Rabu, 17 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 120

"Guruku tidak dapat menemui orang!" orang itu kata dengan keras. "Mau apa kau mencari guruku?"

Untuk sejenak Kwee Ceng terbenam dalam kesangsian. Ia sebenarnya mau terus bicara sebenarnya, tapi mendadak ingat keselamatan Oey Yong. Tidakkah ia nanti menggagalkan si nona? Bukankah tak apa ia mendusta kali ini? Selagi ia bersangsi, si pengail telah mendapat lihat kesangsiannya dan melihat tegas si nona, yang lagi sakit.

"Kau mencari guruku untuk minta diobati, bukan?" dia menanya.

Disenggapi begitu, pemuda itu tak dapat mendusta lagi. Ia mengangguk. "Benar," sahutnya, sedang hatinya menyesal tak dapat mendusta….

"Untuk menemui guruku, jangan harap!" kata tukang pancing itu bengis. "Biar aku ditegur guru dan pamanku, aku tak menghendaki lagi ikanmu itu! Lekas pergi!"

Kata-kata itu ketus dan pasti, bagaikan pantek paku, Kwee Ceng menjadi berdiri menjublak, untuk sesaat itu, ia merasakan tubuhnya dingin seluruhnya. Sesaat kemudian barulah ia dapat berkata pula.

"Nona yang terluka ini dan membutuhkan pengobatan adalah putri yang dicintai dari Oey Tocu dari Tho Hoa To," ia berkata, ia pun menjura. "Sekarang ini, nona ini menjadi Pangcu dari Kay Pang. Maka itu paman, aku minta, dengan memandang Oey Tocu dan Ang Pangcu, sukalah kau menunjukkan kami jalan, supaya kami diajak bertemu menemui Toan Hongya."

Mendengar disebutkannya Ang Pangcu, roman si tukang pancing sedikit berubah, akan tetapi ia menggeleng kepala.

"Nona ini pangcu dari Kay Pang?" tanyanya. "Aku tidak percaya!"

Kwee Ceng menuju kepada tongkat Lek-tiok-thung di tangannya Oey Yong. "Ini tongkat Tah-kauw-pang dari Ang Pangcu," ia berkata. "Tentunya paman mengenal tongkat ini…"

Tukang pancing itu mengangguk. "Pernah apakah kamu dengan Kiu Cie Sin Kay?" ia tanya pula.

"Ia adalah guru kami."

"Oh…" si tukang pancing bersuara perlahan. "Jadi kamu datang ke mari mencari guruku ini karena disuruh gurumu, bukan?"

Lagi-lagi Kwee Ceng dibikin ragu-ragu. Ia ingat baik-baik ajaran Eng Kouw untuk mendusta tetapi itu bertentangan dengan kejujurannya.

"Benar!" Oey Yong segera mendahului menjawab.

Orang itu bertunduk, terang ia ragu-ragu. Terdengar ia berkata dengan perlahan: “Bagaimana sekarang? Kiu Cie Sin Kay dengan guruku bersahabat luar biasa erat…"

Oey Yong yang cerdik mengerti kesulitan orang, ia lantas berkata: "Guru kami menitahkan kami mencari Toan Hongya, disamping untuk minta dia menolong mengobatiku juga karena ada urusan penting yang mesti disampaikan!"

Mendadak orang itu mengangkat kepalanya. Kembali terlihat ia menjadi bengis. "Benar Kiu Cie Sin Kay yang menitahkan kamu menemui Toan Hongya?" ia tanya keras.

"Ya," menyahut Oey Yong.

Orang itu menegaskan pula: "Benar Toan Hongya, bukan orang lain?"

Nama Toan Hongya itu ditekan keras, mendengar itu, Oey Yong menduga pasti ada sebabnya, tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak dapat lain jalan.

"Ya," ia menyahut pasti, mengangguk.

Pengail itu maju dua tindak. Tiba-tiba ia berseru: "Toan Hongya sudah mati!"

Oey Yong dan Kwee Ceng kaget bukan kepalang. "Mati?" tanya mereka berbareng.

"Ketika Toan Hongya mati, Kiu Cie Sin Kay ada disampingnya!" berkata si tukang pancing itu, suaranya tetap keras. "Maka itu cara bagaimana dia boleh menitahkan kalian pergi mencari lagi kepada Toan Hongya? Hayo bilang, siapakah yang menitahkan kamu? Dengan datang kemari, kamu membawa akal busuk apa? Lekas bilang!"

Segera ia maju setindak lagi, tangan kirinya dikipaskan sebagai ancaman, tangannya menyambar ke pundak si nona.

Kwee Ceng memang selalu bersiap, melihat sikap garang dari orang itu, ia menghadang pula di depan Oey Yong, kedua tangannya bersikap dengan jurusnya "Melihat naga di sawah". Manampak ini, orang itu heran. Itu tandanya si anak muda tak mau menyerang kepadanya. Meski begitu, ia melanjutkan sambarannya. Karena ini mendadak ia merasakan benturan pada tangannya, yang bergemetar, terus ia merasakan dadanya panas, sedang tangannya mental balik. Lantas ia lompat mundur, ia khawatir nanti diteruskan diserang anak muda itu. Selagi berlompat ia ingat pembicaraan Ang Cit Kong bersama gurunya tentang ilmu silat. Ia ingat, anak muda ini bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang. "Teranglah mereka ini muridnya Ang Pangcu, tidak boleh aku berbuat salah terhadap mereka," begitu ia lantas mendadak pikiran. Ia lantas mengawasi Kwee Ceng, siapa terus menunjuk sikap menghormat meski terang barusan ia menang unggul, tidak ada romannya yang puas atau temberang. Tapi ia masih berkata:

"Jiewi benar murid-muridnya Kiu Cie Sin Kay tetapi jiewi datang kemari bukan atas titah gurumu, benar bukan?"

Kwee Ceng tak tahu maksud orang tetapi rahasia hatinya telah dapat diterka, dengan terpaksa ia mengangguk.

Tukang pancing itu tidak lagi bersikap bengis seperti semula. "Walaupun Kiu Cie Sin Kay sendiri yang terluka dan datang ke mari, siauwko tidak dapat mengantarkan dia naik ke gunung untuk bertemu sama guruku, maka itu haraplah jiewi memaafkan," katanya. Sekarang ia menyebut diri dengan "siauwko" artinya " yang muda"

"Apakah benar meskipun guruku sendiri yang datang, masih tidak dapat?" Oey Yong menegaskan.

"Tidak dapat!" menyahut orang itu, kepalanya digoyang. "Biarpun dipukul sampai mati, tidak dapat!"




Oey Yong mencurigai orang ini. Bukankah dia menyebut Toan Hongya gurunya dan dia juga membilang Toan Hongya sudah mati? Kenapa ia menyebutnya waktu Toan Hongya mati Kiu Cie Sin Kay berada di sampingnya? Tidakkah itu aneh?

"Tidak bisa lain, gurunya mesti ada di atas gunung!" ia lantas mengambil keputusan. "Tidak peduli dia Toan Hongya atau bukan, kita mesti menemuinya!"

Maka ia mengangkat kepalanya, mendongak ke atas gunung, yang puncaknya seperti masuk ke dalam awan. Itulah puncak lebih tinggi beberapa kali lipat daripada puncak Tiong Cie Hong dari Tiat Ciang San. Benar-benar puncak itu sulit untuk dinaiki. Kemudian ia mengawasi air tumpah. Ia memikirkan jalan untuk dapat mendaki gunung itu. Tengah ia mengawasi itu, ia melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air. Segera ia bertindak ke tepian sambil ia mengawasi jauh. Maka terlihatlah olehnya dua ekor ikan tadi berada di bawah batu, ekornya berada di luar guanya…. Ia lantas menggapai Kwee Ceng.

Anak muda itu mendekati. Ia pun lantas melihat ikan itu. "Nanti aku turun dan menangkapnya," kata Kwee Ceng.

"Jangan!" mencegah si nona. "Air deras, mana kau dapat berdiri diam di air? Janganlah berlaku tolol…!"

Akan tetapi Kwee Ceng berpikir, kalau ia menempuh bahaya dan menangkap ikan itu, untuk diserahkan pada si pengail, mungkin hati orang ini berubah. Ia pun tidak dapat menyia-nyiakan waktu lewat berlarut-larut, itu membahayakan Oey Yong. Karena ia tahu, nona itu bakal mencegah, maka diam-diam ia lompat ke air tanpa membuka lagi sepatu dan pakaiannya.

"Engko Ceng!" Oey Yong berteriak kaget. Ia lantas bangun, tetapi kedua kakinya bergoyang, serta tubuhnya terhuyung.

Si tukang pancing kaget, ia lompat menyambar nona itu, kemudian ia lari ke arah gubuk, agaknya dia lantas mencapai sesuatu guna menolong si anak muda.

Oey Yong berduduk di batu, ia mengawasi ke arah Kwee Ceng, yang dapat berdiri tegak di air, gempuran air tumpah yang dahsyat tak dapat membikin tubuhnya bergeming, maka legalah hatinya.

Kwee Ceng sendiri sudah lantas bertindak menangkap ikan. Ia membungkuk, kedua tangannya dianjurkan perlahan-lahan, sikapnya waspada. Nyata ia bisa bekerja sebat dan jitu juga tangkapannya. Dua¬ tangannya bisa mencekal ekor ikan emas itu, hanya ketika ia mengangkatnya, tidak berani mencekal keras-keras, ia khawatir ikan itu mati. Kesempatan ini digunai kedua ekor ikan itu yang badannya licin, waktu keduanya berontak, mereka dapat lolos dan melentik pula ke air, di mana mereka selulup pula masuk ke kolong batu!

Oey Yong menjerit saking menyesalnya karena sayang ikan itu lolos. Saat itu di belakangnya ada orang yang berseru. Ketika ia berpaling, si tukang pancing lagi berdiri bengong di belakangnya, pundaknya memanggul sebuah perahu kecil dan tangannya mencekal sepasang pengayuh. Rupanya dia hendak menolong orang kecebur.

Kwee Ceng tidak lantas berlalu dari air tumpah. Ia tetap berdiri tegar. Ia membungkuk lagi. Kedua tangannya di ulur ke kolong batu, ke gua tempat ikan tadi lari sembunyi. Tapi ia tidak mau menangkap ikan yang tidak terlihat, hanya ia memegang batu, untuk diangkat. Ia girang ketika merasa batu itu bergerak sedikit. Maka sekarang ia menyiapkan tenaganya, untuk jurusnya "naga terbang ke langit". Dengan mendadak ia mengangkat batu itu, terus dilemparkan ke sampingnya, di lain pihak, kedua tangannya menyambar ke air. Maka sejenak itu juga, kedua tangannya telah mencekal masing-masing seekor Kim Wawa!

Batu besar itu terbanting ke air di samping, berisik suaranya, air muncrat dan mengalir tambah keras. Kwee ceng sendiri tidak terhuyung tubuhnya ketika ia mengangkat dan melemparkan batu.

Si tukang pancing heran dan kagum, tetapi sekarang ia memikir daya untuk menolong Kwee Ceng naik ke darat. Pemuda itu berada di tempat sekira dua tombak. Dengan kedua tangan memegang ikan, sulit untuknya menggunakan tangannya, atau ikan itu bakal terlepas lagi. Akhirnya ia menyodorkan pengayuhnya, ingin anak muda itu mencekalnya, tanpa ia ingat tangan orang lagi memegang ikan….

Tapi Kwee Ceng tidak berkhawatir, setelah melihat ke tepian, ia menjejak dengan kaki kanannya, dengan begitu dia dapat berlompat ke pinggir, di sini ia menaruh kaki kirinya, untuk menjejak pula, maka di lain saat, ia sudah berada di atas di antara si nona dan si tukang pancing.

Oey Yong kaget, girang dan kagum. Sungguh ia tidak menyangka demikian pesat kemajuan pemudanya ini. Tentu sekali sesaat itu ia tidak ingat bahwa Kwee Ceng telah mempertaruhkan jiwanya cuma untuk menolong dia. Sebenarnya anak muda itu sendiri bergidik kalau ingat perbuatannya yang nekat itu.

Lain orang yang tercengang ialah si tukang pancing. Ia heran dan kagum. Maka sekarang tahulah ia, anak muda itu lihay tenaga dalamnya dan ilmu ringan tubuh, jangan dibicarakan lagi tentang nyali yang besar.

Segera setelah itu, Kwee Ceng tertawa. Kedua Kim Wawa di tangannya, sambil meronta-ronta telah mengasih dengar suaranya yang berisik, benar seperti gegowakannya seorang bocah!

"Ah, pantas dia dipanggil Kim Wawa!" katanya lagum. Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada si tukang pancing, menyerahkan ikan itu.

Orang itu terlihat alisnya bergerak, tanda kegirangan. Ia pun lekas-lekas menurunkan pengayuhnya. Ketika ia sudah mengulurkan tangan, mendadak ia menariknya pulang.

"Kau lemparkanlah kembali ke air, aku tidak menghendaki!" katanya.

"Kenapa begitu?" tanya Kwee Ceng heran.

"Meski aku menerima ikanmu, tidak dapat aku mengantarkan kau kepada guruku," dia menyahut. "Menerima budi tetapi budi itu tidak dibalas, itu perbuatan yang akan mendatangkan tertawanya orang-orang gagah di kolong langit ini!"

Kwee Ceng heran hingga ia tercengang. "Paman," katanya kemudian, sungguh-sungguh, "Kau tidak dapat meluluskan permintaan kami, mesti ada sebabnya, baiklah kami tidak hendak memaksakannya. Tapi kedua ekor ikan ini tidak berarti, ini bukan budi, maka paman ambillah!" Ia mengulur pula tangannya, menyerahkan ikan itu.

Kali ini si tulang pancing menyambut, hanya romannya sangat likat. Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, ia kata:

"Yong-jie, hidup dan mati itu takdir, umur manusia tak dapat dipastikan, maka kalau benar-benar kau tidak dapat disembuhkan, di dunia baka itu ada jalannya, maka di sana pastilah akan ada engko Cengmu yang akan tetap menemanimu! Mari kita pergi!"

Mendengar suara anak muda itu, merah mata Oey Yong. Tapi ia sudah memikir sesuatu. Ia tidak lantas menyahuti si anak muda.

"Paman," ia berkata kepada tukang pancing itu, "Kau tetap tidak dapat memberi petunjuk pada kami, tidak apalah, hanya ada satu hal yang aku tidak mengerti. Jikalau kau tidak menjelaskannya, mati pun aku tidak meram…"

"Apa itu?" menanya si tukang pancing heran.

"Kau lihat puncak itu licin bagaikan kaca," berkata si nona. "Bukankah tidak ada jalan untuk mendakinya? Maka umpama kata bersedia akan mengantarkan kami, apa salahnya?"

Orang itu berpikir: "Telah pasti aku tidak dapat mengantarkan dia, maka apa halangannya kalau aku memberikan keterangan kepadanya?" Maka ia menajwab: "Kalau dikata sukar, memangnya sukar, tetapi kalau dibilang gampang, benar-benar gampang sekali. Di sebelah sana, di ujung gunung itu, air tumpah tak sekeras di sini maka jikalau aku duduk di atas perahu besiku dan aku mendayung, aku dapat maju melawan air. Kalau satu orang diantarkan satu kali, maka dua kali saja lantas dua orang dapat tiba di atas!"

"Oh, kiranya begitu!" berkata si nona. "Nah, ijinkan kami pergi!" Nona ini lantas berbangkit, untuk memegangi tubuh Kwee Ceng, siap untuk berlalu.

Kwee Ceng memberi hormat pada orang itu tanpa bilang apa-apa. Tukang pancing itu mengawasi orang, kemudian ia lari ke gubuknya, sebab ia khawatir ikannya nanti terlepas lagi.

Begitu orang masuk ke dalam, Oey Yong lantas berkata: "Lekas ambil perahu dan pengayuhnya! Mari kita pergi ke atas!"

Kwee Ceng terkejut, ia melengak. "Ini… ini kurang bagus…" katanya ragu-ragu.

"Baiklah!" seru si nona. "Kau mau jadi kuncu, nah jadilah kuncu!"

Kwee Ceng bingung: "Mana lebih penting, menolong Yong-jie atau jadi kuncu?" demikian otaknya bekerja sulit. Justru itu, Oey Yong dengan susah payah, sudah bertindak pergi.

Cuma sedetik saja, ia lantas mengambil keputusan. Ia lari ke perahu, ia angkat itu, melemparkannya ke atasan air tumpah, kemudian pergi menyambar kedua pengayuhnya. Tindakannya yang terakhir adalah menolong Oey Yong untuk lari ke atas, hingga dilain saat mereka sudah berada di atas di mana mereka tampak perahu tadi.

"Ser!" demikian suara terdengar, suara dari senjata rahasia.

Dengna mendak, Kwee Ceng membebaskan diri dari senjata rahasia itu, yang jatuh ke dalam perahu dimana tepat datang ke dekatnya. Maka bersama-sama Oey Yong, ia lompat naik ke perahu itu, untuk segera dikuyah kembali… Si tukang pancing terdengar caciannya tapi tak nyata apa katanya…

Kwee Ceng lantas mengayuh. Mulanya dengan tangan kiri, sebab ia masih memegangi Oey Yong, ketika perahu itu maju, ia melepaskan si nona, mengayuh dengan tangan kanannya. Demikian selanjutnya, setiap mengayuh, perahunya maju beberapa kaki….

"Budak busuk! Perempuan hina!" demikian sang angin membawa dampratan si tukang pancing, mendengar ini, Oey Yong tertawa, "Lihat, dia masih menganggapnya kau orang baik! Akulah yang dia caci!" katanya.

Kwee Ceng lagi mengayuh, matanya mengawasi ke depan, ia tidak mendengar gurauan si nona. Ia mesti memakai tenaga dan pikirannya. Perahu itu besar kepalanya dan enteng buntutnya, dia maju melawan air, yang boleh dibilang deras juga. Beberapa kali ia hampir terpukul mundur. Dengan menggunakan tipu dari "Sin Liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang ekor" dengan cepat ia dapat menguasai kedua pengayuhnya, kedua tangannya bergerak dengan cepat, kuat dan rapi.

Senang Oey Yong melihatnya, dengan gembira ia kata: "Meski si tukang pancing tadi yang mengayuh, tidak akan dia dapat mengayuh selekas ini!"

Perahu itu maju terus, setelah lewat sekian lama, air menikung, maka terlihatlah permukaan air tenang, di kedua tepinya ada tumbuh pohon yangliu. Itulah kali kecil yang lebarnya setombak lebih. Di situ pun ada banyak pohon tho. Kalau waktu ini musim semi, pasti indah pemandangan alamnya. Sebagai gantinya bunga tho, di tepian banyak bunga putih yang kecil-kecil, baunya harum.

Kedua muda-mudi ini heran dan kagum. Tidak dinyana, di atas gunung ada tempat sepermai ini. Iseng-isng Kwee Ceng mengayuh dalam, hampir ia membuat pengayuhnya terlepas. Di luar dugaan, kali itu dalam tak terjajakan oleh pengayuhnya. Di bawahpun air menggolak.

Sekarang kendaraan air dapat dikayuh maju perlahan-lahan, keduanya dapat menikmati pemandangan alam yang indah, makin jauh nampaknya makin menarik hati.

"Jikalau lukaku ini sukar diobati," kata Oey Yong menghela napas. "Biarlah aku terkubur di sini, tak usah aku turun lagi…"

Kwee Ceng berduka, ia hendak menghiburi si nona tetapi ia melihat di sebelah depan ada sebuah terowongan, terhembus bau harum yang keras sekali. Perahunya lantas masuk ke dalam gua itu yang airnya mengalir sedikit keras. Segera kuping mereka mendengar berbagai suara.

"Suara apakah itu?" si pemuda tanya.

"Entahlah," sahut si nona menggeleng kepala.

Terowongan itu tidak panjang, sebentar kemudian mereka telah keluar di ujung lain. Segalanya menjadi terang seperti tadi. Bahkan sekarang mereka bersorak. Di depan terlihat air mancur yang besar sekali, tingginya setombak lebih dan airnya meluncur tinggi bagaikan tiang menjulang ke udara. Itulah yang mangasih dengar suara tadi. Sampai di situ, habislah kali di atas gunung itu dan sumbernya kali ialah air mancur ini.

Kwee Ceng membantu Oey Yong ke darat, kemudian menarik perahunya ke batu, setelah itu bersama si nona memandangi air mancur. Di antara sinarnya matahari, air itu mengasih lihat bianglala yang indah. Tak tahu mereka bagaimana harus memuji keindahan iini, mereka duduk diam sambil berpegangan tangan. Mereka masih kesengsem ketika mendengar suara nyanyian yang seperti keluar dari arah belakang bianglala.

"Kota dan kalinya rusak semua! Mana si pencinta negara? Memikirkan kemakmuran dan keruntuhan, itulah penderitaan. Dinasti Tong bangun, itu artinya dinasti Swie roboh. Jadi miriplah dengan naga yang berubah-ubah. Cepat, langit dan bumi salah! Lambat, langit dan bumi salah!"

Lantas juga terlihat si penyanyi, tangan kirinya membawa sebatang kayu cemara, tangan kanannya mencekal sebuah kampak. Maka teranglah, dia seorang tukang kayu - ya seorang tukang mencari kayu bakar.

Setelah melihat pakaian orang itu, Oey Yong ingat tulisan Eng Kouw, "…….Kalau orang bicara dengannya minta diobati, orang bakal terbikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar….." Tadi mereka bertemu sama tukang pancing. Dan ini, bukankah ini dia si tukang kayu?

Apakah mereka bakal bertemu sama petani dan si pelajar? Siapa empat orang ini? Murid atau pelayankah dari Toan Hongya? Ia menjadi masgul. Untuk melewati si tukang pancing demikian sukar, maka entah ini tukang kayu. Bukankah nyanyian dia ini bukan nyanyian sembarang? Entah bagaimana lagi dengan si petani dan si pelajar? Kembali terdengar orang itu bernyanyi:

"Dari atas jembatan, memandang jauh, Hawa dari kerajaan, telah runtuh…. Di atas panggung tak terlihat kepala perang…. Semenjak dulu, hanya seputaran, semua musnah. Pahala, tidak kekal! Nama juga tidak kekal!"

Perlahan jalannya si tukang kayu, lalu ia mengawasi si muda-mudi, acuh tak acuh lantas bekerja, mengampak kayu di pinggiran gunung.

Oey Yong melihat tubuh orang yang kekar dan roman gagah, gerak-geriknya seorang panglima perang, maka coba dia itu bukan dandan sebagai tukang kayu dan lagi berada di hutan ini, dia pasti dapat menjadi seorang kepala perang. Ia lantas ingat keterangan gurunya bahwa Lam Tee, si Kaisar dari Selatan, Toan Hongya, telah menjadi kaisai di Taili, Inlam, maka apa mungkin tukang kayu ini asalnya panglima perangnya? Nyanyian orang, pula suaranya, semuanya luar biasa. Sekali lagi tukang kayu itu bernyanyi:

"Puncak gunung bagaikan bertumpuk, Gelombang seperti berangkara murka, Di jalanan kota Tongkwan sana, Memandang ke barat, hati ragu-ragu, Melihat istana, semua runtuh menjadi tanah… Bangun, rakyat bersengsara! Musnah, rakyat bersengsara!"

Mendengar kata-kata yang terakhir itu, Oey Yong ingat ayahnya sering mengatakan: "Apa itu segala kaisar dan panglima perang? Semua itu mahkluk jahat tukang membikin rakyat celaka! Merubah kerajaan, menukar she, semua itu menyusahkan rakyat saja!" Maka tanpa merasa, gadis itu memuji:

"Nyanyian yang bagus!"

Tukang kayu itu berpaling, ia menancapkan kampaknya di pinggang. "Bagus? Apanya yang bagus?" dia menanya.

Oey Yong hendak menyahut ketika mendadak ingat: "Dia gemar bernyanyi, kenapa aku tidak mau membalas dia dengan nyanyian juga?" Maka ia bersenyum, lalu ia bernyanyi dengan suara perlahan:

"Gunung-gunung hijau saling menanti, Mega-mega putih saling mencintai, Tak bermimpikan jubah sulam dan sabuk emas, Cukup dengan sebuah gubuk, Dengan bunga hutannya mekar. Siapakah yang memusingi: Siapa bangun, siapa roboh, Siapa berhasil, siapa gagal? Cukup dengan gubuk dan satu sendok! Melarat, semangat tak berubah! Berhasil, cita-cita tak berubah!"

Nona ini lantas menyangka pasti si tukang kayu ialah panglimanya Lam Tee, panglima yang sekarang lagi hidup bersembunyi - yang dulunya pasti berkuasa besar atas bala tentara, maka itu ia memperdengarkan nyanyian itu, untuk menimpali nyanyian orang. Dugaannya memang tepat karena si tukang kayu menjadi girang, sambil menunjuk ke samping gunung, dia kata:

"Naiklah!"

Di samping gunung ada sebuah batu besar mirip dengan lengan tangan, ketika Kwee Ceng dan Oey Yong memandang ke atas, hanya melihat awan dan bangkonya rotan. Meski begitu, si anak muda lari menghampiri rotan itu, untuk disambar, dipakai melapai naik!

Kwee Ceng cuma mengerti separuh dari semua nyanyian itu, di sebelah itu, yang ia paling khawatirkan ialah si tukang kayu nanti mengubah pikirannya, maka ia tidak mau membuang waktu lagi. Dengan kedua tangannya bekerja cepat, lekas ia telah naik belasan tombak tingginya. Di situ, ia masih dengar nyanyian si tukang kayu:

"….dulu hari itu orang berebutan, Sekarang bagaimana? Menang, semua menjadi tanah! Kalah, semua menjadi tanah!"

Oey Yong di punggungnya si anak muda tertawa. "Engko Ceng," katanya, "Kalau menurut dia itu, kita tak usah datang ke mari untuk minta diobati!"

Kwee Ceng heran hingga ia melengak: "Apa!" dia tanya.

"Semua orang toh bakal mati, bukan?" kata si nona tertawa. "Orang sembuh, dia berubah menjadi tanah! Orang tak sembuh, dia berubah menjadi tanah juga!"

"Fui!" si anak muda mengasih dengar suaranya. "Sudah, jangan dengar ocehannya!"

Oey Yong itu benar lucu, ia tidak menghiraukan si anak muda, dia bernyanyi perlahan: “Hidup, kau menggendong aku! Mati kau menggendong aku juga!"

Kwee Ceng berdiam, ia kewalahan. Ia lebih memerlukan menggunakan terus kedua tangannya, untuk naik ke atas, sampai mereka memasuki awan atau kabut. Ketika itu musim panas tetapi hawa dingin.

"Di hadapan kita ini terdapat segala pemandangan alam yang indah dan luar biasa," kata si nona kagum, "Umpama kata aku tidak bakal dapat disembuhkan, taklah kecewa perjalanan kita ini…"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar