan-setan yang berada di udara pada menghela napas dan berkata: 'Siancay, siancay. Kegagahan seperti ini, sungguh belum pernah ada!'"

Itulah dongeng tetapi demikian rupa It Teng menuturnya, semua orang jadi tergerak hatinya.

"Sekarang aku mengerti, supee," berkata Oey Yong. "Dia khawatir supee tidak suka menolong mengobatiku, dia sengaja menunjukkan gambar itu untuk membikin hati supee tertarik."

"Benar begitu," kata It Teng bersenyum. "Ketika dulu itu dia meninggalkan Tali, tentu hatinya gusar dan penasaran, tentu dia mencari orang gagah, entah bagaimana, dia bertemu Auwyang Hong. Pasti Auwyang Hong mengetahui maksud orang maka ia menolong melukis gambar itu. Kitab ini tersiar luas di Wilayah Barat dan Auwyang Hong adalah orang sana, tentu dia mengetahuinya dengan baik."

"Sungguh jahat!" kata Oey Yong sengit. "Si bisa bangkotan menggunakan Eng Kouw dan Eng Kouw menggunakan aku, ini akal jahat meminjam golok membunuh lain orang!"

"Jangan kau gusar," berkata It Teng menghela napas. "Umpama kata dia tidak bertemu sama kau, mesti dia akan melukai orang, yang dia menyuruhnya datang ke mari meminta aku menolongnya. Cuma, siapa tidak mempunyai kepandaian, tidak dapat dia datang ke mari. Sudah lama Auwyang Hong melukis gambar ini, maka itu rencananya pasti telah diatur semenjak sepuluh tahun yang lampau. Bukankah ini pun semacam jodoh?"

"Benar, supee. Tapi ia masih mempunyai satu maksud lain, yang lebih penting daripada urusan dengan supee ini."

It Teng heran. "Apakah itu?" ia tanya.

"Loo Boan Tong kena dikurung ayahku di Tho Hoa To, dia hendak pergi menolong," si nona menerangkan. Ia menerangkan bagaimana Eng Kouw mencoba mempelajari Kie-bun-sut, supaya bisa memasuki Tho Hoa To. Kemudian ia menambahkan; "Kemudian Eng Kouw ketahui, ia belajar lagi seratus tahun juga tidak mungkin dapat melawan ayahku, maka ketika melihat aku terluka, lantas ia……"

Mendengar itu It Teng tertawa panjang, lalu berbangkit. "Sudah, sudah!" katanya. "Segala apa terjadi secara kebetulan, maka sekarang tentulah dia puas!" Ia berpaling kepada empat muridnya, untuk memerintah: "Pergi kamu menyambut dengan baik Lauw Kui¬hui! Eh, bukan! Kamu menyambut Eng Kouw, kau ajak dia datang kemari. Sedikitpun kamu tidak boleh berlaku tidak hormat kepadanya."

Tanpa berjanji, keempat murid itu menekuk lutut mendekam akan menangis menggerung-gerung. "Suhu!" kata mereka.

It Teng Taysu menghela napas. Ia berkata: "Kamu telah mengikutiku banyak tahun, mungkinkah kamu masih belum tahu hati gurumu?" Ia menoleh kepada Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk mengatakan; "Aku hendak meminta sesuatu kepada kamu."

"Titahkan saja, supee," menyahut si anak muda.

"Bagus!" kata pendeta itu, "Sekarang pergilah kamu turun gunung. Seumurku, aku banyak berhutang kepada Eng Kouw, maka kalau di belakang hari dia menemui sesuatu bahaya, aku minta dengan memandang aku si pendeta tua, haraplah kamu membantu dia sungguh-sungguh. Seandainya kamu dapat menjodohkan dia dengan Ciu Suheng, aku akan lebih-lebih lagi bersyukur."

Dua muda-mudi itu tercengang, mereka saling mengawasi. Bukankah Eng Kouw datang untuk menuntut balas? Dengan perbuatannya ini, bukan saja It Teng menutup pintu bagi siapa yang hendak menuntut balas, dia membalas kejahatan dengan kebaikan.

Menampak dua orang itu berdiam, It Teng bertanya; "Apakah permintaanku si pendeta tua ini sulit untuk kamu menjawabnya?"

Oey Yong masih bersangsi tetapi ia menjawab: "Kalau supee minta begitu, baiklah, kami menerima baik." Ia lantas menarik ujung baju Kwee Ceng, diajak sama-sama memberi hormat, guna meminta diri.

"Kamu tak usah bertemu muka sama Eng Kouw," It Teng berkata lagi. "Maka pergilah kamu turun gunung dari belakang."

Oey Yong menyahuti, ia tarik Kwee Ceng untuk diajak pergi. Keempat muridnya melihat wajah si nona tenang saja, diam-diam mereka mencaci nona itu tidak berbudi, sebab mereka anggap nona itu tidak memikirkan keselamatan orang yang telah menolongi dia.

Kwee Ceng mengikuti tanpa bicara. Ia tidak percaya Oey Yong demikian tidak berbudi. Ia percaya si nona punya maksud lain. Ketika mereka sampai di mulut pintu, si nona lantas berbisik padanya, kemudian ia mengangguk-angguk, terus ia bertindak kembali, tindakannya perlahan.

It Teng berkata pada pemuda itu; "Kau jujur dan setia, di belakang hari kau pasti akan berhasil melakukan sesuatu yang besar. Maka itu, urusan Eng Kouw pun aku serahkan padamu."

Kwee Ceng menyahuti baik, akan tetapi berbareng dengan itu, mendadak dengan kecepatannya yang luar biasa, ia menyambar lengan si pendeta bangsa India di sisi It Teng Taysu, menyusul tangan kiri menotok dua jalan darah hoa-kay dan thian-cu, hingga si pendeta tak dapat berkutik dalam detik itu juga.

Kejadian ini membikin si pelajar berempat menjadi sangat kaget dan heran. "He, kau bikin apa?" mereka menegur.

Tindakan Kwee Ceng belum selesai. Ia tidak memberikan penyahutan kepada empat orang itu, sebaliknya tangan kirinya lantas menyambar ke pundak It Teng Taysu. Menampak sambaran itu, It Teng menggerakkan tangan kanannya, gesit luar biasa, ia menyambut tangan kiri si anak muda, untuk ditangkap.

Kwee Ceng menjadi kaget dan heran. Ia tidak menyangka pendeta itu masih bisa menghindarkan diri dari sambarannya. Itulah kepandaian dahsyat, yang ia baru pernah menyaksikannya. Hanya ia mendapat kenyataan, ketika kedua tangan saling membentur, tenaga si pendeta lemah sekali, maka ia lantas memutar tangannya untuk membalas menangkap. Berbareng dengan itu, tangan kanannya Kwee Ceng menggunai jurus "Naga sakti menggoyang ekor", guna memukul mundur si pengail dan si tukang kayu, yang menyerang dari samping. Sebab kedua murid pendeta itu, dalam kagetnya, lantas menerjang, untuk menolong guru mereka. Mereka ini cuma bisa maju satu kali saja, lantas mereka dibikin tidak berdaya. Si anak muda meneruskan menotok dua jalan darah mereka, hong-bwee dan ceng-ciok.

Ketika itu Oey Yong juga sudah turun tangan. Dengan tongkatnya ia mendesak mundur si petani sampai di muka pintu.

Si pelajar menjadi kelabakan. "Berhenti, berhenti!" ia berseru berulang-ulang. "Mari kita bicara dulu!"

Si petani menjadi seperti kalap, dia berkelahi nekat sekali, hendak dia merangsak, akan tetapi dia dirintangi tongkat kaum Pengemis, selalu kena dipaksa mundur lagi.

Kwee Ceng sekarang menerjang keluar dari kamar suci, dia paksa memukul mundur si pengail, si tukang kayu dan si pelajar juga, hingga mereka ini terpaksa mundur setindak demi setindak.

Oey Yong dalam melayani si petani telah menotok ke arah alis lawannya. Petani itu terkejut, dia berteriak, terpaksa berkelit sambil berlenggak berlompat juga.

"Bagus!" berseru si nona selagi orang mundur, lalu dengan cepat ia menutup pintu. Sekarang ia tertawa haha-hihi dan mengatakan: "Tuan-tuan, tahan, hendak aku bicara!"

Si tukang kayu dan si tukang pancing telah menangkis serangan Kwee Ceng, mereka merasakan tangan sakit, mereka terhuyung mundur beberapa tindak, meski begitu, ketika si anak muda maju, mereka pun maju pula dengan berbareng, guna melawan terus. Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak kenal takut.

Kwee Ceng telah mendengar suara kawannya, ia berhenti melayani terlebih jauh, cepat-cepat ia menarik pulang tangannya, sembari memberi hormat, ia berkata;

"Maaf! Maaf!"

Keempat murid It Teng menjadi heran dan melengak karenanya. Oey Yong segera berkata;

"Kami telah menerima budi guru kalian, budi yang besar sekali, sekarang guru kalian berada dalam bahaya cara bagaimana kami bisa berpeluk tangan menonton saja? Maafkan perbuatan kami ini untuk memberi pertolongan."

Si pelajar menjura. "Musuh majikan kami adalah majikan kami juga," ia berkata. "Di antara kita orang ada tingkat tinggi dan rendah, karena itu, kalau majikan kami yang wanita datang ke mari, kami tidak berani turun tangan terhadapnya. Juga guru kami, karena kematiannya sang putra selama belasan tahun, tidak tentram hatinya, maka itu kalau sebentar Lauw Kui-hui datang, jangan kata memangnya telah lenyap kepandaiannya, walaupun ia masih gagah, ia tentu bakal mandah dibunuh Lauw Kui-hui. Maka hal itu sangat menyulitkan kami, kami tidak berdaya. Dari itu nona, jikalau kamu bisa menunjukkan jalan keluar kepada kami, meski tubuh kami hancur lebur, tidak nanti kami melupakan budimu yang besar itu."

Melihat orang bicara demikian sungguh-sungguh, Oey Yong tidak mau bergurau lagi. "Kami mulanya mengharap bantuan si orang India yang menjadi paman guru kalian," ia berkata, "Kami tidak menyangka, dia sebenarnya tidak mengerti ilmu silat, karena itu sekarang aku mesti menukar siasat. Tindakan ini luar biasabesar bahayanya. Seandainya kita berhasil, di belakang hari tidak bakal ada ancaman bahaya lagi, Eng Kouw sangat licin, kepandaiannya juga tinggi, dari itu aku masih berkhawatir. Aku bodoh, aku tidak dapat memikir jalan lain lagi……"

Si pelajar berempat mengawasi. "Ingin kami mendengar keterangan nona," kata si pelajar.

Oey Yong menggerakkan alisnya yang bagus, terus ia memberi keterangan, mendengar ini, keempat murid It Teng saling mengawasi, hingga sekian lama mereka tidak dapat membuka suara.


**** 126 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar