Rabu, 10 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 118

Oey Yong membuka matanya, ia mengawasi sekian lama. "Rumah ini dibangun di tengah-tengah rawa lumpur," katanya kemudian. "Sekarang coba perhatikanlah, bukankah benar modelnya satu bundar dan satu persegi empat?"

Kwee Ceng membuka matanya lebar-lebar, lantas ia menjadi girang sekali. "Oh, Yong-jie, bagaimana kau ketahui itu?" ia bertanya.

"Pergi kau ke belakang rumah yang bundar itu," kata Oey Yong tanpa menyahut. "Di situ kau jalan lurus ke arah api banyaknya tiga tindak, lalu nyamping lima tindak, lalu lurus lagi tiga tindak. Dengan lurus dan nyamping itu, kau tidak bakal salah jalan."

Kwee Ceng menurut perkataan si nona. Benarlah, setiap kakinya ditaruh, kaki itu menginjak pelatok kayu, yang dapat bergerak miring ke sana ke mari, maka siapa tak pandai ilmu meringankan tubuh, pastilah tak dapat menaruh kakinya dan berjalan di situ. Ia jalan terus, sampai seratus sembilanbelas tindak, maka dapatlah ia jalan mutar hingga di depan rumah yang persegi empat itu. Sekarang terlihat tegas, rumah itu tanpa pintu.

Oey Yong berbisik: "Dari sini kau berlompat, kau menaruh kaki di sebelah kiri."

Kwee Ceng menurut, sambil terus menggendong si nona, ia berlompat. Sementara itu ia heran sekali. "Semua dapat diterka Yong-jie!" katanya dalam hatinya.

Tempat di mana si anak muda menaruh kaki adalah tanah, sedang yang di sebelah kanan adalah air atau pengembang. Berjalan di pekarangan ini, Kwee ceng masuk ke sebelah dalam. Di situ ada pintu model rembulan, yang tak ada daun pintunya.

"Masuk!" kata Oey Yong. "Tidak ada yang aneh di dalamnya."

Kwee Ceng mengangguk, terus ia berkata nyaring: "Kami orang yang tengah membuat perjalanan lancang memasuki rumah, harap tuan rumah suka memaafkan," kata-katanya ini diikuti dengan tindakan masuk ke dalam.

Sekarang Kwee Ceng melihat sebuah meja panjang, di atasnya ditaruh tujuh buah pelita, rapi seperti bintang Pak Tauw. Di depan meja, di tanah duduk seorang wanita tua, yang rambutnya telah ubanan, bajunya dari kain kasar, matanya mengawasi ke tanah di mana ada banyak lembaran bambu, dia seperti sedang memikirkan lembaran bambu itu rupanya, sampai dia tidak mau mengangkat kepala walaupun dia mendengar suara tetamunya.

Kwee Ceng meletakkan Oey Yong di atas kursi. Ia memandang mukanya, lantas ia merasa sangat berkasihan. Wajah si nona sangat pucat dan kucal. Ia hendak membuka mulut, guna meminta air hangat, tetapi ia batal. Ia melihat si nyonya rumah tengah memusatkan perhatiannya, jadi ia khawatir mengganggu pemusatan pikiran orang.

Setelah dapat duduk beberapa saat, Oey Yong pulih sedikit kesegarannya. Maka ia juga dapat memperhatikan si nyonya serta lembaran-lembaran bambu itu. Setiap lembaran bambu panjangnya kira-kira empat dim dan lebar dua hoen. Dan si nyonya agaknya berat memikirkan itu. Ia lantas mengerti hitungan apa adanya itu. Oleh ayahnya, ia telah diajari dan ia mengingatnya dengan baik.

"Lima! Duaratus tigapuluh lima!" katanya tiba-tiba.

Si nyonya terkejut, dia mengangkat kepala, matanya nampak tajam sekali, agaknya ia gusar. Hanya sebentar, ia mulai menghitung pula.

Kwee Ceng dan Oey Yong melihat kulit orang bersih, usianya ditaksir baru tigapuluh tujuh kira-kira, mungkin disebabkan banyak pikir, maka rambutnya telah ubanan.

Habis menghitung, wanita tua itu tampaknya heran. Tepat hitungannya si nona tadi. Maka ia mengangkat kepalanya, memandang nona itu. Ia melihat tegas wajah muda dan cantik, hanya lesu. Kemudian ia tunduk lagi, menghitung lebih jauh.

Oey Yong mengawasi, sampai sekian lama si nyonya belum dapat memecahkan, lalu ia berkata dengan perlahan:

"Duaratus duapuluh empat!"

Kembali nyonya itu terkejut. Ia lantas mengangkat kepalanya. Agaknya ia penasaran, maka ia menghitung terus. Segera ia mendapat jawaban, yang akur sama perkataan si nona. Maka ia berdiri dengan melempangkan pinggangnya. Sekarang ia nampak lebih nyata. Jidatnya sudah keriputan, usianya disangsikan sudah tigapuluhan, mungkin baru duapuluhan lebih. Kedua matanya bersinar tajam.

"Mari ikut aku!" katanya kepada si nona, tangannya menunjuk ke dalam kamar. Ia mengambil sebuah pelita, ia membawanya ke dalam kamar yang ditunjuk itu.

Kwee Ceng memepayang Oey Yong untuk mengikuti. Setibanya di mulut pintu, ia merandak, tidak berani turut masuk. Ia melihat kamar itu, yang temboknya bundar, lantainya penuh pasir, di atas pasir itu ada coretan tanda-tanda lurus dan bundar, ada pula guratan huruf-huruf thay, thian¬goan dan lainnya, yang ia tidak tahu artinya. Ia takut nanti merusak itu semua.

Oey Yong melihat semua itu, ia mengerti itu adalah ilmu "Thian-goan Cie Soet" (yang mirip dengan aljabar), maka ia menarik tongkat dari pinggangnya, sambil bergelendot pada Kwee Ceng, ia mencoret-coret di atas pasir. Ia memecahkan beberapa hitungan, yang si nyonya belum dapat menjawabnya. Maka lagi-lagi ia membuat nyonya itu heran.

Setelah mengawasi dengan tercengan, si nyonya menanya: "Kau siapa?"

"Itu hitungan Thian-goan yang tidak sulit," berkata Oey Yong, yang tidak menjawab langsung, dan tanpa diminta, ia menjelaskan pokoknya hitungan itu.

Muka si nyonya menjadi pucat, tubuhnya bergoyang. Mendadak ia menjatuhkan diri di atas pasir, tangannya memegangi kepala. Kelihatannya ia berpikir keras sekali. Kemudian ia mengangkat kepala, lalu wajahnya menjadi terang.

"Dalam hal menghitung, kau lebih pandai dariku!" katanya. "Sekarang jawab aku, bagaimana kau menghitung ini?" Dan ia menunjuk hitungan di atas pasir.

Oey Yong mengingat baik bagaimana ayahnya mengatur Tho Hoa To hingga menjadi pulau rahasia, pulau keder yang tidak dapat dimasuki sembarang orang.

"Gampang!" sahutnya, dan ia menggurat-gurat pula di atas pasir.

Muka si nyonya menjadi pucat, lalu ia menghela napas. "Aku kira inilah ciptaan sendiri, kiranya lain orang pun telah mengetahuinya," katanya masgul.

"Semua itu gampang," kata pula Oey Yong, dan ia membacanya di luar kepala. "Kau boleh coba."

Si nyonya menghitung menurut ajaran si nona dan ia berhasil!

"Semua ini mengenai pat-kwa," kata Oey Yong pula. Ia menjelaskan terlebih jauh. "Rupanya kau belum jelas dengan petanya." Terus ia menggurat¬-gurat lagi.

Nyonya itu menjublak, matanya terpentang, mulutnya terbuka lebar. Lantas ia berbangkit, tubuhnya nampak bergemetar.

"Nona, kau siapa?" akhirnya ia tanya. Tapi, sebelum ia menanti jawaban, mendadak ia menekan ulu hatinya, mukanya meringis, tanda ia menahan sakit. Dari sakunya lekas-lekas ia mengeluarkan satu peles obat, yang terisi pil warna hijau, ia mengeluarkan sebutir dan terus dimakannya. Lewat sesaat, wajahnya menjadi sedikit tenang.

"Habis sudah…!" katanya tiba-tiba, lalu ia mengucurkan air mata.

Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang. Mereka heran untuk sikap nyonya ini. Tidak lama, kelihatannya si nyonya mau bicara, tapi batal karena kupingnya mendengar suara berisik yang datang dari jauh, lalu datang semakin dekat.

Kwee Ceng dan Oey Yong tahu itu barisan pengejar dari Tiat Ciang Pang. "Musuh atau sahabat?" tiba-tiba si nyonya tanya.

"Musuh yang lagi mengejar kami," sahut Kwee Ceng terus terang. Suara berisik itu mendekati terus.

"Tiat Ciang Pang toh?" tanya pula si nyonya.

"Benar," menjawab Kwee Ceng.

Nyonya itu memasang kuping lalu berkata: "Khiu Pangcu memimpin sendiri orang-orangnya," katanya sesaat kemudian. "Sebenarnya kamu ini siapa?!"

Pertanyaan ini luar biasa, saking bengisnya. Kwee Ceng maju di depan Oey Yong, untuk menghalangi, lalu ia menjawab dengan nyaring:

"Kami murid-murid Khiu Cie Sin Kay Ang Pangcu. Ini adik seperguruanku kena dilukai Khiu Cian Jin dari Tiat Ciang Pang, karena itu kami menyingkir ke mari, maka umpama kata cianpwee ada punya sangkutan sama Tiat Ciang Pang dan tak sudi menerima kami, sekarang juga kami meminta diri."

Habis berkata, pemuda ini menjura, lalu ia memegangi Oey Yong, untuk dibawa pergi.

Nyonya itu tertawa tawar. "Usia begini muda sudah keras kepala!" katanya. "Kamu dapat bertahan tetapi adikmu ini tidak, kau mengerti? Aku kira kamu siapa, tidak tahunya kamu murid-murid Ang Cit Kong. Pantas kamu lihay!"

Habis berkata, si nyonya memasang kuping. Ia mendengar suara berseru-seru orang-orang Tiat Ciang Pang, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar tinggi sebentar rendah. Kemudian ia kata:

"Mereka tidak menemui jalanan, mereka tidak dapat masuk ke mari. Umpama kata mereka toh dapat masuk, kamulah tetamu-tetamuku, kamu boleh melegakan hati. Apakah kau kira Sin….Sin… Eng Kouw dapat dibuat permainan?"

Sebenarnya dialah Sin-soan-coe Eng Kouw, si ahli hitung, tetapi mengingat si nona jauh lebih pandai daripadanya, setelah menyebut Sin, ia tidak berani meneruskannya.




Kwee Ceng menjura, ia menghanturkan terima kasih. Eng Kouw menghampirkan Oey Yong, ia membuka baju orang, memeriksa lukanya. Ia mengerutkan keningnya, tanpa membuka suara, ia mengambil sebutir obatnya yang hijau itu, setelah melumerkan di air, ia mengangsurkan pada Oey Yong.

"Kau minum ini," katanya.

Oey Yong menyambut obat itu, tetapi ia bersangsi untuk meminumnya. Ia belum kenal nyonya ini.

Eng Kouw mengawasi, lalu ia tertawa dingin dan berkata: "Kau terluka tangan jahat Khiu Cian Jin, apakah kau masih mikir untuk sembuh? Umpama kata aku berniat mencelakakan kau, tidak perlu aku membuat begini. Ini obat untuk menghentikan rasa sakit, kau tidak meminumnya pun tidak apa!" Mendadak ia merampas pulang obatnya itu dan membuangnya ke tanah!

Kwee Ceng gusar melihat orang begitu kurang ajar terhadap kekasihnya. "Adikku lagi terluka parah, mengapa kau membikin dia gusar begini macam?!" ia menegur. "Yong-jie, mari kita pergi!"

Nyonya ini tertawa dingin. Ia kata: "Kamar Eng Kouw ini kecil tetapi apa kamu kira dua orang muda bisa bilang pergi lantas dapat pergi dan bilang keluar lantas keluar? Hm!" Ia lantas memegang dua batang bambunya dan menghadang di ambang pintu.

Kwee Ceng berpikir: "Tidak dapat dengan jalan halus, terpaksa aku mesti menerjang…" Maka ia berkata: "Cianpwee, maafkanlah aku!" Sembari berkata begitu, dengan gerakannya Hang Liong Yu Hui ia nerobos keluar. Ia menggunakan setengah tenaganya karena ia khawatir nyonya itu tidak dapat mempertahankan diri. Ia pun tidak berniat melukai.

Atas datangnya terjangan, si nyonya berkelit, tangan kirinya berbareng menolak dengan enteng, dengan begitu gampang saja ia mengasih lewat serangan itu.

Kwee Ceng menjadi heran sekali. Ia tidak menyangka. Ia pun kaget karena tanpa perlawanan tubuhnya terjerunuk. Syukur ia bisa lantas mempertahankan diri.

Melihat demikian, si nyonya juga nampaknya heran. Ia tidak menyangka si anak muda bisa menahan diri hingga sampai jatuh ngusruk. Maka berserulah dia:

"Ha, bocah, rupanya kau telah mewariskan semua kepandaian gurumu!" Ia lantas menggunakan bambunya menotok jalan darah kiok-tek-hiat di sambungan tangan si anak muda.

Kwee Ceng melihat totokan itu, yang berbahaya, ia membebaskan diri dengan satu jurus lain dari Hang Liong Sip-pat Ciang juga. Sekarang ia mengerti ilmu silat si nyonya adalah dari pihak lunak. Karena ini, ia tidak berani alpa. Beberapa kali ia diserang secara berbahaya. Syukur ia telah mendapatkan ajaran Pek Thong, kedua tangannya dapat memecah diri, maka selalu ia lolos dari ancaman itu.

Selang beberapa jurus, Kwee Ceng kena terdesak dua tindak. Karena terancam, ia menjadi terpaksa. Maka ia lantas membalas menyerang dengan "Siang liong chio cu", atau "Sepasang naga merebut mustika". Ajaran dari Ang Cit Kong yang ia peroleh semasa di Poo-eng, di dalam rumah abu keluarga Lauw.

Nyonya itu terkejut atas serangan ini, diwaktu berkelit, ia sampai mengeluarkan seruan. Walapun ia gesit, kali ini tidak dapat meloloskan diri sepenuhnya. Ia bebas dari tinju kanan yang lurus tetapi ia tidak dapat menyingkir dari serangan tangan kiri. Maka pundak kanannya kena tertekan tangan kiri si anak muda. Kwee Ceng tidak menggunakan tenaga, sebab ia tahu, umpama si nyonya terbentur, tubuhnya bakal terlempar menabrak rumah dan rumah atapmya itu bisa roboh.

Tapi dugaan si anak muda meleset. Ketika tangannya mengenai pundak orang, tangan itu seperti mengenai benda yang licin, yang terus meluncur lewat. Untuk kagetnya, tubuh si nyonya seperti tertegar dan dua batang bambunya dilemparkan ke tanah. Ia mengira nyonya itu terkena hebat, lekas-lekas ia menahan tangannya.

Nyatanya Eng Kouw menggunakan tipu. Selagi si anak muda menarik pulang tangannya, sekali ia membalas menyerang. Lima jarinya menusuk ke dada, di mana ada dua jalan darah sin-hong dan giok-sie.

Kwee Ceng terdesak, ia lantas berkelit, terus kedua tangannya dipakai menolak seperti tadi. Itulah serangan membalas yang hebat. Si nyonya mengetahui itu, maka kembali ia membebaskan diri seperti tadi. Nyata ia telah menggunakan "Nie-ciu Kang", ilmu silat si Lindung.

Sampai di situ, keduanya sama-sama melompat mundur dan sama-sama bersiaga. Mereka telah menginsyafi lihaynya masing-masing. Kwee Ceng berpikir: "Aneh ilmu silat si nyonya ini. Dengan dia tidak bisa dihajar, bukankah tinggal aku sendiri yang setiap saat bisa diserang olehnya?"

Dan si nyonya kata di dalam hatinya: "Ini anak masih muda sekali, cara bagaimana dia sudah jadi begini lihay?. Di sini aku telah bersembunyi sepuluh tahun lebih, aku telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, aku memikir aku bisa menjagoi, hingga tak lama lagi, aku bisa pergi untuk menuntut balas, siapa tahu, bocah bau susu ini pun aku masih belum bisa merobohkannya…. Tidakkah ini berarti sia-sia belaka aku menyiksa diri sepuluh tahun lebih. Bagaimana aku bisa membalas sakit hatiku?" Ingat begini, ia menjadi berduka, tanpa merasa, matanya menjadi merah, air matanya lantas mengalir turun….

Kwee Ceng berhati mulia, ia mengira si nyonya telah terhajar keras olehnya, ia lantas berkata:

"Maaf, cianpwee, aku yang muda berbuat kurang ajar terhadapmu, tetapi ini bukan disengaja. Sekarang aku minta sukalah cianpwee mengijinkan kami berlalu…"

Eng Kouw mendapatkan sambil bicara si anak muda itu saban-saban melirik si nona, agaknya ia sangat menyayang dan memperhatikan, melihat begitu, ia jadi ingat akan nasibnya sendiri yang tidak beruntung, yang terpisah jauh dari kekasihnya, yang tidak mempunyai harapan akan dapat berkumpul lagi. Kapan ia ingat akan nasibnya, mendadak timbul rasa julesnya. Maka ia kata dengan dingin:

"Anak perempuan ini telah terkena tangan beracun Ngo Tok Sin-ciang dari Khiu Cian Jin, paling lama ia hidup hanya tiga hari, perlu apa kau masih menyayangi dan melindunginya?"

Mendengar itu, Kwee Ceng kaget sekali, lekas¬ ia menoleh kepada Oey Yong. Ia melihat muka si nona seperti ditawungi sinar guram. Dengan lantas ia lompat kepada kekasihnya.

"Yong-jie, bagaimana kau rasa?" ia menanya, suaranya menggetar.

Oey Yong merasai dada dan perutnya panas, sebaliknya kaki tangannya dingin. Ia menyahut:

"Engko Ceng, selama tiga hari ini, jangan kau meninggalkan aku pergi sekalipun cuma setindak. Dapatkah?"

"Setengah tindak juga aku tidak akan tinggalkan kau…" menjawab si anak muda cepat sedang hatinya mencelos. Rupanya si nona telah mendengar perkataan si nyonya tua.

"Sekalipun tidak berpisah setengah tindak, waktunya cuma tigapuluh enam jam lagi…! berkata si nyonya dingin.

Kwee Ceng mengangkat kepalanya, memandang nyonya itu. Ia tidak bisa berbuat lain daripada menunjuk roman minta dikasihani, agar nyonya itu jangan mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai hati Oey Yong….

Sebenarnya Eng Kouw masih hendak memuasi kejelusannya ketika ia nampak roman si anak muda yang lesu, ia lantas berpikir: "Adakah Thian mengirim dua orang ini ke mari untuk aku membalas sakit hatiku ini?" Ia mengangkat kepalanya, memandang langit. "Oh, Thian, Thian…." keluhnya.

Justru itu di luar terdengar pula suara berisik dari orang-orang Khiu Cian Jin, rupanya mereka masih mencari di sekitar situ dan sekarang kembali mendekati rumah yang dikurung dengan rawa lumpur, yang pepohonannya merupakan rahasia keder. Terang mereka menyangka si muda-mudi berada di dalam rumah tetapi mereka tidak berdaya untuk memasukinya.

Lewat lagi sesaat dari arah rimba terdengarlah suaranya Khiu Cian Jin, si ketua Tiat Ciang Pang:

"Sin¬soan-coe Eng Kouw, Kiu Tiat Ciang mohon bertemu denganmu!"

Suara itu datang melawan angin tetapi karena dikeluarkan dengan bantuan tenaga dalam yang mahir, terdengarnya terang sekali.

Eng Kouw bertindak ke jendela. Ia pun mengempos tenaga dalamnya. Ia menyahut dengan suara yang panjang:

"Aku ini biasanya tidak menerima kunjungan orang luar. Apakah kau tidak ketahui bahwa siapa datang ke tempatku, rawa lumpur hitam, dialah bagiannya mati, tidak bagian hidupnya?!"

Di sana terdengar pula suara Khiu Cian Jin: "Ada dua orang muda, satu pria dan satu wanita, masuk ke dalam rawa lumpur hitam kau ini, maka aku minta sukalah kau menyerahkan mereka padaku!"

"Siapakah yang dapat masuk ke dalam rawa lumpur hitamku ini?" berkata Eng Kouw. "Sekarang ini tengah malam buta rata, maka janganlah kau mengganggu tidur orang yang nyenyak!"

"Baiklah kalau begitu!" terdengar lagi suara Khiu Cian Jin. "Jangan kau berkecil hati!"

Suara itu bernada tak berani memandang enteng kepada si nyonya. Habis itu terdengarlah suara berisik yang pergi jauh.

Eng Kouw berpaling pada Kwee Ceng. "Kau ingin menolong adikmu ini atau tidak?" ia tanya.

Kwee Ceng melengak, lalu ia menjatuhkan dirinya berlutut. "Jikalau locianpwee suka menolong…" katanya.

"Locianpwee!" kata si nyonya, bengis. "Apakah aku sudah tua?"

"Tidak, tidak terlalu tua," sahut Kwee Ceng cepat.

Sinar mata Eng Kouw berpindah dari si anak muda ke jendela, dari mulutnya terdengar kata-kata ini:

"Tidak terlalu tua…Hm, itu artinya sudah tua…!"

Kwee Ceng menjadi bingung. Rupanya perkataannya itu telah menyinggung si nyonya. Ia tidak tahu mesti membilang apa.

Eng Kouw menoleh pula. Sekarang ia melihat kepala orang berkeringatan. "Kalau orangku itu dapat menyayangi aku satu persepuluh saja dari si bocah tolol ini," pikirnya. "Ah, tidakkah sia-sia belaka hidupku ini…" Lalu ia bersenandung dengan perlahan:

"Empat buah perkakas tenun… maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan…. Sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih…. Gelombang musim semi, rumput hijau, di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi, saling berhadapan mandi baju merah…….."

Mendengar itu Kwee Ceng heran. "Ah, rasanya aku kenal syair ini…" pikirnya. Tapi ia tidak ingat, siapa pernah membacakan itu. Itu bukan Cu Cong, gurunya yang nomor dua dan juga bukan Oey Yong. Maka dengan perlahan, ia menanya si nona:

"Yong-jie, siapakah yang mengarang syair ini? Apakah artinya itu?"

Si nona menggeleng kepala. "Aku mendengar ini baru untuk pertama kali," sahutnya. "aku tidak tahu siapa pengarangnya. Sayang belum tua tetapi kepala sudah putih… Sungguh suatu kata-kata yang bagus!"

Kwee Ceng masgul, ia sudah tidak ingat, Oey Yong pun tidak tahu, sedang si nona terpelajar, luas pengetahuannya. Pikirnya: "Syair bukan buatan Oey Yong, tentu bukan karya ayahnya. Habis siapakah? Toh aku ingat aku pernah mendengarnya…"

Eng Kouw pun lantas berdiam. Ia lagi memikirkan masa lalu. Ia nampak sebentar bergirang sebentar berduka. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata:

"Adikmu ini terhajar tangannya Kiu Tiat Ciang Pang, entah ada benda apa yang menghalanginya sehingga ia tidak lantas mati, meski begitu, tidak peduli bagaimana dia tidak bakal dapat bertahan lewat tiga hari. Ah, lukanya ini cuma ada satu orang yang dapat menolong…"

Kwee Ceng lagi menjublak ketika ia mendengar kata-kata terakhir itu, hatinya lantas memukul keras saking girangnya, maka ia lantas menjatuhkan diri berlutut di depan nyonya itu, ia mengangguk tiga kali hingga kepalanya membentur tanah. Ia lantas memohon:

"Tolong loo… oh, tidak, tidak! Tolong kau menolong adikku ini, budimu tidak akan aku lupakan…"

"Hm!" bersuara Eng Kouw, dingin. "Mana aku mempunyai kepandaian untuk menolong orang? Kalau aku pandai, musahil aku berdiam di tempat membeku menderita kesengsaraan ini…"

Kwee Ceng berdiam saja.

"Nyata kau beruntung," kemudian nyonya itu berkata pula: "Kamu telah bertemu denganku yang mengetahui tempat kediaman orang itu, dan beruntung pula, tempatnya tidak jauh, maka di dalam waktu tiga hari, kamu dapat tiba di sana… Hanya sukar untuk dibilang orang itu suka menolong atau tidak."

Kwee Ceng girang bukan kepalang. "Aku nanti meminta, memohonnya!" ia berkata. "Aku percaya ia tidak menolong kalau ia melihat bahaya lagi mengancam…."

"Apa itu melihat bahaya mengancam tidak menolong?" kata Eng Kouw. "Kebaikan apa kau telah berikan padanya? Kenapa dia mesti menolong kamu?" Suara itu menggenggam kegusaran.

Kwee Ceng mengerti, ia tidak berani menyahut. Si nyonya bertindak ke kamar luar, di sana ia duduk di kursi, kepalanya ditundukkan. Ia memegangi pit, entah dia menulis apa. Habis menulis, surat-suratnya dilepit, lantas dibungkus rapi dengan masing-masing sepotong cita, yang terus ia jahit, kemudian ia menjahit dan menjahit lagi hingga merupakan tiga kantung. Habis itu, baru ia kembali ke kamar bundar itu.

"Sekeluarnya dari rimba ini, menyingkirlah kamu dari kepungan Tiat Ciang Pang," ia berkata. "Kamu menuju langsung ke timur laut, terus sampai di kecamatan Tho-goan. Di sana barulah kamu membuka kantung yang putih itu. Seterusnya tindakan apa yang kamu harus lakukan, di dalam situ ada ditulis jelas. Sebelum kamu sampai di sana, ingat baik-baik, jangan kamu buka surat ini!"

Kwee Ceng girang sekali, ia menghanturkan terima kasih berulangkali. Kemudian ia menyodorkan tangannya untuk menerima kantung-kantung itu.

Eng Kouw menarik pulang tangannya. "Tunggu dulu!" katanya. "Jikalau orang itu tidak sudi menolong, yah sudah saja, tetapi apabila dia suka menolong hingga adikmu ini ketolong, aku hendak minta sesuatu."

"Budi ini mesti dibalas," berkata Kwee Ceng. "Cianpwee menitahkan saja!"

Eng Kouw tertawa dingin ketika ia berkata: "Jikalau adikmu ini tidak binasa, maka di dalam waktu satu bulan ia mesti kembali ke mari dan di sini ia mesti tinggal bersama aku selama satu tahun!"

Kwee Ceng heran. "Kenapa begitu?" tanyanya.

"Kenapa begitu?" balik tanya si nyonya. "Apakah sangkutannya itu sama aku? Aku cuma tanya kau, kau suka atau tidak?"

"Kau menghendaki aku mengajari ilmu hitung Kie-bun-sut, bukan?" Oey Yong campur bicara. "Apakah susahnya itu? Baik, aku memberikan janjiku!"

Eng Kouw mendelik kepada si anak muda. "Percuma jadi laki-laki, kau tak bisa melawan kecerdikan adikmu satu persepuluh!" ia mengejeknya tetapi ia menyerahkan tiga kantung kainnya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar