Minggu, 28 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 125

Disaat datangnya tusukan pedang yang ketigapuluh enam, Kwee Ceng menyambut dengan sentilan jari tengah. Itulah ilmu silat Tan Cie Sin Thong dari Oey Yok Su, ilmu silat yang tak ada keduanya, sebagaimana terbukti ketika dengan Ciu Pek Thong main-main menyentil batu, sedang selama di Kwie-in¬chung, dia telah memberi petunjuk kepada Bwee Tiauw Hong, sementara Kwee Ceng telah melihatnya di Gu-kee-cun, Lim-an, selama Tong Shia melayani Coan Cin Cit Cu. Memang ia belum mencapai kemahiran seperti Oey Yok Su tetapi ketika pedang si pelajar kena tersentil, pedang itu berbunyi nyaring dan mental. Si pelajar merasa tangannya sakit sampai hampir terlepas cekalannya.

"Tahan!" pelajar itu berseru sambil melompat mundur.

Si tukang pancing sudah lantas menurut, semuanya mengundurkan diri, tetapi mereka sudah terdesak ke tembok, tidak ada ruang lagi untuk mundur, maka itu, si tukang pancing mundur ke pintu, si petani lompat di liang tembok yang gempur, sedang si tukang kayu, terus menyelipkan kapaknya di pinggang, bukan hanya menyingkir sambil tertawa dia berkata:

"Aku telah bilang kedua tetamu kita ini tidak mengandung maksud jahat tetapi kamu tidak percaya!" Ia berbicara sama ketiga saudara seperguruannya.

Si pelajar menyimpan pedangnya, ia menjura kepada Kwee Ceng. "Kau baik hati, kau suka mengalah, engko kecil," katanya. "Terima kasih!"

Kwee Ceng lekas-lekas bangkit membalas hormat. Hanya kata-kata si tukang kayu, membuatnyaheran, ia berkata dalam hati: "Kami memang tidak mengandung maksud buruk, mengapa mereka berempat tidak percaya? Kenapa baru sekarang mereka percaya?"

Oey Yong melihat paras kawannya, ia tahu apa yang orang pikir, maka ia membisik. "Jikalau kau memikir buruk, kau tentunya telah melukai mereka. Sekarang ini, sekalipun It Teng Supee bukanlah tandinganmu."

Kwee Ceng pikir itu benar ia mengangguk. Si pelajar berempat telah berkumpul lagi di kamar.

"Sebenarnya siapa musuh dari It Teng Supee?" Oey Yong tanya. "Apa itu yang disebut gelang kumala?"

"Menyesal," menyahut si pelajar. "Bukannya kami tidak suka menjelaskan hanya sebenarnya kami sendiri tidak tahu duduknya perkara. Apa yang kami tahu ialah suhu dan orang itu mempunyai kepentingan."

Oey Yong masih mau menanya ketika si petani berlompat bangun seraya berkata keras:

"Ah, ini berbahaya!"

"Bahaya apa?" tanya si tukang pancing.

Si petani menunjuk si pelajar, ia menyahut: "Suhu sedang kehabisan tenaga, sekarang dia menutur macam-macam, kalau kedua tetamu kita ini bermaksud tidak baik, kita sendiri tidak sanggup mencegahnya, apakah kau kira suhu masih dapat ditolong?"

Mendengar kekhawatiran itu, si tukang kayu berkata: "Paduka conggoan pandai berpikir, mustahil hal ini dia tidak dapat memikirkannya? Kalau begitu, mana bisa dia menjadi perdana menteri dari negara Tali? Sebenarnya dia ketahui dari siang-siang bahwa kita bukan tandingannya tetapi dia toh bertindak juga, itulah ke satu untuk mencoba kepandaian kedua tetamu kita ini dan kedua untuk membikinnya kau percaya habis!"

Si pelajar bersenyum. Si petani dan si tukang pancing mendelik kepada saudaranya, mereka kagum, separuhnya lagi menyesal. Ketika itu terdengar tindakan kaki orang, lalu muncul seorang kacung pendeta, yang lantas memberi hormat seraya berkata:

“Suhu menitahkan suheng berempat mengantarkan tetamu pulang."

Atas itu semua orang berbangkit. Tapi Kwee Ceng segera berkata: "Supee lagi menghadapi musuh, mana dapat kita lantas berlalu dari sini? Bukankah siauwtee tidak tahu diri tetapi ingin aku bekerja sama suheng berempat untuk mengusir musuh dulu."

Si tukang pancing berempat saling melirik, mereka memperlihatkan roman girang. "Nanti aku pergi dulu menanyakan suhu," kata si pelajar, yang lantas berlalu, diikuti ketiga saudaranya. Tidak lama mereka kembali, kali ini lenyap roman mereka yang gembira. Si pelajar lantas berkata: "Suhu mengucap terima kasih atas kebaikan jiewi, tetapi suhu membilang juga, segalanya biarkan terserah karma, biar orang berbuat sendiri-sendiri, dari itu orang luar tidak dapat campur tangan."

Tapi Oey Yong memikir lain. "Engko Ceng, mari kita bicara sendiri sama supee!" katanya.

Kwee Ceng menurut. Ketika mereka sampai di kamar It Teng Taysu, pintu kamar dikunci, percuma mereka mengetuk-ngetuk dan memanggil-manggil, tidak ada suara jawaban. Sebenarnya pintu itu bisa digempur tetapi mereka tidak berani berbuat demikian.

"Suhu tidak dapat menemui kalian lagi, jiewi," berkata si tukang kayu, yang air mukanya guram. "Karena gunung itu tinggi dan air panjang, baiklah lain kali kita bertemu lagi."

Oey Yong belum bilang apa-apa, ketika Kwee Ceng mendapat satu pikiran, maka ia lantas berkata dengan nyaring:

"Yongjie, mari kita pergi! Bukankah supee tidak sudi menemui kita? Nanti di bawah gunung, supee mengasih ijin atau tidak, ketika kita ketemu orang dan orang itu banyak rewel, kita hajar saja!"

Si nona yang cerdik lantas dapat menerka maksud engko Cengnya itu, ia pun menyahut dengan nyaring:

"Kau benar, engko Ceng! Andai kata musuh supee sangat lihay dan kita mati di tangannya, kita puas, hitung-hitung kita sudah membalas budi supee!"

Suara keduanya pasti terdengar sampai di dalam, maka ketika si muda mudi baru jalan beberapa tindak, mendadak daun pintu dipentang, lalu terdengar suara tajam seorang pendeta tua:

"Taysu mengundang jiewi!"

Kwee Ceng girang sekali, bersama Oey Yong jalan berendeng masuk ke dalam kamar It Teng Taysu. Di sana si pendeta, bersama si pendeta dari India, masih duduk bersila. Mereka lantas menghampiri, memberi hormat sambil berlutut. Ketika kemudian mereka mengangkat kepala, mendapatkan It Teng Taysu bermuka pucat kuning, beda daripada waktu semula mereka melihatnya. Mereka jadi bersyukur berbareng berduka, hingga mereka tidak tahu mesti bilang apa.




It Teng Taysu bersenyum. "Semua masuk!" ia kata kepada empat muridnya, yang menanti di depan pintu. "Aku hendak bicara."

Si pelajar berempat menghampiri, lebih dulu mereka memberi hormat kepada guru mereka, juga kepada si pendeta India. Dia ini cuma mengangguk, lantas dia tunduk dan berdiam, kembali tidak memperdulikan semua orang.

It Teng Taysu mengawasi asap yang bergulung naik, tangannya membuat main sebuah gelang kumala. Oey Yong melihat itu, katanya dalam hatinya; "Terang itu adalah gelang perempuan, entah apa maksudnya musuh supee mengirimkan ini?"

Untuk beberapa detik, semua orang berdiam, kemudian baru terdengar It Teng Taysu menghela napas dan mengatakan:

"Setiap hari dahar nasi, tetapi pernahkah memakan sebutir beras?" Ia lantas menoleh kepada si muda-mudi, untuk melanjutkan: "Kamu berdua mulia hati, aku si pendeta tua menerima itu dengan baik, Mengenai urusan ini, jikalau aku tidak menjelaskan, aku khawatir murid-murid atau sahabat¬-sahabat dari kedua pihak nanti menerbitkan gelombang yang tak diinginkan. Itu bukan kehendakku. Tahukah kamu siapa sebenarnya aku ini?"

"Supee adalah kaisar dari Tali di Inlam," menyahut Oey Yong. "Supee adalah satu-satunya kaisar di Selatan yang kesohor sekali, siapakah yang tidak tahu?"

It Teng bersenyum. "Kaisar palsu, pendeta palsu juga," ia berkata. "Kau, nona kecil, kau pun palsu……"

Oey Yong tidak menginsyafi filsafat si pendeta, ia mengawasi saja. It Teng berkata lagi, dengan perlahan:

"Negara Tali kami, semenjak Sri Baginda Sin Seng Bun Bu Tee Thaycouw membangun pemerintahan, di tahun Teng-yoe, itu adalah lebih dulu duapuluh tiga tahun dari berdirinya kerajaan Song oleh Song Thay-couw Tio Kong In. Setelah tujuh turunan, kerajaan diturunkan kepada Baginda Peng Gie. Setelah empat tahun memerintah, Baginda Peng Gie mengundurkan diri dari kerajaan dan masuk menjadi pendeta. Tahta diserahkan pada keponakannya ialah Baginda Seng Tek. Kemudian tahta diturunkan terus kepada Baginda-bagina Hin Cong Hauw Tek, Poo Teng, Hian Cong Soan Jin serta ayahku, Keng Cong Ceng Kong. Semua Baginda itu telah menjadi pendeta juga. Dari Thay-couw sampai padaku, delapanbelas turunan, tujuh raja yang mensucikan diri."

Si tukang pancing berempat adalah orang Tali, mereka semua tahu hal ikhwalnya raja-raja mereka, cuma Kwee Ceng berdua Oey Yong yang heran, hingga mereka mau memikir, apa mungkin menjadi pendeta lebih senang daripada menjadi raja……

It Teng Taysu melanjutkan keterangannya: "Kamu keluarga Toan kami, dengan berkah kebijaksanaan leluhur kami, telah berhasil menjadi sebuah keluarga kaisar di sebuah negara kecil di Selatan. Semua mereka merasa tanggung jawab itu besar, maka hati mereka tidak tenang, tidak berani mereka melakukan apa-apa yang melewati batas. Biar begitu, siapa menjadi raja, bukankah dia dapat dahar tanpa meluku, dapat berpakai tanpa menenun? Bukankah kalau keluar dia naik kereta, dan kalau pulang memasuki istana? Bukankah semua itu asalnya dari keringat rakyat? Oleh karena itu semua, disaat usianya lanjut, mereka menginsyafi capai lelah rakyatnya itu, mereka merasa menyesal, maka akhirnya mereka menjadi pendeta……"

Selagi mengucap begitu, pendeta ini memandang ke luar, mulutnya memperlihatkan senyuman, tetapi pada alisnya, nampak roman kedukaan. Maka itu, entahlah dia bergirang atau berduka.

Enam orang itu mendengar dengan terus berdiam. It Teng Taysu mengangkat gelang kumalanya, ia masukkan ke dalam jari telunjuk dari tangannya, ia putar beberapa kali. Kemudian meneruskan:

"Aku sendiri, aku bukannya mengikuti kebiasaan leluhurku. Tentang aku, sebab-sebabnya ada sangkut pautnya dengan urusan rapat ilmu pedang di gunung Hoa San, ketika lima jago saling berebutan kitab. Ketika tahun itu Tiong Yang Ong Cinjin dari Coan Cin Kauw memperoleh kitab, di lain tahunnya dia datang sendiri ke Tali, dia mewariskan ilmu silat It Yang Cie padaku. Setengah tahun dia berdiam di dalam istanaku, merundingkan tentang ilmu silat. Kita cocok sekali satu dengan lain, adik seperguruannya, Ciu Pek Thong. Dia ini ternyata tidak betah duduk diam saja, dia lantas pergi putar kayun di seluruh istana. Diluar dugaan, dia telah menerbitkan peristiwa."

Mendengar itu, Oey Yong membatin dalam hatinya: "Kalau Loo Boan Tong tidak menerbitkan gara-gara itu baru namanya heran!"

It Teng Taysu menghela napas. "Sebenarnya biang peristiwa adalah pada diriku sendiri," ia berkata pula. "Aku adalah raja kecil, kerajaanku tidak dapat disamakan dengan kerajaan Song, meski begitu, aku mempunyai sedikit permaisuri dan selir. Ya, inilah dosa. Aku gemar ilmu silat, jarang mendekati perempuan, bahkan permaisuri, aku menemuinya beberapa hari sekali, maka itu bisa dimengerti, mana ada tempo akan menemui segala selir?"

Berkata sampai di situ, It Teng memandang keempat muridnya. "Kamu tidak mengetahui tentang ini, sekarang biarlah kamu mendapat tahu juga," ia menambahkan.

Mendengar ini, Oey Yong kata di dalam hatinya: "Benar-benar mereka tidak tahu, mereka jadinya tidak mendustai aku."

"Sekalian selirku melihat aku setiap hari berlatih silat, di antaranya ada yang ketarik hati dan minta diajarkan." It Teng mulai pula. "Aku suka mengajari mereka. Aku pikir, pelajaran itu ada baiknya, untuk mereka menjadi bertambah sehat dan panjang umur. Di antaranya adalah Lauw Kui-hui, yang bakatnya paling baik. Selir ini, begitu diajari, begitu dia bisa. Dia masih muda, rajin belajar, dia memperoleh kemajuan pesat. Dasar mau terjadi urusan. Pada suatu hari dia tengah berlatih di taman dia terlihat Ciu Suheng. Ciu Suheng gemar silat, dia polos, tidak menghiraukan perbedaan antara pria dan wanita, begitu melihat Lauw Kui-hui, dia mengajaknya main-¬main. Tentu saja Lauw Kui-hui bukanlah tandingannya……"

Oey Yong terkejut. "Tentulah Loo Boan Tong tidak mengenal dan dia melukai kui-hui……" katanya perlahan.

"Melukai, itu tidak," It Teng memberitahu. "Baru dua tiga jurus, dia telah menotok hingga kui-hui roboh, lantas dia menanya, kui-hui takluk atau tidak. Pasti sekali Lauw Kui-hui menyerah kalah. Ciu Suheng puas sekali, setelah menotok bebas kepada kui-hui, ia lantas bicara banyak tentang ilmu totok. Memang kui-hui sangat ketarik sama kepandaian itu, padaku ia telah minta diajari berulang-ulang. Coba kamu pikir, ilmu kepandaian semacam itu mana dapat diturunkan kepada kui-hui? Sekarang ada kesempatan, ia lantas minta Ciu Suheng mengajarinya."

"Kalau begitu, niscaya Loo Boan Tong puas sekali," kata si nona.

"Apakah kau kenal Ciu Suheng?" It Teng tanya.

"Kami sahabat-sahabat erat!" si nona menyahut tertawa. "Dia pernah tinggal sepuluh tahun di Tho Hoa To, belum pernah dia pergi satu tindak juga!"

"Dia dapat berdiam begitu lama sedang sifat dia tak suka diam?"

"Sebab dia dipenjarakan ayah!" sahut si nona tertawa. "Baru yang belakangan ini dia dimerdekakan!"

It Teng mengangguk. "Begitu?" katanya. "Apa sekarang dia baik?"

"Dia baik hanya tabiatnya makin tua makin jadi!"

It Teng bersenyum. Kembali ia meneruskan: "Sebenarnya ilmu totok itu tidak dapat diajari kecuali ayah dengan gadisnya, ibu dengan putranya dan suami istri. Biasanya guru lelaki tidak menurunkan kepada murid perempuan dan guru perempuan tidak kepada murid laki-lakinya……"

"Kenapa begitu supee?"

"Itulah sebab lam lie siu siu put cin," menjawab It Teng.

"Pria dan wanita, tidak dapat bersentuh tangan. Coba pikir tanpa meraba jalan darah di seluruh tubuh, mana bisa ilmu itu diajari sempurna?"

"Bukankah supee telah menotok sekujur tubuhku?" si nona tanya.

Si pengail dan petani sebal nona ini main potong cerita, mereka mengawasi nona itu dengan mata mendelik. Oey Yong melihat itu, ia balik mendeliki mereka, bahkan dia menegur:

"Kenapa? Tak dapatkah aku bertanya?"

It Teng bersenyum. "Dapat, dapat!" katanya lekas. "Kaulah satu bocah, jiwamu pun sangat perlu ditolong, kau mesti dipandang dari jurusan lain."

"Baiklah. Bagaimana selanjutnya?"

"Selanjutnya yang satu mengajari, yang lain mempelajari," It Teng melanjutkan ceritanya. "Ciu Suheng sedang gagahnya, Lauw Kui-hui sedang mudanya, tubuh mereka beradu tak hentinya, hari ketemu hari, tanpa merasa, hati mereka berubah, hingga akhirnya mereka mengacau sampai tidak dapat diurus lagi……"

Oey Yong mau menanya atau mendadak ia mendapat menahan hatinya. Ia pun segera mendengar kelanjutan cerita:

"Lantas ada orang yang memberi laporan padaku. Sebenarnya aku mendongkol, tetapi aku masih memandang Ong Cinjin, aku berpura-pura pilon. Adalah belakangan, hal itu dapat diketahui juga oleh Ong Cinjin."

"Urusan apakah sampai tak dapat diurus lagi?" tanya Oey Yong akhirnya. Ia polos, tidak menyangka jelek.

It Teng beragu-ragu sedikit. Rupanya sulit ia mencari kata-kata. "Mereka itu bukan suami istri tetapi kenyataannya mereka mirip suami istri," sahutnya kemudian.

"Ah, aku tahu sekarang!" berkata si nona. "Loo Boan Tong dan Lauw Kui-hui itu kemudian melahirkan anak?"

"bukan," berkata It Teng. "Mereka baru berkenalan kira-kira sepuluh hari, mana bisa mereka mendapat anak? Ketika Ong Cinjin mendapat tahu itu, dia ringkus Ciu Suheng dan dihadapkan kepadaku, dia menyerahkannya untuk aku memberi hukuman. Kami kaum persilatan, menghargai kehormatan dan persahabatan lebih tinggi daripada urusan perempuan, maka aku lantas membebaskan Ciu Suheng, aku memanggil Lauw Kui-hui, di situ aku menitahkan mereka menjadi suami istri. Ciu Suheng menampik, dia mengatakan dia tidak tahu bahwa itu perbuatan salah, bahwa kalau ia tahu itu perbuatan tidak bagus, meski dibunuh juga tidak akan dia melakukannya. Dia keras menolak menikah dengan Lauw Kui-bui. Ong Cinjin menjadi masgul sekali. Dia kata kalau dia memang tidak tahu Ciu Suheng itu manusia tolol dan tak tahu selatan, tentulah dia sudah membunuhnya."

Oey Yong mengulur lidahnya keluar. "Sungguh hebat Loo Boan Tong, dia menghadapi bahaya!" katanya.

"Penampikannya itu membuat aku mendongkol," berkata It Teng, yang meneruskan ceritanya. "Dengan tandas aku berkata padanya: 'Ciu suheng, dengan ikhlas aku menyerahkan kui-hui padamu! Apakah kau menyangka aku mengandung maksud lain? Bukankah semenjak dulu ada dibilang, saudara ialah tangan dan kaki dan istri itu pakaian? Apakah artinya seorang perempuan?"

"Eh, eh, supee, kau memandang enteng wanita!" Oey Yong memotong. "Kata-kata supee mirip sama ngaco belo!"

Si petani menjadi gusar. "Tak dapatkah kau tidak memotong?" dia bertanya bengis.

"Supee omong tidak tepat, itulah mesti dibantah!" berkata si nona membela.

Keempat murid itu melongo. Bagaimana mereka menghormati guru, maka bagaimana "kurang ajarnya" bocah wanita ini.

It Teng sabar luar biasa, dia tidak menggusari si nona. Dia meneruskan perkataannya: "Mendengar perkataanku itu, Ciu Suheng menggeleng kepala. Maka aku menjadi bertambah gusar. Aku berkata padanya: 'Jikalau kau mencintai dia, kenapa sekarang kau menampik? Jikalau kau memang tidak mencintai, kenapa kau lakukan perbuatanmu itu? Negeriku memang negeri kecil, tetapi tidak akan aku mengijinkan kau menghina kami!' Mendengar itu, Ciu Suheng menjublak sekian lama, akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut di depanku, mengangguk beberapa kali lalu berkata; 'Toan Hongya, aku salah! Aku pergi sekarang!' Aku tidak menyangka akan putusannya ini, aku tercengang karenanya. Dia lantas mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra dari sakunya, dia berikan itu kepada Lauw Kui-hui seraya berkata: 'Ini aku pulangkan padamu!' Kui-hui tahu orang bersusah hati, ia tertawa sedih. Ia tidak menyambuti sapu tangan itu, maka sapu tangan itu jatuh di dekat kakiku. Ciu Suheng tidak bilang apa-apa lagi, dia terus berlalu. Sejak itu sudah berselang sepuluh tahun lebih, tentang dia aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ong Cinjin menghaturkan maaf berulang-ulang kepadaku, habis itu ia pun berlalu, sampai kemudian aku mendengar ia telah meninggal dunia. Ia berhati mulia tidak ada tandingannya, sayang……"

"Di dalam ilmu silat, mungkin Ong Cinjin lebih lihay daripada kau, supee," berkata si nona. "Tetapi bicara tentang hati mulia, dia tidak bisa melawan supee sendiri. Habis bagaimana dengan sapu tangan sulam itu?"

Si pelajar berempat tidak puas si nona mengingat selalu sapu tangan itu. Tapi guru mereka berbicara terus:

"Aku melihat Lauw Kui-hui menjublak saja, seperti yang ditinggalkan arwahnya, aku jadi mendongkol. Aku menjumput sapu tangan itu. Di situ aku menampak sulaman sepasang burung wanyoh main di air. Hm, tidak salah lagi, itulah barang Lauw Kui-hui untuk kekasihnya. Aku tertawa dingin. Lantas aku membalik sapu tangan itu. Kiranya di situ ada sebaris syairnya……"

Oey Yong sangat tertarik hingga ia lantas menanya: "Apakah itu berbunyi…… 'Empat buah perkakas tenun…… maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan……"

Si petani habis sabar, dia membentak: "Kami sendiri tidak tahu, bagaimana kau ketahui itu? Ha, kau ngaco saja, kau main potong tak hentinya!"

Tetapi It Teng sendiri tidak gusar, ia menghela napas. "Benar begitu," sahutnya. "Kau juga ketahui itu?"

Mendengar suara guru mereka, keempat murid itu tercengang. Kwee Ceng berlompat seraya berseru:

"Aku ingat sekarang! Ketika malam itu Oey Tocu meniup seruling, Ciu Toako tak kuat menahan hatinya, kemudian aku mendengar dia membacakan syairnya itu. Ialah: 'Empat buah perkakas tenun…… maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan…… sayang, belum lagi tua, tetapi kepala sudah putih…… Gelombang musim semi, rumput hijau, dimusim dingin, di tempat tersembunyi, saling berhadapan baju merah……"

Ia menepuk paha kanannya, ia kata pula: "Tidak salah! Ketika itu aku heran sekali. Di dalam segalanya, Ciu Toako lebih menang daripada aku tetapi saat itu aku tidak terganggu seruling Oey Tocu, ia sendiri kelabakan, tak kuat mempertahankan diri, tidak tahunya dia dapat mengingat peristiwa lama itu hingga pemusatan pikirannya menjadi kacau. Pantaslah dia mencaci perempuan! Kau tahu, Yong-jie, dia sampai menasihati aku untuk jangan baik dengan kau……"

"Hm, Loo Boan Tong!" kata si nona mendongkol. "Lihat kalau nanti aku bertemu dengannya, akan aku jewer kupingnya!" Mendadak ia tertawa dan menambahkan: "Ketika di Lim-an aku telah menggoda dia, aku mengatakan tidak ada wanita yang akan sudi menikah padanya, agaknya dia mendongkol, rupanya itu pun disebabkan peristiwa itu."

"Maka ketika aku mendengar Eng Kouw membacakan itu, aku seperti telah pernah mendengarnya," kata pula Kwee Ceng, "Hanya waktu itu, biar bagaimana aku memikirkannya, tidak juga ingat. Eh, Yong-jie, mengapa Eng Kouw pun mengetahui syair itu?"

Ditanya begitu, si nona menghela napas. "Karena Eng Kouw ialah Kui-hui," sahutnya.

Di antara si tukang pancing berempat, adalah si pelajar yang sudah menduga lima atau enam bagian, maka juga tiga yang lainnya menjadi heran, semua mengawasi gurunya.

"Kau sangat pintar, Nona," kata It Teng Taysu dengan perlahan, "Tidak kecewa kau menjadi putri saudara Yok. Lauw Kui-hui itu mempunyai nama kecil, Eng. Aku pun mulanya tidak mengetahui. Waktu itu aku telah melemparkan sapu tangan kepadanya, lantas aku tidak melihat lagi dirinya. Karena aku berduka sekali, aku tidak memperdulikan lagi urusan negara, aku menungkuli diri dengan setiap hari melatih ilmu silat."

"Supee, waktu itu di hatimu kau sangat mencinta dia," kata Oey Yong. "Tapi kau tidak mengetahui. Kalau tidak, mana mungkin kau menjadi tidak gembira……"

"Nona!" berkata si pelajar berempat. Mereka ini tidak senang nona ini berani bicara demikian macam terhadap guru mereka.

"Apa? Apakah aku salah omong?" Oey Yong balik menanya. "Supee, salahkah aku?"

Air muka It Teng Taysu suram. Ia berkata: "Selama itu lebih dari setengah tahun tidak pernah aku panggil Lauw Kui-hui datang menghadap, akan tetapi di dalam impian, sering aku bertemu dengannya. Demikian pada suatu malam, habis memimpikan dia, tidak dapat aku melawan niat hatiku, aku mengambil putusan untuk melihatnya. Aku tidak memberitahukan niatku kepada thaykam atau dayang, aku pergi sendirian dengan diam-diam. Aku ingin menyaksikan apa yang dia kerjakan. Ketika aku tiba di wuwungan kamarnya, aku mendengar suara anak kecil menangis keluar dari kamarnya. Ah……! Malam itu salju turun banyak dan angin pun dingin sekali, tetapi di atas genting itu aku berdiri lama sekali, sampai fajar, barulah aku turun dan kembali ke kamarku. Habis itu aku sakit berat."

Oey Yong heran. Seorang raja, dan di tengah malam buta rata, untuk selirnya, telah menyiksa diri secara begitu.

Sekarang barulah keempat murid itu ketahui kenapa guru mereka - ketika itu ialah junjungan mereka - yang tubuhnya demikian tangguh, mendapat sakit berat.

"Lauw Kui-hui telah mendapat anak, tidakkah itu bagus?" Oey Yong tanya pula. "Supee, kenapa kau tidak menjadi gembira?"

"Anak tolol, anak itu anaknya Ciu Suheng."

"Ciu Suheng pun telah pergi sedari siang-siang, apakah dia telah datang pula secara diam-diam menemui kui-hui?"

"Tidak. Apakah kau belum pernah dengar orang menyebutnya kandungan sepuluh bulan?"

Si nona itu agaknya sadar. "Ah, aku mengerti sekarang!" katanya. "Pasti anak itu terlahir mirip Loo Boan Tong, kupingnya lebar dan hidungnya mancung, kalau tidak, mana kau ketahui dialah anaknya Loo Boan Tong!"

"bukan begitu. Sudah satu tahun lebih aku tidak mendekati kui-hui, maka anak itu pasti bukan anakku."

Oey Yong berdiam, urusan itu gelap untuknya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar