Sabtu, 20 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 122

Si pelajar sendiri sementara itu tengah berpkir. "Dia tidak dapat dirobohkan dengan twie yang umum saja, dia mesti menyaksikan yang sangat sukar." Lalu ia ingat halnya di masa bersekolah, gurunya pernah memberikan ia twie yang sudah puluhan tahun belum pernah ada lain orang yang dapat menimpalinya. Ia hendak mencoba ini. Ia kata:

“Sekarang aku mempunyai satu lian lagi, aku minta nona kecil menimpalinya. Inilah Kim Sek pie pee, delapan raja besar semua serupa kepalanya."

Mendengar itu tanpa merasa Oey Yong tercengang. Kim sek pie pee itu, ialah alat-alat tetabuhan semacam gitar, memang semua empat-empat hurufnya berkepala dengan huruf-huruf Ong = Raja di atasnya. Inilah benar-benar syair atau lian yang sulit untuk ditempeli (twie).

Si pelajar mengawasi orang, senang hatinya menampak si nona menghadapi kesulitan. Ia lantas berkata:

"Lian bagian atas ini memangnya sukar, aku sendiri tidak dapat menimpelinya dengan pasti, hanya karena kita sudah omong terlebih dahulu, umpama kata nona tidak dapat menempalinya, seperti janji kita, silahkan kamu kembali saja!"

Justru orang "mengusir" Oey Yong mendapat pikiran. Ia tertawa. "Untuk menimpali itu, tidaklah sukar!" katanya. "Hanya aku merasa kurang enak di hati menyebutkan itu. Tadi saja aku telah berbuat salah terhadap paman, sedang sekarang aku bakal menyinggung berbareng kamu berempat si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan palajar."

Pelajar ini tidak mempercayai orang. "Untuk menimpali saja sudah sukar sekali, apapula dengan sekaligus mengenai empat orang," pikirnya. "Benarkah itu?" Lalu ia membilang: "Asal kau dapat menimpali dengan tepat, bergurau sedikit tidak apa!”

Si nona tertawa. "Kalau paman bilang begitu, baiklah, lebih dulu aku minta maaf!" katanya. "Sambungannya lian paman itu ialah: Ci Bie Bong Liang, empat setan cilik dengan masing-masing ususnya!"

Cie bie bong liang itu ialah setan hutan, setan gunung, setan tukang makan batok kepala orang dan peri, semua empat huruf berpokok dengan huruf Kwie = Setan. Mendengar itu, si pelajar terperanjat, lekas-lekas ia berbangkit untuk menjura dalam seraya tangannya dikibaskan.

"Aku menyerah, Nona," katanya.

Oey Yong pun lekas-lekas memberi hormat. "Jikalau bukan paman beramai sangat bersungguh-sungguh menghalang-halangi kami berdua mendaki gunung, sebenarnya juga lian paman ini sangat sukar untuk dijawab!"

"Hm!" si pelajar bersuara seraya ia lantas minggir. "Silahkan!" katanya. Ia memutar tubuh dan berlompat dari tempat menghadangnya.

Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang dengan perhatian, ia sebenarnya khawatir Oey Yong gagal, maka bukan main girangnya mengetahui si nona menang, segera ia berlompat, mulanya di tempat bekas si pelajar, lalu terus ke rintangan lainnya yang paling belakang.

Melihat orang menggendong tetapi gerakannya demikian hebat, si pelajar menghela napas dan di dalam hatinya ia berkata:

"Aku bangga atas kepandaianku ilmu surat dan ilmu silat, sekarang ternyata, dalam ilmu surat aku tak seperti si nona, dalam ilmu silat tak ada seperti si pemuda, sungguh aku mesti malu…" Ketika ia melirik kepada si nona, nyata sekali nona itu sangat girang akan kemenangannya, rupanya ia memikir telah merobohkan satu conggoan. Maka ia pikir, "Baiklah aku ganggu dia, supaya ia jangan terlalu girang." Maka ia lantas berkata: "Nona, meskipun ilmu suratmu lihay, tetapi di dalam halnya prilaku, kau ada cacatnya."

Oey Yong tertawa. "Di dalam hal ini aku minta petunjukmu," ia bilang.

"Bukankah di dalam kitab Beng Coe ada bilang, yang dibilang adat-istiadat ialah pria dan wanita tak dapat saling bersentuh tangan?" katanya si pelajar. "Sekarang lihat sendiri, Nona adalah seorang gadis dan dengan engko kecil ini, kamu bukanlah suami-istri, maka kenapa nona membiarkan ia menggendong? Beng Hoe-coe membilang, cuma kalau sang ipar perempuan kelelap maka sang ipar lelaki dapat menolongnya. Nona ini tidak kelelap, Nona pun bukan iparnya engko kecil ini, kenapa dia menggendong Nona? Itulah sangat besar melanggar adat-istiadat."

Mendengar sindiran atau ejekan ini Oey Yong berpikir: "Hm! Engko Ceng toh sangat baik denganku. Memang dialah bukan suamiku, suko Liok Seng Hong membilang demikian, sekarang ini conggoan membilang demikian juga…" Ia tidak suka mengalah, maka sambil mainkan mulutnya, ia berkata: "Beng Hoe Coe itu memang paling suka mengaco-belo! Dapatkah kau percaya kata-katanya?"

Mendengar demikian, si pelajar menjadi gusar. ia tidak senang Beng Hoe Coe dikatakan mengaco-belo.

"Beng Hoe Coe seorang nabi, seorang rasul, mengapa kata-katanya tak dapat dipercaya?" dia tanya keras.

Oey Yong kata tertawa, bagaikan bersenandung, ia kata: "Seorang pengemis mana mempunyai dua istri? Seorang tetangga mana mempunyai demikian banyak ayam? Di jaman itu masih ada kaisar dari kerajaan Ciu, kenapa orang mesti omong banyak dengan raja¬-raja Gui dan Cee?"

Mendengar kata-kata si nona, pelajar itu berdiri menjublak. Ia mengetahui baik sekali kata-kata nona ini. Apa yang disebutkan Oey Yong adalah syair karya ayahnya sendiri. Oey Yok Su pintar akan tetapi tabiatnya aneh, maka itu, sering ia membuat syair dengan apa ia mengejek Khong Coe dan Beng Coe. Kalau bukan begitu, dialah bukan Tong Shia si Sesat dari Timur.

Beng Coe itu pernah bercerita dari halnya seorang dari negeri Cee mempunyai seorang istri serta seorang gundik, toh untuk hidupnya, ia pergi mengemis sisa sayur dan nasi dingin, dan halnya seorang yang setiap hari mencuri seekor ayam tetangganya. Dua cerita itu disyairkan dengan maksud akan dipakai menipu orang. Tentang yang lainnya: jaman itu ialah jaman perang antara negara (Cian Kok), itu masih ada raja dari kerajaan Ciu, maka itu Tong Shia menanya, kenapa Beng Cu bukannya menunjang raja Ciu, dia hanya pergi kepada raja muda Liang Hui Hong dan Cee Soan Ong kepada siapa Beng Cu meminta pangkat? Tong Shia menganggapnya itu bertentangan sama prilakunya seorang nabi atau rasul.

Pelajar ini berpikir: "Si orang negeri Cee dan si tetangga itu cuma cerita, cuma cerita, perumpamaan saja, hanya yang mengenai Beng Coe itu, mungkin Beng Coe sendiri di alam baka sukar menjawab…" Ia melirik pula si nona, ia berpikir lagi: "Dia masih begini muda, kenapa dia begini cerdik?"

Meski apa yang ia pikir itu, si pelajar membungkam. Ia hanya memimpin dua muda-mudi itu. Ketika melewati pengempang, ia memandang kepada daun teratai yang tadi disebutkan si nona, kemudian ia melirik kepada si nona. Oey Yong tertawa dan melengos! Tidak lama sampailah mereka di kuil, si pelajar mengundang kedua tetamunya masuk ke kamar sebelah timur, di mana lantas ada kacung pendeta yang menyuguhkan teh.




"Jiewi, harap tunggu sebentar, aku hendak mengabarkan guruku," kata si pelajar.

"Eh, tunggu dulu," berkata Kwee Ceng. "Itu paman petani, di lereng gunung tengah menahan batu yang ada kerbaunya, dia tidak dapat meloloskan diri, aebaiknya paman pergi menolong dia."

Mendengar ini, si pelajar kaget. Hingga tanpa bilang apa-apa lagi, dia lantas lari keluar.

"Nah, lekaslah buka itu kantung yang kuning!" kata Oey Yong kepada kawannya.

"Ah," kata si pemuda, "Kalau kau tidak menyebutnya, pasti aku lupa." Ia lantas mengeluarkan kantung kuning, untuk memerika isinya. Kertas putih tanpa huruf, hanya ada gambar, yang meggambarkan seorang India yang menjadi raja, dengan pisau raja itu telah memotongi dagingnya hingga tak ada tubuhnya yang utuh, sedang darahnya berhamburan. Di depan raja ini ada sebuah dacin, alat peranti menimbang: di ujung yang satu ada seekor burung dara putih dan di sebelah yang lain dagingnya itu. Daging lebih banyak, burung dara lebih kecil, tetapi buktinya, burung dara lebih berat. Di samping dacin ada seekor burung elang, yang romannya sangat bengis. Sekian lama Oey Yong mengawasi gambar itu, ia tidak mengerti maksudnya.

Kwee Ceng pun tidak tahu apa artinya, karena si nona diam saja, ia turut berdiam. Maka ia gulung gambar itu, untuk dipegangi dengan digenggam. Tidak lama terdengar tindakan kaki yang berat dan berisik, lalu nampak si petani datang dengan dipegangi si pelajar, romannya sangat gusar. Rupanya ia mendongkol sebab kena diakali hingga ia seperti tersiksa. Dia terus dibawa masuk ke dalam kuil. Selang tak lama, muncullah satu kacung pendeta. Dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan. Ia menanya.

"Jiewi datang dari tempat yang jauh, entah ada urusan apa?"

"Kami sengaja datang untuk mohon menghadap Toan Hongya," Kwee Ceng menyahut. "Kami minta tolong agar kedatangan kami disampaikan."

Pendeta itu merangkap kedua tangannya. "Toan Hongya sudah lama tak ada lagi di dunia ini, maka sayang sekali, jiewi telah bercapai lelah tanpa ada hasilnya. Silahkan dahar dulu, sebentar nanti siauw-ceng mengantarkan turun gunung."

Kwee Ceng berdiam, karena ia kecele sekali mendapat jawaban itu. Tidak demikian dengan Oey Yong, yang telah melihat kuil itu dan sekarang si pendeta cilik ini. Ia menduga sesuatu. Ia mengambil gambar dari tangannya Kwee Ceng, ia kata:

"Aku telah mendapat luka parah, sengaja aku datang ke mari untuk minta gurumu suka menolong, dari itu sehelai kertas ini tolong kau menyampaikannya kepada gurumu itu."

Kacung itu menerima, ia tidak berani membuka gambar itu, hanya setelah memberi hormat, ia masuk ke dalam. Tapi tidak lama ia keluar pula, sembari menurunkan alisnya, memberi hormat, ia berkata:

"Silahkan jiewi masuk."

Itulah undangan, maka Kwee Ceng menjadi girang sekali. Ia lantas pegangi Oey Yong, diajak mengikuti kacung itu.

Kuil itu kecil tetapi dalam. Kwee Ceng berdua Oey Yong jalan di satu jalanan batu hijau yang lecil melewati sebuah tempat di mana ada ditanam banyak pohon bambu, yang daunnya lebat, keadaannya sunyi dan tenang, hingga siapa berada di situ, tentunya terpengaruh suasana kesucian. Di dalam rimba bambu itu terlihat sebuah rumah batu terdiri dari tiga ruang. Si kacung pendeta lantas membuka pintu, mempersilahkan kedua tetamunya masuk ke dalam. Ia berdiri di pinggiran dengan sikapnya yang sangat menghormat.

Kwee Ceng girang. Ia bersenyum kepada pendeta itu, sebagai tanda terima kasihnya. Bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam.

Di atas meja kecil ada pedupaan dari kayu garu. Di kedua sampingnya duduk masing-masing seorang hweeshio atau pendeta. Yang satu mukanya hitam, hidungnya mancung, matanya dalam. Dialah seorang India. Yang lain bajunya kasar, mempunyai alis putih yang panjang, ujung alisnya meroyot turun di ujung matanya. Wajah pendeta ini nampak murah hati, benar sinar matanya rada guram, mungkin tercampur kedukaan, tetapi umumnya dia halus dan agung. Si pelajar dan si petani berdiri di belakang pendeta alis panjang ini.

Oey Yong bertindak tanpa sangsi lagi. Ia menarik tangan Kwee Ceng, menghampiri pendeta itu, sambil membungkuk ia berkata:

"Teecu Kwee Ceng bersama Oey Yong menghadap Supee."

Kwee Ceng terkejut mendengar nona itu memanggil supee atau paman guru, meski begitu tanpa bersangsi lagi dia menekuk kedua kakinya mengangguk sampai empat kali.

Pendeta alis panjang itu bersenyum, ia bangun berdiri, tangannya diulur mengasih bangun mereka. Ia pun tertawa dan berkata:

"Saudara Cit telah mendapatkan murid yang baik sekali dan saudara Yok mendapatkan anak yang manis! Menurut katanya mereka ini…" ia menunjuk kepada si petani dan si pelajar, "Lihay ilmu surat dan ilmu silat kalian berdua, jauh melebihi murid-muridku yang bodoh ini. Haha, sungguh kamu berdua harus diberi selamat!"

Mendengar suara itu, Kwee Ceng merasa pasti orang adalah Toan Hongya, maka ia heran kenapa seorang raja boleh berubah menjadi hweeshio dan heran juga bahwa Toan Hongya dikatakan sudah mati, toh orangnya masih hidup segar-bugar. Pula ia heran Oey Yong lantas mengetahui pendeta ini adalah Toan Hongya sendiri.

Lalu terdengar si pendeta nanya Oey Yong: "Apakah ayahmu dan gurumu mu baik-baik semua? Ketika dulu hari kita berapat di gunung Hoa San di mana kita merundingkan ilmu pedang bersama, ayahmu masih sebatang kara, siapa sangka baru berpisah dua puluh tahun, dia telah mendapatkan satu anak perempuan yang cantik dan pintar! Apakah kau ini mempunyai saudara tua dan muda, enci atau adik? Dan kakek luarmu itu, dia orang gagah yang manakah?"

Ditanya begitu, mata Oey Yong menjadi merah. "Ibuku cuma melahirkan aku seorang," sahutnya. "Ibu pun telah meninggal siang-siang. Siapa itu kakek luarku, aku tidak tahu…"

"Oh," kata pendeta itu, yang dengan perlahan menepuk pundak orang, sebagai tanda menghibur. "Aku telah bersemadhi tiga hari tiga malam, baru saja aku pulang. Apakah kamu sudah lama menungguku?"

Oey Yong berpikir: "Dilihat dari sikapnya ini, dia sangat menyukai kami. Maka mungkin di sepanjang jalan tadi, yang menyulitkan kami adalah bisanya muridnya itu…" Karena itu, ia lekas menyahut: "Teecu juga baru tiba. Syukur beberapa paman telah mempersulit di tengah jalan, kalau tidak, tentulah kami sudah tiba semenjak tadi-tadi, hingga dengan supee tengah bersemadhi mungkin tibanya kami akan sia-sia belaka."

Mendengar itu, si pendeta tertawa riang. "Mereka itu sangat khawatir aku bertemu orang luar," katanya. "Sebenarnya, kalian bukannya orang luar? Ah, anak, muridmu tajam sekali, dasar turunan! Baiklah kamu ketahui, Toan Hongya sudah tidak ada lagi di dunia ini, sekarang aku dipanggil It Teng Hweesio. Gurumu tahu ketika aku mulai menganut agama, ia menyaksikannya, ayahmu mungkin belum mengetahuinya."

Baru sekarang menjadi terang bagi Kwee Ceng. Toan Hongya telah menjadi Hweeshio, dia memakai nama It Teng, pantas dia dikatakan sudah menutup mata. Memang siapa menyucikan diri, dia bagaikan menjelma pula. "Suhu mengetahui tentang supee ini, kalau suhu menyuruh ke amri, tidak akan menyebut Toan Hongya, hanya It Teng Taysu." Maka itu, benar-benar Oey Yong cerdik sekali, ia lantas dapat menerka!

"Memang ayah tidak tahu," berkata Oey Yong.

"Benar," It Teng pun bilang sambil tertawa. "Tentang gurumu, mulutnya lebih banyak yang masuk, sedikit yang keluar, yang dimakan banyak, yang dibicarakan sedikit, maka urusanku si pendeta tua tentulah dia tak suka bicarakan sama orang lain. Kamu datang dari tempat jauh, kamu sudah dahar atau belum? Ah…." Mendadak pendeta ini terkejut, lalu ia menarik tangan Oey Yong ke depan pintu di mana ia mengawasi dengan tajam, di sinar matahari. Di sini dia nampak seperti kaget.

Kwee Ceng benar tak gelap pikirannya tetapi tahulah ia bahwa It Teng Taysu tentu telah mendapat lihat sakitnya Oey Yong, maka itu, hatinya jadi sangat pedih, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan pendeta itu, berulang-ulang ia mengangguk. It Teng meluncurkan sebelah tangannya, mengangkat bangun bocah itu.

Kwee Ceng merasakan tenaga besar membentur tangannya, ia tidak berani menentang, ia lantas mengikuti, maka ia berbangkit dengan perlahan-lahan. Sembari bangun, ia berkata:

"Teecu mohon supee suka menolongi jiwa sumoy…"

It Teng mengangkat si anak muda dengan dua maksud, mengasih bangun benar-benar, yang lain guna mencoba tenaga dalam bocah. Umpama Kwee Ceng melawan, tidak akan ia membikin orang terluka atau terpelanting, dalam hal ini, ia pandai mengendalikan tenaganya. Sebaliknya, meskipun Kwee Ceng mengikuti, ia merasa bahwa anak muda ini juga pandai mengendalikan tenaganya, maka ia menjadi kagum.

"Saudara Cit mendapat murid yang bagus sekali," pikirnya. "Pantas murid-muridku kalah…"

Sementara itu, habis orang berkata, Kwee Ceng kaget sekali. Mendadak ia merasa tubuhnya kena tertarik hingga maju satu tindak, ketika ia mencoba menahan diri, mukanya menjadi merah tahu benar lihaynya pendeta tua ini. Sebenarnya ia menduga It Teng sudah berhenti menguji, ia mengendorkan diri seperti wajar, tidak tahunya, ia diuji terus. Sekarang ia menginsyafi benar lihaynya Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay.

It Teng dapat melihat sinar mata anak muda, ia heran dan kagum, ia menepuk perlahan pundak orang, sembari tertawa ia kata:

"Anak, kau telah mempunyai kepandaian, sungguh ini sukar didapat."

Dilan pihak, pendeta ini masih belum melepaskan tangannya yang satu lagi yang memegang tangan Oey Yong, maka ia lantas menoleh kepada si nona. Hanya kali ini ia tidak tertawa hanya bersenyum, cuma dengan sungguh-sungguh perlahan sekali, ia bilang:

"Anak, jangan kau takut, kau tetapkan hati." Lalu ia menuntun nona itu, untuk dikasih duduk.

Oey Yong sangat bersyukur. Seumurnya belum pernah merasa orang perlakukan ia begini manis dan halus, tidak juga ayahnya yang aneh itu. Ayahnya menyayangi, tetapi sikap mereka berdua mirip sahabat erat, tidak pernah si ayah menunjuk tegas cinta kasihnya seorang ayah sebagaimana umumnya. Maka itu, tanpa merasa, ia menangis.

"Jangan menangis, anak yang baik, jangan menangis," It Teng menghibur. "Tubuhmu sakit, bukan? Nanti supeemu mengobati hingga sembuh."

Semakin halus pendeta berbicara, semakin sedih hati si nona, hingga ia menangis tersedu-sedu tak henti.

Kwee Ceng girang mendengar It Teng memberi janjinya itu, tetapi kebetulan ia mengangkat kepalanya dan melihat si petani dan si pelajar, ia terkejut. Dua orang itu memandangnya dengan wajah bermuram durja tanda dari kemurkaan. Ia berpikir: "Kami bisa masuk sampai di sini, semua itu mengandalkan kecerdikan Oey Yong, yang pandai menggunakan tipu daya, tidak heran, selagi It Teng Taysu begini baik, kenapa keempat muridnya menggunakan segala jalan untuk menghalang-halangi kami?" Pemuda ini baru berhenti berpikir ketika ia mendengar It Teng menanya Oey Yong. Katanya:

"Anak, bagaimana caranya kau terluka, dan bagaimana jalannya hingga kau dapat masuk ke mari, coba kau tuturkan pada supeemu."

Oey Yong memberi keterangan bagaimana ia dilukai Khiu Cian Jin, mulanya ia tidak tahu ada yang tulen dan ada yang palsu, karena kesangsiannya itu, ia mandah saja dirinya dihajar.

Mendengar disebutnya nama Khiu Cian Jin, It Teng Taysu itu mengerutkan alis, hanya sejenak, lalu ia dapat tersenyum lagi, tenang seperti biasa.

Oey Yong si cerdik bicara sambil diam-diam memperhatikan pendeta ini, maka air muka orang tidak lolos dari pandangan matanya yang tajam. Begitu saat ia menutur sampai di bagian bertemu Eng Kouw di rimba rahasia dan rawa lumpur hitam, ia juga mendapatkan si pendeta berubah lagi romannya, si pendeta seperti tengah mengenang peristiwa lama. Karena ini, ia menunda penuturannya.

"Kemudian bagaimana?" tanya It Teng, yang menghela napas.

"Kemudian kami sampai di kaki gunung," melanjuti Oey Yong yang terus menceritakan bagaimana mereka dipersulit si tukang pancing, tukang kayu, yang memberi mereka lewat dengan gampang, sebaliknya, mengenai tiga yang lain, ia sengaja menambah¬nambahkan hingga si petani dan pelajar mendongkol bukan buatan.

"Yong-jie, jangan omong sembarangan," beberapa kali Kwee Ceng campur bicara. "Paman-paman itu tak sedemikian galaknya…."

Oey Yong berani bicara begitu rupa, karena ia tahu, di depan gurunya, mereka tidak akan berani berbuat sesuatu. Ia memang sengaja hendak mengocok isi perut mereka.

"Anak-anak itu benar perbuatannya kurang bagus terhadap anak-anak kecil," kata It Teng kemudian. "Biarlah sebentar aku menyuruh mereka menghanturkan maaf kepada kalian."

Oey Yong melirik dua murid itu, selagi ia bercerita terus sampai memasuki kuil ini, akhirnya ia tambahkan.

"Begitulah teecu lantas memberikan gambar itu untuk supee periksa. Sedari waktu itu, mereka tidak berani menghadang kami lagi."

It Teng nampaknya heran. "Eh, gambar apakah itu?" ia tanya.

"Itu adalah gambar burung elang, burung dara dan daging yang dipotong," menyahut si nona.

"Kau serahkan itu pada siapa?" It Teng tanya lagi.

Belum lagi Oey Yong menyahut, si pelajar telah merogoh sakunya dan mengeluarkan gambar itu.

"Gambar ada pada teecu, suhu," ia berkata. "Tadi suhu belum selesai bersemadhi, teecu tidak berani lantas menyerahkannya."

It Teng menyambut gambar itu. "Lihatlah!" katanya. "Jikalau kau tidak menyebutkannya, mana aku bisa melihat ini?" Ia membuka gambar itu perlahan-lahan, terus ia lihat. Cuma sekelebatan, lantas tertawa dan kata:

"Kiranya orang khawatir aku tidak suka menolong kau, maka ia menggunakan gambar ini untuk membangkitkan kemendongkolanku, agar hatiku menjadi panas. Tidakkah dengan begitu ia jadi memandang enteng sekali kepadaku si pendeta tua?"

Oey Yong tidak menjawab, ia hanya melirik si petani dan pelajar, hingga ia kembali melihat muka orang suram, agaknya hati mereka cemas dan tetap mendongkol. Ia menjadi heran sekali. Ia tanya dirinya sendiri: "Kenapa mereka tak senang mendengar It Teng Taysu berniat mengobatiku? Kenapa mereka seperti menghendaki kematianku? Adakah disebabkan obatnya ada obat dewa?" Ia mengawasi pula si pendeta yang lagi memperhatikan gambar, bahkan dibawa ke terangnya matahari, diperiksa dengan teliti. Dia bukannya membaca hanya memperhatikan kertasnya. Beberapa kali kertas itu disentil-sentil, dan air muka di pendeta nampak ragu-ragu.

"Adakah lukisan ini lukisannya Eng Kouw sendiri?" ia menanya.

"Benar."

Pendeta itu berdiam sejenak. "Kau melihatnya dengan matamu sendiri?"

Pertanyaan ini aneh, maka Oey Yong mengingat-¬ingat kejadian hari itu. Ia menjawab: “Di waktu Eng Kouw menulis, ia membelakangi kami berdua, aku cuma melihat ia menggoyangkan pit, entah dia menulis surat atau melukis gambar."

"Kau membilang masih ada dua kantung surat lainnya. Mana, kasih aku melihatnya."

Kwee Ceng menyerahkan dua lembar surat wasiat itu. It Teng mengawasi sekian lama, lalu air mukanya berubah.

"Benarlah!" katanya kemudian. Ia menyerahkan surat itu pada si nona seraya berkata: "Saudara Yok itu seorang pelukis pandai, kau putrinya, kau tentu mengerti segalanya. Kau lihat ketiga surat itu, ada yang berlainan?"

Oey Yong menyambut dan memeriksa. "Ini dua kertas giokpoan yang biasa," ia berkata. "Dan gambar ini memakai kertas ciu-song."

It Teng mengangguk. "Mengenai lukisan, akulah si orang diluar kalangan," katanya pula. "Coba kau bilang aku pandanganmu tentang gambar ini”.

Oey Yong meneliti. "Supee pura-pura menjadi orang di luar kalangan!" katanya tertawa. "Sebenarnya supee telah melihatnya, ini bukan gambar lukisan Eng Kouw sendiri!"

Kembali berubah air mukanya It Teng. "Jadi benar ini bukan lukisan Eng Kouw sendiri?" katanya. "Aku melihat dari jalan pikirannya, bukan dari gambarnya."

Oey Yong menarik tangan orang. "Mari lihat huruf-hurufnya kedua surat ini," ia berkata. "Bagaimana halus tekukannya dan indah. Huruf-huruf di dalam gambar sebaliknya kaku! Ah, ini lukisan seorang laki-laki! Memang, mestinya dia seorang pria, hanya sayangnya dia tidak mempunyai minat menggambar, lukisannya tak ada harganya. Tetapi tulisan ini, karena ia menggunakan tenaga, telah menembus ke belakang kertas… Air bak ini juga mestinya telah lama sekali, jangan-jangan lebih tua dari usianya…"

It Teng Taysu menghela napas. Ia menunjuk sebuah kitab di atas meja, ia menyuruh si pelajar mengambilnya.

Oey Yong membaca judulnya kitab, maka ia kata di dalam hatinya; "Dia mau bicara tentang kitab suci denganku, mana aku mengerti…." Itulah sebuah kitab suci dan pula cetakan tua.

It Teng membuka lembaran kitab, lalu di samping itu ia meletakkan gambar dari Eng Kouw.

"Kau lihat!" katanya.

"Eh, kertasnya sama!" kata Oey Yong heran.

Pendeta itu mengangguk. Kwee Ceng tidak mengerti, sambil berbisik ia tanya si nona, kertas apanya yang sama.

"Kau lihat sendiri dan bandingkanlah," kata Oey Yong. "Bukankah kertas gambar dan kitab ini sama saja?"

Si anak muda mengawasi teliti dan memegang juga kedua kertas, yang tebal dan licinnya sama saja.

"Benar sama. Habis bagaimana?" ia tanya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar