Selasa, 26 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 110

Oey Yong kaget hingga ia berseru, tubuhnya berlompat. Tepat ia hendak mengayun tangannya tetapi diantara rombongan orang tani terlihat dua orang melompat maju menghalangi di depan si bocah, tangan mereka diayunkan, menerbangkan empat bungkusan bubuk warna kuning, yang terus menggaris di tanah, sedang hidung orang lantas membaui bau belerang. Segera setelah itu, semua ular pada mundur sendiri.

Ketika Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengenali dua orang itu, Lee Seng dan Ie Tiauw Hin dari Kay Pang, Partai Pengemis, yang pernah ditemui di Poo-eng.

Melihat merintangnya dua orang itu, laki-laki baju hitam itu lantas berkata: "Kami dari Tiat Ciang Pang dengan pihak Kay Pang adalah seumpama air kali tidak bertemu air sumur, oleh karena itu kenapa tuan-tuan sekarang memaksa maju sendiri membela orang lain?"

Lee Seng memberi hormat. "Bocah ini belum tahu apa-apa, maka aku si pengemis tua memohon muka, sudilah dia diberi ampun," sahutnya.

Si hitam melihat Lee Seng menggondol delapan kantung goni, ia tahu orang dari angkatan tinggi, tetapi ia tertawa dingin dan lantas menanya:

"Jikalau aku tidak memberi ampun, habis tuan mau bikin apa?"

Ie Tiauw Hin masih muda, ia tidak sabaran. Dia berseru: "Kamu berbuat jahat dan kejam, kami telah mempergokinya, mana pula kami tidak campur tatang?!"

Si hitam tertawa menghina pula. Dia kata: "Aku mendengar kabar kamu kaum Kay Pang, besok kamu bakal mengadakan rapat besar di Gak Yang Lauw, di mana akan hadir semua pemimpin dari partaimu dari pelbagai penjuru, apakah kau pengemis cilik mau menghina orang dengan mengandalkan jumlah banyak? Hm! Aku khawatir tidak gampang-gampang kamu dapat berbuat demikian! Kamu katanya kaum yang pandai menangkap ular, coba aku lihat, apa kamu pandai menangkap ular kami?"

Ie Tiauw Hin panas hatinya. Ia lantas berlompat maju, kedua tangannya menyambar masing-masing seekor ular. Ia memegang ekor ular, segera digentak kaget. Tulang ular bersambung bagaikan rantai, karena dihentak kaget, tulang-tulang itu jadi seperti terlepas, maka itu, meski tidak segera mati, kedua ular itu lantas tidak mampu menggerakkan tubuh mereka. Itulah ilmu kepandaian menangkap ular dari bangsa pengemis.

Si hitam menjadi murka luar biasa, lantas ia bersiul keras, maka ribuan ularnya lantas melesat maju, untuk menerjang.

Ie Tiauw Hin boleh pandai menangkap ular tetapi menghadapi ular demikian banyak, ia kewalahan, maka itu, ia lompat ke garisan bubuk belerangnya. Lee Seng lantas berteriak, menanya she dan nama besar si hitam. Dia ini sendiri tidak menyahutinya, dia cuma tertawa dingin. Setelah ia melihat ularnya tidak berani maju, lagi sekali ia bersiul. Kali ini terjadilah pemandangan yang luar biasa.

Seekor ular menggigit ekor kawannya, kawan digigit pula ekornya oleh kawannya yang lain, demikian seterusnya, hingga mereka merupakan beberapa puluh potong rantai yang panjang, habis itu, ketika si hitam berteriak, mereka berlompat ke arah kedua pengemis itu, yang mereka terus kurung, hingga si bocah terkurung bersama.

"Pengemis busuk, tangkaplah ular itu!" kata si hitam menantang. "Kenapa kau diam saja?!"

Semua ular itu mendongak mengawasi, siap untuk menerjang. Muka Lee Seng dan Tiauw Hin pucat. Mereka rupanya menginsyafi ancaman bahaya.

Si hitam lantas berkata dengan jumawa, "Kami kaum Tiat Ciang Pang tidak suka mencelakai orang tanpa sebab, maka itu asal kamu berjanji untuk selama-¬lamanya tidak akan menangkap ular kami, asal kamu memberikan buktinya - hm! Kami tentu suka memberi ampun!"

Lee Seng tahu bukti apa yang diminta Tiat Ciang Pang. Ialah mereka harus merusak tangan mereka sendiri. Tentu sekali, mereka tidak suka menyerah, tidak peduli keadaan sangat berbahaya. Mereka berdiri tegak dan gagah.

Si hitam mementang kedua tangannya. Ia kata: "Asal aku merangkap kedua tanganku ini maka di tubuh kamu masing-masing bakal tambah beberapa ratus gigi yang beracun! Apa kamu masih tidak mau bertekuk lutut untuk memohon ampun?"

"Susiok, jangan kita mendatangkan malu!" kata Tiauw Hin.

Lee Seng tertawa. "Untuk apa mengatakan itu?" sahutnya. Ia lantas perkeras suaranya, berbicara kepada orang Tiat Ciang Pang: "Terima kasih banyak saudara hendak mengantar kami pulang ke Langit Barat, hanya aku masih belum mengetahui nama saudara yang besar!"

"Benarlah kamu, sampai mati kamu tidak mau memeramkan mata!" kata si hitam itu. "Aku murid ketiga dari Kiu Tiat Ciang, yang orang menyebutnya Hian-pwee-bong Kiauw Thay si Ular Naga Abu-abu!"

Belum berhenti suara jumawa si hitam ini, lantas terdengar suara tertawa halus nyaring disusuli kata-¬kata terang halus:

"Aha! Aku mengira siapa, tak tahunya segala murid dan cucu muridnya si tua bangka she Kiu!"

Suara itu segera disusul oleh orangnya, maka semua orang melihat seorang nona cantik manis yang rambutnya dijepit dengan gelang emas. Dialah Oey Yong kita. Maka heranlah Kiauw Thay.

Oey Yong tidak menanti orang sadar dari herannya, ia berkata pula: "Tiat Ciang Sui-siang-piauw she Kiu yang tua itu memanggil aku kouw-nay-nay, maka itu kenapa kau tidak segera memanggil aku couw kouw-nay-nay?" Dia minta dirinya dipanggil bibi dan bibi tua.

"Hai, bocah kau ngaco belo!" membentak si hitam. Di dalam hatinya, ia heran sekali kenapa bocah ini mengetahui nama besar gurunya.

Oey Yong tertawa dan berkata pula: "Anak-anak menerbitkan onar di luaran, inilah aku kouw-nay-nay kamu paling tidak senang melihatnya! Bukankah kamu pun adalah kawannya itu anak yang memangku pangkat camat di Bu-leng? Beberapa hari yang lalu, sambil lewat di mana, kouw-nay-nay telah membereskan dia! Nah, apa katamu?"

Camat she Kiauw di Bu-leng itu memang saudaranya Kiauw Thay ini, dia menerima kabar halnya kantor camat dibakar dan camatnya mati baru tadi pagi, maka itu ia lantas melirik si nona dengan hati sangat panas. Dia berduka berbareng gusar tetapi dia bersangsi apa nona ini benar membunuh saudaranya itu yang ia tahu gagah. Ia lantas memberi tanda, maka ratusan ularnya mengurung si nona.

"Siapakah yang membinasakan camat Bu-leng?" Kiauw Thay membentak, "Lekas bilang!"




Oey Yong tertawa manis. "Dengan sebenarnya akulah yang membinasakan dia!" dia menyahut, berani. "Dia melawan aku dengan menggunakan Tok see-ciang, tangan beracunnya itu! Siapakah tidak mengenal jurusnya, seperti jurus 'Jarum tawan' dan 'Mengangkat obor membakar langit' "Ketika aku menotok jalan darah kiok-tie-hiat, pecahlah kepandaiannya, maka setelah aku menotok pula kedua jalan darahnya, kie¬bun dan kin-ceng, aku menyuruh dia duduk di kursinya, duduk tak bergeming lagi, mirip lagaknya diwaktu hari-hari biasa dia dengan bengis memeriksa rakyat negeri. Kemudian ketika aku membakar gedung camat dan kantornya sampai ludas menjadi abu, entah kenapa dia tetap tidak keluar lagi dari kantornya!"

Kiauw Thay tetap heran. Kenapa orang begitu berani bicara seperti mendongeng saja, demikian tenang, lancar dan rapi? Meski dia masih bersangsi, dia toh memikir untuk membekuknya, guna mendengar keterangan orang terlebih jauh. Maka ia lantas berseru:

"Loo Sam, Loo Su, bekuklah budak ini!"

Dua orang lantas maju, dengan goloknya mereka menyingkirkan ular-ular yang mengurung, setelah datang dekat dengan empat tangan, mereka menjambret pundak si nona.

Oey Yong tertawa melihat lagak orang, "Loo Sam, Loo Su, kau rebahlah!" ia kata. Sebat luar biasa, ia mendak, lalu tubuhnya melesat ke belakang orang. Belum dua orang itu tahu apa-apa, punggung mereka sudah dicekal, lalu dtitolak keras satu sama lain, maka di antara suara beradu keras, kepala mereka bentrok hingga tubuh mereka terhuyung, lalu roboh di tanah!

Orang-orang tani itu sebenarnya lagi ketakutan akan tetapi menyaksikan robohnya dua jago itu, mereka heran dan kagum hingga mereka tertawa. Kiauw Thay murka bukan main, ia lantas mengangkat tangan kanannya dan memasukkan dua jerijinya ke dalam mulut. Ia hendak bersuit, guna mengasih perintah kepada ularnya untuk menyerbu.

Tetapi dia didahuli dengan suara kuk-kuk-kuk tiga kali, lalu di tangan Oey Yong terlihat seekor burung merah, sebab burung apinya itu telah masukkan ke dalam tangan bajunya.

Dengan mengasih dengar suara, burung api itu pun lantas mengasih keluar bau harumnya, yang segera seperti memenuhi ladang itu, seketika semua ular dapat mencium bau itu, semuanya menjadi bergerak dengan kacau, akhirnya pada rebah diam saja, sejumlah di antaranya lantas terlentang, mengasihkan perutnya untuk di patuk!

Hiat-niauw pun tidak sungkan-sungkan, dia berlompat maju, dia mematuk setiap perut, hingga sebentar saja dia sudah makan nyalinya tujuh ekor ular. Dia sudah kenyang tetapi dia masih mematuki perut ular lainnya!

Kiauw Thay kaget dan gusar, habislah sabarnya. Ia mengeluarkan tiga batang kong-piauw, dua batang ia timpuki burung api itu dan satunya kepada si nona!

Oey Yong memakai baju lapisnya, ia tidak memperdulikan datangnya senjata rahasia itu ke tubuhnya, sedang hiat-niauw, melihat datangnya serangan itu, berlompat untuk menyampok hingga kedua kong-paiuw jatuh di tanah, kemudian ia terbang gesit menyampok jatuh piauw yang mengarah si nona.

Bukan main girangnya Oey Yong mendapatkan burungnya itu mengerti dan dapat membela majikan. Ia lantas menuding si hitam itu serta kawan-kawannya, ia berkata:

“Mereka itu orang-orang jahat, patuklah biji matanya!"

Burung api itu terbang melesat, tubuhnya yang merah berkelebat mirip api, segera satu orang menjerit kesakitan, lantas diturut oleh beberapa orang yang lain. Sebab seperti tanpa merasa lagi, mata mereka telah kena dipatuk burung itu! Saking takutnya, semua orang lari serabutan, sedang yang matanya terpatuk pada menjatuhkan diri, untuk merayap atau bergulingan, guna melarikan diri.

Hingga dilain saat, habislah mereka, tinggal kodok dan ular mereka, maka kedua binatang itu lantas diserbu ramai-ramai oleh kawanan orang tani. Ketika kemudian mereka hendak menghanturkan terima kasih kepada Oey Yong dan Kwee Ceng, muda-mudi itu dengan tidak banyak omong telah pergi jauh.

Juga Lee Seng dan Ie Tiauw Hin hendak menemui sepasang anak muda itu tetapi mereka telah ditinggal kabur kuda merah yang larinya pesat.

Oey Yong girang bukan main atas kesudahan perbuatannya itu, maka malam itu, selagi singgah, ia menyalakan api, membiarkan hiat-niauw mandi dengan gembira.

Besoknya pagi, tibalah mereka di Gakciu. Mereka berjalan kaki, kuda mereka dituntun. Langsung mereka menuju ke lauwteng Gak Yang Lauw. Mereka memandangi keindahan telaga Tong Teng Ouw di tepi mana lauwteng itu dibangun. Luas telaga itu, jernih airnya. Di sekitarnya adalah rentetan gunung, keindahan dan keangkeran telaga itu beda lagi dengan keindahan dan keangkeran telaga See Ouw.

Masakan Ouwlam kurang cocok bagi lidah mereka, sudah rasanya pedas, juga mangkoknya lebih besar dan sumpitnya lebih panjan.. Di empat penjuru tembok mereka melihat banyak tulisan orang-orang pandai, yang pernah naik di lauwteng ini untuk bersantap atau minum. Di antaranya ada syairnya Hoan Tiong Am tentang kedukaan dan kegirangan, yang datangnya duluan dan belakangan.

Mereka lantas membicarakan Hoan Tiong Am itu, yang pintar dan gagah, yang pernah menjagoi di See Hee, tetapi semasa kecilnya dia miskin, ayahnya mati muda, hingga ibunya menikah lagi pula, hidupnya sengsara, maka setelah hidup berpangkat dan berbahagia, dia tetap memperhatikan nasib rakyat jelata. Itu pula sebabnya mengapa ia menulis syairnya itu lebih dulu menderita, lalu bergembira.

"Demikian juga dengan bangsa orang gagah!" kata Kwee Ceng kemudian seraya menenggak araknya.

"Dia memang orang baik," kata Oey Yong tertawa. "Cuma di dunia ini, kedukaan lebih banyak, daripada kegembiraan. Aku tidak mau hidup seperti dia!"

Kwee Ceng tersenyum, dia diam saja.

"Engko Ceng, aku tidak pedulikan kedukaan atau kesenangan itu!" kata si nona kemudian. "Hanya kalau kau tidak gembira, hatiku pun tidak senang…" Kata-kata ini dikeluarkan perlahan, alisnya pun mengkerut.

Kwee Ceng ingat nona itu tentulah mengingat hubungan di antara mereka, maka dia pun masgul, dia tidak dapat menghibur, dia tunduk dan berdiam saja.

Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya dan tertawa. "Sudahlah, engko Ceng!" katanya. "Eh, ya, tahukah kau syair Hoan Tiong Am yang berjudul 'Mencukil lampu perak'?"

"Aku tidak tahu. Cobalah kau membacakannya untuk aku dengar?"

Oey Yong membacakan bagian bawah syair itu: "Orang hidup tidak seratus tahun, maka jangan tolol, kalau tua, lantas layu. Hanya di bagian usia pertengahan, itu sedikit tahun, harus dapat menahan hati. Kedudukan tinggi, banyak uang dan rambut putih, bagaimana itu dapat dihalaunya?"

"Kalau begitu," kata Kwee Ceng nyaring, "Itu nasehat supaya orang jangan menyia-nyiakan waktu, jangan cuma mengejar nama besar, kenaikan pangkat dan harta!"

Oey Yong pun berkata pula, perlahan: "Arak masuk ke dalam usus berduka, berubah menjadi air mata kenangan…."

"Apakah itu pun syair Hoan Tiong Am?" tanya Kwee Ceng, mengawasi si nona.

"Ya. Orang besar dan orang gagah bukannya tidak mempunyai perasaan," kata si nona, yang terus tertawa. Ia menanya: "Engko Ceng, bagaimana kau lihat caranya aku menghadapi murid-murid jahat dari Tiat Ciang Pang itu? Tidakkah itu memuaskan?"

"Memang!" jawab Kwee Ceng bertepuk tangan.

Demikian mereka bersantap, minum dan bicara dengan asyik dan merdeka, seperti di situ tidak ada lainnya orang lagi. Kemudian Oey Yong menyapu kelilingnya. Ia melihat di arah timur ada tiga orang tua dengan dandanan sebagai pengemis, bajunya banyak tambalan tetapi bersih. Tentulah mereka orang penting dari Kay Pang, yang hendak menghadiri rapat besar kaumnya. Yang lainnya ialah orang dagang atau orang biasa saja.

"Sebenarnya Tiat Ciang Pang itu kumpulan apa?" kemudian kata si nona perlahan. "Kenapa mereka itu sama dengan See Tok paman dan keponakannya, mereka memelihara ular?"

"Entahlah," sahut Kwee Ceng. "Kalau mereka semua sama dengan Kiu Cian Jin si tua bangka, mereka tentu tidak bisa membangun apa-apa yang besar…"

Kata-kata itu belum habis dikeluarkan ketika di atasan kepala mereka terdengar suara orang tertawa terbahak sambil berkata dengan suara angker:

"Sungguh mulut besar! Sampai pun 'Tiat Ciang Sui-siang-piauw, si orang she Kiu tua', tidak dilihat mata!"

Oey Yong terkejut, ia lompat mundur beberapa tindak, baru dia mendongak. Di atas penglari ada duduk nagkring seorang pengemis tua yang kulitnya hitam legam, bajunya sangat butut, tetapi dia mengawasi dengan tertawa haha-hihi.

Kwee Ceng telah menduga kepada orang Tiat Ciang Pang, setelah melihat ia berhadapan sama pengemis, hatinya menjadi sedikit lega, apapula orang nampaknya tidak mengandung maksud jahat. Ia lantas memberi hormat seraya berkata:

“Locianpwee, silahkan turun untuk minum barang tiga gelas arak? Sudikah?"

"Baik!" menyahut pengemis itu, yang lantas menjatuhkan diri, hingga ia mendeprok di papan lauwteng yang debunya mengepul. Setelah menepuk-¬nepuk kempolannya ia merayap bangun.

Kwee Ceng dan Oey Yong heran bukan main. Orang bisa ada di atas mereka tanpa bersuara, mereka menduga orang berkepandaian tinggi, tetapi orang jatuh terbanting begitu rupa, agaknya sangat berat tubuh orang, itulah bukan tandanya orang lihay.

"Silahkan minum!" Oey Yong mengundang. Ia menyuruhnya pelayan menambahkan cangkir arak, mangkok dan sumpit. Ia pun mengisikan cangkir.

"Pengemis tua tak tepat duduk di kursi," kata pengemis itu, yang lantas duduk mendeprok di lantai, sedang dari kantungnya ia mengeluarkan sebuah mangkok jonges serta sepasang sumpit bambu. Ia pun kata: "Sisa arak dan sayur yang kamu telah makan, kasihlah itu padaku!"

"Itu perbuatan tak hormat dari kami, locianpwee," berkata Kwee Ceng. "Apa yang locianpwee hendak dahar, bilang saja, suruh pelayan menambahkan!"

"Pengemis ada macamnya si pengemis," kata orang tua itu, "Kalau pengemis cuma nama tapi tak tepat sama artinya, cuma berpura-pura saja, buat apa dia menjadi pengemis? Jikalau kamu sudi mengamal, nah, kasihlah, jikalau tidak, aku bisa pergi mengemis ke lain tempat…"

Kedua muda-mudi itu heran tetapi Oey Yong melirik kawannya, lalu ia berkata sambil tertawa:

"Locianpwee benar!" Maka ia lantas sisihkan sisa sayur mereka, ia menuangnya ke mangkok butut itu.

Si pengemis merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan nasi dingin, yang mana ia campur sama sisa sayur, terus ia dahar, nampaknya bernafsu sekali.

Oey Yong yang cerdik diam-diam menghitung kantung di punggug orang, semuanya susun tiga, setiap susunnya terdiri dari tiga buah, maka ada sembilan kantung. Ketika ia berpaling kepada ketiga pengemis lain, mereka pun mempunyai masing-masing sembilan kantung. Yang beda ialah mereka itu bertiga di depannya tersajikan banyak macam sayur pilihan.

Mereka itu agaknya tidak memperdulikan pengemis yang satu ini, mereka tidak sudi berpaling atau melirik, cuma pada paras mereka tampak samar-samar roman tak puas.

Tengah si pengemis bersantap dengan bernafsu, di tangga lauwteng terdengar tindakan kaki. Kwee Ceng lantas berpaling. Maka terlihat naiknya dua pengemis, pengemis kurus dan gemuk yang di Gu-kee-cun, Lim-an menemani Yo Kang. Bahkan di belakang mereka terlihat Yo Kang sendiri. Hanya dia itu, begitu melihat si orang she Kwee, dia melongo, lekas dia turun pula. Entah dia berbicara apa sama si pengemis gemuk, maka si gemuk itu ikut turun. Si pengemis kurus maju terus, ia menghampiri pengemis yang tiga itu yang makannya royal, dia bicara berbisik-bisik. Atas itu, ketiga pengemis itu berbangkit, mereka membayar uang makan, lantas mereka berlalu bersama si kurus.

Si pengemis yang dahar sambil duduk mendeprok dan makan sisa, terus tidak menghiraukan sepak terjang beberapa rekannya itu.

Oey Yong berjalan ke jendela, melongok ke bawah. Ia melihat belasan pengemis mengikuti Yo Kang ke barat. Jalan belum jauh, pemuda she Yo itu menoleh ke belakang. Maka tepat sinar matanya bentrok sama sinar matanya Oey Yong. Dia agaknya terkejut, segera ia mempercepat tindakannya, selanjutnya dia tidak berpaling lagi.

Pengemis tua itu lantas dahar habis. Ia menjilati mangkok dan sumpitnya disusuti kepada bajunya, semua itu lantas dimasukkan ke dalam kantungnya. Diam-diam Oey Yong mengawasi. Ia melihat sinar kedukaan pada kulit muka orang yang berkeriputan. Aneh adalah tangannya, yang jauh lebih besar daripada tangan kebanyakan orang lain, sedang belakang tangannya penuh dengan otot-otot besar, suatu tanda dari penghidupan berat.

"Cianpwee, silahkan duduk!" berkata Kwee Ceng seraya memberi hormat. "Dengan berduduk, leluasalah kita berbicara."

Pengemis itu tertawa. "Aku tidak biasa duduk di bangku!" katanya. "Kamu berdua murid-muridnya Ang Pangcu, meskipun usia kamu lebih muda, kita adalah sama derajatnya, cuma aku lebih tua beberapa puluh tahun, kau panggillah aku toako. Aku she Lou, namaku Yoe Kiak."

Oey Yong tertawa. "Toako, namamu menarik hati!" katanya. Yoe Kiak itu berarti "ada kaki"

Pengemis itu berkata: "Orang biasa membilang, orang miskin hidup tanpa tongkat dia diperhina anjing, tetapi aku tidak mempunyai pentung, aku mempunyai sepasang kakiku yang bau ini, kalau anjing berani menghinaku, akan aku mendupak dia pada kepalanya, supaya dia terkuwing-kuwing dan kabur sambil menggoyang-goyang ekornya."

Oey Yong bertepuk tangan. "Bagus, bagus!" serunya, "Kalau anjing mengetahui namamu, tentulah siang¬-siang dia sudah lari jauh-jauh!"

"Tadi pagi aku telah bertemu sama saudara Lee Seng," berkata Yoe Kiak, yang lantas bicara secara sungguh-sungguh, "Dari dia aku mendapat ketahui perbuatan kamu di Poo-eng dan Gakciu. Maka benarlah orang bilang, kalau ada semangat, bukan cuma karena usia tinggi, siapa tanpa semangat, percuma usianya lanjut!"

Kwee Ceng berbangkit untuk merendahkan diri mengucapkan terima kasih atas pujian itu.

"Barusan kamu bicara tentang Tiat Ciang Pang," berkata Lou Yoe Kiak, "Agaknya mengenai mereka, kamu belum mengetahui jelas."

"Benar. Justru itu, aku mohon petunjuk," sahut Oey Yong.

"Tiat Ciang Pang itu, untuk Ouwlam dan Ouwpak dan Sucoan, pengaruhnya sangat besar," menerangkan si pengemis tua, "Anggota-anggotanya suka membunuh orang dan merampok, tak ada kejahatan yang tak dilakukan mereka. Mulanya mereka cuma bersekongkol sama pembesar negeri setempat, kemudian mereka jadi semakin berani, kecuali bersekongkol mereka pun menempel pembesar berpangkat tinggi dan main sogok hingga ada diantaranya yang memangku pangkat. Yang paling menyebalkan ialah mereka bersekongkol sama negeri Kim, mereka melakukan perbuatan hina sebagai pengkhianat. Maka tepatlah hajaran kamu kepada mereka."

"Kabarnya kepala Tiat Ciang Pang ialah Kiu Cian Jin," berkata Oey Yong. "Tua bangka itu paling pandai memperdayakan orang. Kenapa dia jadi demikian berpengaruh?"

"Kiu Cian Jin itu sangat lihay, nona," berkata Yoe Kiak, "Aku harap kau tidak memandang enteng kepadanya."

Oey Yong tertawa. "Apakah kau pernah bertemu dengannya?" dia menanya

"Bertemu, itulah belum. Aku mendapat kabar dia tinggal bersembunyi di atas gunung, di mana dia meyakinkan tangan beracun yang dinamakan Ngo-tok Sin-ciang. Sudah sepuluh tahun lamanya dia tidak turun gunung…."

"Kau terpedayakan!" kata Oey Yong tertawa. "Aku telah bertemu dengannya beberapa kali, bahkan kita pernah bertempur juga. Kau bilang ia meyakinkan Ngo-tok Sin-ciang? Ha ha ha…!" Dan dia tertawa geli mengingat ngacirnya Kiu Cian Jin, sambil tertawa ia mengawasi Kwee Ceng.

"Apakah yang disandiwarakan itu Kiu Cian Jin itu," kata pula Yoe Kiak, tetap sungguh-sungguh,

"Aku tidak tahu, tetapi benar sekali selama beberapa tahun kemarin Tiat Ciang pang maju sangat pesat, dia tidak dapat dipandang enteng."

"Lou Toako benar," kata Kwee Ceng. Yang khawatir pengemis itu menjadi tidak senang, "Memang Yong-jie gemar bergurau…"

"Ah, kapannya aku bergurau?" berkata si nona tertawa, "Aduh, aduh! Perutku sakit…!" dan dia beraksi mirip dengan tingkah lakunya Kiu Cian Jin baru-baru ini, ketika ia berpura-pura sakit perut untuk lari membuang air besar tetapi akhirnya kabur dengan tipu tonggeret meloloskan kulit.

Mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa menyaksikan nona itu menekan-nekan perutnya. Melihat kawannya tertawa, Oey Yong berhenti tertawa. Ia pun mengubah sikap.

"Loa Toako," tanyanya, "Apakah kau kenal ketiga tuan tadi yang bersantap di meja itu?"

Ditanya begitu, Yoe Kiak menghela napas. "Kamu bukan orang luar, hendak aku bicara dengan sebenar-benarnya," sahutnya kemudian. "Pernahkah kamu mendengar keterangan Ang Pangcu bahwa partai kita terbagi dalam dua cabang, cabang Pakaian Bersih dan Pakaian Dekil?"

"Belum, belum pernah kita mendengar keterangan itu," sahut kedua muda-mudi itu.

"Suatu partai terpecah dalam dua cabang, itulah sebenarnya tidak bagus," kata pula Yoe Kiak. "Mengenai itu, Pangcu tidak puas, akan tetapi dia telah berdaya sekuatnya untuk mempersatukan, dia tidak berhasil juga. Kay Pang dibawah Ang Pangcu mempunyai empat tiangloo."

"Ya, tentang itu pernah aku mendengarnya. Suhu pernah bercerita."

Meski masih muda, karena Ang Cit Kong masih hidup, Oey Yong tidak segera menjelaskan bahwa ia telah ditugaskan Pak Kay untuk menjadi pangcu.

Lou Yoe Kiak mengangguk perlahan. "Akulah tiangloo yang kedua," dia berkata. "Tiga orang tadi juga berkedudukan sebagai tiangloo."

"Aku mengerti," kata Oey Yong lekas, "Kau dari cabang Pakaian Dekil, mereka dari Pakaian Bersih."

"Eh, mengapa kau ketahui itu?"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar