Jumat, 05 Februari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 116

Oey Yong lantas menggurat pula di tanah. Ia menulis huruf-huruf di gambar, yang ia ingat dengan baik. Lalu berkata:

"Di garis pertama itu, yang kurang mestinya satu huruf Bu. Kalau keempat huruf itu lengkap, mestinya 'Surat wasiat Bu Bok.' Sekarang garis yang kedua. Sekian lama aku tidak dapat pikir itu, sampai tadi si tua bangka menyebutnya. Menurut dugaanku, huruf itu mestinya 'san' atau 'hong', ialah gunung atau puncak…….."

Kwee Ceng lantas membaca: "Jadi, surat wasiat Bu Bok di gunung Tiat Ciang San." Ia lantas bertepuk tangan, terus berseru: "Bagus! Sekarang mari kita lekas pergi ke sana! Tiat Ciang Pang bersekongkol sama bangsa Kim, mungkin sekali surat wasiat Gak Hui itu mereka serahkan pada Wanyen Lieh! Hanya tinggal yang dua garis lagi…"

Oey Yong tertawa. "Kau sendiri tidak mau menggunakan otakmu, kau paling bisa mendesak orang," ia kata. "Aku rasa, garis yang ketiga itu harus dicari dari kata-katanya si tua bangka bahwa gunung itu mirip lima jeriji tangan. Bukankah itu berbunyi 'dibawah puncak jari tengah'?"

Kembali Kwee Ceng menepuk tangan. "Yong-jie, kau sungguh cerdik, kau cerdik!" ia memuji pula. "Sekarang tinggal garis keempat, yang keempat….."

Oey Yong berdiam, ia berpikir. "Ini…., sukar….." sahutnya. "….yang kedua apakah itu?" Ia memiringkan kepalanya, hingga rambutnya turun memain. "Sudahlah, nanti saja kita pikirkan lagi. Sekarang kita pergi dulu."

Sampai di situ, mereka tidak berayal lagi. Lantas cari kuda dan burung mereka, terus mulai dengan perjalanan ke arah barat, menurut petunjuk Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Cian Jin yang aneh itu, yang sebentar temberang dan jenaka, kemudian kosen benar-benar, lalu main memutuskan tali pinggang…………

Mula-mula mereka melewatkan Siang-tek, lalu melintasi Tho-goan, sampai di Goan Kang, atau Goan¬leng, mereka jalan ke hulu, dari sini mereka benar tiba di Louw-kee. Di sini mereka tanya-tanya orang di mana adanya gunung Tiat Ciang San. Mereka mendapat jawaban gelengan kepala. Mereka menjadi heran, hampir mereka putus asa. Maka terpaksa mereka pergi mencari rumah penginapan.

Malam itu Oey Yong pasang omong dengan pelayan yang bicara banyak, tetapi tidak pernah menyebutkan Tiat Ciang San. Maka kemudian si nona kata:

"Semua tempat yang kau sebutkan adalah tempat-tempat yang umum, dasar Louw-kee tempat kecil, di sini tidak ada gunung dan airnya yang bagus!"

Dengan "gunung dan air", si nona maksudkan pemandangan alam yang indah. Kata-kata itu mengandung hinaan, membikin pelayan itu tak puas.

"Meskipun Louw-kee tempat kecil," katanya, "Tetapi pemandangan alam di gunung Kauw Jiauw San mana ada yang dapat menandanginya?"

Oey Yong ketarik sama nama gunung itu, yang artinya gunung Kuku Kera. "Di mana letaknya Kauw Jiauw San itu?" ia tanya.

"Maaf," berkata pelayan itu yang tidak menjawab, hanya ia mengundurkan diri.

Oey Yong memburu, di ambang pintu, ia menjambak punggung orang, menarik kembali ke dalam kamar. Ia terus merogoh keluar sepotong perak dan meletakkannya di atas meja.

"Kau omong biar jelas, uang ini untukmu," ia kata.

Ketarik hatinya pelayan ini, ia meraba-raba uang perak itu. "Perak begini besar?" katanya.

"Ya," sahut Oey Yong bersenyum dan mengangguk.

"Baiklah, aku nanti menjelaskan," pelayan itu lantas berkata, perlahan, "Cuma aku minta jangan jiewi pergi ke sana. Di atas gunung itu ada berdiam sekawanan hantu yang jahat, mereka juga memelihara banyak ular berbisa. Siapa mendekati gunung itu lima lie, jangan harap jiwanya selamat!"

Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang, mereka saling mengangguk. "Kauw Jiauw San itu terdiri dari lima puncak, yang semuanya menjulang ke langit mirip tangan kera, bukan?" kemudian si nona tanya.

Pelayan itu girang. "Ah, kiranya nona sudah tahu!" katanya. "Jadi itulah bukan aku yang menjelaskannya. Lima puncak itu memang luar biasa sekali."

"Kenapa begitu?" tanya Kwee Ceng.

"Lima puncak itu berdiri rapat seperti lima jari tangan," menerangkan si pelayan. "Puncak yang di tengah ialah puncak yang paling tinggi. Puncak-puncak yang lainnya, di kedua sisinya lebih rendah. Yang aneh ialah setiap puncak itu ada garisnya, mirip sama tiga tekukan jari tangan."

Mendengar itu, Oey Yong berjingkrak-jingkrak sambil berseru: "Yang kedua! Yang kedua!"

"Benar! Benar!" Kwee Ceng pun berseru kegirangan.

"Engko Ceng mari kita pergi!" berkata Oey Yong.

"Tempat itu terpisah dari sini tak ada enampuluh lie, dengan menunggang kuda merah, sebentar saja kita bisa sampai di sana," berkata Kwee Ceng. "Aku pikir, baiklah besok saja kita pergi berkunjung ke sana."

Si nona tertawa. "Siapa yang mau membuat kunjungan?" katanya. "Kita mencuri buku!"

"Ah!" seru Kwee Ceng, yang baru sadar. "Kenapa aku tolol sekali, aku tidak dapat memikir sampai ke situ…!"

Dua orang ini tidak mau membikin orang penginapan mengetahui perbuatan mereka, mereka keluar dengan diam-diam dengan melompati jendela. Dengan hati-hati juga mereka menuntun kuda mereka. Lalu, dengan menuruti petunjuk pelayan, mereka berangkat menuju ke arah tenggara. Jalanan ke pengunungan rumputnya tinggi-tinggi, jalanan sukar, tetapi kuda kecil itu dapat melaluinya. Dalam waktu satu jam, sampailah mereka di kaki gunung. Terlihat jelas lima puncak gunung, yang mirip dengan lima jari tangan berdiri tegak, terutama puncak yang di tengah-tengah.

"Puncak ini sama benar dengan puncak di dalam gambar," berkata Kwee Ceng setelah ia mengawasi sekian lama. "Lihat di puncak itu, bukankah itu pohon cemara?"

Oey Yong tertawa ketika ia menyahut: "Ya, hanya di sana kurang seorang jenderal yang lagi bersilat dengan pedang!"




Lantas mereka meninggalkan kuda dan burung rajawali di kaki gunung, mereka jalan memutar ke belakang gunung. Di sini, di mana tidak tertampak ada orang lain, mereka mulai mendaki dengan berjalan cepat bagaikan lari. Beberapa lie telah dilewatkan, jalanan menikung, lalu menuju ke barat. Mereka maju terus. Di sini jalan selanjutnya berliku-liku sampai di depan mereka, tampak pohon cemara melulu.

Mereka berhenti sebentar, bersangsi, hingga mereka saling bertanya mendaki terus atau melihat-lihat dulu. Selagi mereka berbicara, si burung merah molos dari tangan baju Oey Yong, terus terbang ke dalam rimba.

Si nona sangat menyayangi burungnya, sambil menggapai kepada Kwee Ceng, ia lari ke arah rimba itu, menyusul burungnya. Hanya ia menjadi bingung ketika kehilangan hiat-niauw yang terbangnya sangat cepat. Terpaksa ia maju terus dengan Kwee Ceng mengikuti.

Sekitar satu lie jauhnya, mereka tiba di satu tempat di depan mana ada cahaya api. Keduanya saling memberi isyarat, setelah itu mereka maju dengan perlahan-lahan, enteng tindakannya. Baru beberapa tindak, mendadak dari samping jalanan, di mana ada pohon-pohon besar, dua orang berlompat keluar, menghadang di muka mereka. Dua orang itu sama-¬sama mengenakan pakaian hitam dan memegang senjata tajam. Hanya mereka itu tidak membuka suara.

Oey Yong lantas berpikir. Ia tahu, kalau mereka bertempur, sulit untuk melakukan pencurian "buku" surat wasiat Gak Hui. Ia cerdik sekali. Maka segera ia mengeluarkan tiat-siang, tangan besi dari Khiu Cian Jin. Ia mengangkat tinggi-tinggi, terus ia bertindak tanpa membuka suara seperti dua orang itu.

Ketika kedua orang berpakaian hitam itu menampak tangan besi, mereka terkejut, dengan lekas mereka memberi hormat, lalu menyingkir ke pinggiran memberi jalan.

Oey Yong berlaku sebat luar biasa. Tepat saat orang mundur, ia menyerang. Dengan tongkatnya, dengan dua gerakan saling susul, ia menotok kedua orang itu, hingga keduanya roboh tak berdaya lagi, hingga gampang saja mereka didupak mencelat ke dalam gompolan rumput. Habis itu, dengan cepat tetapi berhati-hati, mereka maju lagi, menghampiri api yang tadi terlihat samar-samar.

Nyatalah ada sebuah rumah batu dengan lima ruang dan api munculnya dari dua ruang timur dan barat. Mereka menghampiri ruang barat. Segara hidung mereka menangkap bau amis. Tapi mereka tidak menghiraukannya, lantas mengintai di jendela.

Di dalam kamar itu ada sebuah perapian besar, yang apinya menyala marong. Di atas situ ada sebuah kuali. Dua kacung menanti di samping perapian, yang satunya lagi menolak pompa angin, yang lainnya tengah melemparkan seekor ular yang ia jumput dari dalam karung, di lemparkan ke dalam kuali, di depan kuali ada seorang lain, seorang tua yang duduk numprah dengan mata dimeramkan, dengan menggunakan tenaga besar, ia menghisap menyedot uap yang mengepul dari kuali itu, uap berhawa panas. Orang tua itu mengenakan baju kuning pendek. Dan dia bukan orang lain daripada Khiu Cian Jin.

Selagi ia menyedot hawa masakan ular itu, kepala Khiu Cian Jin mengeluarkan hawa panas yang nampak bagaikan uap juga, sedang kedua tangannya yang diangkat tinggi, sepuluh jerijinya pun terlihat mengeluarkan uap serupa. Habis itu, mendadak ia bangun berdiri, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kuali. Di waktu begitu, si bocah tukang kipas lantas mengompa angin dengan luar biasa kuat hingga ia memandikan keringat.

Khiu Cian Jin membiarkan tangannya berada di dalam godokan ular, sampai rasa panasnya sudah tak tertahankan, baru ia menarik kedua tangannya. Setelah menarik, ia menyampok sebuah kantung kain yang tergantung di dalam ruangan itu, sampokannya itu menerbitkan suara nyaring, tetapi kantungnya sendiri tidak bergoyang.

Kwee Ceng heran. Ia tahu betul isi kantung itu mestinya pasir dan isi itu tak ada satu batok. Yang mengherankan ialah kantung itu tersampok tanpa bergoyang. Itulah menandakan lihaynya ilmu silat orang tua itu.

Oey Yong sebaliknya daripada engko Cengnya. Ia tetap menganggap si orang tak lain lagi bersandiwara, untuk mengelabui orang. Coba ia tidak lagi memikir untuk mencuri surat wasiat, pastilah ia hendak menjengek orang tua itu.

Latihan Khiu Cian Jin diulangi dan diulangi lagi. Habis menyampok kantung, ia masukkan pula tangannya ke dalam kuali panas, habis itu, ia mengangkat lagi tangannya dan menyampok kembali kantung pasir. Demikian seterusnya.

Setelah mengintai sekian lama, Oey Yong dan Kwee Ceng pergi ke kamar tidur. Di sini mereka menyaksikan pula hal yang mengejutkan. Sebab disini mereka menemukan dua orang yang mereka kenal baik, Yo Kang bersama Bok Liam Cu. Sepasang muda mudi itu lagi bicara dengan asyik, atau lebih benar, Yo Kang alias Wanyen Kang lagi membujuk si nona untuk menikah siang-siang. Manis sekali bicaranya putra dari almarhum Yo Tiat Sim itu. Sebaliknya nona Bok bersikeras meminta si pemuda lebih dulu membalaskan sakit hatinya terhadap Wanyen Lieh, supaya pangeran bangsa Kim itu dibunuh mati, untuk melampiaskan dendam ayah dan ibunya. Katanya dengan begitu baru ia puas dan hatinya akan menjadi lega dan senang.

"Ah, adik yang baik, mengapa kau tidak dapat melihat kenyataan?" kata Yo Kang manis.

"Kenapa begitu?" Liam Cu bertanya heran.

"Memang! Wanyen Lieh itu terjaga kuat sekali, aku seorang diri, mana dapat aku membunuh dia begitu gampang,?" menjawab Yo Kang. "Lagian kalau aku sendirian, mana bisa aku gampang bekerja? Tidak demikian setelah kau menjadi istriku. Nanti aku ajak kau menghadap dia lalu dengan mendadak kita bekerja berbareng, menyerang selagi dia tidak bersiaga. Tidakkah dengan begitu maksud kita dapat tercapai?"

Alasan itu kuat, Bok Liam Cu lantas tunduk. Di antara sinar lampu, kelihatan nyata kedua belah pipinya yang merah, menandakan kecantikannya. Yo Kang melihat hati orang tertarik, ia lantas mencekal tangan orang yang kiri, yang ia usap-usap. Menampak demikian macam, Oey Yong kehilangan kesabaran. Ia menganggap Liam Cu terancam bahaya. Dengan sekonyong-konyong ia berseru:

"Enci Bok, jangan kau percaya obrolannya si jahanam!"

Yo Kang kaget sekali, segera ia meniup api hingga padam, setelah itu, dengan kedua tangannya memeluk Liam Cu, kemudian, seperti disengaja seperti bukan, ia menutupi kedua kuping nona itu.

Di luar kamar, di saat Oey Yong hendak membuka suara lagi, ia segera mendengar bentakan yang bengis:

"Siapa yang berani lancang mendaki Tiat Cang San?!" Itulah suaranya seorang tua.

Oey Yong segera berpaling, demikian juga Kwee Ceng. Di situ ada sinar rembulan, maka tampak nyata si penegur adalah Khiu Cian Jin. Sebaliknya orang she Khiu ini pun terperanjat ketika mengenal sepasang muda-mudi ini.

"Khiu Looyacu!" berkata Oey Yong sambil tertawa. Ia berlaku tabah dan manis. "Aku datang ke mari untuk memberi selamat! Bukankah aku tidak menyalahi janji kita akan bertemu dalam waktu tujuh hari?"

"Janji bertemu tujuh hari?" berseru Khiu Cian Jin. "Ngaco belo!"

"Ah, ah!" Oey Yong tertawa pula. "Kenapakah baru sekejapan mata saja, kau sudah lupa? Eh, ya, apakah perutmu yang mulas sudah sembuh ke akar-¬akarnya?"

Nampaknya orang tua itu sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi, dalam murkanya, ia berseru panjang, lalu kedua tangannya melayang ke pundak kiri dan kanan si nona.

Oey Yong yang tertawa haha-hihi, tidak memperdulikan ancaman itu, ia tidak mau menangkis atau berkelit. Ia sengaja hendak membikin tangan orang itu terkena duri baju lapis mustikanya. Akan tetapi ia segera mendengar suara kaget dari Kwee Ceng:

“Yong-jie, minggir!"

Menyusul itu, ia mendengar sambaran angin. Ia tahu tentulah pemuda itu hendak menyerang, menyambut tangan orang. Tapi ia terlambat. Disaat memikir untuk berkelit, hidungnya telah mencium bau amis, menyusul kedua pundaknya terasa terbentur tenaga keras, maka tanpa merasa, tubuhnya terhuyung ke belakang dan belum lagi tubuhnya jatuh ke tanah, ia tak sadarkan diri.

Akan tetapi Khiu Cian Jin telah terluka pada kedua tangannya, yang terus mengucurkan darah, hanya ketika serangan Kwee Ceng sampai, ia masih sempat mengelit tangannya, terus diputar balik, untuk dipakai membalas menyerang. Maka bentroklah tangan mereka, hingga keduanya sama-sama mundur tiga tindak. Itu menunjukkan ketangguhan mereka berimbang.

Kwee Ceng mengkhawatirkan Oey Yong, tidak mau melayani lebih jauh. Ia berlompat kepada kekasihnya, sambil membungkuk, ia menyambar tubuh orang buat diangkat dan terus dibawa lari. Hanya hampir berbareng dengan itu, ia merasakan angin menyambar punggungnya. Ia tahu penyerangan dari lawan. Dengan terpaksa, ia menangkis sambil menyerang. Ia memeluk Oey Yong dengan tangan kiri, tanpa memutar tubuh, ia menyerang ke belakang dengan tangan kanannya. Itulah jurus" Sin liong pa bwee", atau "Naga sakti menggoyang ekor". Itu pula tipu silat dari Hang Liong Sip-pat Ciang - Delapanbelas Tangan menaklukkan Naga - tipu silat yang diperantikan menolong diri dari ancaman bahaya. Dalam keadaan kesusu, ia menggunakan tenaga berlipat ganda.

Ketika Khiu Cian Jin merasakan tangannya bentrok lagi sama si anak muda, tubuhnya terhuyung di luar kehendaknya, berbareng dengan itu rasa sakit di tangannya nelusup hingga ke ulu hati. Sekarang baru ia ingat bahwa di duri baju Oey Yong ada racunnya, maka lekas-lekas ia mengangkat kedua tangannya, melihat di bawah terangnya sinar bulan. Ia tahu tangannya sendiri mengandung racun, ia menduga racun musuh juga lihay, kalau ia terluka, mungkin lukanya hebat. Karena itu, ia menjadi khawatir.

Kwee Ceng menggunakan kesempatan selagi Khiu Cian Jin memeriksa lukanya, ia memondong terus Oey Yong untuk dibawa kabur, tetapi ia bukannya lari turun gunung tapi sebaliknya mendaki puncak. Ia baru lari beberapa puluh tindak ia mendengar teriakan-teriakan riuh di belakangnya, ketika ia menoleh, ia melihat lagi dikejar oleh banyak sekali orang yang berpakaian hitam yang pada membawa obor yang diangkat tinggi-tinggi. Karena tidak ada jalan lain, terpaksa lari naik terus. Sembari lari ia masih mengambil kesempatan memegang hidung si nona. Betapa kagetnya, merasakan orang tidak bernapas.

"Yong-jie, Yong-jie!" ia memanggil, hatinya cemas. Tapi ia tidak memperoleh jawaban, hingga ia menjadi bertambah khawatir, ia menjadi bingung, mendengar teriakan-teriakan riuh di belakangnya, lengah sedikit, pengejar-pengejarnya itu telah mendatangi dekat. Di antara mereka itu ada Khiu Cian Jin. Hanya jumlah mereka tinggal belasan. Tetapi itu menandakan kawanan pengejar itu lihay semua. Sebab siapa tidak pandai ilmu enteng tubuh dan larinya tak keras, dia ketinggalan jauh di belakang.

"Jikalau aku seorang diri, tak sukar nerobos turun dari sini," kata Kwee Ceng di dalam hatinya. "Sekarang aku lagi membawa Yong-jie yang lagi terluka parah…."

Di dalam keadaan mogok seperti itu, tidak ada pilihan lagi untuk pemuda ini. Dengan terpaksa ia lari naik terus. Sekarang tidak lagi memilih jalanan, ia hanya lari dan berlompat lempang langsung ke atas, ia berpegangan, melapai dengan sebelah tangan. Untung untuknya, selama di gurun pasir, ia telah melatih diri dalam hal mendaki gunung. Karena ia pun naik lempang, maka tidak lama, dapat ia meninggalkan pula kawanan pengejarnya.

Kembali Kwee Ceng memeriksa Oey Yong. Ia meraba si nona. Sekarang ia merasakan hawa sedikit hangat. Ini membuat hatinya sedikit lega. Hanya waktu dipanggil beberapa kali, nona itu tetap tidak memberikan penyahutan, tetap ia tak sadar.

Kemudian Kwee Ceng mendongak, memandang ke atas. Maka ia melihat, puncak sudah dekat. Ia lantas menggunakan pikirannya. Ia percaya sekarang sudah di kurung di sekitar puncak itu, jadi perlu sekali tempat untuk menempatkan diri, untuk beristirahat. Terutama perlu sekali Oey Yong dibikin sadar. Ia lantas melihat ke kiri kanan. Di sebelah kiri, sejarak duapuluh tembok lebih, ia melihat samar¬-samar seperti gua. Tanpa sangsi lagi, ia lari naik ke atas. Ia benar-benar mendapat sebuah gua. Tanpa jeri sedikitpun, ia berlari masuk ke dalam situ. Segera meletakkan tubuh si nona, lantas ia menekan jalan darah leng-tay-hiat di punggung si nona, guna membantu jalan pernapasannya.

Di sekitar puncak itu terdengar riuh suara orang-¬orang Tiat Ciang pang, yang rupanya mencari terus. Kwee Ceng tidak menghiraukan mereka, ia tetap menolong Oey Yong. Itulah usaha paling utama untuknya.

Selang lamanya sepeminuman teh, mendadak Oey Yong mengasih dengar seruan perlahan. Ia sadar. Bahkan segera ia berkata:

"Aduh….dadaku sakit…." Suaranya itu perlahan sekali.

Tapi Kwee Ceng girang luar biasa. "Yong-jie, jangan takut," ia berkata menghibur. "Aku ada bersama kau. Kau beristirahatlah dulu." Ia terus bertindak ke mulut gua, di situ ia berdiri tegak, kedua tangannya disilangkan di depan dada, siap untuk mengadu jiwa.

Setelah berada di mulut gua, ia dapat melihat luas di sekitarnya, hati pemuda ini gentar juga. Di pinggang gunung ia seperti menyaksikan tembok obor. Teranglah orang-orang Khiu Cian Jin sudah kumpul semua. Sejarak satu lie dari dia, ia melihat orang-orang yang nampak rada tedas, di paling depan berdiri satu orang yang bukan lain Khiu Cian Jin. Orang banyak itu bergusar dan mencaci tidak hentinya, tetapi tubuh mereka tidak bergerak, mereka bagaikan dipantek paku, tidak ada seorangpun diantaranya yang bertindak maju sekalipun satu tindak.

Untuk sementara, Kwee Ceng mengawasi mereka. Ia tidak dapat menerka maksud mereka. Oleh karena tidak ada ancaman bahaya langsung, ia kembali ke dalam untuk melihat Oey Yong. Disaat ia membungkuk, mendadak ia mendengar suara sesuatu di belakangnya. Ia membungkuk dengan membalikkan belakang kepada bagian dalam dari gua itu. Ia memutar tubuh dengan segera, kedua tangannya siap sedia, kedua matanya dipentang lebar. Tapi melihat tempat gelap, ia tidak nampak apapun. Entah berapa dalamnya gua itu.

"Siapa?!" anak muda ini menegur. "Lekas keluar!"

Dari dalam gua itu terdengar suara terbalik, kumandangnya sendiri. Karena ia berdiam, ia memasang mata dan kuping, tetap waspada.

Sebentar kemudian, dari dalam situ terdengar suara batuk-batuk perlahan, lalu disusul tertawa yang nyaring, membuat orang mau tidak mau bangun bulu romanya. Itulah suara Khiu Cian Jin.

Dengan sebat Kwee Ceng menyalakan api hwee¬cip. Maka segeralah terlihat dari pedalaman gua itu bertindak menghampiri satu orang yang tangannya memegang kipas daun, kumis jenggotnya telah putih semua, karena dialah Tiat Ciang Sui-siang-paiuw Khiu Cian Jin. Maka kagetnya pemuda itu tak terkira. Bukankah orang itu barusan ada di sebelah bawah, lagi mencaci kalang kabutan bersama orang--orangnya? Kenapa dalam sekejap saja dia sudah berada di atas, di dalam gua ini?

Khiu Cian Jin lantas tertawa. "Haha-haha bocah-bocah!" katanya. "Kamu benar-¬benar tidak takut mampus! Benar-benar kamu datang mencari kakekmu! Bagus, sangat bagus!" Habis itu, mendadak dari tersenyum berseri-seri, ia memperlihatkan roman bengis. Ia pun membentak: "Ini adalah daerah terlarang dari Tiat Ciang Pang! Siapa masuk ke mari, dia mesti mati, dia tak dapat hidup pula! Oh, bocah-bocah, benar-benar kamu sudah bosan hidup!"

Kwee Ceng berpikir keras untuk dapat menangkap maksud orang yang sebenarnya, tetapi Oey Yong telah mendahuluinya. Si nona membaliki kepada orang tua itu:

"Jikalau tempat ini tempat terlarang, kenapa kau masuk ke mari?"

Khiu Cian Jin menyeringai. Terang ia likat. Hanya sebentar, lantas ia berkata: "Siapa punya kesempatan bicara dengan kalian, bocah¬-bocah!" Lantas dia bertindak cepat, untuk nerobos keluar.

Kwee Ceng melihat sikap orang, ia khawatir Khiu Cian Jin nanti membokong Oey Yong. Maka ia pikir, baiklah ia turun tangan terlebih dulu daripada orang mendahului mereka. Maka ia berlompat maju, kedua tangannya dikasih turun dengan berbareng ke pundak jago tua itu. Ia menduga orang bakal membalikkan tubuh, untuk menangkis, maka ia sudah bersedia akan meneruskan dengan sikutnya ke arah dada. Itulah ilmu silat ajaran Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Pelajar Tangan Lihay, Manusia Aneh kedua dari Kanglam. Serangan ke pundak hanya ancaman, yang benar ialah sikut ke dada.

Benarlah dugaan Kwee Ceng, Khiu Cian Jin menangkis. Hanya ia merasa heran. Tangkisan orang tua ini lunak, tak sehebat tadi waktu mereka bentrok tangan. Tapi ia berpikir cepat. Lantas ia mengubah serangannya, membatalkan sikutnya, ia berbalik menyambar kedua tangan orang, yang ia terus cekuk!

Khiu Cian Jin kaget, dia bentrok, tetapi sia-sia saja, dia tidak dapat meloloskan tangannya. Maka teranglah sudah, ilmu silatnya masih sangat rendah!

Sekarang Kwee Ceng tidak bersangsi lagi. Ia lantas membuat main kedua tangannya. Mulanya ia menolak, lalu ia menarik. Tepat tubuh orang maju ke depannya, ia menyambut dada orang dengan totokan di jalan darah im-touw-hiat. Maka sedetik itu juga, lemaslah tubuh Khiu Cian Jin, lantas dia roboh di tanah, tak dapat dia berkutik lagi, cuma dari mulutnya segera terdengar suara yang lunak:

"Ah, tuan cilikku, disaat seperti ini, mengapa kau justru bergurau denganku..?"

Saat itu suara di luar terdengar semakin nyata. Teranglah bahwa orang-orang Tiat Ciang Pang sudah menghampiri semakin dekat. Rupanya mereka dapat mendaki sedikit demi sedikit.

"Sekarang kau baik-baiklah mengantar kami turun gunung!" berkata Kwee Ceng kepada orang tawanannya. Ia berbicara perlahan tetapi bernada mengancam.

Khiu Cian Jin mengerutkan alis dan menggeleng kepala. "Jiwaku sendiri terancam bahaya, mana dapat aku mengantarkan kau turun gunung?" katanya.

"Kau suruh semua murid dan cucu muridmu itu membuka jalan," berkata Kwee Ceng, tetap sabar, "Nanti sesampainya di kaki gunung, aku akan membebaskan kau dari totokanku ini."

Orang tua itu mengerutkan alisnya lagi. "Oh, tuan kecilku," katanya, suaranya tetap suara tak berdaya, "Kenapa kau masih mendesak aku? Pergi ke mulut gua, kau melihat keluar, nanti kau mengerti sendiri…."

Kwee Ceng memang heran. Ia lantas bertindak ke mulut gua. Begitu ia melihat ke bawah, ia berdiri menjublak. Di sana ia melihat Khiu Cian Jin, dengan mengibas-ibas kipas daunnya, masih saja mencaci dan mendamprat seraya membanting-banting kaki, rupanya ia sangat mendongkol tidak dapat segera naik ke puncak, ke gua itu. Ia segera menoleh ke belakang. Di belakang ia melihat Khiu Cian Jin tetap lagi rebah tak berkutik!

"Kau…kau…" katanya, sangat heran. "Kenapa kamu ada dua…?"

"Ah, engko tolol, apakah kau masih tidak mengerti?" berkata Oey Yong perlahan. "Memang benar ada dua Khiu Cian Jin! Khiu Cian Jin yang satu lihay ilmu silatnya, Khiu Cian Jin yang lain si tukang mengepul! Mereka itu terlahir sama rupa sama macamnya!"

Baru sekarang si pemuda sadar. Tapi ia masih menanya Khiu Cian Jin di hadapannya itu:

"Benarkah?"

"Si nona benar," katanya. "Katakanlah dua saudara kembar dan aku si kakak."

"Habis siapa Khiu Cian Jin yang sebenarnya?"

"Nama tak sama, apakah artinya itu?" kata Khiu Cian Jin, si tukang mengepul ini. "Aku dipanggil Khui Cian Jin, dia juga dipanggil Khiu Cian Jin…Kami dua saudara akur satu sama lain, kami berdua semenjak masih kecil telah memakai satu nama…."

"Lekas bilang, siapa yang sebenarnya Khiu Cian Jin?!" Kwee Ceng masih mendesak. Ia agak mulai habis sabar.

"Buat apa ditegaskan lagi?" berkata Oey Yong. "Tentulah ini yang palsu!"

"Hm!" Kwee Ceng mengasih dengar suara bengis. "Eh, tua bangka, siapa namamu yang sebenarnya?!"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar