Senin, 25 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 109

Tapi sementara itu, orang letih dan kantuk, maka mereka lantas pergi mengaso. Lam Kim mengalah mengasihkan pembaringannya untuk Oey Yong, siapa sebaliknya minta empeh Cin lekas membikin ia kurungan untuk burungnya itu.

Besoknya pagi, ketika matahari merah menyorotkan sinarnya masuk ke jendela, Oey Yong bangun untuk lantas menjadi kaget. Di meja, kurungannya rusak, tetapi burungnya berdiri diam di meja, ia tidak lari meski orang menghampiri. Kaget dan girang, Oey Yong menggapai.

"Mari!" ia memanggil.

Hiat-niauw terbang, menclok di telapak tangan si nona. "Dia takluk padaku, dia takluk padaku!" kata Oey Yong kegirangan. Ketika ia melihat kurungan, kurungan itu rusak dan patah. Ia pikir, tentulah itu burung mau membilang: "Aku merdeka, kalau aku tidak mau pergi, tidak apa, tetapi kalau aku mau, apa artinya kurungan macam begini?" Sedangkan si nona bergirang, kupingnya lantas mendengar keluhan Kwee Ceng di lain kamar. Ia heran, lantas lari menghampiri.

"Engko Ceng, kenapa?" ia menanya.

Kwee Ceng menyeringai, tangannya memegangi gambar pemberian Oey Yok Su. Nyata karena kehujanan, gambar itu terkena air.

"Ah, benar sayang!" si nona mengeluh. Ia menyambut gambar itu, yang telah pecah. Ia merasa, tidak ada jalan untuk dapat memperbaikinya. Ketika ia hendak meletakkannya di meja, mendadak ia melihat di pinggiran syairnya Han See Tiong ada tambahan beberapa baris huruf halus. Ia lantas mendekati, melihat terlebih tegas. Surat itu berlapis, kalau tidak karena basah, tidak mungkin dapat terlihat. Sekarang pun sangat sukar untuk membacanya. Oey Yong mementang matanya, ia mencoba membaca:

"…..Surat wasiat….Bok…Tiat Ciang…tengah…puncak…….." Huruf-huruf lainnya lagi tak dapat dibaca.

Kwee Ceng juga turut membaca, lantas berkata: "Ini bisa diartikan surat Wasiat Gak Bu Bok…."

"Tidak salah," berkata Oey Yong. "Wanyen Lieh si jahanam menyangka surat wasiat ini berada di dalam peti batu di dalam istana, tetapi meskipun petinya telah didapatkan, surat wasiatnya tidak ada. Sekarang kita mendapatkan gambar ini. Bunyinya kata-kata ini mungkin rahasia surat rahasia itu. Tiat Ciang, tengah, puncak…" Ia lantas memikir keras. "Tiat Ciang" itu ialah "Tangan Besi". Kemudian ia menanya Kwee Ceng: "Engko Ceng, apakah keenam gurumu pernah menyebut tentang Tiat Ciang Pang?"

"Tiat Ciang Pang?" kata Kwee Ceng berpikir. "Tidak. Aku hanya ketahui si tua bangka she Kiu, si penipu besar itu, dipanggil Tiat Ciang Sui-siang-piauw."

"Tidak, tidak bisa jadi tua bangka celaka itu ada hubungannya dengan ini!" berkata Oey Yong, memandang enteng. "Hanya ada juga kemaren ketika aku membakar kantor camat, di sana aku mendengar si camat she Kiauw berbicara sama siapa, tahu menyebut-nyebut entah bagaimana dengan 'Tiat Ciang Pang kami'. Ia menyebut pula perlu lekas dicari banyak ular untuk dipersembahkan kepada Toa Hiocu. Ketika kemudian aku bertempur dengannya, ternyata ilmu silatnya tidak rendah, dia mengerti juga Tiat-ciang, yaitu Tangan Pasir Besi."

"Anggota dari suatu perkumpulan kaum kangouw menjadi camat, ini benar-benar aneh!" kata Kwee Ceng. Tiat Ciang Pang ialah Partai Tangan Besi.

Lantas keduanya memikir kata-kata di gambar itu, masih mereka tidak dapat menangkap maksudnya, maka Oey Yong lantas membenahkan gambar rusak itu, disimpan di dalam sakunya.

"Biarlah perlahan-lahan kita memikirkannya lagi." katanya.

Sampai di sini, sepasang muda-mudi ini lantas pamitan dari empeh Cin dan cucunya, dengan menaiki kuda merah, mereka berangkat pergi. Tuan rumah dan cucunya merasa berat tetapi mereka tidak dapat menahan.

Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng dan Oey Yong di wilayah kota Gakciu. Oey Yong mengingat-ingat hari. Itulah hari Cit-gwee Capsie - tanggal empatbelas bulan tujuh - jadi besok hari rapatnya Kay Pang, Partai Pengemis.

"Kita tidak mempunyai urusan sekarang, kita pesiar perlahan-lahan saja," kata Kwee Ceng.

"Baiklah," si nona menyahut.

Mereka lompat turun dari kuda, dengan berpegangan tangan mereka bertindak, dengan perlahan-lahan. Mata mereka memandang jauh ke depan di mana tampak hanya air dan sawah-sawah di mana pohon padi sudah tumbuh tinggi dan telah berbuah, maka diduga tahun ini, panen bakal memberi hasil baik.

Kata Oey Yong: "Dahulu ayah pernah membilangi aku, kalau Ouw Kong matang, seluruh negara cukup, maka itu kelihatannya tahun ini rakyat bakal bebas dari bahaya kelaparan."

Ouw Kong ialah empar propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Kwietang dan Kwiesay, sedang dengan "matang" diartikan "masak" atau musim panen. Kemudian si nona menunjuk ke sebuah pohon besar di mana seekor tonggeret lagi berbunyi, ia kata pula:

“Binatang itu berbunyi tak hentinya, entah apa yang dia katakan. Suaranya itu membuat aku ingat satu orang…"

"Siapakah dia?" Kwee Ceng tanya.

"Dia adalah Kiu Looyacu yang pandai meniup kulit kerbau…" sahut si nona tertawa.

"Oh!" seru Kwee Ceng. Ia juga tertawa.

Ketika itu matahari sedang teriknya, petani lagi bermandikan peluh tapi mereka bekerja terus mengompa air. Demikian di bawah sebuah pohon yang-liu, seorang nyonya bekerja bersama satu bocah berumur tujuh atau delapan tahun, berat gerakan kaki mereka. Pakaian mereka telah basah kuyup, sedang muka si bocah merah seluruhnya. Oey Yong menghentikan tindakannya, ia mengawasi mereka, ia merasa kasihan.

Si bocah melihat ada orang yang mengawasi, ia menoleh. Ia kagum menyaksikan keelokan si nona.

"Ibu," katanya, "Lihat, enci itu lagi mengawasi kita!" Dari suaranya, ternyata ia bergembira meski dia bekerja capai.

Si nyonya menoleh, ia tersenyum dan mengangguk kepada pasangan muda-mudi itu. Oey Yong merogoh ke dalam sakunya, berniat mengambil sedikit uang untuk mengasih persen kepada bocah itu untuk ia membelikan kembang gula tatkala kupingnya mendengar suara samar-samar dari guruh di kejauhan, lantas saja ia menjadi girang. Ia kata kepada itu ibu dan anaknya:

"Sudah, tak usah kamu mengompa air lagi, hujan bakal turun!"

Si nyonya memasang kupingnya, mendadak romannya menjadi pucat, suatu tanda dia takut. Si bocah lompat turun dari pompa airnya sambil berkata:

"Ibu, raja kodok mau datang makan kodok hijau lagi!"

Si nyonya mengangguk.

Oey Yong tidak mengerti, ia mau minta keterangan, tetapi segera ia mendengar riuhnya gembereng yang dipalu breng-breng keras sekali, yang memalunya seorang laki-laki yang mengenakan tudung rumput yang lebar serta tubuhnya tidak memakai baju. Dia menabuh sambil berlari-lari ke barat.

Belum lama lantas datanglah sambutan gembreng riuh dari segala penjuru, menyusul semua orang, pria dan wanita, yang lagi mengompa air, pada lari meninggalkan pompa mereka, semua lari ke arah barat.

Oey Yong mendapat si bocah dan ibunya turut lari juga. "Engko Ceng, mari kita lihat, keramaian apa itu!" katanya saking tertarik hatinya.




Kwee Ceng menurut, maka mereka lari menyusul orang banyak itu. Ketika mereka sudah melewati sebuah tikungan gunung, mereka lantas melihat sawah-sawah yang luas yang penuh air, sedang semua orang tani itu berkumpul di sebuah tanjakan tinggi semacam bukit, dengan roman tegang, mata mereka memandang ke depan. Di situ memalu seratus lebih gembreng kuningan, hingga suaranya berisik menulikan telinga. Dengan begitu tak terdengar lagi suara orang bicara.

Di samping bukit kecil itu tumbuh sebuah pohon yang besar dan tinggi, Kwee Ceng menarik tangan Oey Yong, diajak ke sana, mereka terus melompat naik ke atasnya, dengan begitu mereka berdua dapat memandang jelas ke arah semua mata ditujukan. Di sana terlihat langit biru seperti lautan, di sana tidak apa-apa yang mencurigakan. Tapi mereka tetap mengawasi. Tidak lama kemudian, kuping mereka dapat menangkap samar-samar suatu suara yang keras, yang tidak dapat dilawan berisiknya gembreng.

Mulanya Oey Yong menyangka kepada guruh, hanya sebentar kemudian, ia melihat benda-benda kuning yang membikin ia menjadi heran sekali. Semua benda itu datang dengan berlompatan.

"Hai, begitu banyak kodok!" akhirnya si nona berseru.

Memang di sana terlihat ribuan atau laksaan kodok, yang dating ke tempat itu, dan suara berisik tadi mirip guruh ialah suara kerak-keroknya mereka! Begitu melihat sang kodok, berhentilah semua petani memalu gembreng mereka. Sekarang terlihat tegas air muka mereka yang lesu dan masgul.

Kapan kawanan kodok itu tiba di tepi sawah di depan bukit kecil itu, semua lekas berhenti, berbaris dengan rapi. Di belakang mereka terlihat beberapa ratus kodok yang besar-besar, yang mengerumuni seekor kodok yang badannya besar istimewa - lebih besar enam atau tujuh lipat dari kodok yang umum. Itulah dia yang rupanya si bocah sebut sebagai raja kodok. Dia lantas mengasih dengar suara berkerok satu kali, lantas dia disambut rakyatnya hingga riuh pulalah suara mereka yang mirip guruh itu. Ketika raja kodok itu berbunyi pula, maka siraplah suara semua rakyatnya.

"Nah, ini pun membikin aku ingat satu orang!" berkata Oey Yong.

Kali ini Kwee Ceng tidak menanya siapapun, ia hanya tertawa dan berkata dengan cepat:

"Auwyang Hong!"

"Jempol!" berseru Oey Yong sambil menunjukkan jempolnya. Ia menganggap pemuda itu cerdas dapat menerka dengan jitu.

Kawanan kodok itu menaati titah rajanya. Setelah tiga kali berbunyi, mereka berdiam pula, hingga suasana di situ menjadi sangat sepi. Hanya sekarang lantas terdengar gantinya, ialah suara perlahan tetapi terang dari seekor kodok hijau yang kecil, yang berlompat keluar dari belakang sebuah batu besar di arah timur.

Ketika orang-orang tani ini melihat kodok hijau, dengan serentak gembreng mereka dipalu pula, sambil memalu, mereka berseru-seru keras sekali. Mereka bersorak-sorai, tanda dari kegirangan. Terang mereka membantu menggembirakan atau menganjurkan kodok kecil itu.

Kwee Ceng dan Oey Yong heran. Tak tahu mereka apa yang akan dilakukan si kodok hijau kecil itu. Selagi mereka mengawasi dengan perhatian, kuping mereka mendengar tindakan kaki yang berisik, ketika mereka berpaling, terlihat dari empat penjuru datang pula beberapa ratus petani. Mata si nona sangat jeli, ia mendapatkan di dalam rombongan itu ada sejumlah orang yang pakaiannya berenda. Ia lantas menarik tangan baju Kwee Ceng seraya mulutnya dimonyongkan ke arah orang-orang itu, yang jumlahnya empat atau limapuluh orang. Mereka itu mengenakan baju hitam dan tangan mereka memegangi korang bambu yang besar. Terang sekali mereka pun menyembunyikan senjata. Dilihat dari romannya yang bengis, mestinya mereka bukan sembarang petani. Di tepi bukit, mereka berkumpul menjadi satu, terpisah beberapa puluh tombak dari petani lainnya.

Kodok hijau yang kecil itu berlompatan hingga terpisah lagi tiga kaki dari tepian sawah, di situ ia berhenti, lalu berbunyi beberapa kali. Dari dalam rombongan kodok yang berjumlah besar sekali itu muncul seekor kodok kuning yang besar, ia meloncati galangan, sampai di depan kodok hijau. Di situ ia mementang mulutnya dan bersuara, suaranya keras bagaikan suara kerbau. Si kodok kecil tak takut, ia juga membuka suaranya, maka terjadilah saling sahut, makin lama makin cepat. Dari situ, kelihatan si kodok kecil bernapas lurus dan rapi. Si kodok besar agaknya kesusu, rupanya ia ingin lekas-¬lekas menang.

Sesaat berselang, suara kodok besar itu menjadi serak, dan perutnya yang putih pun kembung makin besar, setelah itu, suaranya berubah menjadi dalam, sedang kedua matanya seperti mencelos keluar, perutnya itu menjadi bundar bagaikan bola. Mendadak saja, perut kembung itu meledak, nyaring suaranya, lalu ia rebah binasa.

Semua petani bersorak riuh. Beda dengan rombongan baju hitam itu, kelihatannya mereka gusar. Maka sekarang terlihat tegas, petani berpihak pada kodok hijau, kodok yang banyak itu.

Kodok hijau itu menang, dia bersuara tiga kali, lantas dia memutar tubuh, rupanya dia mau pergi, atau mendadak terlihat enam kodok besar berlompatan maju, untuk mengejar.

"Tidak tahu malu!" membentak pihak orang petani banyak. "Tidak punya guna! Apa ini? Malu! Baik mati saja!"

Enam kodok besar itu berpecah menjadi dua, sikapnya mengurung. Si kodok kecil berlompat, untuk menyingkir. Dia lantas dikejar. Kira-kira tiga tombak, maka di sebelah belakang enam kodok itu terdengar suara kodok lainnya. Lantas mereka berhenti mengejar, berniat kembali, tetapi mereka terlambat. Mereka segera dipegat kira-kira tigapuluh kodok hijau yang besar yang muncul dari gili-gili.

Kali ini kedua pihak tidak lagi mengadu suara, hanya mereka lantas saling terjang, saling menggigit. Karena kalah jumlah, enam kodok besar itu lantas saja mati. Banyak kawannya, tetapi tidak ada yang maju menolong.

Oey Yong menjadi heran, ia berpaling kelilingan. Ketika matanya terarahkan ke pinggir sawah di mana ada sebuah kali kecil, maka di situ ia melihat segalanya hijau, sebab di situ pun ada berkumpul ribuan atau laksaan kodok hijau, hanya mereka ini semua tidak bergerak. Mungkin ini yang menyebabkan kodok besar itu tidak berani sembarangan melintasi tapal batas.

Si raja kodok berbunyi kerok dua kali, maka seratus di pihaknya lantas maju melintasi batas. Mereka disambut sebarisan kodok hijau yang muncul dari tempatnya mendekam. Maka bertempurlah mereka. Belum lama, kodok besar itu lari ke arah selatan. Kodok hijau mengubar setombak lebih, lantas berhenti. Melihat demikian, kodok besar berbalik akan menyerang pula.

Benar saja, di selatan itu, di mana ada batu besar, terlihat munculnya barisan tersembunyi kodok besar itu dan mereka lantas maju, membantu kawannya. Karena ini, dari tepi kali pun datang bantuan kodok hijau. Kedua pihak lantas bertempur dengan berisik.

Dalam tempo dekat, puluhan ekor kodok roboh sebagai bangkai. Kerugian terdapat dikedua pihak. Mereka yang terluka merayap ke pinggiran, lalu ada yang kawannya menolong mengajak kembali ke dalam barisannya.

Kelihatan si raja kodok tidak puas melihat belum ada keputusan, ia berbunyi lagi dua kali. Kali ini lantas ada satu pasukan besar yang menyebrang, buat membantu. Sekarang kodok hijau, yang tak sempat mundur, terancam terkurung. Mereka mengatur barisan bundar, ekor ke dalam, mulut keluar. Dengan begitu, mereka tidak takut nanti diserang dari belakang. Kodok besar berjumlah besar tetapi mereka tidak dapat menyerbu semua.

Sejumlah petani berteriak-teriak mengajuri kodok hijau mengirim bala bantuan, anjuran itu tak ada hasilnya. Nampaknya kodok hijau bersikap tenang. Dari barisan kodok besar itu ada beberapa yang berlompat, hendak maju, tetapi saban kali ada satu yang menerjang, segera dia dipapaki diterjang satu kodok hijau, hingga keduanya sama-sama jatuh. Dengan begitu, kodok besar tidak dapat menerjang ke dalam barisan lawan.

"Celaka!" mendadak Oey Yong berseru. Ia melihat di empat penjuru kurungan kodok besar itu, sejumlah kodok besar mendekam, kawannya naik ke atas dan mendekam pula, hingga mereka merupakan gundukan tinggi tiga kaki, kemudian di paling atas, sejumlah kodok berlompat ke arah kodok hijau. Hebat serangan itu. Kodok hijau jadi terbokong, banyak yang mati.

"Sayang…" kata Oey Yong.

"Lihat!" terdengar suara Kwee Ceng yang tangannya terus menunjuk.

Di arah timur laut sejumlah kodok besar hijau bergerak, menuju ke belakang kodok besar, untuk menyerang dari belakang. Raja kodok mendapat tahu bokongan musuh, dia mengirim barisannya, untuk memegat. tapi kodok hijau itu tidak menghiraukan, di sebelah yang bertempur, yang lain maju terus ke belakang pasukan musuh. Kodok besar jadi kacau tetapi mereka tetap berkelahi.

Raja kodok melihat barisannya tak dapat maju, ia berbunyi nyaring sekali, lantas ia sendiri maju, memegang pimpinan penyerbuan. Ia mengepalai barisannya sendiri, yang semua besar-besar dan romannya bengis. Kodok besar ini bisa dengan sekali menggigit, mampus musuhnya. Sebentar saja seekor kodok besar bisa mematikan belasan musuhnya. Karena ini, kodok hijau terpaksa berkelahi sambil mundur.

Kawanan kodok besar itu maju merangsak. Raja kodok berlompat, sekali lompat jauhnya setengah tombak, tapi segara ia dikepung kodok hijau. Tapi hanya sejenak, dia lantas dibantu barisannya. Karena bergesernya tempat bertempur, orang pun menggeser, untuk melihat lebih tegas. Oey Yong dan Kwee Ceng lompat turun, mereka nelusup di antara orang-orang tani itu.

Kelihatan semua orang tani berduka, mereka pada menghela napas. Oey Yong heran, ia ingin mengetahui duduknya hal, maka ia tanya seorang tua, kenapa kedua macam kodok itu saling bertempur. Sebelum menjawab, orang itu mengawasi dulu hingga ia mengenali orang adalah asing untuk desanya itu.

"Katak itu ada yang piara," ia menerangkan, "Dan dipelihara istimewa untuk menangkap kodok hijau."

Oey Yong heran. "Ah!" suaranya tertahan.

"Kami orang tani, mengharapkan bantuan kodok-kodok hijau itu untuk merawat tanaman padi," orang itu berkata pula, "Sekarang nampaknya kodok hijau bakal kalah, maka di tempat sekitar sini, luasnya beberapa puluh lie, panen kami tahun ini bakal gagal….."

"Kalau begitu, nanti aku bantu kamu," kata Oey Yong. "Nanti aku hajar semua kodok itu." Ia merogoh ke sakunya, meraup jarumnya.

"Jangan, nona," berkata si orang tua perlahan, tanganya menarik ujung baju orang. "Telah aku bilang, katak itu ada yang pelihara." Ia menunjuk kepada rombongan orang pakaian hitam yang bengis-bengis itu. "Merekalah si pemelihara katak itu. Kalau kau ganggu katak mereka, buntutnya bakal hebat sekali. Nona cantik bagaikan bunga, maka menurut aku, sebaiknya nona jangan berdiam lama-lama di sini, kau lekas pergi!"

Oey Yong tersenyum.

"Jumlah kita banyak, takut apa?" Kwee Ceng pun berkata.

Orang tua itu menghela napas. "Karena urusan kodok itu, tahun lalu kita pernah bertempur sampai banyak yang terluka," katanya. "Perkara jatuh ke tangan pembesar negeri. Kesudahannya camat memutuskan, untuk selanjutnya biarlah katak bertempur sama katak, di antara binatang, kita dilarang campur tangan, siapa berani melanggar putusan, dia bakal di hukum berat."

"Ah, pembesar anjing!" mendamprat Kwee Ceng. "Bukankah itu terang-terang membantu kawanan manusia jahat itu?"

"Memang. Tapi camat dan mereka adalah sekawan. Camat cuma tahu menangkap kodok hijau untuk dipakai memelihara ular, dia tidak menggubris rakyat mati atau hidup!"

Mendengar keterangan hal menangkap kodok untuk memelihara ular, Kwee Ceng dan Oey Yong heran betul. Ketika mereka mau menanya lagi, justru kaum petani itu lagi berseru-seru girang. Nyata pertarungan katak itu membawa perubahan.

Kawanan katak besar mengumpulkan diri di empang besar, mereka terdesak. Sejumlah kodok hijau terjun ke air, mereka berenang ke belakang musuh, membantu menyerang dari samping dan belakang. Katak hijau itu pandai sekali berenang. Sedang katak besar tidak pandai memain di permukaan air. Mereka berdesakan, tak dapat bergerak dengan merdeka, banyak yang kecebur ke empang. Di dalam air, mereka tidak bisa bertempur dengan hebat seperti di darat. Maka mereka jatuh di bawah angin, banyak yang mati, bangkainya mengambang dengan perut putihnya di atas. Barisan kodok besar menjadi kalut. Rajanya, bersama barisan pengawalnya, menerjang kalang kabutan tanpa ada hasilnya. Maka orang-orang tani itu bersorak, ada yang berseru:

"Panen kita tahun ini ketolong!"

Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi semuanya sambil memperhatikan rombongan orang baju hitam itu. Muka mereka menyatakan kegusaran. Tiba-tiba di antara mereka ada yang berseru, lalu belasan di antaranya membuka tutup korang.

Begitu korang-korang dibuka tutupnya, maka keluarlah ratusan ekor ular berbisa kecil dan besar, semua merayap ke medan pertempuran, maka di dalam tempo yang pendek, mereka telah dapat menelan banyak kodok hijau. Kodok hijau memang makanan mereka. Lantas kodok itu pada lari atau merengkat saking takutnya. Kawanan petani menjadi kaget dan gusar, mereka mengasih dengar suara berisik.

Seorang, yang tubuhnya tinggi besar di antara orang-¬orang berpakaian hitam, maju ke depan orang-¬orang tani, dia mengasih dengar suara bentakannya:

"Camat telah memaklumkan, katak berkelahi di antara bangsannya adalah adat kebiasaan, maka selagi mereka tidak membikin hubungannya sama kita manusia, perlu apa kamu membikin banyak berisik?!"

Orang-orang tani itu berteriak-teriak: "Kodok besar itu serta ular berbisa ini adalah kamu yang pelihara! Kodok hijau mana bisa melawan ular! Tidak tahu malu! Kami melarat tahun ketemu tahun, panen kami bakal gagal, daripada kami mati kelaparan, mari semua mengadu jiwa!"

Orang tinggi besar itu mengangkat tangan kanannya, maka di situ terlihat goloknya yang berkeredepan. Dia lantas diturut kawan-kawannya, yang semua pada mengeluarkan senjatanya masing-masing. Dengan berbaris rapi, mereka maju mendekat.

"Kamu mau apa?" tanya si orang tinggi besar pada kaum tani itu. "Apakah kamu tidak mau dengar perintah camat? Apakah kamu mau memberontak?!"

Orang banyak itu pada mencaci, ada juga yang menimpuk dengan lumpur dan batu. Orang tinggi besar itu mengibaskan tangannya, lantas di antara mereka muncul dua orang yang dandanannya sebagai hamba polisi, yang satu memegang golok, yang lainnya membawa rantai borgolan. Mereka ini lantas memaklumkan, siapa yang cari gara-gara dan berkelahi, dia akan dihukum sebagai pemberontak!

Orang-orang tani itu berdiam, mereka saling mengawasi. Beberapa diantaranya kata: “Mereka inilah masing-masing kepala polisi berkuda dan berjalan kaki."

Oleh karena pihak sana dapat bantuan pembesar negeri, maka celakalah kawanan kodok hijau itu, oleh katak besar dan ular mereka digiring masuk ke dalam korang.

"Yong-jie, apakah kita turun tangan sekarang?" Kwee Ceng berbisik.

"Coba tunggu sebentar lagi," menyahut sang nona.

Ketika itu tujuh atau delapan bocah maju sambil berteriak-teriak, mereka menggunakan batu menimpuki rombangan ular, hingga ada beberapa ular yang lantas mati. Orang-orang berpakaian hitam menjadi murka, beberapa diantaranya maju menyerang bocah¬bocah itu. Satu bocah kena dirobohkan, yang lainnya lari kabur. Bocah yang roboh kena dicekik.

"Bagus, ya, kau berani membikin mati ular yang kita rawat susah payah!" katanya bengis. "Kau mesti dikasih rasa!"

Seorang petani wanita lantas lari menghampiri. "Tolong tuan, tolong," ia memohon, "Tolong lepaskan anakku ini…"

Kwee Ceng dan Oey Yong mengenali, itulah ibu dan anak yang mereka ajak bicara. Sambil dengan tangannya yang satu memegangi terus si bocah, dengan tangan yang lain laki-laki itu menyambar lehernya si nyonya, terus ia melemparnya balik hingga tubuh si nyonya terpelanting ke dalam rombongannya, di mana dia menimpa dua orang hingga mereka roboh bersama. Lantas laki-laki bengis itu mengibasi tangannya, atas mana kawan-kawannya maju dengan senjata siap sedia.

Kawanan orang tani itu mundur. Mereka kebanyakan adalah orang tua dan wanita. Mereka lebih takut lagi ketika orang mengayun goloknya untuk membacok, lekas¬-lekas mereka mundur pula. Nyata itulah ancaman belaka.

Adalah si bocah yang tertangkap yang malang. Dia digaplok, bajunya disobek, setiap kali digaplok, setiap kali disobek, hingga itu terulang belasan kali, hingga dia menjadi bengkak matang biru mukanya dan tubuhnya pun telanjang. Ibunya menangis menjerit¬jerit. Lupa segalanya, nyonya itu merangsak maju untuk menolongi anaknya. Segera dia dipegangi dua orangn laki-laki.

Laki-laki kejam tadi mengasaih dengar siulan nyaring, beberapa ratus ular berbisa mengangkat kepalanya dan mengulur lidahnya, semua mengawasi tubuh telanjang bulat dari si bocah. Maka kagetlah semua orang tani, pucat muka mereka. Si bocah juga ketakutan bukan main, matanya mendelong mengawasi ibunya.

"Ibu…!" kemudian ia menjerit.

"Bangsat cilik, kalau kau bisa, larilah!" kata si laki-¬laki bengis. Ia menampar, maka robohlah si bocah. Bocah itu lari kepada ibunya. Tapi di sini dia dipapaki sabetan golok beberapa orang, maka ia lari balik ke tempat kosong.

Si laki-laki bengis, yang rupanya menjadi kepala, bersiul pula, maka sekarang semua ular tadi, yang sudah siap, lantas lari mengubar bocah itu. Bukan main kaget dan takutnya si bocah ketika ia menoleh mendengar suara sa-sus riuh dari kawanan ular, yang semua mementang mulutnya, mengsaih lihat ancaman lidahnya yang bergerak-gerak, dalam takutnya ia lari sekeras-kerasnya. Tapi kawanan ular dapat lari lebih keras, lantas hampir kena disusul.

"Anakku!" menjerit si nyonya, yang lantas pingsan dan roboh.

Kawanan petani itu menjadi kaget dan gusar, mereka mau maju menyerang ular, tetapi mereka dihalang-¬halangi kawanan orang yang berpakaian hitam, yang membolang-balingkan goloknya dihadapan mereka. Menampak kejadian itu, Oey Yong sudah lantas bersiap dengan seraup jarumnya, ia hendak segera menyerang. Sekonyang-konyong bocah itu tersandung, tubuhnya terjatuh, maka itu ia lantas kena dicandak.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar