Minggu, 07 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 117

Khiu Cian Jin terdesak, ia rupanya takut juga. Maka ia menyahut: "Aku samar-samar ingat ayahku almarhum pernah memberikan nama lain padaku yaitu Cian Lie. Karena nama itu aku dengarnya tak sedap, aku tidak pakai…"

"Jadi kau Khiu Cian Lie!" bentak Kwee Ceng.

Beda dari sikapnya tadi, sekarang Khiu Cian Lie tidak lagi menunjukkan roman likat atau takut, dengan lantang ia berkata:

"Orang suka sebut apa, ia menyebut apa, apakah kau berhak mencampurinya?"

Kwee Ceng tidak menggubris sikap orang ini. Ia menanya: "Kenapa mereka itu mencaci kalang-¬kabutan? Kenapa mereka tidak naik terus ke mari?"

"Tanpa titahku, siapa berani naik ke mari?" menjawab Khiu Cian Lie, jumawa.

Kwee Ceng ragu-ragu.

"Engko Ceng," berkata Oey Yong. "Jikalau tidak dikasih rasa yang enak, bangsat tua yang sangat licin tidak nanti mau mengudal isi perutnya! Kau coba totok jalan darahnya thian-kiu-hiat!"

Kwee Ceng menurut, ia dekati orang tua dan menotok. Jalan darah thian-kiu-hiat itu letaknya di bawah tenggorakan, di atasan satu dim dari jalan darah soan¬kie-hiat, itulah cabang im-wie dari delapan jalan nadi. Begitu ditotok, Khiu Cian Lie menjadi tidak karuan rasanya, ia merasakan sakit seperti digigit ribuan semut dan gatalnya bukan main. Maka ia menjerit mengaduh-aduh dan mengatakannya:

"Apakah ini bukan siksaan hidup! Bukankah ini perbuatan sangat melanggar perikemanusiaan…?"

"Lekas menjawab!" kata Kwee Ceng. "Akan aku membebaskan!"

Kalah juga orang tua bandel ini. "Baiklah," katanya kemudian sambil menahan siksaan, "Kakekmu tidak sanggup melayani kamu kedua bocah… Nah, dengarlah…!"

Beginilah keterangannya si tukang mengepul. Khiu Cian Lie dan Khiu Cian Jin benar saudara kembar, dan semenjak masih kecil, sifat dan roman mereka tak ada bedanya. Pada waktu Khiu Cian Jin berumur tigabelas tahun, kebetulan dia dapat menolong pangcu atau ketua dari Tiat Ciang Pang. Pangcu itu mau membalas budi, maka ia mewariskan kepandaiannya kepada penolongnya. Cian Jin luar biasa, dalam umur duapuluh empat tahun, ia telah pandai segalanya bahkan melebihi gurunya.

Ketika pangcu tutup mata, dia mewariskan Tiat Ciang Pang kepada muridnya yang menjadi tuan penolongnya ini. Khiu Cian Jin gagah dan pintar, di bawah pimpinannya, partai itu memperoleh kemajuan, kemudian namanya, terutama gelarannya -Tiat Ciang Sui-siang-piauw, si Tangan Besi Mengambang di Air - menjadi sangat kesohor sesudah ia menindas rombongan dari Heng San Pay.

Khiu Cian Jin memahamkan Go Tok Sin Ciang Sin-kang, yaitu ilmu tangan besi beracun, tetapi dia tidak turut dalam pertemuan besar yang pertama di Hoa San, karena waktu itu ia belum menyakinkan sempurna ilmunya, ia jeri terhadap Ong Tiong Yang, maka ia mengambil keputusan melatih terus, guna nanti turut dalam pertemuan yang kedua. Ia sangat ingin menjadi "Boe Kong Thian Hee Tee It", jago nomor satu di kolong langit.

Sementara itu, setelah usianya meningkat, sifat Khiu Cian Lie menjadi semakin lihay dalam ilmu mengepul, dia sangat doyan ngebrahol dan mendusta, gemar sekali menipu orang, dan karena roman mereka sama, dia pun dapat membawa aksi jago dengan baik, sedang kalau mogok dia menggunakan kelicinannya seperti dua kali dia menggunakan akal mencoba menjual Oey Yong beramai. Peranannya ini membuat Oey Yong dan Kwee Ceng nampak kesulitan, sampai di Kun San pemuda she Kwee ini mendapat perlawanan hebat, sedang Oey Yong baru saja merasakan tangan lihay Khiu Cian Jin yang tulen.

Puncak tengah dari gunung Tiat Ciang San ini dinamakan Tiong Cie Hong, puncak Jari Tengah. Tempat menyimpan tulang belulang dari semua ketua Tiat Ciang Pang. Kalau satu pangcu merasa umurnya bakal sampai, maka ia naik seorang diri ke atas puncak, untuk menanti penghembusan napasnya yang terakhir. Pula ada satu aturan yang sangat keras dan mesti ditaati dalam Tiat Ciang Pang. Ialah, siapapun dilarang mendaki dan memasuki puncak Tiong Cie Hong bagian tekukan yang kedua atau tee-jie-ciat, dan siapa melanggar itu, dia tidak dapat turun lagi dengan masih hidup. Umpama kata terjadi pangcu mati dilain tempat, mayatnya mesti dibawa oleh salah satu muridnya naik ke puncak, habis itu murid ini mesti membunuh diri di atas puncak. Kebinasaan ini oleh si murid yang bersangkutan dipandang suatu kehormatan paling besar.

Kwee Ceng heran kalau pihak Tiat Ciang Pang menjadi sangat gusar hingga mereka mencaci kalang kabutan. Kenapa Khiu Cian Lie berani mendaki puncak itu? Ini pun ada sebabnya. Dan sebab itu begini: "Di dalam rumah atau gua batu itu, ada tersimpan banyak barang berharga, atau mustika. Sebab setiap satu pangcu yang mau mati, dia tentu naik dengan membawa satu atau lebih barang berharga, umpama golok atau pedang mustika, atau barang kuno atau barang permata mulia. Setelah pelbagai pangcu, maka dianggap di situ telah banyak disimpan benda berharga. Khiu Cian Lie bersusah hati karena selama beberapa bulan belakangan ini ia gagal dengan aksi membualnya, ia tahu itu semua disebabkan ia tidak punya guna. Maka ia memikir, kalau ia mempunyai senjata mustika, pedang atau golok, tentulah ia bisa perbaiki kehormatannya yang telah ternoda itu. Hatinya jadi semakin terdesak ketika ia ingat bakal menghadapi Kwee Ceng dan Oey Yong, maka disaat terdesak itu, dengan mati-matian dan dengan diam-diam ia naik ke puncak, untuk mencuri salah satu senjata. Apa lacur, ia justru kepergok Kwee Ceng dan Oey Yong dan ia dirobohkan tanpa berdaya.

Mendengar keterangan itu, Kwee Ceng berpikir, "Tempat ini tempat keramat, pasti musuh tidak bakal naik ke atas. Tetapi juga tidak ada bakal jalannya untuk turun, cara bagaimana aku bisa lolos dari sini?"

Selagi ia berpikir keras itu, Kwee Ceng mendengar suara kawannya: "Engko Ceng, coba kau masuk ke dalam dan melihat."

"Tapi marilah aku periksa dulu lukamu," berkata si pemuda. Ia lantas mencari cabang kering, untuk membikin obor, sesudah itu ia buka baju si nona, guna melihat lukanya. Di kedua pundak yang putih dan halus ada tapak dari lima jari tangan, tapak yang hitam. Luka itu bukannya enteng, maka syukur, si nona terlindung baju lapisnya.

Kwee Ceng menjadi bingung. Bagaimana ia dapat mengobati luka ini? Ia ingat luka gurunya disebabkan hajaran Kam Mo Kang dari Auwyang Hong. Luka gurunya itu dan luka Oey Yong ini sama hebatnya. Gurunya tertolong karena ketangguhan tubuhnya dan Oey Yong karena baju lapisnya.

Tengah si anak muda ini menjublak, Khiu Cian Lie menperdengarkan suaranya pula: "Eh, bocah, omonganmu barusan apa angin busuk belaka? Kenapa kau tidak lekas-lekas membebaskan kakekmu dari totokan?"

Kwee Ceng tidak dengar itu. Ia masih berdiam saja. Adalah Oey Yong yang mendengarnya.

"Eh, engko tolol, kenapa kau nampak gelisah?" berkata si nona tertawa. "Kau bebaskanlah tua bangka itu!"

Baru sekarang Kwee Ceng sadar. Ia menotok orang tua itu di jalan darah thian-kut-hiat, dengan begitu, lenyaplah rasa gatalnya Khiu Cian Lie, tetapi karena jalan darah im-touw-hiat masih tertutup, ia tetap rebah di tanah.

Kwee Ceng meninggalkan orang tua ini. Ia pergi mencari cabang cemara yang panjang dua kaki, ia nyalakan sebagai obor, sembari memegangi itu, ia kata kepada Oey Yong:

“Yong-jie, aku mau masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Kau takut atau tidak?"

Oey Yong tengah merasakan panas dingin bergantian, hebat penderitaannya ini, tetapi karena khawatir Kwee Ceng berduka untuknya, ia menahan diri.

"Di sini ada si tua bangka menemai aku, aku takut apa?" katanya, tertawa. "Kau pergilah!"

Lantas Kwee Ceng bertindak pergi. Ia berlaku hati-hati. Sesudah jalan melewati dua tikungan, dia tiba di depan mulut gua yang besar. Jadi di dalam gua itu ada sebuah guanya lagi. Bahkan gua ini lebih luas lima lipat daripada yang di luar. Kalau yang di luar tadi ada bekas-bekas di gali, gua ini wajar.

Di dalam situ ada terdapat duapuluh lebih rangka tulang-belulang, dengan pelbagai sikap, ada yang duduk, ada yang rebah atau tidur. Di sisi setiap rangka itu ada terletak senjata seperti golok, senjata rahasia, perabot bersantap, juga rupa-rupa barang permata. Kwee Ceng mengawasi itu semua. Jadi benar keterangan Khiu Cian Lie tadi. Ia kata dalam hatinya, "Beberapa puluh pangcu ini, dulu harinya semua gagah perkasa, tapi sekarang semua tinggal tulang-belulangnya, semua tinggal di sini dalam kesunyian…."

Pemuda ini bukan seorang loba, melihat semua senjata dan permata itu, tidak pernah timbul keserakahannya, ia tidak menghiraukannya, ia hanya memikirkan Oey Yong. Sesudah melihat-lihat sekian lama, ia memikir untuk keluar lagi. Tapi mendadak ia melihat rangka yang terakhir, di tangannya tercekal sebuah kotak besi yang nampaknya ada surat. Ia lantas menghampirkan, menyuluhi dengan obornya.

"Rahasia memukul pecah bangsa Kim," demikian ia membaca surat itu, yang diukir di tutup kotak atau peti besi kecil itu. Maka tercekatlah hatinya. Segera ia ingat. "Bukankah ini surat wasiat Gak Bu Bok?" Maka ia mengulurkan tangannya, mengambil kotak itu. Begitu menyentuh, dengan bersuara, tangan itu menyambar.

Kwee Ceng kaget sekali, syukur ia keburu lompat mundur. Gagal menyambar, tangan itu jatuh ke tanah, berkumpul menjadi satu. Dengan membawa kotak itu, Kwee Ceng lari keluar. Ia segera nancap obornya di tanah, ia lantas memondong Oey Yong, untuk dikasih bangun, di depan si nona ia membuka tutup kotak.

"Aku menemukan ini," ia memberitahukan.

Isi peti besi itu ada dua jilid buku tulisan tangan, satu tebal, yang lain tipis. Kwee Ceng mengambil lebih dulu yang tebal. Nyata isinya salinan Han See Tiong atas pelbagai laporan atau usulnya Gak Hui yang dihanturkan kepada rajanya, ada syair dan lainnya buah kalam jenderal gagah perkasa dan setia itu, bunyinya pun penuh dengan penguraian kesetiaan dan semangat kegagahan. Maka ia menjadi sangat kagum, hingga ia menghela napas. Yang paling menawan hati ialah Gak Hui tidak pernah melupakan rakyat.

Oey Yong pun kagum sekali. "Nah, coba periksa buku yang satunya," kemudian Oey Yong minta.

Kwee Ceng menurut, ketika ia melihatnya, lantas ia menjadi sangat girang. "Ini dia ilmu perang yang ditulis sendiri oleh Gak Bu Bok!" katanya berseru. "Dan inilah buku yang Wanyen Lieh si bangsat senantiasa ingat sekalipun di dalam mimpinya! Sungguh Thian murah, kitab ini tidak sampai jatuh ke tangan jahanam itu…"




Ketika anak muda ini membuka halaman yang pertama, lantas membaca delapanbelas huruf besar, yang artinya: "Mengutamakan pemilihan - Rajin berlatih - Adil dalam persenan dan hukuman - Jelas dengan perintah - Keras dengan tata tertib - Bersama¬sama senang dan susah" Jadi inilah pokok untuk memilih punggawa atau serdadu, untuk mendidik dan mengatur tentara.

Selagi Kwee Ceng hendak membalik yang lainnya, tiba-¬tiba ia mendengar berhentinya cacian orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tadinya terdengar sekarang hanyalah suara angin. Berdua Oey Yong dan si anak muda memasang kuping. Mereka heran bukan main.

Tidak berapa lama barulah terdengar suara lainnya. Itulah suara seperti sa-sus atau sar-ser, perlahan tetapi berisik ramai. Ketika Khiu Cian Lie mendengar itu, ia lantas mengeluh berulang-ulang, dengan suara sedih, ia berkata:

"Bocah-bocah, hari ini jiwa kakekmu dihabiskan di tangan kalian…"

Kwee Ceng tidak meladeni orang tua itu, ia lompat keluar, tiba di mulut gua, setelah melihat ke bawah, ia menjadi kaget sekali. Mulanya ia tercengang. Baru sekarang ia mengerti bunyi suara yang luar biasa itu. Di antara sinar rembulan terlihat ribuan atau puluhan ribu ular berbisa lagi merayap naik ke atas puncak, semua sambil mengangkat kepala dan mengulur, mengulat-uletkan lidahnya!

"Mereka tidak berani memasuki tempat keramat ini, sekarang mereka menyerang dengan ular," kata Kwee Ceng dalam hatinya. Tidak ayal lagi, ia lari ke dalam untuk memondong Oey Yong.

Khiu Cian Lie melihat perbuatan si anak muda, lantas ia mementang bacotnya mencaci. Kwee Ceng tidak mau melayani tukang membual itu, hanya ketika ia lewat di sampingnya, ia mendupak pinggang orang dua kali. Dengan itu ia membebaskan totokan di jalan darah im-touw-hiat. Habis itu, dengan membawa kotak besinya, ia merayap naik ke atas puncak sekali.

Gua itu berada di tekukan yang kedua, untuk tiba di puncak tertinggi, jaraknya masih beberapa puluh tombak lagi. Kwee Ceng tidak menghiraukan itu, ia membesarkan hatinya, ia mengerahkan tenaganya, ia mengeluarkan kepandaiannya marayap naik. Ketika akhirnya tiba di atas, waktu melongok ke bawah, ia mendapatkan rombongan ular itu telah masuk ke dalam gua. Ia tidak memikirkan lagi Khiu Cian Lie, yang ia percaya, sebagai orang Tiat Ciang Pang, tentu tahu ilmu mengusir atau membinasakan ular.

Setelah merebahkan Oey Yong, Kwee Ceng berpikir keras. Bagaimana caranya menolong nona itu dari makhluk merayap yang jahat. Ia sendiri tidak takut. Ia sudah makan darah ular.

"Kau nyalakan api dulu," berkata Oey Yong, yang dapat menerka kesulitan si anak muda. "Bikinlah api mengelilingi kita."

"Ah, benar tolol!" berseru Kwee Ceng. "Kenapa aku tidak dapat memikirkan itu?"

Ia lantas mengumpulkan cabang kering, menumpuk mengelilingi Oey Yong dan dirinya. Ia bekerja cepat. Lantas ia menyulut api di kedua tempat, agar api itu memakan masing-masing kedua jurusan. Selama itu tidak terdengar apa-apa. Maka tak terkira kagetnya waktu tahu-tahu sejumlah ular, yang menjadi seperti pelopor sudah muncul di depan mereka. Dalam kagetnya ia mengeluh, tetapi ia tidak menjublak karenanya. Dengan sebat ia sambar Oey Yong untuk dipanggul.

Oey Yong terkejut melihat ular muncul begitu banyak, tetapi yang hebat ialah baunya yang amis sekali, membuatnya merasa mual, hampir muntah-muntah. Lantas ia menutup rapat kedua matanya. Waktu itu, ia merasakan sakit di dadanya. Ini disebabkan Kwee Ceng berlompatan ke sana ke mari sambil mulutnya tak henti berseru menggebah ular. Lama-lama, ia menjadi pusing, seperti luka akan diri sendiri. Ia baru sadar ketika hidungnya mencium bau harum. Lekas ia membuka matanya. Segera ia melihat berkelebatnya satu sinar merah. Betapa girangnya, ia mengenali hiat-niauw, burung apinya, yang terbang datang dari arah timur.

Tadi burung itu terbang karena mencium bau ular, maka ia pergi untuk memuaskan nafsu daharnya, sekarang ia melihat cahaya api, dia terbang dengan niatan mandi, maka tepat sekali datangnya itu selagi majikannya terancam bahaya.

Mendapatkan datangnya burung itu, semua ular lantas berdiam, tidak ada yang berani berkutik, maka beberapa diantaranya lantas dipatuk dan dimakan. Habis itu, terus mandi api, kesudahannya terbang menclok di pundak si nona.

Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali. "Sekarang kita tidak takut ular!" berkata si anak muda gembira. "Sekarang kita mesti mencari jalan untuk lolos dari puncak ini, bagaimana?"

Oey Yong terus berpikir. Nyata ia lantas mendapat jalan. "Hiat-niauw bisa naik ke mari, kalau dia dapat kenapa rajawali kita tidak?" demikian katanya. "Gak Bu Bok bernama Hui, aliasnya yaitu Peng Kie, maka kalau sekarang kita memakai Tiauw Kie, mustahil tidak dapat. Bukankah itu bagus?"

Kwee Ceng tidak mengerti. "Apa itu Tiauw Kie?" ia menanya.

Nama Hui dari Gak Bu Bok berarti "terbang", dan aliasnya itu, Peng Kie, berarti "garuda angkat". Oey Yong menyebutnya "Tiauw Kie" itu berarti "rajawali angkat". Si anak muda memikirkan itu, dalam waktu pendek, ia tidak menangkap maksudnya si nona. Oey Yong tengah merasakan sakit, ia menyahuti:

"Kita suruh rajawali membawa kita terbang pergi dari sini….!"

Kwee Ceng berjingkrak. "Benar!" ia berseru. "Itu bagus! Nanti aku panggil si rajawali!"

Tidak ayal lagi pemuda ini duduk bersila, bersemadhi, mengumpulkan tenaga dalamnya, kemudian mengasih dengar siulannya yang keras dan panjang, yang mengalun jauh. Inilah ilmu semadhi yang dulu ma Giok mengajarkan kepadanya. Setelah memahamkan Kiu Im Cin-keng, ia memperoleh kemajuan yang luar biasa. Jarak di antara puncak dan kaki gunung ada beberapa lie, tetapi begitu siulan mendengung, burung mereka dapat mendengar, kedua burung itu lantas terbang mencari mereka. Maka di lain saat, berkumpullah mereka, burung dan manusia - kedua burung itu berdiri di depan si muda-mudi.

Kwee Ceng membantu Oey Yong membuka baju lapisnya, terus membantu si nona mendekam di punggung rajawali yang betina. Karena khawatir nona itu memegang kurang keras, ia pun mengikatnya. Sesudah beres, baru ia mendekam di punggung rajawali jantan. Akhirnya, mengasih dengar siulan. Kedua burung itu mengerti, keduanya lantas membuka sayapnya untuk terbang.

Mulanya hati pemuda dan pemudi itu kebat-¬kebit, tapi tak lama, mereka menjadi tabah. Mereka dapat mendekam dengan tenang di punggung burungnya. Bahkan si nona yang tetap bersifat kekanak-kanakan, lupa pada sakitnya. Ia ingin mempertontonkan diri di depan Khiu Cian Lie si tua bangka, maka ia mengutik leher burungnya, menyuruh si burung terbang ke arah gua.

Burung itu mengerti, benar-benar ia terbang ke muka gua. Di sana terlihat si tukang membual lagi repot menggebah ular. Dia pun lantas melihat burung membawa orang terbang dan mengenali si nona. Ia kaget, heran, ia menjadi sangat kagum. Ia lantas memanggil:

"Nona yang baik, kau bawalah juga aku pergi! Kalau adikku melihat aku, maka aku si tua bangka tidak bakal dapat hidup lebih lama lagi…!"

Oey Yong mendengar permintaan itu, ia tertawa. "Burungku tidak dapat menggendong dua orang!" ia riang gembira. "Kamu bersaudara kandung, lebih baik minta ampun pada saudaramu!" Dan ia menepuk burungnya, menyuruh terbang terus.

Melihat orang hendak pergi, timbullah hati jahat si orang tua. "Nona yang baik," ia berseru, "Kau lihatlah permainanku, menarik hati atau tidak?"

Oey Yong tertarik, ia memutar balik burungnya untuk datang mendekati. Khiu Cian Lie menanti sampai orang datang cukup dekat, mendadak ia berlompat menubruk, memegang erat-erat si nona, hingga di lain saat, mereka telah berada bersama di punggung rajawali. Ia tidak memperdulikan nona itu kaget.

Orang tua itu menjadi nekat. Ketika ular masuk ke dalam gua, ia mengusirnya. Untuk itu, ia pergi sampai di luar gua. Di sini ia dapat dilihat oleh orang-orang Tiat Ciang Pang. Berarti keputusan mati untuknya. Ia telah memasuki tempat keramat dan terlarang. Jangan kata ia, sekalipun pangcu sendiri, apabila tanpa sebab masuk ke situ, dia bagian mati. Maka itu, ingin ia dapat lolos.

Burung rajawali betina itu benar-benar tidak kuat membawa dua orang. Dia terbang tetapi dia bukan maju jauh, dia turun ke bawah, cuma dengan menggerakkan kedua sayapnya sepenuh tenaga, baru ia dapat memperlambat turunnya. Dia tetap turun…………

Khiu Cian Lie memegang erat-erat kepada Oey Yong. Syukur dia ini diikat tubuhnya, kalau tidak tentulah telah terlepas pegangannya pada burung. Burung betina itu mengasih dengar suaranya berulang-ulang. Yang jantan mendengar, dia hendak menolong, tetapi bagaimana?

Orang-orang Tiat Ciang Pang dapat melihat peristiwa luar biasa itu. Mereka heran dan kaget, semua mengawasi dengan mata terbuka dan mulut menganga, tidak ada yang bersuara.

Disaat Oey Yong terancam bahaya, tiba-tiba satu sinar merah berkelebat di dekatnya. Itulah hiat-niauw, si burung api, yang menyambar dari belakang gunung. Tadi ia terbang mengikuti majikannya. Dan burung ini menyambar mata Khiu Cian Lie.

Dalam keadaan itu, orang she Khiu itu tidak dapat membela diri. Ia juga tidak menyangka sama sekali sang burung bakal menghajar matanya. Ia kaget dan kesakitan, lupa kepada pegagannya, ia mengucak matanya. Saat mengucak matanya, pegangannya terlepas, maka sia-sialah segala daya, tubuhnya terpelanting jatuh. Maka dilain saat terdengarlah suara hebat dan menyayat hati datangnya dari lembah. Di lain saat, burung rajawali telah dapat terbang lagi seperti biasa bersama nona majikannya, mendekati burung yang jantan, untuk terbang berendeng.

Selagi mendekati kaki gunung, Kwee Ceng mengasih dengar siulannya yang nyaring, untuk memanggil kudanya. Ia sekarang berlega hati, sedang tadi ia kagetnya bukan main, takutnya tak terkira, sebab ia tak berdaya untuk menolong kekasihnya. Oey Yong sendiri tidak kurang takutnya, hingga ia menyesal dirinya kena diperdaya orang tua yang sudah nekat itu. Kuda merah mendengar panggilannya, dia lari mengikuti, di darat, burung di udara.

Kwee Ceng merasa ia sudah terbang kira-kira tujuhpuluh lie, lantas memberi tanda kepada burungnya berdua untuk berhenti terbang, untuk turun ke tanah. Ia berkhawatir untuk Oey Yong, yang diam mendekam saja di punggung burungnya. Ketika ia memeriksa, benarlah si nona pingsan. Maka lekas-¬lekas ia menguruti, untuk membikin darahnya jalan seperti biasa.

Selang sekian lama, barulah si nona sadar. Ketika itu awan gelap, hingga si putri malam kena ketutupan. Kwee Ceng bingung juga. Sambil memeluk Oey Yong, ia memandang ke sekelilingnya. Ia berada di tengah tegalan, yang gelap.

Di situ terlihat tempat untuk memernahkan diri. Karena terpaksa, kemudian ia berjalan juga. Dia menerjang rumput yang tinggi sebatas dengkul. Sudah begitu, saban-saban duri pohon menusuk betisnya. Ia merasa sakit tetapi tak dihiraukannya. Ia jalan terus.

Dengan begini, ia jalan perlahan sekali. Jagat gelap, jalanan tak kelihatan. Hatinya berdebaran, ia khawatir kejeblos di liang atau jurang….

Sesudah menderita seperjalanan kira-kira dua lie, mendadak Kwee Ceng melihat bintang besar, munculnya dari sebelah kiri. Bintang itu rendah, seperti di ujung langit, cahaya berkelak-kelik. Ia mengawasi, niatnya untuk mengenali arah tujuan. Karena ini ia lalu dapat melihat tegas, ternyata bukan bintang hanya api.

"Ada api tentu ada rumah," pikirnya. Maka ia menjadi mendapat hati. Maka ia berjalan terus, tindakannya lebar menuju ke arah api.

Ia telah jalan kira-kira satu lie, lalu ia tiba di sutau tempat, di mana ada banyak pohon. Sekarang ternyata, api terlihat diantara pepohonan. Setelah masuk ke rimba, jalanannya tak lurus lagi. Jalanan kecil itu berliku-liku. Mendadak ia kehilangan api.

Kwee Ceng tidak putus asa. Ia melompat naik ke atas sebuah pohon. Dari situ melihat ke bawah. Ia mendapat kenyataan telah melewati api, yang sekarang berada di sebelah belakang. Ia turun, menuju balik. Kembali ia kehilangan api itu. Ia menjadi heran mengalami kejadian itu dua tiga kali. Ia merasakan kepalanya pusing dan matanya seperti kabur. Terus ia tidak dapat mendekati api itu. Kudanya serta tiga ekor burungnya, entah ada di mana.

Karena jengkel, Kwee Ceng ingin jalan di atas pohon saja. Tapi ini sukar dilakukan. Rimba itu gelap dan ia mesti memodong Oey Yong. Ia juga khawatir nanti kejeblok atau si nona kena kelanggar cabang-cabang pohon, yang dapat melukainya. Untung ia sabar, ia tidak menjadi putus asa. Ia beristirahat sebentar, lantas berjalan pulagi.

Oey Yong terluka dan tubuhnya lemah, tetapi dasar cerdik, otaknya berjalan. Ia melihat bagaimana dibawa putar kayun oleh Kwee ceng, dengan perlahan¬-lahan ia mulai mengerti jalan di dalam rimba itu. Ia menggunakan otaknya, meramkan mata.

"Engko Ceng," katanya kemudian, "Jalan ke kanan, ke samping,"

Girang si anak muda mendengar orang dapat berbicara. "Ah, Yong-jie, kau baik?" tanyanya.

Nona itu menyahuti tetapi tidak tegas.

Kwee Ceng menurut. Ia maju ke kanan, lalu nyamping. Oey Yong mengingat-ingat. Setelah tujuhbelas tindak, ia berkata lagi:

"Engko Ceng, jalan ke kiri, delapan tindak."

Kwee Ceng menurut.

"Sekarang ke kanan lagi, nyamping, tigabelas tindak."

Kwee Ceng menurut pula. Kali ini mereka berjalan dengan si anak muda mengikuti petunjuk dari si nona. Oey Yong sudah lantas dapat menduga, jalanan tidak wajar, ini buatan manusia. Dia adalah anak gadis Oey Yok Su, ia telah mendapatkan separuh lebih warisan ayahnya itu mengenai jalan rahasia. Maka, meskipun ia meram, ia seperti bisa melihat tegas jalanan di dalam rimba itu.

Demikian mereka jalan sana jalan sini, maju dan mundur. Akhirnya, dengan lekas, mereka menghadapi api tadi. Kwee Ceng girang hingga ia lantas membuka tindakan lebar untuk berlari.

"Jangan kesusu!" Oey Yong mencegah.

Tapi Kwee Ceng sudah berlari. Mendadak anak muda itu berkoak, karena kedua kakinya sudah menginjak lumpur, bahkan kaki itu lantas terpendam sebatas dengkul. Syukur ia lihay, dengan segera ia menggenjot diri dengan ilmu meringankan tubuhnya, berlompat mundur. Ketika ia kembali ke tanah kering, hidungnya mencium bau lumpur. Ia berdiri diam dan mengawasi. Cahaya api itu membantu kepadanya. Nampak kabut putih di depannya, di situ ada sebuah rumah dengan dua ruang. Api keluar dari rumah itu.

"Kami orang pelancongan!" Kwee Ceng lantas berkata, "Kami pun mendapat sakit berat, maka kami minta tuan rumah sukalah berlaku murah dengan mengijinkan kami menumpang beristirahat seraya meminta air hangat."

Dalam malam yang sunyi itu, suara Kwee Ceng cukup keras, akan tetapi sampai sekian lama, tidak memperoleh jawaban, ia lekas berbicara lagi menyebutkan permintaannya untuk menumpang singgah. Lagi-lagi tidak ada penyahutan.

Ketika lewat sekian waktu, Kwee Ceng mengulangi permintaan untuk ketiga kalinya, barulah mendapat jawaban dari seorang perempuan, katanya:

"Kamu telah dapat tiba di sini, sudah tentu kamu mempunyai kepandaian untuk masuk ke dalam rumahku. Mustahil aku mesti keluar menyambut kamu?" Suara itu tawar sekali, terang orang tidak sudi kedatangan tamu.

Di hari-hari biasa, tidak suka Kwee Ceng mengganggu orang, lebih suka ia tidur di dalam rimba atau tempat terbuka, akan tetapi sekarang bersama Oey Yong yang lagi sakit, ia membutuhkan rumah. Maka dengan perlahan ia berdamai sama si nona. Ia kata rumah dikurung lumpur. Bagaimana mereka bisa menghampiri rumah itu?







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar