Kamis, 11 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 119

Kwee Ceng menyambut. Ia melihat satu kantung putih, satu merah dan satu lagi kuning. Ia lantas menyimpan itu baik-baik. Ia memberi hormat sambil menjura tetapi Eng Kouw menyingkir, tak mau ia menerima hormat itu. Ia kata:

"Tak usah kau mengucap terima kasih padaku, aku juga tidak sudi menerimanya. Kamu dan aku bukan sanak bukan kandung, perlu apa aku menolong adikmu ini? Taruh kata kita bersanak, juga tak usah kau menjadi begini bersyukur. Adalah janji kita yang mesti ditepati. Aku bilang padamu, aku menolong adikmu untuk diriku juga. Hm, siapa tidak berbuat untuk dirinya, dia dimusnahkan Langit dan Bumi!"

Kwee Ceng heran sekali. Suara itu pun tak sedap di kupingnya. Oleh karena ia memang tidak pandai bicara, ia tidak tahu mesti bilang apa. Ia sekarang cuma mengingat keselamatan Oey Yong.

Eng Kouw mengawasi si pemuda dengan mata mendelik. "Kau telah bercapai lelas satu malaman," katanya. "Kau juga tentu telah lapar, maka baiklah kamu dahar bubur!"

Oey Yong sudah lantas merebahkan diri di atas pembaringan, ia beristirahat separuh pulas separuh sadar. Kwee Ceng menjagai dia di sampingnya, pikirannya tidak tentram.

Eng Kouw, yang pergi ke dalam, tak lama datang pula dengan membawa sebuah tetampan, di atas mana ada dua mangkok bubur yang masih panas, asapnya masih mengepul. Harum bubur itu. Sebagai temannya ada daging ayam dan ikan.

Kwee Ceng lantas saja terbangun selera makannya. Ia memang sudah lapar sekali. Ia tidak menyangsikan pula si nyonya. Tadi ia mengkhawatirkan Oey Yong, ia lupa makan. Maka ia menepuk-nepuk belakang tangan kekasihnya itu.

"Yong-jie, mari dahar!" katanya.

Oey Yong membuka matanya, ia menggeleng kepala perlahan. "Dadaku sangat sakit, aku tidak mau dahar," sahutnya.

"Hm!" Eng Kouw tertawa dingin. "Ada obat untuk melenyapkan rasa nyeri tetapi kamu bercuriga!"

Oey Yong tidak ambil peduli sindiran itu. "Engko Ceng, mari kasih aku sebutir pil Kiu-hoa Giok-louw-wan," kata dia.

Pil itu adalah pil pemberian Liok Seng Hong semasa di Kwie-in-chung, si nona simpan di dalam sakunya, ketika Ang Cit Kong dan Kwee Ceng terluka di tangan Auwyang Hong, mereka makan obat itu beberapa butir, benar obat itu tidak dapat menyembuhkan tetapi bisa menghilangkan rasa sakit.

Kwee Ceng menyahut, ia membuka kantung si nona dan mengeluarkan obat yang diminta itu.

Ketika Oey Yong menyebutkan namanya obat, hati Eng Kouw terkesiap, lekas ia melihat pil merah itu, ia kata dengan bengis:

"Adakah ini Kiu-hoa Giok¬louw-wan? Kasih aku lihat!"

Kwee Ceng heran mendengar suara orang demikian aseran, ia menoleh. Maka ia melihat mata si nyonya bersinar tajam. Ia menjadi lebih heran lagi. Tapi ia menyerahkan semua sekantung obat itu.

Kapan Eng Kouw menyambutnya, ia merasakan bau harum dari obat itu menyampok hidungnya. Ia lantas merasakan tubuhnya adem. Ia mengawasi si anak muda, terus ia menanya;

"Obat ini adalah obat dari Tho Hoa To, darimana kamu mendapatkannya? Lekas bilang! Lekas!" Suaranya itu bengis tetapi bengis bercampur nada sedih.

Dalam herannya, Oey Yong berpikir: "Dia hendak mempelajari ilmu Kie-bun-sut, apakah ia mempunyai hubungan sama salah satu murid ayahku?"

Kwee Ceng sendiri sudah lantas menjawab: "Adikku ini putrinya pemilik Tho Hoa To!"

Mendadak Eng Kouw berlompat berjingkrak. "Anaknya Oey Lao Shia?!" dia berteriak. Kedua matanya lantas bersinar bengis, kedua tangannya terus dipentangkan, agaknya hendak menubruk si nona di depannya itu.

"Engko Ceng, kembalikan tiga kantung itu!" kata Oey Yong. "Karena dia adalah musuh ayahku, kita jangan menerima budinya!"

Kwee Ceng mengeluarkan kantungnya hanya ia berayal mengembalikannya. Ia bersangsi.

"Engko Ceng!" kata pula Oey Yong. "Belum tentu aku mati! Mati pun kenapa!"

Belum pernah Kwee Ceng tidak meluluskan sesuatu kehendak si nona, maka ia meletakkan tiga kantung surat wasiat itu.

Eng Kouw memandang keluar jendela, perlahan terdengar keluhannya: "Oh, Thian, Thian…!" Kemudian dengan lantas ia pergi ke kamar sebelah, di sana ia membalikkan tubuhnya, entah apa yang ia lakukan.

"Mari kita berangkat!" mengajak Oey Yong. "Aku sebal melihat perempuan ini!"

Belum lagi Kwee Ceng menyahut, si nyonya sudah kembali. "Aku hendak memperlajari ilmu Kie-bun-sut, untuk memasuki Tho Hoa To," ia berkata, "Sekarang gadisnya Oey Lao Shia ada di sini, aku menyakinkannya seratus tahun juga tidak ada gunanya. Dasar nasib, apa mau dibilang? Nah, pergilah kamu! Bawalah kantung itu!"

Ketiga kantung itu, bersama kantung obat, ia sesapkan di tangannya si anak muda. Kepada Oey Yon ia berkata:

"Obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini untukmu ada bahayanya tidak ada faedahnya, maka janganlah kau makan pula, hanya kalau nanti kau sudah sembuh, jangan kau lupa janji kita satu tahun itu! Ayahmu telah membikin rusak seluruh penghidupanku, maka semua barang makanan di sini, lebih suka aku memberikannya anjing yang makan, tak sudi aku memberikannya kepadamu!" Lantas bubur dan dua rupa masakannya itu ia lemparkan keluar jendela!

Oey Yong gusar bukan kepalang, mau ia membuka mulutnya, tetapi mendadak ia sadar, maka lantas pegangi Kwee Ceng, untuk bangun berdiri. Dengan tongkatnya, ia menulis tiga baris huruf di atas pasir, setelah itu ia mengajak si anak muda itu bertindak ke luar.

Ketika ia sudah tiba di pintu luar, Kwee Ceng berpaling ke belakang, ia bisa melihat Eng Kouw, yang semenjak tadi berdiam saja, lagi mengawasi ke tanah, agaknya dia berdiri bengong, rupanya dia tengah menghitung……..




Sesampainya di muka rimba, Kwee Ceng menggendong Oey Yong, lalu ia bertindak pergi mengikuti jalan masuknya tadi. Selama itu, ia menutup mulut, karena pikirannya dipusatkan kepada tindakan kakinya supaya ia tidak salah jalan. Adalah setibanya di luar, di tempat aman, baru ia menanya si nona apa yang ditulisnya tadi.

Oey Yong tertawa. "Aku menulis tiga macam hitungan untuknya," sahutnya. "Dia boleh memikirkan itu setengah tahun, tidak akan dia mendapatkan jawabannya. Biarlah rambut putihnya menjadi tambah uban! Siapa suruh dia bersikap demikian kurang ajar!"

"Sebenarnya dia bermusuh apa dengan ayahmu?"

"Aku tidak tahu. Tidak pernah aku mendengar ayah mengomonginya." Ia hening sedetik. Lantas ia menanya: "Dimasa mudanya, dia mestinya cantik sekali. Benar tidak engko Ceng?" Selagi menanya begitu, di hatinya ia menduga apa mungkin nyonya itu pernah saling menyinta dengan ayahnya…

"Biar dia cantik atau tidak," Kwee Ceng menyahut. "Dia lagi memikirkan tulisanmu itu, umpama kata dia mendadak menyesal, tidak akan dia dapat menyusul kita."

"Entah apa dia tulis di dalam kantungnya itu?" tanya Oey Yong. "Jangan-jangan dia tidak bermaksud baik. Apakah tidak baik kita membuka dan melihatnya?"

"Jangan, jangan!" Kwee Ceng mencegah. "Biar kita turut pesannya, sampai di kecamatan Tho-goan baru kita buka…"

Oey Yong sangat terpengaruh keinginan tahunya, ingin ia melihatnya, tetapi Kwee Ceng tetap mencegah akhirnya ia mengalah.

Sementara itu tanpa terasa sang malam telah berlalu, sang fajar datang menggantikannya, Kwee Ceng naik ke atas sebuah pohon tinggi, untuk melihat kelilingan. Ia tidak melihat orang-orang Tiat Ciang Pang, maka hatinya lega. Ia lantas bersiul memanggil kuda serta burungnya, yang muncul dengan cepat. Yang datang belakangan ialah kedua burung rajawali.

"Mari kita berangkat," kata si anak muda setelah ia dan si nona sudah berada di punggung kuda mereka.

Justru waktu itu, di pinggiran rimba terdengar suara orang berseru-seru, lalu terlihat munculnya beberapa puluh orang. Mereka adalah orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tak putus asa meskipun Eng Kouw telah menampik mereka, dengan terpaksa mereka menanti sambil menyembunyikan diri, baru mereka keluar setelah Kwee Ceng mengasih dengar suaranya yang nyaring memanggil kuda dan burungnya.

"Maaf, tak dapat kami menemani kamu!" berkata Kwee Ceng kepada mereka itu seraya ia mengeprak mengasih kudanya lari, maka dalam waktu yang pendek, si kuda merah meninggalkan jauh sekali kawanan pengepung itu.

Waktu tengah hari, Kwee Ceng telah melalui perjalanan beberapa ratus lie, maka ia lantas berhenti di tepi jalan, di mana ada sebuah warung nasi. Di situ ia bersantap. Oey Yong lagi sakit, ia makan sedikit bubur.

Habis makan anak muda ini menanya tuan rumah tempat itu apa namanya. Ia diberi tahu bahwa ia berada di dalam wilayah kecamatan Tho-goan, maka tidak ayal lagi ia mengeluarkan kantung putihnya, untuk dibuka dan diperiksa. Di situ ada sehelai peta bumi dengan dua baris yang berbunyi: "Jalan mengikuti petunjuk dalam gambar ini. Di ujung jalanan ini ada sebuah air tumpah yang besar, di samping mana ada sebuah rumah atap. Sampai di situ bukalah kantung yang merah."

Tanpa ragu-ragu, Kwee Ceng menuruti surat wasiat itu. Ia mengasih kudanya lari sampai sekitar delapanpuluh lie, sampai jalanan nyata makin jauh makin sempit. Delapan atau sembilan lie lagi, jalanan merupakan jalanan selat yang sempit, di kiri-kanan tembok gunung. Jalanan demikian kecil hingga muat hanya satu orang. Kuda merah juga tidak dapat jalan di situ. Saking terpaksa, Kwee Ceng menggendong pula Oey Yong dan kudanya ditinggalkan, dibiarkan mencari makanan sendiri.

Satu jam Kwee Ceng jalan terus. Kadang-kadang ada tempat demikian sempit hingga untuk lewat di situ, Oey Yong mesti dipondong, tubuhnya dikasih miring.

Ketika itu ada bulan ke tujuh, matahari sangat terik, akan tetapi di situ puncak gunung menghalangi pengaruhnya sang Batara Surya, maka juga jalanan di selat itu sebaliknya menjadi adem.

Kwee Ceng jalan terus sampai ia merasa lapar, maka ia mengeluarkan bekalannya ransum kering, ia menangsel perut sambil jalan, karena ia tidak mau menyia-nyiakan waktu. Ia telah makan habis tiga biji kue. Tepat ketika lehernya kering karena ingin minum, kupingnya mendengar suara air. Dengan lantas ia percepat tindakannya. Semakin lama suara air semakin nyaring. Ia mesti jalan mendaki.

Akhirnya si anak muda tiba di atas bukit. Maka dari situ ia dapat melihat air tumpah, yang besar sekali, airnya meluncur ke bawah, jatuh terbanting keras. Itu sebabnya suara yang nyaring tadi. Ketika ia mengawasi, di samping air tumpah itu tampak sebuah rumah atap. Ia lantas mencari sebuah batu besar di mana ia berduduk. Ia lantas mengeluarkan kantung yang merah, terus dibuka. Di dalam situ ada sebuah surat wasiat yang berbunyi:

"Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya yang dapat menolong…"

Membaca surat itu, Kwee Ceng terkejut. "Toan Hongya!" katanya kepada Oey Yong. "Bukankah dia adalah Lam Tee si Kaisar dari Selatan yang namanya kesohor dengan nama ayahmu?"

Sebenarnya Oey Yong sudah lelah sekali tetapi mendengar disebutnya nama Kaisar dari Selatan itu, Lam Tee, ia menjadi ketarik hatinya.

"Lam Tee?" katanya. "Ya, aku pernah mendengarnya dari ayah. Toan Hongya itu ada di Taili di Inlam dimana ia menjadi raja. Apakah itu bukan…" Ia berhenti berkata karena mendadak hatinya menjadi sangat dingin. Bukankah Inlam itu ada satu propinsi yang jauh sekali, yang tak dapat dicapai dengan perjalanan hanya tiga hari? Ia lantas menguatkan hatinya, untuk berduduk sambil menyender pada tubuh si anak muda. Ia mau melihatnya sendiri surat Eng Kouw itu.

Begini bunyinya surat dari kantung wasiat yang merah itu: "Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya yang dapat menolong… hanya Toan Hongya itu banyak perbuatannya yang tak selayaknya, karenanya dia tinggal menyembunyikan diri di Tho¬goan, hingga orang sangat sukar menemuinya. Kalau orang bicara dengannya minta diobati, justru pantangannya yang paling besar. Kalau maksud itu diutarakan, belum lagi orang masuk ke rumahnya, orang bakal dibikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar. Maka itu untuk bertemu dengannya, kamu mesti mendusta. Kamu bilang saja bahwa kamu datang atas nama gurumu, Ang Cit Kong, untuk bertemu sama Toan Hongya, untuk menyampaikan berita penting. Apabila kamu telah bertemu sama Toan Hongya, maka kamu serahkanlah isi kantung kuning. Kehidupanmu tergantung dengan ini."

Habis membaca, Kwee Ceng menoleh kepada Oey Yong. Ia melihat si nona mengerutkan keningnya. Ia menanya:

"Yong-jie, kenapa Toan Hongya melakukan banyak perbuatan tak layak? Kenapa justru permintaan tolong diobati adalah pantangan yang terlebih besar lagi? Dan apa itu artinya kecelakaan di tangan si tukang pancing, tukang kayu, petani dan pelajar?"

Si nona menghela napas. "Engko Ceng, janganlah kau menganggap aku terlalu pintar hingga semuanya aku mesti ada jawabannya." sahutnya.

Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi tanpa menanyakan lagi. Ia pondong nona itu. "Baiklah, mari kita turun!" ujarnya.

Tapi, sebelum mulai bertindak, ia mengawasi pula ke bawah ke air tumpah. Di tepi air, di mana ada sebuah pohon yangliu, ia melihat seorang tengah berduduk, kepala orang itu ditutup sama tudung bambu. Karena jaraknya jauh, ia tidak dapat melihat tegas. Terpaksa, ia terus berjalan turun.

Terpengaruh oleh keinginannya lekas-lekas sampai, terbantu oleh jalana di situ tak sesukar tadi, lekas juga Kwee Ceng tiba di bawah, di tepian air tumpah itu. Sekarang ia melihat orang tadi sedang duduk sambil memancing ikan.

Air tumpah jatuhnya sangat keras, air pun mengalir deras luar biasa, di mana bisa ada ikan di situ? Taruh kata ada ikannya, mana sempat ikan itu mencaplok umpan pancing? Maka anehnya ada orang memancing ikan di air sedemikian itu.

Pemuda itu tidak berani lancang mengganggu orang. Lebih dulu ia mengawasi saja. Ia mendapatkan si tukang pancing berumur tigapuluh tujuh atau tigapuluh delapan tahun, kulit mukanya hitam seperti pantat kuali, mukanya berewokan, bulunya kaku seperti kawat. Kedua mata orang terus dipakai mengawasi tajam ke arah air. Setelah mengawasi sekian lama, ia turunkan Oey Yong, supaya si nona dapat duduk menyender di pohon, untuk beristirahat, ia sendiri pergi ke tepian, melihat di kobakan air tumpah itu ada ikan apa. Orang itu tetap diam saja, mereka tidak ditegur sama sekali.

Sekian lama Kwee Ceng mengawasi, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air itu. Si tukang pancing nampak girang, sebab mendadak jorannya melenkung tertarik ke arah air. Karena ada satu makhluk yang memakan umpan pancing itu ¬makhluk yang seluruhnya berwarna kuning emas. Saking heran, si anak muda berseru sendirinya:

"Eh, binatang apakah itu?"

Berbareng sama seruannya si anak muda, seekor binatang yang serupa itu melesat pula menyambar pancing, maka si tukang pancing menjadi girang sekali, dengan erat-erat ia mempertahankan jorannya, yang sebaliknya jadi makin melengkung. Rupanya kuat sekali merontanya si ikan aneh itu, sebentar kemudian, patahlah joran itu, kedua ikannya berloncat ke air, terus berenang pergi, lenyap di kolong batu. Meski air sangat deras, ikan itu tak hanyut terbawa air.

Si tukang pancing lantas memutar tubuhnya, dia mengawasi Kwee Ceng dengan mata mendelik dan muka merah, tandanya ia murka sekali.

"Hai, bangsat cilik busuk!" dia mendamprat. "Setengah hari dan setengah mati aku menanti di sini, sekejap saja kau membikin kaget dan kabur binatang yang aku pancing itu!" Terus ia mengangkat tangannya yang besar, seperti hendak menyerang, hanya entah kenapa, dia menahannya, hingga tangannya itu mengasih dengar suara meretek.

Kwee Ceng tahu ia telah mengganggu orang itu, ia tidak menjadi gusar. "Maaf, paman," katanya merendah. "Sebenarnya bukan maksudku mengganggu padamu. Sebenarnya ikan apakah itu?"

Orang itu masih tetap gusar. "Buka matamu!" katanya sengit. "Apakah itu ikan? Itulah Kim Wawa!"

Kwee Ceng tertawa. Ia tetap tidak gusar. "Mohon tanya paman, apa itu Kim Wawa?" ia tanya. Ia tidak mengerti makhluk itu dinamai "Kim Wawa" atau "Anak Emas".

"Kim Wawa ialah Kim Wawa!" orang itu berteriak semakin gusar. "Eh, bangsat bau, perlu apa kau banyak bacot?!"

Tetap Kwee Ceng mengendalikan diri. Ia membutuhkan petunjuk untuk mencari Toan Hongya.

"Maaf, paman," katanya, sembari ia memberi hormat pula.

Tapi Oey Yong tak dapat bersabar seperti engko Ceng-nya itu. "Kim Wawa ialah ikan wawa yang berwarna kuning emas," ia campur bicara. "Apakah yang aneh pada ikan itu? Di rumahku, aku memeliharanya beberapa pasang!"

Tukang pancing itu heran mendengar si nona mengetahui tentang ikan itu, tetapi hanya sebentar ia tercengang, segera ia mengasih dengar suaranya yang tak sedap:

"Hm, kau ngepul ya? Kau memeliharanya beberapa pasang! Aku tanya padamu, apakah perlunya Kim Wawa itu?"

"Apa perlunya?" sahut si nona sabar. "Aku melihatnya ikan itu bagus, dia dapat bersuara yayaya, seperti anak kecil, maka aku lantas memeliharanya, untuk dibuat main!"

Mendengar keterangan orang, tak salah, pengail itu mulai menjadi sabaran sedikit. "Eh, anak," katanya kemudian, "Kalau benar kau memelihara ikan itu, kau harus mengganti aku satu pasang!"

"Perlu apa aku mesti mengganti padamu?" si nona menanya.

Orang itu menunjuk Kwee Ceng, dia menyahut: "Aku mengail, aku dapat satu ekor, lantas dia berteriak tak karua-karuan, hingga muncul satu seekor yang lain, hingga kejadian patahlah joranku. Kim Wawa ini sangat cerdik, selanjutnya dia tak bakal kena dikail lagi, maka itu kalau kau tidak disuruh mengganti, habis bagaimana?"

"Tatuh kata kau dapat memancingnya, kau cuma dapat satu," kata lagi Oey Yong. "Apa mungkin kau dapat mancing sekali dua?"

Ditanya begitu, orang itu berdiam. Ia menggaruk-¬garuk kepalanya. "Kalau begitu, kau menggantilah seekor!" katanya kemudian.

Oey Yong tertawa. Ia berkata: "Jikalau sepasang Kim Wawa dipisahkan hidup-hidup, maka tak lebih daripada tiga hari, baik yang jantan maupun yang betina, dua-duanya bakal mati sendiri."

Mendengar begitu, lenyaplah kesangsiannya si pengail, dengan lantas ia menjura kepada sepasang muda-mudi itu. Ia berkata pula:

"Baiklah, anggaplah aku yang tidak benar! Sekarang maukah kau membagi aku satu pasang?"

Oey Yong tersenyum. "Lebih dulu kau mesti menerangkan padaku, perlu apa kau dengan ikan emas itu?" ia tanya.

Orang itu berdiam, agaknya bersangsi. Tapi cuma sejenak, lantas ia membuka mulutnya.

"Baiklah, aku nanti menjelaskan kepada kamu," katanya. "Paman guruku, seorang India, beberapa hari yang lalu telah datang ke mari mengunjungi guruku. Ia telah mendapat tangkap itu sepasang ikan emas, ia girang bukan main. Ia membilangi kita bahwa di negerinya itu ada semacam binatang yang berbisa sekali, yang sangat sukar untuk disingkirkan, kecuali dengan ini ikan, yang menjadi binatang pelumahnya. Dia menyerahkan ikan itu kepadaku, untuk aku merawatnya beberapa hari, nanti setelah ia selesai berbicara sama guruku, diwaktu ia berangkat pulang, hendak ia membawanya sekalian, untuk dipelihara di sana, siapa tahu…"

"Siapa tahu kau telah berlaku tidak hati-hati dan kau membuatnya terlepas!" Oey Yong mendahului.

Pengail itu kaget: "Eh, mengapa kau tahu?" tanyanya heran.

"Tidakkah gampang menduga itu?" berkata si nona tersenyum. "Ikan itu memang sukar dipelihara. Aku sendiri mulanya memelihara lima pasang dan kemudian kabur dua pasang."

Matanya si tukang pancing bersinar. Agaknya ia sangat tergiur. "Nona yang baik, kau bagilah aku sepasang," ia minta. "Kamu masih mempunyai dua pasang lagi, tidakkah itu cukup? Kalau paman gusar, itulah hebat untukku…"

"Untuk membagi kau satu pasang, itu urusan kecil sekali;" berkata si nona, tetap manis. "Hanya aku hendak menanya kau, kenapa kau mula-mulanya galak sekali?"

Orang itu jengah, dia bingung. Ia mau tertawa tetapi pun gagal….. "Ah, nona yang baik," akhirnya ia kata, "Kau ini tinggal di mana? Apakah tidak jauh dari sini?"

"Kalau dikata dekat, tidak dekat," sahutnya, "Kalau dikata jauh, ya tidak jauh, tetapi kalau beberapa ribu lie, ya ada…"

Tukang pancing itu kaget, lantas kumisnya bangun berdiri. "Hai, budak cilik!" dia membentak, "Kiranya kau lagi permainkan tuanmu!" Dia sudah lantas mengangkat kepalannya yang besar, hendak ditimpahkan kepala orang, akan tetapi kapan dia melihat seorang nona cilik dan nampaknya lemah, dia batal sendiri.

Kwee Ceng sendiri sudah lantas bersiap, untuk menjambret tangan orang itu.

Oey Yong tertawa. Sama sekali ia tidak takut ancaman itu. "Kenapa terburu nafsu?" katanya. "Aku telah memikirkan jalannya. Eh, engko Ceng, coba kau tolong panggil si rajawali putih!"

Anak muda itu tidak dapat menerka hati kawannya akan tetapi ia menurut. Ketika si pengail mendengar suara orang, ia terkejut. Suara itu nyaring mendengung, berkumandang di lembah-lembah. Maka sekarang ia kata di dalam hatinya: "Baiklah tadi aku tidak lantas bertempur dengannya, kalau tidak, aku bisa celaka…."

Tak lama datanglah sepasang rajawali mereka. Oey Yong minta Kwee Ceng mengambil babakan pohon, di situ dengan jarumnya ia mencacah beberapa baris tulisan, singkat bunyinya:

"Ayah! Aku menghendaki sepasang Kim Wawa, maka suruhlah si rajawali membawanya.

Dari anakmu, Yong."

Melihat itu barulah Kwee Ceng mengerti, maka ia menjadi girang sekali. Ia lantas menyiapkan tali, ikat pinggangnya yang ia kutungi, lalu dengan itu ia ikat surat babakan pohon itu pada kakinya si rajawali yang jantan. Oey Yong pun lantas berkata kepada si rajawali itu:

"Kau bawa ini ke Tho Hoa To, lekas pergi dan lekas kembali!"

Kwee Ceng masih khawatir burungnya kurang mengerti, ia menunjuk ke Timur dan tiga kali menyebutnya:

"Tho Hoa To!"

Sepasang burung rajawali jinak itu berbunyi berbareng, lantas keduanya terbang pergi, setelah berputaran di tengah udara, mereka menuju ke timur, sebentar saja mereka lenyap di antara gumpalan mega.

Si Tukang pancing melongo matanya dan terpentang mulutnya. "Tho Hoa To… Tho Hoa To…" katanya kemudian, seperti mengoceh tidak karuan. "Pernah apakah kamu dengan Oey Yok Su Loosianseng?"

Baru sekarang Oey Yong memprlihatkan aksinya. "Ia adalah ayahku! Habis kenapa?!" sahutnya, temberang.

"Oh!" seru orang itu heran.

Oey Yong tidak menggubris sikap orang itu, ia tanya: "Dalam waktu beberapa hari saja, burung itu bakal membawa datang ikan itu kemari. Tidak terlambat, bukan?"

"Harap saja…" kata orang itu, matanya mengawasi sepasang anak muda itu, agaknya ia bersangsi.

Kwee Ceng memberi hormat. "Aku belum menanyakan nama she dan nama yang besar dari paman," katanya.

Orang itu tidak menyahuti, sebaliknya ia menanya: "Perlu apa kau datang ke mari? Siapakah yang menyuruhnya?"

Kwee Ceng terus membawa sikapnya yang menghormat. "Aku yang muda mempunyai urusan untuk memohon bertemu sama Toan Hongya," ia memberitahukan. Ia sebenarnya mau memberi keterangan seperti petunjuknya Eng Kouw, akan menyebutkan nama gurunya, Ang Cit Kong, tetapi ia tidak biasa mendusta, mendadak ia merasa tak dapat mengatakan itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar