Selasa, 23 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 123

Si nona tidak menjawab, ia hanya memandang It Teng, untuk memperoleh jawaban. "Kitab ini dibawa oleh adik seperguruanku dari Wilayah Barat," berkata pendeta itu alias Toan Hongya.

Semenjak semula, Kwee Ceng dan Oey Yong tidak memperhatikan si pendeta bangsa India ini, baru sekarang mereka menoleh dan mengawasi. Pendeta itu tetap duduk bersila, tidak bergerak atau menoleh, tidak memperdulikan orang bicara asyik di dekatnya.

"Kitab ini juga terbuat dari kertas buatan Wilayah Barat, demikian juga kertas gambar ini," kemudian It Teng berkata pula. "Pernahkah kau mendengar nama gunung Pek To San di Wilayah Barat?"

Pek To San ialah gunung Unta Putih. "Gunungnya See Tok Auwyang Hong?" tanya Oey Yong terkejut.

"Tidak salah," menyahut si pendeta perlahan. "Gambar ini pun dilukis oleh Auwyang Hong.

Oey Yong dan Kwee Ceng kaget sampai mereka bungkam.

It Teng Taysu bersenyum. "Auwyang Kongcu itu seorang yang pandai berpikir dan jauh pendengarannya," katanya.

"Supee, aku tidak tahu kalau gambar ini dilukis oleh si bisa bangkotan itu!" kata Oey Yong. "Kalau begitu dia bermaksud tidak baik tentu…."

It Teng bersenyum, tetapi kemudian ia melihat parasnya si nona, yang merah, suatu tanda nona ini lagi menahan sakit, ia mengulur tangannya memegang pundak orang.

"Baiklah belakangan saja kita bicara lebih jauh. Sekarang yang penting ialah mengobatimu," katanya. Lalu ia mengajak si nona pergi ke kamar samping.

Belum lagi mereka memasuki kamar, si pelajar dan si petani, yang saling melirik, sudah mendahului melompat ke pintu kamar untuk menghalangi di situ. Keduanya lantas berlutut dan berkata:

"Suhu, biarlah teecu saja yang mengobati nona ini."

It Teng menggeleng kepala. "Apakah pelajaranmu telah cukup?" ia bertanya. "Apakah kau sanggup mengobati hingga sembuh?"

"Teecu akan mencoba sebisa-bisanya," menyahut kedua murid itu.

Si pendeta lantas mengasih lihat roman sungguh¬-sungguh. "Apakah nyawa manusia dapat dicoba-coba?" ia kata nyaring.

"Dua orang ini datang ke mari atas petunjuk orang jahat," kata si pelajar, "Mereka pasti tidak mengandung maksud baik. Walaupun suhu bermaksud baik hendak menolong orang tetapi tidak dapat suhu kena diperdaya akal jahat!"

It Teng menghela napas. "Apakah yang setiap hari aku mengajarkan kamu?" ia tanya perlahan-lahan. "Baiklah kau bawa gambar ini dan pergilah lihat-lihat." Guru ini menyerahkan gambar Auwyang Hong itu.

Si petani mengangguk dalam. "Suhu, gambar ini dilukis See Tok," katanya. "Ini adalah akal busuk dari Auwyang Hong…." Kelihatannya murid ini gelisah sekali, sampai air matanya turun mengalir.

Oey Yong dan Kwee Ceng mengawasi dengan bingung. Mereka tidak menyangka, kenapa tindakan It Teng Taysu mengobati adaapa demikian rupa sangkut pautnya. Apakah yang menyebabkan sikapnya kedua murid itu?

"Bangun, bangun," kata It Teng perlahan. "Jangan kamu menyebabkan hati tetamu kita menjadi tidak tenang."

Suara itu sabar akan tetapi nadanya putusan mutlak. Kedua murid itu rupanya mengerti, terpaksa mereka berdiam, mereka berbangkit untuk berdiri di pinggiran, kepala mereka tunduk.

It Teng Taysu mengajak Oey Yong masuk. "Kau juga masuk!" ia memanggil Kwee ceng, yang berdiri diam.

Pemuda itu bertindak masuk. Setelah itu, It Teng menarik turun sero bambu, terus menyulut sebatang hio, untuk ditancapkan di tempat abu di atas meja. Kamar itu berperabot kecuali sebuah meja bambu itu cuma dengan tiga buah tempat duduk dari tikar. Oey Yong diperintah duduk di tikar yang tengah. Kepada Kwee Ceng ia memesan:

"Kau jaga hio itu, kalau sudah terbakar habis, beritahu aku."

Pemuda itu menyahuti, "Ya!"

Lantas It Teng duduk di tikar di samping si nona, matanya memandang ke sero, segera ia memesan pula kepada si anak muda;

"Kau jaga pintu juga, jangan ijinkan orang lain masuk ke mari - tidak peduli adik seperguruanku atau murid-muridku, kau jangan kasih masuk!"

Kwee ceng heran tetapi ia berikan janjinya. Habis itu It Teng merapatkan kedua matanya. Tak lama, ia melek lagi, ia berkata kepada si pemuda:

"Jikalau mereka sampai menggunakan kekerasan, kau lawan! Ingat, di sini ada bergantung jiwa sumoymu!"

Kwee Ceng mengangguk, ia jadi semakin heran, hatinya pun tegang. It Teng lalu berkata kepada Oey Yong:

"Kau kendorkan seluruh tubuhmu, tidak peduli ada rasa nyeri atau gatal bagaimanapun hebatnya, jangan kau membuat perlawanan!"

Si nona tertawa ketika ia menyahut: "Aku menganggap diriku sudah mati…!"

Mau tidak mau, It Teng pun tertawa. "Anak yang baik, kau benar-benar pintar!" ia memuji. Ia lantas menutup lagi matanya memusatkan pikiran. Ketika hio sudah terbakar kira-kira satu dim, mendadak ia berlompat bangun, tangan kirinya diangkat, diletakkan di dadanya, tangan kanan, dengan jari telunjuknya, diarahkan, ditotokkan ke jalan darah pek-hwee-hiat di embun-embunan Oey Yong.

Ketika ditotok itu, tanpa merasa, Oey Yong berjingkrak sendirinya, terus ia merasa dari embun-¬embunnya keluar hawa panas.




Habis menotok, It Teng menarik pulang tangannya, hanya belum lewat sejenak, kembali ia sudah menotok, sekarang di jalan darah houw-teng-hiat di belakang jalan darah pek-hwee-hiat itu, terpisahnya cuma satu dim. Setelah itu, dengan saling susul ia menotok terus pelbagai jalan darah lainnya, seperti kiang-kian-hiat, laohu-hiat, honghu-hiat, ah-bun-hiat, taytwie-hiat, totoo-hiat dan lainnya, maka ketika hio terbakar baru setengah batang, dia sudah menotok tigapuluh jalan darah.

Kwee Ceng menjauh, maka itu ia bisa menyaksikan cara menotok dari It Teng, hingga ia melihat tegas kelihayan si pendeta. Sesuatu gerakan beda satu dari lain. Ilmu totok semacam itu, ia belum dapat dari Kanglam Liok Koay, bahkan di dalam kitab bagian ilmu totok dari Kiu Im Cin-keng, tidak ada dicatat juga. Menyaksikan itu, ia kagum hingga mulutnya terbentang dan matanya hampir kabur. Selama itu ia tidak ingat It Teng lagi menggunakan seluruh tenaga dalamnya guna menyalurkan semua jalan darah dan nadi Oey Yong.

Habis menotok, It Teng duduk untuk beristirahat. Sesudah itu, Kwee Ceng menyulut sebatang hio yang lain, ia mulai bekerja pula. Kali ini dia menotok duapuluh lima jalan darah yang disebut bagian nadi dim-meh. Pula kali ini, totokan dilakukan dengan kesebatan, gerakannya bagaikan sesapung menyambar-nyambar air, ia seperti menahan napas. Yang hebat, semua totokan itu tidak pernah gagal.

"Sungguh hebat, di kolong langit ini ada kepandaian seperti ini," kata Kwee Ceng di dalam hatinya saking kagum.

Kemudian It Teng Taysu menotok pula empatbelas jalan darah yang disebut im-wie-meh. Juga totokan itu dilakukan dengan lain cara, dengan gerak-gerik kaki "jalan naga" dan "tindakannya harimau", hingga sikapnya nampak sangat angker, hingga dimatanya Kwee Ceng, dia bukan lagi seorang pendeta suci dan alim, hanya seorang raja dari berlaksa rakyat negeri. Sekali ini It Teng tidak beristirahat lagi, ia meneruskan menotok tigapuluh dua jalan darah dari yang-wie-meh. Totokan ini dari jarak sedikit jauh. Umpama ketika ia menotok jalan darah hongtie-hiat di leher si nona, ia berlompatan dari jarak setombak, habis itu terus ia lompat mundur lagi, demikian seterusnya.

Menampak cara menotok itu, Kwee Ceng kata di dalam hatinya: "Kalau kita lagi bertempur sama musuh yang tangguh, apabila bertempur dengan rapat berbahaya, bolehlah kita pakai cara jauh ini. Dengan begitu, sambil menyerang untuk merebut kemenangan, kita juga dapat membela diri dengan sempurna."

Demikian, sembari menonton, anak muda ini mengingat baik-baik setiap totokan itu, bagaimana sikapnya, dari bersiap sampai menotok dan sampai sesudahnya, untuk mulai dengan lain-lain totokan lagi. Diam-diam ia juga mengutuk dirinya, yang dikatakan bebal sekali, yang gampang lupa, hingga ada yang baru dilihat lalu tak teringat lagi.

Setelah menukar lagi dua batang hio, It Teng sudah selesai menotok dua bagian jalan darah im-kiauw dan yang-kiauw. Ketika Kwee Ceng melihat totokan pada jalan darah kie-kut-hiat, mendadak ia ingat:

"Ah, totokan ini ada termuat di dalam Kiu Im Cin-keng! Dasar aku yang tolol, aku tidak dapat menangkap maksudnya!"

Sekarang ia melihat gerak-gerak It Teng sama dengan petunjuk-petunjuk dalam kitab Kiu Im Cin-keng. Hal ini menggampangkan ia mengingat-ingat, hingga ia mengingat baik tempo It Teng menotok jalan darah ciong-meh.

Paling belakang It Teng Taysu hendak menotok jalan darah tay-meh. Untuk itu, ia mesti jalan ke belakang Oey Yong. Pertama kali ia menotok ciangbun-hiat, sedang semuanya ada delapan jalan darah. Sekarang nampak gerakan si pendeta sangat lambat, agaknya ia bergerak sukar sekali, sedang napasnya sudah memburu dan tubuhnya terhuyung, bagaikan ia tak kuat berdiri lebih lama lagi.

Kwee Ceng melihat semua itu, ia terkejut apapula kapan ia menampak peluh membasahi jidatnya pendeta, mengucur di alisnya yang putih dan panjang itu. Ia ingin maju menolongi tetapi ia khawatir mengganggu. Tempo ia mengawasi Oey Yong, si nona telah bermandikan keringat, pakaiannya basah. Dia pun mengerutkan alis dan menutup mulut rapat-rapat, rupanya ia melawan rasa nyeri yang hebat.

Selagi anak muda ini terbengong, mendadak ia mendengar suara di sebelah belakang, ialah dari tersingkapnya sero bambu, suara mana disusul sama panggilan nyaring:

“Suhu!"

Disusul lagi sama masuknya orang yang berseru itu. Belum ia ingat itu, ia segera menyerang ke belakang, dengan salah satu totokannya It Teng barusan. Ia menyerang saling susul dengan cepat sekali hingga empat kali. Sebagai kesudahan dari itu, ia mendengar suara robohnya beberapa orang. Sekarang barulah ia menoleh ke belakang, tepat di saat satu orang, ialah si pelajar, berlomnpat ke belakang, hingga ia bebas dari totokan. Yang roboh ialah si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani bertiga, mereka terus rebah di lantai. Ia bengong mengawasi mereka, sebab tak dipikirnya untuk menyerang mereka itu. Ketika ia memandang si pelajar, dia lagi mengawasinya dengan bengis, satu tanda orang sangat gusar.

"Habis sudah!" berseru si pelajar dalam murkanya. "Apalagi yang hendak dicegah?"

Kwee Ceng menoleh, maka ia melihat It Teng Taysu lagi duduk bersila di atas tempat duduknya, mukanya pucat sekali, bajunya basah dengan peluh, sedang Oey Yong telah roboh dengan tubuh tak bergerak, entah dia sudah meninggal atau masih hidup. Maka dalam kagetnya, ia lompat menubruk, guna mengasih bangun. Paling dulu hidungnya mendapat cium bau amis.

Muka nona itu pucat bercampur sinar biru, tak ada cahaya dari darahnya, hanya sinar hitam yang samar-samar sudah lenyap semua. Kwee Ceng mendengar napas orang di hidung, jalan napas itu berat sekali. Tapi dengan mendapat dengar suara napas itu, ia merasa lega sedikit.

Ketika itu si pelajar sudah menolong menotok bebas si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani, bersama-sama merubungi guru mereka, semua membungkam, roman mereka diliputi kedukaan dan kegelisahan.

Kwee Ceng tidak memperhatikan mereka, ia terus menungggui si nona, muka siapa ia awasi. Maka hatinya menjadi bertambah lega ketika dengan perlahan-lahan ia mendapatkan paras nona itu berubah pula sedikit dadu. Hanya paras dadu itu, lama-lama berubah terus, lalu merah, habis mana kedua pipi nona itu terasa panas begitu pun dahinya, panasnya seperti api ketika dahi itu diraba.

Lagi beberapa saat, butir-butir peluh yang besar turun dari jidatnya si nona lalu kembali parasnya berubah, dari merah menjadi putih. Kejadian ini terulang sampai tiga kali, tiga kali juga peluh keluar banyak sekali. Akhirnya, Oey Yong mengeluarkan suara kaget dan kedua matanya dibuka, terus ia menanya:

"Engko Ceng, mana dapur? Mana es?"

Bukan kepalang girangnya Kwee Ceng mendengar orang dapat berbicara. "Apa dapur?” ia bertanya. "Apa es?"

Si nona melihat ke seputarnya, ia menggeleng kepala. Akhirnya ia tertawa. "Ah, aku bermimpi hebat sekali!" katanya. "Aku bermimpikan Auwyang Hong, Auwyang Kongcu dan Khiu Cian Jin. Mereka itu menjebloskan aku ke dalam dapur, untuk dipanggang, lalu mereka mengambil es, dengan apa aku dibikin dingin, setelah tubuhku dingin, dia membakar pula… Ah, sungguh menakutkan! Eh, bagaimana dengan It Teng Taysu?"

It Teng membuka matanya, ia tertawa. "Lukamu sudah sembuh," katanya. "Sekarang kau perlu beristirahat satu atau dua hari. Jangan sembarang bergerak, supaya kau nanti sembuh seluruhnya."

"Seluruh tubuhku rasanya tidak bertenaga sama sekali," berkata si nona, "Sampai jari tanganpun malas digerakkan…"

Ketika itu si petani mendelik pada si nona, dia agaknya sangat gusar. Oey Yong melihat itu, ia tidak mengambil mumat. Ia hanya kata kepada paman gurunya itu.

"Supee tentulah sangat lelah sebab untuk mengobati aku, supee telah mengeluarkan banyak tenaga. Aku mempunya obat Kiu-hoa Giok-louw-wan buatan ayah, apa supee mau memakannya beberapa biji?"

"Bagus!" kata It Teng gembira. "Aku tidak menyangka kau membawa obat mujarab buatan ayahmu itu. Itulah obat untuk menambah tenaga. Ketika kita merundingkan ilmu pedang di Hoa San, tempo semuanya sudah sangat letih, ayahmu membaginya kepada kami beramai, habis makan itu, kita semua menjadi segar sekali."

Oey Yong lantas mengeluarkan kantong obatnya, untuk diserahkan pada si paman guru.

Si petani lari ke dapur, mengambil semangkok air, sedang si pelajar mengeluarkan obat itu, semuanya dikeluarkannya obat itu, lalu semuanya dikasihkan pada gurunya.

"Tidak begini banyak!" berkata It Teng tertawa. "Obat ini sangat sukar dibuatnya. Cukup kita minta separuhnya saja."

"Tetapi suhu!" berkata si pelajar, yang romannya cemas, "Meski obat di dalam dunia digotong semua ke mari, itu masih belum cukup!"

Pendeta itu tidak tega menampik, maka ia lantas menelan beberapa puluh butir, yang ia bantu dengan air beberapa ceglukan. Kemudian ia berkata kepada Kwee Ceng:

"Kau pergi pimpin sumoymu ini untuk beristirahat dua hari, setelah itu kamu pergi turun gunung, tak usah kamu menemuiku lagi. Eh, ada satu urusan yang aku hendak minta dari kamu….."

Kwee Ceng lantas menjatuhkan diri berlutut seraya mengangguk empat kali hingga kepalanya membentur lantai. Oey Yong pun turut menjura, sambil berkata perlahan:

“Supee telah menolong jiwaku, budimu ini tidak akan keponakanmu berani melupakannya."

It Teng tertawa. "Lebih baik dilupakan, supaya tak usah diingat-ingat lagi," katanya, seraya ia terus menoleh kepada Kwee Ceng, untuk memberi pesannya: "Kamu telah naik ke gunung ini, hal itu segala kejadian di sini, jangan kamu omongkan kepada orang lain, juga tak usah kau menyebutkan kepada gurumu."

Kwee Ceng tercengang. Ia justru lagi memikirkan bagaimana harus membawa gurunya datang ke mari guna minta pertolongan paman guru ini.

It Teng tertawa. Ia berkata pula: "Kamu juga lain kali tak usah datang lagi ke mari, kami semua hendak pindah."

"Pindah?" tanya si anak muda heran. "Pindah ke mana, supee?"

It Teng tersenyum, ia tidak menjawab. "Ah, engko tolol," kata Oey Yong tertawa. "Karena tempat supee ini telah ketahuan oleh kita maka supee mau pindah. Mana supee dapat memberi keterangan padamu?"

Meski ia berkata begitu, nona ini sebenarnya berduka sekali. Itu adalah gara-garanya dia maka si supee mau pindah meninggalkan tempat kediamannya yang bagus ini. Mana bisa ia melupakan budi yang sangat besar itu? Mengingat begini, ia mengawasi empat murid orang, yang telah berkumpul semua. Ia ingin berkata-kata kepada mereka itu. Hanya belum lagi ia membuka mulutnya, mendadak paras It Teng menjadi pucat, tubuhnya terhuyung, lalu jatuh dari tempat duduknya!

Keempat murid itu tersentak kaget begitu juga Kwee Ceng. Bersama-sama mereka berlompat menubruk. Mereka melihat daging di mukanya pendeta itu bergerak-gerak, tandanya dia lagi melawan rasa nyeri yang hebat. Mereka menjadi bingung sekali, tak tahu mereka bagaimana harus menolongnya. Semua lantas berdiri diam di pinggiran.

Tidak lama, It Teng bersenyum. "Anak, adakah obatmu ini buatan ayahmu sendiri?" ia tanya Oey Yong.

"Bukan, supee. Ini buatan suko Liok Seng Hong, tetapi ia membuatnya menurut surat obat ayah."

"Pernahkah kau mendengar dari ayahmu, kalau obat ini dimakan terlalu banyak dapat berbalik menjadi bahaya?" si pendeta menanya pula, suaranya sabar.

Oey Yong terkejut. "Mungkinkah ada yang tidak benar pada obatku ini?" pikirnya. Ia lekas menyahut: "Ayah pernah membilang, semakin banyak dimakan semakin baik, hanya sebab pembuatannya sukar, ayah sendiri tidak berani memakan banyak-banyak."

It Teng berdiam, agaknya ia berpikir. Kemudian ia menggeleng kepala. "Ayahmu itu sangat cerdik dan pandangannya sangat jauh," katanya, "Ia sangat sukar diterka hatinya hingga aku pun tidak dapat membilang apa-apa tentangnya. Mungkinkah ia hendak menghukum Liok Suhengmu maka dia diberikan surat obat yang dipalsukan? Atau mungkinkah Liok Suhengmu itu bermusuh dengan kau maka di dalam obatnya itu dicampuri beberapa biji yang ada racunnya?"

Mendengar disebutnya racun, semua orang terkejut. "Suhu, apakah suhu telah keracunan?" si pelajar tanya.

"Syukur di sini ada paman gurumu, maka biarnya racun yang lebih dahsyat lagi tidak akan membikin orang mati," sahut sang guru.

Muka keempat murid itu lantas berubah, segera mereka menoleh kepada Oey Yomg dan berkata dengan bengis:

"Guru kami bermaksud baik menolong kau, cara bagaimana kau begini besar hati berani meracuninya?"

Segera mereka itu mengurung, agaknya mereka mau menerjang. Kwee Ceng menjadi bingung sekali. Ia tidak nyana akan perkembangan semacam ini. Oey Yong pun bingung tetapi segera ia berpikir sesuatu memgenai obat itu, hingga ia menduga, tentu ada hubungannya dengan perbuatan Eng Kouw di rumahnya di rawa lumpur hitam itu. Bukan obat itu telah dibawa si nyonya ke lain kamar, untuk diperiksa, dan sampai sekian lama baru nyonya itu membawanya pula ke luar untuk diserahkan kembali kepadanya?

"Supee, aku mengerti sekarang!" katanya. Sebab segera ia dapat menerka. "Ini perbuatan Eng Kouw!"

"Benarkah Eng Kouw?" It Teng bertanya.

"Ya," sahut si nona, dan ia tuturkan apa yang terjadi di rumah Eng Kouw, hingga sekarang ia menjadi curiga. "Dia pun telah memesan wanti-wanti supaya aku sendiri jangan makan obat ini. Tentu teranglah sudah sebab ia mencampuri racun di dalamnya."

"Hm!" mengejek si petani. "Dia perlakukan kau baik sekali dan maka itu ia khawatir membuatnya kau mampus!"

Nona ini sangat berduka yang paman gurunya terkena racun, maka itu ia tidak memikir untuk mengadu lidah dengan murid orang, bahkan dengan perlahan ia berkata:

"Sebenarnya dia bukan berkhawatir membikin aku mati, hanya dia khawatir, kalau aku memakannya, supee nanti tidak kena dia racuni……"

"Dosa, dosa," berkata It Teng, yang menghela napas. Lantas sikapnya menjadi sangat tenang. Ia berkata perlahan kepada muda mudi itu: "Ini adalah nasib dan dengan kamu berdua tidak ada hubungannya. Juga Eng Kouw sendiri, ini adalah karma. Sekarang pergi kamu beristirahat beberapa hari, habis itu baik-baik saja kamu turun gunung. Benar aku telah terluka tetapi adik seperguruanku pandai sekali mengobati racun, maka kamu tidak usah berkhawatir." Pendeta ini lantas menutup rapat matanya, ia tidak berkata-kata lagi.

Berdua muda mudi itu membungkuk, untuk pamitan. Mereka melihat It Teng bersenyum, tangannya dikibaskan, maka mereka tidak berani berdiam lebih lama lagi di situ, dengan perlahan mereka memutar tubuh dan mengundurkan diri. Si kacung menantikan mereka di luar kamar, lantas diajak ke sebuah kamar di ruang belakang, kamar mana tidak ada perabotannya kecuali dua pembaringan bambu. Tidak lama, di situ muncul dua orang pendeta tua dengan barang makanan sayur.

"Silahkan dahar," mereka mengundang.

"Apakah taysu baik?" tanya Oey Yong. Ia senantiasa memikirkan paman gurunya itu.

"Siauwceng tidak tahu," sahut satu pendeta, suaranya tajam. Ia lantas memberi hormat, untuk segera mengundurkan diri.

"Mendengar suara mereka, aku mengira wanita," kata Kwee Ceng.

"Mereka thaykam," berkata Oey Yong. "Tentu mereka itu telah merawat taysu semenjak taysu masih menjadi raja."

Kwee Ceng heran. Karena masing-masing berpikir, tidak ada nafsu dahar. Terus mereka berdiam di dalam kamar yang sunyi itu, cuma kadang-kadang saja berkesiur suara angin lewat, membuatnya daun-daun bambu bersuara perlahan.

"Yong-jie, kepandaian taysu hebat sekali," kemudian si pemuda berkata.

"Begitu?" kata si pemudi perlahan dan singkat.

"Guru kita," kata pula Kwee Ceng, "Dan ayahmu juga Ciu Toako, Auwyang Hong dan Khiu Cian Jin, walaupun mereka semua lihay tidak akan mereka dapat melawan It Teng Supee……"

"Coba bilang, di antara mereka berenam, siapa yang pantas mendapat sebutan jago nomor satu di kolong langit ini?"

Kwee Ceng berpikir. "Sebenarnya sesuatunya dari mereka mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri," sahutnya sesaat kemudian, "Dari itu tidak dapat dibilang siapa di antaranya yang paling lihay……"

"Di dalam halnya bun bu coan cay?" si nona menanya pula, tentang kepandaian orang dua-dua di dalam ilmu surat dan ilmu silat.

"Di dalam hal itu, tentulah ayahmu," menyahut si anak muda.

Oey Yong girang, inilah kentara dari romannya. Hanya sebentar, ia lalu menghela napas.

"Maka itu inilah anehnya!" katanya.

"Apakah yang aneh?" tanya Kwee Ceng cepat. Ia heran.

"Taysu begini lihay, keempat muridnya lihay juga," kata Oey Yong, "Tetapi kenapa mereka hidup bersembunyi di tempat sunyi begini? Kenapa asal mendengar ada orang datang, mereka nampak takut seperti juga bencana besar bakal mengancam mereka? Di antara keenam jago, cuma See Tok dan Khiu Cian Jin yang mungkin menjadi musuhnya, tetapi mereka itu berdua berkenamaan, apa mungkin mereka akan datang berdua untuk mengepung taysu?"

"Tetapi, Yong-jie," kata Kwee Ceng. "Biarnya See Tok dan Khiu Cian Jin datang bersama, sekarang kita tidak usah takuti mereka."

"Bagaimana itu?"

Kwee Ceng nampaknya likat, agaknya ia tak enak hati untuk menjawab.

"Eh, kenapakah kau nampaknya sulit bicara?" si nona menegur.

"Kepandaian It Teng Taysu pasti tidak ada di bawahan See Tok," kata si anak muda kemudian, "Atau sedikitnya, mereka berimbang. Menurut penglihatanku, ilmu menotok jalan darah dari taysu mungkin ada cara untuk meruntuhkan Kap Moa Kang dari See Tok itu……"

"Bagaimana dengan Khiu Cian Jin?" Oey Yong tanya pula, "Apakah si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar, bukannya tandingan dia seorang?"

"Benar. Selama di puncak Tiat Ciang Hong, di gunung Kun San, di telaga Tong Teng, pernah aku melayani Khiu Cian Jin. Kalau kita bertempur seratus jurus, mungkin aku dapat melawan seri, tetapi lebih daripada seratus jurus, belum tentu aku dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika tadi aku menyaksikan Taysu menotok kau……"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar