Jumat, 19 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 121

"Yong-jie, ah…" berkata si anak muda, masgul: "Jangan menyebut-nyebut tentang mati atau hidup, bisakah?"

Si nona tertawa, dengan perlahan ia meniup pundak orang.

"Eh, jangan main-main!" kata Kwee Ceng, yang merasakan pundaknya panas dan gatal, "Awas, nanti tanganku terlepas, kita jatuh mati berdua…"

"Bagus!" berseru si nona. "Nah, kali ini bukanlah aku yang menyebut-nyebut hidup atau mati!"

Saking kewalahan, pemuda itu cuma bisa tertawa. Lewat sekian lama, setelah melapai terus dengan tetap rajinnya, tibalah muda-mudi ini di bongkot rotan, ialah puncak gunung, yang merupakan sebuah tanah datar. Hanya belum sempat Kwee Ceng menurunkan tubuh Oey Yong, keduanya terkejut mendadak mendengar suara berisik seperti batu besar jatuh di susul jeritan kerbau berulang-ulang, di susul lagi sama bentakan satu orang.

"Heran, mengapa di atas gunung begini ada kerbau?" kata si anak muda, lantas lari ke arah darimana suara datang. Ia tidak sempat menurunkan Oey Yong, yang berkata:

“Bukankah ada si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar? Nah, kalau ada si petani mesti ada kerbaunya!"

Segera mereka mendengar lagi suara kerbau, sekarang mereka lantas melihat binatang itu, yang tengah mengangkat kepalanya, keletakannya luar biasa sekali, tubuhnya terlentang di atas batu karang besar, keempat kakinya meronta-ronta tanpa dapat bangun, sedang batunya bergoyang-goyang. Di bawah batu itu dengan memasang kuda-kuda, satu orang mengangkat terbuka kedua tangannya, dipakai menampah batu itu berikut kerbaunya. Yang lebih hebat, orang itu berdiri di tempat di mana tidak ada tempat mundur lagi. Kalau tangan orang itu tak kuat menahan, kerbau dan batu mesti jatuh, orang itu ketimpa atau jatuh bersama kerbau itu, atau sedikitnya orang itu bakal patah tangan dan kakinya. Rupanya kerbau itu lagi makan rumput, dia terpeleset dan jatuh di batu itu, lalu orang itu mencoba menolong dengan kesudahannya mereka sama-sama terancam bahaya.

Melihat keadaan manusia dan kerbau itu, Oey Yong tertawa. Katanya: "Tadi orang baru menyanyikan lagu San Po Yang, sekarang ini lagu San Po GU!"

Lagu yang dinyanyikan si tukang kayu tadi lagu "San Po Yang" atau "Kambing di atas lereng", dan si nona menyebutnya "San Po Gu", ia menukar "Kambing" dengan "kerbau" (Gu)

Di atas puncak itu ada sawah lebar belasan bauw yang tengah ditanami. DI pinggir sawah ada sebuah pacul. Orang yang menahan batu berikut kerbau itu bertubuh telanjang dan kakinya melesak di lumpur sebatas dengkul.

Sembari mengawasi, Oey Yong pikir kerbau itu beratnya di atas dua ratus kati dan berat batunya tak berjauhan, maka bisalah dimengerti kuatnya orang itu, yang ia duga mestilah si petani yang dimaksudkan dalam suratnya Eng Kouw.

Kwee Ceng sudah lantas mengasih turun si nona, hendak membantu orang itu.

"Tahan, jangan kesusu!" si nona mencegah.

Tapi si anak muda itu murah hati, dia terus lari, tiba di samping si petani, ia berjongkok, sambil memasang kuda-kudanya, dia mengangkat kedua tangannya guna membantu menahan batu seraya dia berkata pada orang itu:

"Aku nanti menahan batu ini, kau tolong singkirkan dulu kerbaunya!"

Orang itu menurut, akan tetapi ia melepaskan dulu sebelah tangannya, yang kanan, tangan kirinya menahan terus, rupanya ia khawatir si pemuda tak kuat. Tapi anak muda itu bukan cuma menahan, ia mengangkat batu itu hingga terangkat sedikit, hingga tangan si petani terlepas dari batu.

Ketika melihat orang cukup kuat, ia lantas molos keluar, untuk lompat naik ke sebelah atas, dari sana barulah ia menarik kerbaunya, hanya lebih dulu daripada itu, ia mengawasi si anak muda yang datangnya tiba-tiba sekali. Segera ia menjadi heran. Ia melihat seorang bocah umur tujuh atau delapanbelas tahun. Yang aneh, orang itu menahan batu berikut kerbau tanpa terlihat menggunakan banyak tenaga. Ia menjadi heran dan curiga, sebab ia merasa diri sendiri sangat kuat. Ia melihat ke bawah, nampak Oey Yong, seorang bocah lain, bahkan ia mendapatkan nona itu lesu, seorang yang lagi sakit.

"Sahabat, untuk urusan apakah kau datang ke mari?" ia tanya, herannya bertambah.

"Aku mau memohon bertemu sama gurumu, Tuan," Kwee Ceng menyahut terus-terang.

"Untuk urusan apakah?" orang itu menanya pula.

Kwee Ceng melengak, ia belum menyahut, terdengarlah suara Oey Yong: "Kau singkirkan dulu kerbau itu, nanti kau menanya perlahan-lahan, tak bakal terlambat! Kalau dia keterlepasan tangan, apakah bukan kerbau dan manusia akan jatuh bersama?"

Dalam herannya, si petani berpikir: "Dua orang ini datang untuk suhu mengobati mereka, maksud mereka baik, hanya heran kenapa kedua suheng di sebelah bawah tidak melepaskan panah nyaringnya? Kalau mereka datang dengan membolos, terang mereka mestinya lihay. Kalau dugaanku ini benar, baiklah aku gunakan kesempatan selagi dia tidak dapat meloloskan diri, aku tanya dulu dia biar terang…" Maka ia menanya:

"Apakah kamu datang untuk minta diobati?"

Kwee Ceng mengangguk. Ia pikir, sudah terlanjur omong sebenarnya, baiklah ia berterus-terang saja.

Melihat orang mengangguk, paras si petani berubah. "Nanti aku tanya dulu!" katanya. Dengan gerakan yang nampaknya enteng sekali, ia berlompat turun.

"Eh!" Kwee Ceng memanggil, "Kau bantu aku menurunkan dulu batu besar ini!"

"Sebentar saja aku kembali!" berkata si petani tertawa.

Melihat kelakuan orang, Oey Yong sudah dapat menerka maksudnya. Dia mau membikin Kwee Ceng lelah, setelah itu dengan gampang dia nanti mengusir mereka berdua. Karena menduga begini, ia menyesal lagi sakit hingga ia tidak dapat membantu engko Ceng-nya itu. Tentu saja ia bingung sekali, sebab tak tahu, berapa lama si petani bakal pergi!

"Eh, paman, mari!" ia memanggil. Ia bingung berbareng mendongkol pula.

Petani itu berhenti, ia tertawa dan berkata: "Dia bertenaga besar, buat satu jam atau tiga perempat, tidak apa, kau jangan takut!"

Jawaban ini membuat si nona gusar. "Dengan baik hati engko Ceng menolongmu, kau sebaliknya hendak menyiksa," pikirnya. "Apakah kau kira sedikit waku satu jam atau seperempat itu? Baiklah, kau perlu diberi sedikit pengajaran…" Demikian lantas ia mendapat pikiran, maka ia kata pula pada petani itu.




"Paman, bukankah kau hendak menanyakan gurumu dulu? Itu pantas. Tapi di sini ada sepucuk surat, dari guruku, Ang Cit Kong, untuk dihanturkan kepada gurumu, maka tolong kau bawa sekalian."

Mendengar disebutnya nama Ang Cit Kong, petani itu mengasih dengar suara terkejut. "Oh, kiranya nona murid Kiu Cie Sin Kay?" katanya. Terus ia menghampir, untuk mengambil surat yang dimaksudkan itu.

Dengan ayal-ayalan Oey Yong membuka kantung di punggungnya, ia beraksi mau mengeluarkan surat, tetapi ia terlebih dahulu mengambil baju lapisnya, sembari berbuat begitu, ia menoleh kepada Kwee Ceng. Mendadak ia memperlihatkan roman kaget, ia pun berteriak:

"Oh, oh, celaka! Tangannya itu bakal nowah! Paman, kau tolongilah dia!"

Petani itu tercengang sebentar, lalu ia tertawa. "Tidak apa-apa," katanya. "Mana suratmu?"

"Kau tolongi," kata Oey Yong pula. "Kau tidak tahu, sukoku itu lagi meyakinkan ilmu silat Pek-khong-ciang, kemarin tangannya direndam dalam air obat, belum habis latihannya, kalau dia menggunakan tenaga terlalu lama, tangannya bisa terluka…"

Oey Yong tahu dari ayahnya tentang bagaimana Pek-khong-ciang, Tangan Memukul Udara, harus dipelajari, maka itu, ia hendak mengakali di petani ini. Si petani tidak paham ilmu Pek-khong-ciang, sebagai murid lihay, ia pernah mendengar dari gurunya, maka mendengar perkataan si nona, ia jadi berpikir: "Kalau tanpa sebab aku mencelakakan murid Kiu Cie Sin Kay, bukan saja suhu bakal menegur aku, hatiku sendiri pun tidak enak. Sekarang ini dia datang dengan maksud baik. Hanya aku menyangsikan si nona kecil ini, dia omong benar atau dia lagi menggunakan akal liciknya untuk menipu aku agar membebaskan kawannya itu…"

Oey Yong melihat orang bersangsi, ia angkat baju lapisnya dan berkata pula: "Ini baju lapis joan-wie-kah dari Tho Hoa To, yang tak mempan senjata, tolong paman mengerebongkan di pundaknya, kalau sudah dikerebongi, biarlah batu itu diletakkan pula di pundaknya, dengan begitu, dia tidak dapat pergi, dia pun tak usah terluka. Bukankah itu bagus untuk kedua belah pihak?"

Si petani juga pernah mendengar tentang baju lapis itu, ia tetap ragu-ragu ketika ia menyambut baju itu.

Oey Yong senantiasa mengawasi orang, ia melihat orang tetap bersangsi, maka ia berkata pula:

"Guruku telah mengajari aku tidak boleh berdusta terhadap orang lain, mana berani aku membohongi kau, Paman? Jikalau paman tidak percaya, kau cobalah bacok beberapa kali baju lapisku ini!"

Si petani mengawasi si nona, ia mau percaya orang jujur. Ia berpikir pula: "Kiu Cie Sin Kay itu orang tua dan terhormat, kata-katanya bagaikan emas atau kumala, guruku pun sangat menghargainya, sedang nona ini macamnya bukan tukang mendusta…" Karena berpikir demikian, ia lantas mencabut golok pendek di pinggangnya, terus membacok baju lapis itu, sampai beberapa kali. Benar ia mendapat kepastian, baju itu tidak rusak. Sekarang ia baru percaya benar.

"Baiklah!" katanya kemudian, "Nanti aku mengerebongkannya!"

Petani itu tidak menyangka sama sekali, walaupun roman Oey Yong sangat polos dan kekanak-¬kanakan, otaknya sangat tajam, dibatok kepalanya banyak akal. Maka ia menghampiri Kwee Ceng, ia meletakkan baju itu di lengan si anak muda, siap untuk dikerebongi, setelah itu ia memegang batu, untuk diangkat. Sembari berbuat begitu, ia kata:

"Kau lepaskan tanganmu, kau pakai pundakmu untuk menahan batu!"

Dengan menyender pada batu, Oey Yong mengawasi petani itu tajam-tajam, begitu ia melihat orang mengangkat batu, mendadak ia memanggil Kwee Ceng:

"Engko Ceng, Hui liong cay thian!"

Kwee Ceng mendengar itu, ia mengerti maksud si nona. "Hui liong cay thian" ialah salah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang berarti "aga terbang di langit". Itu pun artinya, ia harus terbang. Maka begitu merasakan tindihan kendor, ia menarik tangan kanannya, tangan kiri ia loloskan di bawah tangan kanannya, lalu kakinya menjejak, tubuhnya melesat ke samping Oey Yong! Bukan main sebatnya ia bergerak dengan jurus "Hui liong cay thian" itu.

"Kurang ajar" maki si petani begitu ia ketahui bahwa ia sudah kena ditipu mentah-mentah. Sebab dalam sekejab itu, sekarang ia mesti berdiri diam menahan pula batu serta kerbaunya itu!

"Engko Ceng, mari kita pergi!" kata Oey Yong. Ia memperlihatkan roman sangat puas, sembari menoleh kepada si petani, ia berkata: "Paman, tenagamu sangat besar, kau dapat menahan batu itu untuk satu jam atau tiga perempat, tidak akan terjadi bahaya apa¬apa, kau jangan khawatir….!"

"Hai, budak cilik!" maki si petani. "Secara begini kau akali si orang tua! Kau bilang Kiu Cie Sin Kay dapat dipercaya, tapi dengan begitu kau meruntuhkan nama baiknya, kau bocah licik!"

Oey Yong tidak gusar, ia bahkan tertawa. "Apakah yang runtuh?" ia berkata. "Memang guruku membilangi aku bahwa aku tidak boleh berdusta akan tetapi ayahku mengatakan memperdayakan orang bukanlah suatu perkara hebat! Karena aku suka mendengar perkataan ayahku, jadi guruku tidak dapat berbuat apa-apa atas diriku!"

"Siapa ayahmu?" tanya si petani mendongkol sekali.

"Eh, bukankah aku telah memberikan kau kesempatan untuk menguji baju lapisku itu?" si nona membalikkan.

"Ah, biar mampus, biar mampus!" mengutuk petani itu. "Hai, kiranya kau budak setan, kau adalah anak setan perempuan dari Oey Lao Shia! Ah, kenapa aku begini tolol?!"

"Memang!" kata pula Oey Yong, tertawa. "Kata-kata guruku memang berat bagaikan gunung, dia belum pernah mendusta, adalah sukar untuk mempelajarinya, sedang aku juga tidak berani mempelajarinya! Menurut aku, peljaran ayahkulah yang tepat!"

Lagi-lagi si nona tertawa, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi. Mereka mengikuti jalanan, untuk ke depan. Kwee Ceng girang dan heran. Ia tidak mengerti kenapa Oey Yong mengakali si petani, hingga petani itu sendiri yang memapah pula batu serta kerbaunya.

Tak lama sampailah mereka di ujung jalan. Di depan mereka melintang sebuah jembatan bagaikan penglari batu, lebarnya kira-kira setengah kaki, kedua ujungnya duduk di antara kedua puncak, karena ada kabut atau awan, ujungnya yang lain tak nampak. Kalau batu itu terletak di tanah, kecil pun tak berarti, sekarang itulah sebuah jembatan, di bawahnya ada jurang yang dalam, sungguh berbahaya. Dengan melihat saja ke bawah, hati sudah ngeri.

"Sungguh pandai sekali Toan Hongya menyembunyikan diri," kata Oey Yong menghela napas.

"Umpama ada seorang bermusuh hebat, kalau musuh itu dapat mencari sampai di sini, mungkin sakit hatinya akan berkurang separuh…."

"Kenapa si tukang pancing mengatakan bahwa Toan Hongya sudah mati?" tanya Kwee Ceng. "Perkataannya itu membuat hatiku tidak tentram…."

"Ya, memang mengherankan," sahut si nona. "Melihat romannya, dia tidak berbohong. Dia juga mengatakan guru kita melihat sendiri kematian Toan Hongya…"

"Ah, sudahlah!" kata Kwee Ceng akhirnya. "Sudah sampai di sini, tidak bisa lain, kita mesti jalan terus…!" Ia lantas berjongkok, untuk menggendong Oey Yong di punggungnya, setelah itu ia berjalan cepat di jembatan batu. Ia menggunakan ilmu meringankan tubuh "Keng-kang Tee-ciong-sut"

Sebenarnya jembatan batu itu tidak rata dan juga licin sekali, siapa jalan disitu, semakin perlahan, semakin banyak kemungkinan terpeleset dan jatuh, maka Kwee Ceng sebaliknya berjalan seperti berlari. Hanya ketika sudah melalui kira-kira delapan tombak, Oey Yong lantas teriak:

"Awas, di depan itu putus!"

Kwee Ceng pun melihat itu, ia tidak berpikir untuk mencari tahu, kenapa bisa terjadi begitu, ia hanya menjejak, mengenjot tubuh, maka dilain saat ia sudah berlompat ke seberang.

Oey Yong tidak menghiraukan lagi kematian, ia cuma merasa perbuatan si anak muda sangat berbahaya. Selewat dari situ, ia tertawa. Ia kata:

"Engko Ceng, terbangmu masih tetap kalah dengan si rajawali!"

Nyatanya jalanan terputus itu, tetapi ada sambungannya pula, bukan hanya ada satu itu, sebaliknya bahkan ada tujuh rintasan, tetapi ketujuh-¬tujuhnya dapat dilewati Kwee Ceng, maka dilain saat tibalah mereka di ujung jembatan yang terakhir, yang terputusnya agak lebar. Habis itu barulah tampak sebidang tanah datar. Di situ terdengar suara orang membaca kitab.

Kwee Ceng menghentikan tindakannya. Ia mengawasi bagian yang terputus itu, yang lebarnya beberapa tombak lebih. Tepat di atas tanah itu, yang ceglok, di situ ada seseorang yang berdandan sebagai pelajar duduk bersila, tangannya memegang buku, mulutnya membaca. Surat bacaan tadi keluar dari mulut dia ini. Di belakangnya ada sebuah lagi jalan yang putus dan ceglok.

"Sukar…" si anak muda mengeluh. "Tidak sukar aku melompat ceglokan ini hanya di situ bercokol si pelajar ini! Mana dapat aku melompati dia? Kalau tidak, di sini tidak ada jalan lain… Di mana aku mesti menaruh kakiku?" Terpaksa ia berkata: "Paman aku yang muda mohon bertemu dengan gurumu, maka itu, tolong paman memimpin aku menemuinya."

Pelajar itu tidak menyahut, mungkin dia tidak mendengar, sebab dia lagi asyik sekali membaca kitabnya, sambil kepalanya digoyang-goyangkan. Sekali lagi Kwee Ceng mengajaknya bicara, suaranya dikeraskan, tetapi masih si pelajar diam saja.

"Yong-jie, bagaimana?" akhirnya Kwee Ceng tanya pada kawannya.

Oey Yong tidak lantas menjawab. Ia memperhatikan tempat di mana si pelajar dudukl. Di situ mereka tidak bisa bertempur, sebab salah satu atau dua-duanya tentu akan celaka. Pula, taruh kata mereka menang, kemenangan itu tidak ada artinya. Bukankah mereka datang untuk memohon sesuatu? Mana dapat mereka mencelakakan orang? Maka atas pertanyaan Kwee Ceng, ia mengerutkan alisnya. Dari apa yang ia dengar, si pelajar lagi membaca kitab Loen Gie, terang dan lancar suaranya.

"Untuk membikin dia membuka mulutnya, tidak ada lain jalan daripada membuat hatinya panas." Kemudian nona ini membuka berpikir. Maka berkatalah ia mengejek: "Biarpun Loen Gie dibaca beribu kali putar balik, kalau tak mengerti maksud Guru Besar Khong Coe tentang peribudi besar toh percuma!"

Pelajar itu tampak terkejut, ia mengangkat kepalanya. "Apakah itu peribudi besar?" tanyanya. "Aku mohon pengajaran."

Oey Yong memandang pelajar itu, usianya limapuluh lebih, yang kepalanya ditutup dengan kopiah sabuk Siauw-yauw-kin, tangannya memegang kipas dan jenggotnya panjang. Dia benar mirip seorang pelajar.

"Apakah kau tahu ada berapa banyak murid Khong Coe?" ia menanya, suaranya tetap dingin, tertawanya mengejek.

"Apakah sukarnya?" jawab pelajar itu dengan tertawa. "Murid Khong Coe ada tiga ribu orang dan yang paling pandai tujuhpuluh dua!"

"Dari tujuhpuluh dua murid itu, orangnya ada yang tua dan ada yang muda," kata si nona. "Tahukah kau, berapa yang tua dan berapa yang muda?"

Pelajar itu tercengang. Di dalam kitab Loen Gie hal itu tak dibicarakan, dan di kitab-kitab lain pun tidak dicatat.

"Aku mengatakan kau tidak mengerti bunyinya kitab, apakah aku salah?" tanya Oey Yong disengaja. "Tadi aku mendengar kau membaca, yang dewasa lima enam orang dan yang bocah enam tujuh orang. Bukankah lima kali enam menjadi tigapuluh orang? Bukankah enam kali tujuh menjadi empatpuluh dua? Jadi yang muda itu empatpuluh dua orang? Bukankah kalau kedua jumlah itu dijumlah lagi. semuanya jadi berjumlah tujuhpuluh dua? Hm! Kau belajar tetapi tanpa berpikir, hm, sungguh celaka!"

Pelajar itu tahu orang merebut alasan dengan dipaksakan, tanpa merasa, ia tertawa. Meskipun demikian, ia kagum akan kecerdikan si nona.

"Nona kecil, kau sungguh pandai!" katanya. "Aku kagum kepadamu! Kamu hendak mencari guruku, untuk urusan apakah?"

Oey Yong berpikir dengan cepat: "Jikalau terang-terangan aku memberitahu, bahwa aku hendak minta diobati, pasti dia menggunakan segala macam cara untuk menghalang-halangi. Tapi pertanyaan ini juga tidak dapat tidak dijawab. Baiklah, dia membaca kitab Loen Gie, baik kejejal dia dengan ujar-ujar Khong Coe juga!" Maka ia tertawa dan menyambut:

"Nabi itu tidak dapat aku menemuinya, maka dapat menemui kuncu juga bolehlah! Jikalau ada sahabat yang datang dari tempat yang jauh, bukankah itu menggirangkan?"

Pelajar itu mendongak, ia tertawa lebar. "Bagus, bagus!" katanya. "Sekarang aku hendak mengajukan tiga pertanyaan padamu, jikalau kau dapat menjawabnya, aku akan membawa kau kepada guruku, jikalau ada satu saja kau tidak mampu menjawabnya, maka persilahkan kamu berdua pulang kembali!"

"Ah, hebat, hebat!" Oey Yong mengeluh. "Aku tidak pernah membaca banyak kitab, jikalau pertanyaanmu sulit, sungguh aku tidak dapat menjawabnya…"

"Tidak sukar, tidak sukar!" si pelajar tertawa. "Di sini ada sebuah syair, yang melukiskan tentang diriku, untukmu cukup kau menjawabnya dengan empat huruf. Kau coba saja!"

"Baik!" si nona menjawab. "Jadi ini tebak-¬tebakan! Teka-teki itu menarik hati! Silahkan kau menyebutnya!"

Si pelajar mengurut kumisnya, ia membaca; "Enam kitab telah lama pernah di dada, satu pedang sepuluh tahun digosok di tangan…"

"Aha!" memuji Oey Yong sambil mengulur lidah, "Ini namanya Bun Bu Coan Cay! Sungguh hebat!" Ia memotong untuk memuji orang pandai dua-dua dalam ilmu surat (bun) dan silat (bu)

Si pelajar tertawa, ia melanjutkan: "Di atas bunga Heng ada satu batang melintang, karena khawatir rahasia langit nanti bocor janganlah membuka Mulut. Satu titik bertumpuk-tumpuk besar bagaikan gantang, menutupi Setengah pembaringan hingga tak nampak apa-apa. Habis itu lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku ini?"

Oey Yong segera berpikir. Ia lantas memegang pokok pertanyaan itu: "Habis itu lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal ¬usul diriku ini?"

+ "Kalau melihat romannya, dulu ia mesti seorang menteri di dalam pemerintahan Toan Hongya," demikian pikirnya. "Kemudian ia menggantung kopiahnya, dia meninggalkan pemerintahan, mengundurkan diri untuk tinggal semyembunyi di gunung atau rimba. Apakah sukarnya teka-teki ini?" Maka ia lantas menjawab:

"Huruf Enam itu kalau di bawahnya ditambah satu satu huruf Satu ditambah lagi huruf Sepuluh, itu jadinya huruf Sin. Huruf Heng itu kalau di atasnya ditambah Satu huruf yang melintang dan dibuang huruf Mulut dibawahnya, maka jadilah huruf Bie. Setengah Pembaringan itu kalau ditukar dengan huruf Besar dengan huruf besar itu ditambah Satu titik di atasnya, itulah huruf Cong. Kalau huruf Habis itu di buang kopiahnya, ialah atasannya, maka jadilah dia huruf Goan. Jadi semua itu bunyinya ialah Sin Bie Conggoan! Maaf, maaf, kiranya aku berhadapan sama yang mulia Sin-bie Conggoan!"

Pelajar itu terbengong. Ia mengganggap teka-¬tekinya sulit. Atau taruh kata orang dapat menjawabnya, mesti lewat dulu sekian lama, tidak sedemikian cepat. Dua orang itu berada di jembatan tunggal, meski si pemuda lihay, tidak nanti ia sanggup menggendong orang berdiam lama-lama di situ, ia menyangka mereka bakal tahu diri dan mundur dengan sendirinya. Siapa sangka, Oey Yong telah menjawabnya cepat luar biasa, seperti tanpa mikir lagi. Oleh karena ini, karena si nona cerdas luar biasa, ia lalu memikir untuk mengajukan pertanyaan yang sukar. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Di pinggiran gunung menampak sekumpulan semacam pohon palem, yang daunnya bergoyang-goyang mengikuti tiupan angin, bagaikan kebutan kipas. Sebagai seorang conggoan- tamatan tertinggi dari Hanlim Academy - ia lantas mendapat pikiran. Maka ia menggoyang-goyangkan kipasnya, terus ia berkata:

"Aku ada mempunyai sebuah syair bagian atasnya, aku minta nona suka tolong menyambungi bagian bawahnya."

Oey Yong meleletkan lidahnya. "Oh, inilah yang dinamakan twie dan twie ini tak demikian menarik hati seperti teka-teki!" katanya. "Tapi baiklah, silahkan kau menyebutkannya!"

Pelajar itu menunjuk dengan kipasnya ke kumpulan pohon palem, ia membacakan syairnya, atau lian, yang dikatakan bagian atasnya:

"Sang angin meniup-niup pohon palem, bagaikan seribu tangan menggoyang-goyang sang kipas."

Syair itu di satu pihak menggambarkan pemandangan alam - ialah yang pohon, di lain pihak menunjukkan juga hal dirinya si pelajar - ialah kipasnya, maka Oey Yong lantas berpikir: "Tidak dapat aku menjawab dia dengan hanya menunjuk serupa benda, mesti juga ada arti yang merangkap di dalamnya." Ia lantas memandang ke sekitarnya, hingga ia melihat di depannya, di tanah datar, sebuah bangunan sebagai kuil atau biara, di depan mana ada sebuah pengempang teratai. Ketika itu bulan ke tujuh hampir habis, daun teratai sudah kering kebih dari separuhnya. Lalu ia tertawa dan berkata:

“Jawabanku untuk menyambungi sudah ada hanya aku khawatir berbuat salah terhadap kau, paman, jadi tidak leluasa aku mengatakannya…."

"Tidak apa, kau sebut saja!" menyahut si pelajar.

"Jangan kau gusar, paman…"

"Tentu sekali tidak."

Oey Yong menunjuk kepada kopiah siauw-yauw-kin di kepala pelajar itu. "Baiklah!" katanya. "Sambunganku bagian bawah dari syairmu itu ialah: 'Diantara daun teratai separuh kering, satu memedi kaki tunggal memakai siauw¬yauw-kin."

Mendengar itu, si pelajar tertawa terbahak-bahak. "Bagus, bagus!" ia memuji. "Bukan saja jawabannya sangat tepat juga itu dijawabnya cepat sekali."

Kwee Ceng mengawasi ke daun-daun teratai di pengempang itu, ia melihat ada selembar daun hampir kering yang duduknya begitu rupa hingga mirip dengan satu setan satu kaki yang memakai kopiah siauw¬yauw-kin! Maka ia juga tertawa.

"Hus, hus, jangan tertawa!" kata si nona pada kawannya. "Tungkulan kau tertawa, kakimu bisa terpeleset, nanti kita berdualah yang bakal menjadi si setan-setan yang tidak memakai kopiah siauw-yauw¬kin itu!"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar